AKTIVITAS BELAJAR PAI DAN KETAATAN BERIBADAH

13 Oktober 2008

AKTIVITAS BELAJAR PAI DAN KETAATAN BERIBADAH

Belajar adalah suatu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan dengan cara mempelajari lewat buku-buku, menerima pelajaran di sekolah baik formal maupun non formal. Jadi dalam belajar ada suatu usaha untuk memperoleh kepandaian dan pemahaman, sehingga ada perubahan yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang hal itu disebabkan oleh adanya pengalaman.
Aktivitas belajar merupakan sesuatu yang harus terjadi pada manusia, baik pada masa sekarang maupun masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar sangat penting bagi manusia. Dan manusia tidak akan mempunyai pengetahuan dan keahlian jika mereka tidak pernah melakukan aktivitas belajar.
Dalam agama Islam, aktivitas belajar merupakan suatu yang wajib bagi insan, baik laki-laki maupun perempuan. Mengingat betapa pentingnya aktivitas belajar ini, sehingga wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah Swt, kepada rasulnya adalah berkenaan dengan masalah aktivitas belajar, nabi pun baru melakukan aktivitas belajar dengan bimbingan malaikat Jibril yang berupa surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi : 
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al-‘Alaq : 1-5).[1]
Dalam pandangan Islam, pendidikan bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam menuju ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini berarti pendidikan Islam bertujuan menyiapkan anak didik agar menjadi generasi yang memiliki kepribadian dengan pola iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Pendidikan agama hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa anak-anak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Oleh sebab itu pendidikan agama Islam harus ditanamkan dalam pribadi anak sejak ia lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian dilanjutkan dengan pembinaan pendidikan ini di sekolah.
Pendidikan Islam berorientasi pada pembentukan pribadi yang bermoral dan berakhlakul karimah, tidak hanya memberikan pengetahuan semata, namun juga berupa merealisasikan dalam bentuk kegiatan keagamaan di sekolah. Seperti halnya aktivitas belajar PAI yang diterapkan di SMA Unggulan Pondok Pesantren Nurul Islami. Aktivitas belajar PAI tersebut selain menambah wawasan dan pengetahuan agama, juga mendidik siswa untuk mengamalkan ajaran agamanya. Dengan demikian keberhasilan pengajaran pendidikan agama Islam di sekolah tidak lepas dari berbagai aktivitas belajar agama yang dilakukan siswa di luar sekolah.
Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja, sebenarnya berkaitan dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat dilepaskan dari implikasi lingkungan dimana mereka hidup. Dalam hal ini, suatu faktor penting yang memegang peranan menentukan dalam kehidupan remaja adalah agama.[2]
Remaja adalah usia yang sangat strategis untuk perkembangan ke masa depan, khususnya dalam hal pendidikan agama. Sehingga penulis berusaha mengkaji aktivitas belajar PAI yang diterapkan di SMA Unggulan Nurul Islami yang berusaha menggabungkan antara pendidikan formal dengan pendidikan non formal, yang mana dengan tujuan agar anak didik dapat menjadi taat kepada sang pencipta. 

Aktivitas Belajar PAI

1. Pengertian Aktivitas Belajar PAI

Kata aktivitas berasal dari bahasa Inggris “activity” yang artinya adalah kegiatan.[3] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktivitas dapat diartikan sebagai kegiatan atau kesibukan.[4]
Learning is process by which an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation, provided that characteristics of the change in activity can not be explained on the basis of native respon tendencies, maturation, or temporary states of the organism (e.g. fatigue, drugs, etc.,).[5]
Belajar adalah proses berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi yang disebabkan oleh pengalamannya secara berulang-ulang dalam situasi di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya : kelelahan, pengaruh obat, dan lain sebagainya).
Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang yang relatif tetap sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang terjadi melalui aktivitas mental yang bersifat aktif dan berorientasi pada tujuan.
Dari pengertian tersebut dapat diambil tiga pemahaman umum, pertama, belajar ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Kedua, belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat komulatif, artinya, hasil belajar tidak diperoleh secara tiba-tiba, akan tetapi berlangsung melalui proses tahap demi tahap. Kemampuan (performance) yang telah dikuasai sebagai landasan untuk tahapan proses belajar yang lebih tinggi atau baik.
Ketiga, belajar merupakan proses aktif-konstruktif yang terjadi melalui mental proses, yaitu serangkaian proses kognitif seperti persepsi, perhatian, mengingat, memecahkan masalah, dan lain-lain.[6]
Pengertian pendidikan agama Islam sendiri adalah upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.[7] Dalam pengertian ini dapat berwujud dengan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari.
Menurut Zakiyah Daradjat pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh serta menjadikan ajaran agama itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[8]
Jadi aktivitas belajar PAI adalah proses kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang (guru) untuk membantu anak didik dalam menanamkan dan menumbuhkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup, yang diwujudkan dalam sikap dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari.

2. Jenis-jenis Aktivitas Belajar

Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Dalam belajar, seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari suatu situasi. Situasi akan menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan aktivitas belajar apa yang akan dilakukan.
Beberapa aktivitas belajar dalam pembahasan ini adalah :
a. Mendengarkan
b. Memandang
c. Menulis atau mencatat
d. Membaca
e. Mengingat
f. Berfikir
g. Latihan atau praktek.[9]
Belajar yang berhasil, harus melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun psikis. Aktivitas fisik ialah peserta didik giat, aktif dengan anggota badan. Membuat sesuatu ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Peserta didik yang memiliki aktivitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau berfungsi dalam pengajaran.[10]

3. Dasar Pelaksanaan PAI

Setiap usaha atau tindakan yang sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan yang kuat sebagai suatu pijakan. Adapun dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam dapat ditinjau dari beberapa aspek:

a. Dasar Yuridis atau Hukum

Karena Indonesia adalah negara hukum maka seluruh aspek kehidupan termasuk kegiatan pendidikan agama didasarkan pada hukum (perundang-undangan) yang berlaku. Dalam hal ini ada 3 dasar operasional:
1) Dasar Idiil, yaitu dasar falsafah negara pancasila, sila pertama: ketuhanan yang Maha Esa.
2) Dasar struktural atau konstitusional, yaitu UUD 45 dalam BAB XI pasal 29 ayat 1, yang berbunyi:
a) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa.
b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.[11]
3) Dasar Operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[12]

b. Dasar Normatif

Dasar normatif yang dipakai adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah al mursalah, istihsan, qiyas da sebagainya.[13] Banyak ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang secara langsung maupun tidak langsung mewajibkan umat manusia melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Adapun pelaksanaan pendidikan agama Islam itu ditujukan kepada:[14]
1) Kewajiban orang tua mendidik anaknya
Hadits Nabi Saw :
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم: ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه كماتننتح البهيمة جمعاءهل وتحسنوا فيها من جديماء (متفق عليه). [15]
“Dari Ai Hurairah r. a, Nabi SAW bersabda: “tiada anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (potensi iman dan Islam), maka kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi seperti seekor ternak yang melahirkan anaknya dengan sempurna, apakah engkau dapati kekurangan?” (Muttafaqun ‘Alaih)
2) Kewajiban bagi setiap orang Islam untuk belajar agama.
3) Kewajiban mengajarkan agama kepada orang lain

c. Dasar Psikologis 

Psikologis yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Manusia merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya zat yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan. Hal ini terjadi pada masyarakat yang masih primitif maupun modern, mereka akan merasa tenang dan tentram apabila dapat mendekat dan mengabdi pada zat yang Maha kuasa.[16]

d. Dasar Historis 

Pendidikan agama Islam tumbuh dan berkembang bersamaan dengan datangnya Islam. Hal ini terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat sekitarnya yang dimulai dari keluarga dekat beliau. Pada tahap awal antara dakwah dan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan karena tugas utama Nabi adalah dakwah (menyeru) manusia agar masuk Islam. Islam harus disampaikan agar dipahami, dihayati sampai diamalkan karena dalam pendidikan Islam juga mencakup area kognitif, afektif dan psikomotorik.[17]

4. Ruang Lingkup PAI 

Pendidikan agama Islam mencakup usaha untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
c. Hubungan manusia dengan sesama manusia
d. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya.[18]
Adapun ruang bahan pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi lima unsur pokok, yaitu keimanan, Al-Qur’an, akhlak, fiqih dan tarikh.[19]

5. Karakteristik PAI 

Setiap pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat membedakan dengan pelajaran lain, adapun karakteristik pelajaran pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:
  1. Secara umum pendidikan agama Islam merupakan pelajaran yang dikembangkan dari ajaran dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist. Untuk kepentingan pendidikan, melalui proses ijtihad, para ulama mengembangkan materi pendidikan agama Islam pada tingkat yang lebih rinci.  
  2. Prinsip-prinsip dasar pendidikan agama Islam tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak. Akidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syari’ah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak penjabaran dari konsep ikhsan. Dari ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian keislaman, termasuk kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta seni dan budaya. 
  3. Pelajaran pendidikan tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran Islam, tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran pendidikan agama Islam menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, psikomotorik dan afektifnya. Alat atau cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan pendidikan adalah dengan pengajaran.[20] 
  4. Tujuan diberikannya pelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah. Oleh karena itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pelajaran pendidikan agama Islam. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi: “Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[21] 
  5. Tujuan akhir dari pelajaran pendidikan agama Islam di SMA adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia. Tujuan inilah yang merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan agama Islam. Mencapai akhlak yang karimah adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Sejalan dengan tujuan akhlak maka setiap pelajaran lain yang diajarkan harusnya mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru juga harus memperhatikan tingkah laku peserta didik.[22] 

6. Fungsi PAI 

Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi sebagai berikut:[23]
  1. Pengembanan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam keluarga. Pada dasarnya dan pertama kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.  
  2. Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 
  3. Penyesuaian Mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. 
  4. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran dalam kehidupan sehari-hari.  
  5. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangan menuju manusia Indonesia seutuhnya. 
  6. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional. 
  7. Penyaluran, yaitu menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus dibidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain. 
Dari kedua pandangan dimensi tersebut intinya adalah sama, yaitu ada lima dimensi yang harus ada pada diri seseorang yang telah beragama. 

Ketaatan Beribadah 

1. Pengertian Ketaatan Beribadah 

Tha’at adalah patuh, setia, ataupun tunduk. Taat kepada Allah berarti patuh, tunduk, setia kepada Allah Ta’ala dengan memelihara syariat-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, meninggalkan segala larangan-Nya dan mencontoh sunnah rasul-Nya.[24]
Dalam arti sempit ibadah adalah menjalankan ajaran agama sesuai dengan agama masing-masing, sedangkan dalam arti luas ibadah berarti berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan alam.[25]
Beribadah berarti melaksanakan semua perintah Tuhan sesuai dengan kemampuan dan meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan niat yang ikhlas. Unsur niat atau kesengajaan merupakan salah satu penentu berpahala tidaknya perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Tindakan keagamaan yang tidak disertai dengan niat atau tanpa kesadaran beragama bukanlah ibadah. Sebaliknya tingkah laku sosial dan pekerjaan sehari-hari, apabila disertai niat karena Allah adalah termasuk ibadah.[26]
Dari pengertian diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa ketaatan beribadah adalah penyerahan dengan hati, perkataan dan perbuatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya yang dilakukan secara ikhlas untuk mencapai keridloan Allah SWT, dan mengharap pahala-Nya di akhirat dan dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan manusia.

2. Macam-macam Ibadah 

Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (ibadah yang ketentuannya pasti), yaitu ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
b. Ibadah ‘ammah (umum), yaitu semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan dan bekerja mencari nafkah. Hal ini berarti niat merupakan kriteria sahnya ibadah ‘ammah.[27]

3. Ciri-ciri Orang yang Taat Beribadah 

Orang yang memahami arti hakekat penciptaan manusia, maka dapat memiliki ketaatannya dalam beribadah. Orang yang taat beribadah dapat dilihat dari segi bagaimana ia berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia atau dengan makhluk lainnya.

a. Hubungan manusia dengan Allah SWT 

Secara akal maupun wahyu manusia wajib berhubungan dengan Allah (hablum minallah). Berhubungan dalam arti mengabdikan dirinya, hidup dan matinya hanya kepada Allah. Yaitu dengan beribadah seperti menjalankan shalat, puasa dan amalan yang baik lainnya.

b. Hubungan manusia dengan manusia 

Orang yang memiliki ketaatan beribadah maka ia akan menjalankan aturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, bagaimana ia berhubungan dengan sesama manusia, sehingga seimbang antara hablum minallah dan hablum minannas.

c. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya 

Agar manusia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya, maka hubungan manusia dengan makhluk lainnya harus didasarkan kepada nilai-nilai yang positif. Tidak merusak lingkungan, tidak membuat kerusakan-kerusakan dan pencemaran yang mengancam kelangsungan hidup manusia.[28]
Oleh karena itu, orang yang memiliki ketaatan beribadah, ia akan berusaha menjaga dan melestarikan lingkungan dan bagaimana memperlakukan hewan sesuai haknya sebagai makhluk ciptaan-Nya dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketaatan Beribadah 

Faktor yang dapat mempengaruhi ketaatan beribadah dapat dicapai dari dua faktor, yaitu:

a. Faktor Intern 

Yaitu keimanan atau kesadaran yang tinggi akan ibadah, orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap, dan penuh tanggung jawab serta dilandasi pandangan yang luas.[29] Hal ini juga dipengaruhi oleh fitrah manusia yang memiliki motif ketuhanan dalam dirinya, yaitu belajar dengan tujuan hanya semata-mata untuk meningkatkan amal ibadah dan kedekatannya dengan Tuhannya, serta menyadari kewajiban sebagai makhluk untuk selalu beribadah.[30] Keimanan dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya ibadah, keduanya dipengaruhi oleh pemahaman ilmu agama yang tinggi pula.

b. Faktor Ekstern 

1) Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama dikenal oleh anak dan paling berperan utama dalam membentuk kepribadian dan kebiasaan yang baik. Kebiasaan yang ada pada lingkungan keluarga merupakan pendidikan yang nantinya sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan kebiasaan yang baik pada anggota keluarga.[31] Sebagai gambaran langsung, keluarga yang anggota keluarganya selalu membiasakan shalat berjama’ah maka akan mewarnai kebiasaannya baik ketika berada di dalam maupun diluar lingkungan keluarga.
Menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat.[32]
2) Lingkungan pendidikan agama
Lingkungan pendidikan agama baik formal maupun non formal sangat mempengaruhi dalam membentuk corak warna kepribadian dan kebiasaan individu. Seseorang yang tinggal di pondok pesantren, ia akan cenderung melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh santri, ustad atau bahkan sang kyai. Sebagai contoh sekolah atau pondok pesantren yang semua guru (ustad) nya selalu membiasakan untuk shalat berjama’ah maka secara tidak langsung santrinya akan menirunya.
3) Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat juga sangat berperan dalam mempengaruhi aktifitas keagamaan. Diaman dari lingkungan ini akan didapat pengalaman, baik dari teman sebaya maupun orang dewasa yang dapat meningkatkan aktivitas keagamaan anak.
4) Media komunikasi yang membawa misi agama
Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku seseorang adalah interaksi di luar kelompok. Yang dimaksud interaksi di luar kelompok ialah interaksi dengan buah kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, buku-buku dan lainnya.[33] Apabila yang disampaikan Pondok pesantren yang ada ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai motivasi tinggi dalam menjalankan perintah-perintah agama, seperti kebiasaan shalat jama’ah maka ketika waktu shalat masjid-masjid di lingkungan tersebut akan penuh jama’ah shalat, kemungkinan besar kebiasaan santri pondok pesantren tersebut tidak akan jauh dari masyarakat yang ada. Melalui alat komunikasi tersebut adalah hal-hal yang berkenaan dengan agama, maka secara otomatis perubahan perilaku yang muncul adalah perubahan perilaku keagamaan, sebagai contoh apabila santri selalu membaca media yaitu kitab-kitab kuning atau buku-buku keagamaan lainnya yang berisi tentang shalat berjama’ah secara otomatis ia akan terdorong melalui pemikirannya untuk berusaha melakukannya.
5) Kewibawaan orang yang mengemukakan sikap dan perilaku
Dalam hal ini mereka yang berotoritas dan berprestasi tinggi dalam masyarakat yaitu para pemimpin baik formal maupun non formal. Dari kewibawaan mereka akan muncul simpati, sugesti, dan imitasi pada seseorang atau masyarakat. Dalam pesantren para pengasuh dan kyai-lah menduduki posisi ini. Oleh karena itu nasehat atau petuah yang disampaikannya akan diterima oleh masyarakat dengan cepat dan penuh keyakinan.[34] 

Pengaruh Aktivitas Belajar terhadap Ketaatan Beribadah 

Belajar bukanlah berproses dari kehampaan. Tidak pula pernah sepi dari berbagai aktivitas, tidak pernah terlihat orang yang belajar tanpa melibatkan aktivitas raganya. Apalagi bila aktivitas belajar itu berhubungan dengan masalah membaca, memandang, mengingat, berfikir, latihan atau praktek.
Dalam belajar, seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari situasi. Situasi akan menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan aktivitas belajar apa yang akan dilakukan.
Pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan dan ketaqwaan.
Untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia, ternyata tidak bisa hanya mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan agama yang hanya dua jam pelajaran atau dua SKS, tetapi perlu adanya pelaksanaan aktivitas keagamaan secara terus-menerus dan berkelanjutan di luar jam pelajaran pendidikan agama, baik di dalam kelas atau di luar sekolah bahkan diperlukan pula kerjasama yang harmonis interaktif diantara warga sekolah dan para tenaga kependidikan yang ada di dalamnya.[35]
Aktivitas belajar PAI di lembaga pendidikan manapun akan memberi dampak bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Ibadah merupakan perwujudan efektif bagi pengembangan akidah, Islam serta kepercayaan yang sudah dibina. Dalam aktivitas PAI baik formal maupun non formal, seperti juga bahwa ibadah merupakan perpanjangan iman dan sekaligus sebagai makanan bagi jiwa manusia serta pertumbuhan bagi akarnya. Karena iman memiliki sifat bertambah dan berkurang, maka ia bertambah kuat serta kokoh dengan ketaatan beribadahnya.[36]
Aktivitas belajar PAI yang meliputi mendengarkan, memandang, membaca, menulis, mengingat, berfikir serta praktek dapat memperkuat pemahaman agama yang sudah dimiliki oleh anak didik serta dapat bertingkah laku dengan baik terhadap sesama, sehingga mampu menjadi anak yang taat dalam menjalankan ibadah kepada Allah Swt.
Oleh karena itu aktivitas belajar pendidikan agama Islam yang diterapkan di SMA Nurul Islami Wonolopo-Mijen baik yang berada di pendidikan formal maupun aktivitas yang berada di pondok pesantren dapat mempengaruhi kejiwaan agama anak didik sehingga menimbulkan ketaatan dalam beribadahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Ahmadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995, Cet. 3.
Arifin, M., Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
_______, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet. 17.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : Diponegoro, 2005, cet. 5.
Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama Islam, Jakarta: 2004.
Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Penyusunan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003.
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, cet.I.
Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1990, cet. XIX.
Hartanto, Jhon Surjadi, Undang-Undang 1945, PA, GBHN, Warkat, Surabaya: Indah, 1994.
Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower, Theory of Learning, New York : Meredith Publishing Company, 1966.
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Muslim, Imam Abi Khusain, Shahih Muslim, Beirut: Ikhya’u Taroti Al ‘Arobi, t.th.
Pasaribu, I. L., dan B. Simanjuntak, Proses belajar Mengajar, Bandung: Tarsito, t.th.
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.
Ruhani, Ahmad, dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, cet. I.
Rusyan, A. Tabrani, Pendidikan Budi Pekerit, Jakarta: PT. Cuti Media Cipta Nusantara, t.th.
Shodiq, M., Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bina Ciptama, 1990.
Thoha, Chabib, (eds), PBM PAI di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, cet.3.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bandung: Fokus Media, 2003.
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung : PT. Gresco, 1991.
Zaenuri, dkk, Pendidikan Agama Islam SMA, Bandung: Armilo, 1986.
Zuhaili, Muhammad, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Jakarta: Ba’adillah Press, 1999, cet. 2.


[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Diponegoro, 2005), cet. 5, hlm. 597.
[2] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 17, hlm. 82.
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1990), cet. XIX, hlm. 10.
[4] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), cet.3, hlm. 17.
[5] Ernest R. Hilgard, Gordon H. Bower, Theory of Learning, (New York : Meredith Publishing Company, 1966), hlm. 2.
[6] Abdul Mu’ti, PBM-PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998), cet.I, hlm. 94-95.
[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 7
[8] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 86.
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), cet.I, hlm. 38-45.
[10] Ahmad Ruhani dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), cet. I, hlm. 6.
[11] Jhon Surjadi Hartanto, Undang-Undang 1945, PA, GBHN, Warkat, (Surabaya: Indah, 1994), hlm. 45
[12] Ibid, hlm. 57
[13] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan…op.cit, hlm. 19
[14] Achmadi, “Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, dalam Chabib Thoha (eds), PBM PAI di Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 33
[15] Imam Abi Khusain Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Ikhya’u Taroti Al ‘Arobi, tth), hlm. 46
[16] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm 133
[17] Achmadi, op.cit, hlm. 48
[18] Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: 2004), hlm. 29
[19] Ibid, hlm. 29
[20] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan…op.cit., hlm. 30.
[21] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm.7
[22] Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Penyusunan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003), hlm. 2
[23] Abdul Majid. dan Dian Andayani, op.cit, hlm.134
[24] M. Shodiq, Kamus Istilah Agama,(Jakarta: Bina Ciptama, 1990), hlm. 357.
[25] A. Tabrani Rusyan, Pendidikan Budi Pekerti, (Jakarta: PT. Cuti Media Cipta Nusantara, t.th), hlm. 47
[26] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995), Cet. 3, hlm. 47
[27] A. Tabrani Rusyan, op.cit., hlm. 142
[28] Zaenuri, dkk, Pendidikan Agama Islam SMA, (Bandung: Armilo, 1986), hlm. 35
[29] H. Abdul Aziz Ahmadi, op.cit, hlm. 54
[30] I. L. Pasaribu dan B. Simanjuntak, Proses belajar Mengajar, (Bandung: Tarsito, t.th), hlm. 23
[31] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 134
[32] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), hlm. 79
[33] W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : PT. Gresco, 1991), hlm. 155
[34] H. M. Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 126
[35] Muhaimin, op.cit., hlm.59
[36] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: Ba’adillah Press, 1999), cet. 2, hlm. 126
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.