PSIKIS MANUSIA TERHADAP KONSEP-KONSEP AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA

13 Oktober 2008

PSIKIS MANUSIA TERHADAP KONSEP-KONSEP AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA

I. PENDAHULUAN

Manusia sebagai kenyataan fisik material terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu komposisi yang menunjukkan eksistensi manusia secara fisik biologis. Secara psikis, manusia juga memiliki aspek-aspek dan dimensi-dimensi psikis yang membentuk suatu struktur / komposisi totalitas psikis manusia.[1]

II. PEMBAHASAN

Secara bahasa kata motivasi berasal dari bahasa Inggris “motivation” yang kata kerjanya adalah motivate yang berarti “to provide with motives, as the characters in a story or play”. Artinya : “Sebagai karakter dalam cerita / permainan”. Berdasarkan itu, dapat dijelaskan bahwa motivasi adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan. Dalam istilah psikologi, motivation adalah “a general term referring to the regulation of need–satisfying and goal–seeking behaviors”. Artinya : “motivasi adalah istilah umum yang merujuk kepada perputaran pemenuhan kebutuhan dan tujuan tingkah laku”.[2]

Berdasarkan sifatnya yang intrinsik, motivasi muncul sebagai akibat adanya tiga hal pokok, yaitu kebutuhan pengetahuan, dan aspirasi cita-cita. Sementara itu, motivasi ekstrinsik muncul sebagai akibat adanya tiga hal pokok juga, yaitu : ganjaran, hukuman, persaingan / kompetisi. Sejalan dengan itu, maka motivasi itu berguna dan bermanfaat bagi manusia sebagai: menggerakkan tingkah laku, mengarahkan tingkah laku, menjaga dan menopang tingkah laku. Kecuali itu, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa motivasi itu juga mempunyai peranan dan fungsi yang besar bagi manusia, yaitu : 1) menolong manusia untuk berbuat / bertingkah laku. 2) menentukan arah perbuatan manusia, dan 3) menyeleksi perbuatan manusia.

Peranan yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut niyyah dan ibadah. Niyah merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat / beramal. Sementara ibadah adalah tujuan manusia berbuat / beramal. Maka perbuatan manusia berada pada lingkaran niyyah dan ibadah. Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan bahwa perbuatan sangat ditentukan oleh niyat.

إنّـما لأعمـال بالنيـة

“Sesungguhnya amal perbuatan itu ditentukan oleh niyatnya”[3]

Berdasarkan itu, dapat dirumuskan ada tiga kelompok sifat-sifat kebutuhan manusia, yaitu : kebutuhan yang bersifat jismiah (fisik-biologis, primer), kebutuhan yang bersifat nafsiah (psikologis / sosiologis, sekunder), dan kebutuhan yang bersifat ruhaniah (spiritual, meta-kebutuhan).

Kebutuhan-kebutuhan jismiah adalah seluruh kebutuhan yang bersifat fisik-biologis. Kebutuhan-kebutuhan itu berada pada dasar yang paling bawah dari rangkaian kebutuhan manusia.

o Kebutuhan-kebutuhan nafsiah

Kebutuhan-kebutuhan nafsiah adalah sejumlah kebutuhan diri manusia yang bersifat psikis / psikologis. Kebutuhan-kebutuhan ini muncul dari berbagai dimensi dalam aspek nafsiah.

o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-nafsu

Tingkatan kedua adalah kebutuhan pada rasa aman dan seksual. Kebutuhan-kebutuhan pada dimensi ini merupakan sisi dalam dari kebutuhan-kebutuhan biologis dari aspek jismiah manusia.

o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-aql

Tingkatan ketiga adalah kebutuhan kepada penghargaan diri dan rasa ingin tahu. Dengan adanya pemikiran dan sifat rasional itu, manusia dapat menyadari dan menilai keberadaan dirinya di antara keberadaan orang lain.

o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-qalb

Tingkatan keempat adalah kebutuhan kepada rasa cinta dan kasih sayang. Kebutuhan ini sebagai akibat adanya sifat supra rasional, perasaan, dan emosional yang bersumber dari dimensi qalb.

Kebutuhan-kebutuhan Ruhaniah

Kebutuhan-kebutuhan ruhaniah merupakan kebutuhan yang bersifat spiritual. Sejalan dengan dimensi yang ada pada aspek ruhaniah ini, yaitu dimensi al-ruh, dan dimensi al-fitrah, maka ada dua jenis kebutuhan aspek ruhaniah ini, yaitu kebutuhan perwujudan diri (akulturasi diri) dari dimensi al-ruh, dan kebutuhan agama (ibadah) dari dimensi al-fitrah.

o Kebutuhan perwujudan diri (akulturasi diri)

Tingkatan kelima adalah kebutuhan akan perwujudan diri untuk mewujudkan fungsi itu manusia telah dibekali oleh Allah dengan sejumlah potensi.

o Kebutuhan ibadah (agama)

Tingkatan keenam adalah tingkatan tertinggi dan terakhir, yaitu kebutuhan kepada agama. Bentuk kebutuhan pada agama dalam hal ini diartikan sebagai kebutuhan beribadah sebagai salah satu tugas manusia.[4]

Abraham Horald Maslow (1326-1390 H / 1908-1970 M) menyebutnya dengan istilah meta-motivasi. Menurutnya ada tiga kelompok motivasi manusia dan bertingkah laku, yaitu motivasi biologis, motivasi psikologis dan meta-motivasi. Meta motivasi baginya adalah pemenuhan akulturasi diri, yaitu mewujudkan potensi luhur batin manusia.

o Sumber penyakit kejiwaan

Setiap makhluk hidup memiliki kebutuhan primer, yaitu kebutuhan hidup demi menjamin keberlangsungan keberadaannya, memenuhi kebahagiaannya, dan mengukuhkan kelangsungan keturunannya. Semua itu dinamakan dengan pemeliharaan atas beberapa naluri yang meliputi : (1) naluri mencintai kehidupan dan menjaga keberlangsungannya, (2) naluri mencintai kepemilikan, (3) naluri seksual (kecenderungan terhadap lawan jenis), (4) naluri kasih sayang dan welas asih yang muncul dari perasaan fitri akan kelemahan diri.

Naluri penjagaan diri / mencintai kehidupan dan kekekalannya yang disertai dengan adanya pengaruh kebiasaan masyarakat yang dominan / pendidikan rumah dan sekolah yang keliru akan menumbuhkan penyakit takut mati dan penyakit turunannya seperti penyakit takut umur pendek, takut akan siksa kubur, penyakit ingin kekal, penyakit takut sakit, dan penyakit rasa berat hati orang sakit kepada anak-anaknya.

Naluri mencintai kepemilikan yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan sekolah yang keliru / kebiasaan masyarakat yang desktruktif akan menumbuhkan penyakit bakhil, penyakit mencemaskan masa depan, penyakit takut akan masa depan, penyakit merasa kekurangan, penyakit mencelakai orang lain, penyakit cinta terhadap kekuasaan dan kepada penguasa, dan sebagian penyakit seksual.[5]

Perasaan fitri akan kelemahan diri dan kebutuhan setiap diri akan kasih sayang dan sikap welas asih yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan sekolah yang keliru serta kebiasaan masyarakat yang destruktif akan menimbulkan penyakit merasa serba kurang, penyakit takut kepada orang lain, penyakit mencelakai diri sendiri dan orang lain, dan sebagian penyakit seksual.

Kebutuhan / naluri seksual yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan sekolah yang keliru serta berbagai pemahaman masyarakat yang salah akan menimbulkan penyakit berupa berbagai penyimpangan seksual.

Telah menjadi kebiasaan di kalangan para psikolog untuk menyebut berbagai sumber dan sebab munculnya berbagai perasaan emosional dan perilaku yang sakit dengan penyakit kejiwaan. Beberapa ayat al-Qur’an mulia menyebut penyakit kejiwaan ini dengan istilah kesukaran (‘aqabat), thaghut, syahwat, hawa nafsu, dan ‘Tuhan’ (arbab).

o Penyebab

Sesungguhnya kehilangan, penyimpangan, ataupun tidak adanya pengetahuan terhadap dasar-dasar pendidikan rumah dan sekolah yang benar yang dibangun di atas prinsip-prinsip akhlak yang benar dan yang disandarkan pada pelajaran-pelajaran samawi yang benar merupakan penyebab utama bagi timbul dan tumbuhnya akar penyakit kejiwaan pada generasi muda.

o Mekanisme dan gejalanya

Ada beberapa mekanisme kejiwaan untuk melepaskan jiwa dari segala kesukaran yang dialami. Bagi seorang ahli, hal semacam ini dapat terlihat karena penyakit itu berubah menjadi kebalikannya, yang dinamakan dengan ‘ganti rugi’. Seperti : penyakit kekikiran sering berubah menjadi keserakahan, ketamakan, dan kebakhilan, penyakit kelemahan berubah menjadi penyakit kesombongan dan keangkuhan, penyakit kurang kasih sayang berubah menjadi suka menyakiti, bersikap ganas, dan tinggi hati.[6]

o Penyakit kikir akan kasih sayang

Setiap makhluk hidup membutuhkan sekali kasih sayang, cinta dan pemeliharaan, yang paling penting dan wajib direalisasikan adalah kasih sayang, cinta dan pemeliharaan terhadap (1) orang tua, (2) karib kerabat. (3) saudara-saudaranya yang mukmin.

Hewan dan tumbuhan juga membutuhkan kasih sayang dan pemeliharaan fisik maupun psikis, jadi tidak hanya manusia. Hilangnya cinta pada manusia, khususnya sejak kelahirannya sampai berakhirnya masa remaja, biasanya akan mendatangkan penyakit kurang kasih sayang. Penyakit ini akan berpengaruh secara negatif terhadap perasaan dan perilaku manusia. Sehingga ia tampak seperti menipu dirinya sendiri maupun orang lain. Di antara gejalanya adalah sikap mementingkan diri sendiri, menjadi gila, ragu / bimbang, cemas, sedih, jahat, serta cenderung menyakiti orang lain dan dirinya sendiri.

o Penyakit kikir dan bakhil

Penyakit ini dalam beberapa kondisi, berhubungan erat dengan penyakit kurang kasih sayang. Kebanyakan gejalanya merupakan kebalikannya seperti berlebihan dalam makan dan minum serta kebergantungan pada segala sesuatu yang cepat hilang, yang kemudian melahirkan penyakit seperti sikap bakhil dan takut miskin.

o Penyakit merasa kekurangan, menyesal dan takut kepada orang lain

Merasa kurang dan lemah sesungguhnya merupakan perasaan alamiah dalam diri setiap makhluk hidup. Dalam beberapa kondisi, penyakit merasa kekurangan ini berhubungan erat dengan penyakit kikir materi dan kurang kasih sayang / penyakit buruk akhlak dan perilaku dengan pendidikan rumah dan masyarakat yang salah / dengan semua sebab-sebab ini. Di antara gejalanya adalah adanya sikap mengasingkan diri, melarikan diri, takut kepada orang lain, sangat cemas menghadapi segala sesuatu yang baru, buruk akhlak, serta senang menyakiti diri sendiri dan orang lain.

o Penyakit angkuh, sombong dan arogan (penyakit iblis / penyakit maksiat yang pertama)

Keangkuhan, kesombongan dan arogansi merupakan penyakit yang tidak disenangi Allah sekaligus merusak diri sendiri dan orang lain, karena biasanya sering menyertai sifat kezaliman.

Manusia sejak pembentukan kepribadiannya sampai tarap kematangannya senantiasa berusaha mengalahkan perasaan lemah yang bersifat alamiah yang ada pada dirinya. Jika keluarga dan para pendidik, di dalam proses pendidikan mereka terhadap anak-anak, tidak memperbandingkan antara perasaan lemah yang bersifat fitri dan dorongan perasaannya untuk mengalahkan perasaan lemah ini melalui kesukaan dan kebutuhan pada kekuatan dan kekuasaan, maka hawa nafsu dan keinginan anak-anak kadang-kadang condong untuk terus menerus berada dalam penyakit keangkuhan, kesombongan dan sikap arogan.

Tidak ada sesuatu pun yang dapat membimbing jiwa manusia menuju tingkat yang seimbang antara penyakit kekurangan dan penyesalan dengan penyakit keangkuhan dan sikap arogan, kecuali pendidikan agama yang benar.[7]

Freud menemukan persamaan antara perbuatan was-was (obsessions and compulsions) dan upacara-upacara agama, maka seorang yang menderita gangguan jiwa dengan ganjil compulsive behavior, misalnya terpaksa mengulangi perbuatan / kata-kata tertentu, yang tidak ada gunanya, kendatipun menurut logika dan kesadarannya ia tidak menginginkan terjadinya seperti itu.[8]

III. KESIMPULAN

Jika Islam dipahami, dipelajari dan dilaksanakan dengan sistematis dan ilmiah, baik di rumah, di sekolah, ataupun di tengah-tengah masyarakat. Maka dia akan menjadi satu-satunya sistem samawi yang sempurna dan tidak memiliki cela. Sistem samawi inilah yang mampu membebaskan manusia dari segala penyakit kejiwaan, bahkan meninggikan derajat manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Bahrudin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Dr. Adnan Syarif, Psikologi Qur’ani, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2005.



[1] Dr. Bahrudin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 203

[2] Ibid., hlm. 238

[3] Ibid., hlm. 239

[4] Ibid., hlm. 247

[5] Dr. Adnan syarif, Psikologi Qur’ani, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 122

[6] Ibid., hlm. 126

[7] Ibid., hlm. 135

[8] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2005, hlm. 34

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.