9 September 2008

MOTIVASI PARA ORIENTALIS

Sejak tahun 60-an sehabis Perang Dunia II (1939-1945) dikenal dengan sebutan “Dunia Belahan Utara” dan “Dunia Belahan Selatan”, yang masing-masing berarti “negara-negara maju dan negara-negara berkembang”. Tetapi sebelumnya sejak sekian abad lamanya, dipergunakan sebutan Dunia Timur dan Dunia Barat. Dimaksudkan dengan Dunia Barat dewasa itu adalah wilayah Eropa dengan penduduknya, dan belakangan mencakup benua Amerika, setelah dunia baru itu ditemukan oleh Christopher Columbus (1493).
Hasrat untuk mengenali hal-hal yang berkaitan dengan Benua Timur itu disebut dengan Orientalisme, itu timbul dari pihak dunia Barat. Faktor yang mendorong pertumbuhan arus masa berikutnya sampai menjelang awal abad ke-16.

Dorongan Munculnya Orientalisme

Dr. Mustofa as-Siba’iy menerangkan hal-hal yang mendorong kaum orientalis barat untuk menyelidiki dan mempelajari tentang ketimuran sebagai berikut :

Dorongan Keagamaan

Untuk menyelidiki benar tidaknya dorongan keagamaan, menjadi salah satu dorongan yang mendorong para ahli ketimuran menyelidiki dan meneliti tentang hal timur, dapat diteliti siapa saja dan dari golongan mana yang menjadi orang pertama yang memulai mempelajari hal timur. Yang dimaksud, yaitu hal keislaman, hal keadaan kaum muslimin, peradaban, kehidupan dan penghidupannya. Mereka itu adalah dari Vatikan, tegasnya dari pendeta-pendeta Roma Katolik. Para Paus, Uskup dan pendeta Katolik yang memulai mengatur dan mengembangkan orientalisme. Dan dengan pengaruh mereka, lalu raja-raja dan penguasa-penguasa Eropa tertarik pada orientalisme.
Di bawah ini beberapa nama kaum orientalis yang terkemuka dari generasi pertama, yang terdiri dari kaum agama Katolik umumnya.
  1. Jerbert de Oraliat (938-1003). Seorang pendeta Katolik yang pergi ke Andalusia dan belajar perguruan tinggi Islam di Cordoba. Sehingga ia dikenal seorang yang pandai dalam bahasa Arab, ilmu pasti dan ilmu falak.
  2. Dicull (1125), Ia seorang pendeta dari Irlandia berkunjung ke Mesir menyelidiki tentang Piramid dan Keadaan keislaman di Mesir.
  3. Pierre Le Venerable (1094-1156), seorang pendeta dari Perancis, ia ke Andalusia menambahkan ilmunya, kemudian dia menulis buku-buku untuk menentang orang Islam dan Yahudi.
  4. Daniel of Mortey, mulanya ia belajar di Oxford dan Paris, ia tidak merasa puas dengan Universitas-Universitas Barat, lalu berangkat ke Andalusia lalu berkembang di sana.
Pendek kata, oleh dorongan keagamaan, maka kaum orientalis yang terdahulu telah memanfaatkan hasil penelitiannya tentang agama Islam dan yang berhubungan dengan agama Islam, secara positif dan negatif. Dan banyak melontarkan hasil penelitian yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan membawa pengaruh yang jelek.

Dorongan Penjajahan

Ketika berakhirnya Perang Salib, dengan kekalahan kaum Salib, pada saat itu merupakan perang agama dan pada hakekatnya perang penjajahan, orang-orang Barat tidak mudah putus asa untuk kembali menduduki negeri-negeri Arab dan orang Islam. Sewaktu kekuatan militer dan politik sudah berada dalam tangan mereka, lalu di antara yang mendorong orientalisme itu ialah untuk melemahkan perlawanan jiwa dan cita-cita dari kaum muslimin.
Dengan penelitian hal ketimuran yang di dorong oleh dorongan penjajahan, kita melihat bagaimana mereka menyampaikan konsep politik penjajahan kepada pemerintah yang menjajah negeri-negeri timur umumnya dan negeri-negeri Islam.

Dorongan Perniagaan dan Ekonomi

Dorongan ini nyata sekali bagi negeri-negeri industri yang memerlukan pasaran untuk melemparkan hasil industrinya. Mereka harus meneliti kesukaan negeri-negeri yang jadi sasarannya. Kaum orientalis yang terdorong penelitiannya tentang Timur oleh dorongan ekonomi dan perniagaan, harus bekerja keras, agar tidak ketinggalan. Mereka harus menempuh cara-cara baru yang menguntungkan kedua pihak atau segala pihak, dengan memberikan pinjaman, persahabatan dan sebagainya demi kepentingan ekonomi dan perniagaan.

Dorongan Politik

Dorongan ini menonjol pada masa sekarang sesudah negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Timur umumnya mencapai kemerdekaannya. Pada masa sekarang, setelah berkembang blok timur dan blok barat, maka masing-masing dari mereka berusaha mempengaruhi akan masyarakat di mana mereka ditempatkan untuk keuntungan politik dari negaranya.
Kaum orientalis yang ahli tentang ketimuran itu dengan mudah memasukkan jarumnya ke negeri-negeri timur. Demikian hebat pengaruh Barat tanpa disadari menusuk ke dalam jantung kebudayaan Indonesia, karena halusnya politik kebudayaan Barat yang diatur oleh para ahli dalam kebudayaan Barat. Dengan dorongan politik itu, dapat dihembuskan semangat perpecahan di antara sesama bangsa yang satu agama dan di antara bangsa yang berlainan agama.

Dorongan Ilmiah

Dr. Mustafa as-Siba’iy menerangkan lebih lanjut, bahwa golongan yang didorong oleh dorongan ilmiah, sangat sedikit yang salah pemahamannya tentang Islam dan peninggalan Islam. Karena mereka tidak sengaja untuk menyelewengkan agama Islam dan memasukkan yang bukan-bukan ke dalam Islam.
Orientalisme memang bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya, yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinil, melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah mencipta kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang belum matang dan mudah ditipu itu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisisme dan skeptisisme. Para orientalis juga mendorong setiap orang munafik, setiap kelompok yang tampak di permukaan untuk menanamkan perpecahan dan persengketaan di kalangan para pemimpin muslimin.
Kita benar-benar yakin bahwa orientalisme dan modernisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di lihat dari sudut pandang ideologi, tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya.

KESIMPULAN
Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya seorang Orientalis Barat mengadakan penelitian dan mempelajari tentang ketimuran, khususnya dalam agama Islam mempunyai tujuan yang positif dan negatif. Adapun positifnya yaitu adanya ilmu pengetahuan dari orang Barat yang disalurkan kepada negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Timur. Tujuan negatifnya yaitu mereka mempunyai rencana jahat yang terorganisasi, sehingga terjadi perpecahan dan persengketaan antar sesama agama Islam. Hal-hal yang menjadi dorongan para orientalis yaitu antara lain keagamaan, ekonomi, penjajahan, politik dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.
Prof. H. Ismail Jakub, S.H., Orientalisme dan Orientalist, Faizan, Surabaya.
Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Rajawali Pers, Jakarta, 1997.
Share:

DEFINISI SEJARAH PERADABAN ISLAM

Banyak sekali hasilnya dari zaman dahulu sampai sekarang mengenai kebudayaan Islam yang terus-menerus berkembang, misalkan saja dalam sejarah kehidupan Rasulullah Saw, yang telah menyebarkan agama Islam di dunia ini. Banyak kita temui mengenai kepribadian yang seluruh kehidupannya di curahkan untuk agama Allah, dan Beliau di kenal sebagai orang yang banyak berpikir dan memikirkan masyarakat secara serius, dengan keteguhan dan kekuatan kepribadiannya, Nabi merubah pikiran-pikiran, adat-adat dan moral orang-orang Arab. Ia merubah orang kasar menjadi beradab.

Pengertian Sejarah Peradaban Islam

Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh, yang menurut bahasa berarti ketentuan masa. Sedang menurut istilah berarti “Keterangan yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada. Sedangkan pengertian selanjutnya memberikan makna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa silam yang di abadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas, dan pokok dari persoalan sejarah senantiasa akan sarat dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Sayid Quthub “Sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa itu, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberinya dinamisme waktu dan tempat”.
Berangkat dari pengetian sejarah sebagaimana yang dikemukakan di atas, peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebgaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” dan “peradaban”. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud.
  1. Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan lain-lain.
  2. Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
  3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah.
Dalam definisi peradaban yang di maksud disini yakni Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, dan cepat mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.
Dengan demikian jelaslah banhwa kedatangan Islam mempunyai makna kemanusiaan yang tinggi, cita-cita dan semangat Islam adalah peneguhan kemanusiaan, memperteguh kesetiaan manusia terhadap tugas dan kewajibannya sebagai wakil Allah di muka bumi. Menurut H.A.R. Gibb, bahwa Islam sesungguhnya lebih dari sekedar agama, Ia adalah peradaban yang sempurna. Karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam.
Jadi disini penulis menyimpulkan bahwa definisi mengenai sejarah peradaban Islam yakni kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa silam yang diabadikan di mana pada saat itu Islam merupakan pokok kekuatan dan sebab timbulnya suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Sejak zaman Rasulullah Saw, kebudayaan Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya kekuatan politik dan daerah penganut Islam, terbentuk bermacam-macam struktur, ide, dan lembaga-lembaga dalam politik, lapangan ibadat, lapangan hukum, lapangan seni, lapangan ekonomi, lapangan sosial dan bermacam-macam lapangan kebudayaan yang lain. Yang jelas benar menonjol dalam perkembangan kebudayaan Islam yang berpusat pada al-Qur’an itu adalah kedinamisannya menyerbu keluaar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab, yang hidup terpencil di gurun-gurun pasir yang tandus, dan keluasan berfikir yang mendorongnya.
Yang sangat menarik dalam perkembangan kebudayaan Islam dari abad ketujuh sampai ketiga belas adalah bagaimana kebudayaan dan agama yang berasal pada bangsa Arab di gurun pasir yang miskin dan terpencil dengan pimpinan Nabi Muhammad Saw dan khalifah-khalifah rasyidin dan khalifah raja-raja, dan yang disebut pertama kali dari kebudayaan saat itu adalah ilmu.
Sedangkan landasan dari pembahasan ini yakni “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama Islam. Jadi dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama-agama bumi, agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.

KESIMPULAN
Sejarah menurut istilah berarti keterangan yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada. Sedangkan peradaban adalah kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan.
Jadi saya menyimpulkan bahwa definisi mengenai sejarah peradaban Islam yakni kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa silam yang diabadikan di mana pada saat itu Islam merupakan pokok kekuatan dan sebab timbulnya suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.

DAFTAR PUSTAKA
Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Depag, Jakarta, 1986.
Drs. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1997.
Drs. H. M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, Rosail, Semarang, 2005.
A. I. Sabra, dkk., Sumbangan Islam Kepada Sains dan Peradaban Dunia, Nuansa, Bandung, 2001.
Share:

IMAN DAN KUFUR

Pertempuran Siffin antara Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyyah, yang akhirnya tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut terakhir bersedia untuk lari. ‘Amr ibn al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Pihak Ali kalah setelah mengadakan arbitrase. Sebagian tentara Ali, mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Golongan yang memisahkan diri atau meninggalkan Ali bin Abi Thalib disebut golongan Khawarij, karena mereka memandang Ali bersalah dan berdosa besar. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu golongan Mu’awiyah dan golongan Khawarij. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam dunia politik itu akhirnya membawa kepada persoalan teologi. Dengan menekankan kepentingan sejarah terhadap masalah “kepercayaan” iman, Ibnu Taymiyyah, teolog dari Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa penelitian atas dua makna kata tersebut merupakan penelitian intern pertama yang terjadi diantara orang-orang Islam, karena masalah inilah maka masyarakat muslim terpecah ke dalam beberapa selok dan golongan, yang berbeda-beda dalam (menafsirkan) kitab suci dan sunnah sehingga satu sama lain saling menyebut kafir. Dan kelompok yang mula-mula masuk ke gelanggang ini adalah kelompok kharijiyyah atau Khawarij. Maka timbullah persoalan siapakah yang mukmin dan siapa yang kafir? Antara golongan yang satu dengan yang lainnya saling kafir mengkafirkan. Dari persoalan di atas menimbulkan beberapa aliran teologi dalam Islam. Mulai dari aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah dan masih ada lagi yang lainnya seperti Jabariyah dan Qodariyah. Antara aliran teologi yang satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda tentang pandangan mereka terhadap konsep iman dan kufur. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan tentang konsep iman dan kufur adalah dua hal yang saling berkebalikan. Bila iman diartikan sebagai percaya, maka kufur diartikan tidak percaya atau bisa diartikan tertutup.

Pengertian Iman

Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari lahir dan lidah saja, atau semacam keyakinan yang ada dalam hati. Tetapi keimanan yang sebenarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Dalam al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17 yanga rtinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebnagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah. Iman dalam pengertian di atas telah diterima oleh seluruh ulama Islam, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, kata Imam Nawawi, jika seseorang membenarkan dengan hati dengan penuh yakin akan agama Islam, maka ia adalah orang mukmin dan orang tersebut tidak wajib mempelajari dalil-dalil untuk mengukuhkan iman atau makrifatnya kepada adanya Allah. Jadi, orang awam atau muqallid (مُقَـلِـّدْ ) juga termasuk ke dalam golongan mukmin. Pembenaran dan pengakuan itu tempatnya di dalam hati, yaitu setelah adanya makrifah atau ilmu, iman dalam arti yang demikian sama artinya dengan iktikad, yakni mengikat hati dalam kepercayaan kepada sesuatu yang telah diketahui wujud kebenarannya. Kaitan atau gantungan iman atau iktikad.
Iman adalah :
(Ar = bentuk masdar atau kata kerja dari amana yu’minu = percaya, setia, aman, melindungi, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang aman)
hadits Rasul dari Bukhari
iman adalah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kebangkitan dan Peraturan (qodo) dan qodar atau kuasanya.

Pengertian Kufur

Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah. Malam juga disebut ‘kafir’ karena malam menutupi orang dan benda-benda lain dengan kegelapannya. Dari segi syara’ kufur ada :
Kufur Akidah, ialah mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada Hari Akhirat, iman kepada Qodo dan Qodar, dan lain-lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa / 4 : 136
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا (النساء : 136)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Dalam kufur akidah pun ada dua macam, yaitu kufur asli dan kufur setelah beriman. Kufur asli yakni orang belum pernah beriman ia menganut ajaran atau kepercayaan yang selain Islam. Kita wajib untuk mengajak orang tersebut untuk beriman kepada Allah dan menganut agama Islam, tetapi tidak boleh mengancam atau memaksa mereka untuk menyembah Allah dan memaksa mereka menganut Islam karena keimanan adalah hanya hidayah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Bahkan rasul pun tak dapat membuat pamannya Abu Thalib untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti yang tersebut dalam surat al-Qashash / 28 : 56 :
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ (القصص : 56)
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”.
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun Nabi Muhammad seorang Rasul yang sangat dikasihi Allah, tetapi beliau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang dicintainya (pamannya / Abi Thalib), karena hidayah akan keimanan dalam hati hanyalah milik Allah SWT. Allahlah yang berhak memberi petunjuk keapda hamba-hambanya yang Dia kehendaki.
Murtad yaitu orang yang telah beriman dengan agama Islam, lalu ia keluar dari iman itu dengan memeluk agama lain. Kufur akidah yang seperti ini dapat menyebabkan orang kekal dalam neraka. Jadi, kufur akidah ialah tidak beriman kepada apa yang dengan jelas dan pasti sudah ditetapkan sebagai ajaran agama, seperti tidak beriman kepada rukun-rukun iman yang enam perkara itu. Juga orang dapat menjadi kafir akidah karena mengingkari kewajiban agama yang telah pasti ketetapannya seperti mengingkari wajib shalat, wajib puasa, dan lain sebagainya.
Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu :
Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Tuhan. Kata kafir mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.
Berkata Izzuddin bin Abdissalam, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang mukmin menjadi kafir, yaitu :
  1. Beriman seperti iman orang kafir, misalnya tidak mengakui adanya Allah Yang Maha Esa dan kerasulan Nabi Muhammad SAW
  2. Ucapan atau perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir, seperti membuang al-Qur’an dengan sengaja, pergi ke Gereja untuk beribadat, atau sujud kepada berhala
  3. Mengingkari akan apa yang jelas diketahui sebagai ajaran agama, seperti mengingkari wajib shalat, wajib puasam, wajib haji dan sebagainya. Dan juga menghalalkan minum khomer, berjudi, zina dan sebagainya.
Demikianlah pengerian kufur dalam dua macamnya : kufur akidah dan kufur amaliyah yang disebut juga kufur nikmat.
Dalam al-Qur’an istilah kafir mempunyai pelbagai bentuk dan manifestasinya, yaitu :
  1. Kafir ingkar, yaitu orang yang mengingkari kebenaran ajaran al-Qur’an, baik hal itu disadari sebagai suatu kebenaran atau belum disadarinya.
  2. Kafir inad, yaitu orang yang tidak mau menerima kebenaran, walaupun ia menyadari bahwa itu adalah kebenaran
  3. Kafir juhud, yaitu orang yang mengingkari kebenaran, sedangkan ia tahu bahwa itu adalah benar
  4. Kafir nifaq, yaitu orang yang pura-pura menampakkan kebaikan, tetapi di dalam hatinya berisi kejahatan. Secara lahiriyah nampak Islam, tetapi hakikat isi hatinya mengingkari kebenaran ajaran Islam.
  5. Kafir harbi, artinya kata harbi berlaku dalam hukum perang. Hal ini terjadi jika pihak musuh orang kafir yang dihadapinya belum menyerahkan diri atau belum mau menerima perdamaian atau perjanjian dengan kaum muslimin.
  6. Kafir zimmi, arti kata zimmi yaitu tanggungan kaum muslimin. Hal ini berlaku dalam wilayah yang dikuasai oleh perdamaian atau perjanjian yang diberikan oleh kaum muslimin.

Pendapat Beberapa Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur

Konsep kaum Khawarij

Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan Ali, karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim / arbitrase judge between parties to a dispute.
Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn al-‘As dan Abu Musa al-‘Asy’ari adalah kafir.
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Dan menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah.

Menurut Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia bukan termasuk mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di hukum sebagai orang yang fasiq. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri antara dengan mengambil jalan tengah antara mukmin dan kafir. Ini berdasarkan pada:
  1. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu
  2. Pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan sesuatu adalah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
  3. Pendapat Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat antara baik dan buruk.
Golongan Mu’tazilah memperdalam jalan tengah ini dijadikan suatu prinsip rasionalitas ethis philosophis. Di akhirat nanti, orang mukmin yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat akan ditempatkan pada suatu tempat diantara surga dan neraka.

Menurut Ahlu Sunnah

Iman adalah orang yang mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna adalah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota. Menurutnya orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut masih termasuk mukmin. Bila orang itu mendapat ampunan dari Allah SWT, maka orang itu dimasukkan ke neraka, akan tetapi untuk sementara sebagai penebus dosa daripada akhirnya nanti akan dikeluarkannya untuk selanjutnya ke dalam surga. Orang mukmin bisa menjadi kafir apabila mengingkari rukun iman yang enam.
Bagi kaum Asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Bagaimanapun iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang dibawa wahyu bersangkutan.
Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam ke-Tuhan-annya.

ANALISIS
Dari uraian yang telah dijabarkan di atas, didapatkan banyak sekali pengetahuan tentang hakikat iman dan kafir. Iman itu percaya dan kafir adalah tidak percaya. Dalam pengertian iman, iman dari segi istilah ialah, pembenaran atau pengakuan dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah. Iman sesungguhnya merupakan hidayah Allah, iman itu tidak bisa dipaksakan, karena hanya Allah lah yang memberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.
Kufur adalah kebalikan dari iman. Adapaun macam-macam kufur meliputi kufur akidah dan kufur amaliyah. Kufur akidah adalah mengingkari akan apa yang wajib diimani yang tertuang dalam rukun iman. Sedangkan kufur amaliyah (amaliah) ialah tidak mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya.
Adapun tentang konsep iman dan dan kufur dari berbagai golongan aliran dalam Islam; golongan Khawarij, iman itu bukan hanya pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, tetapi amal ibadah menjadi rukun iman pula, dan orang yang tidak melakukan rukun Islam maka termasuk kafir. Menurut Ahlu Sunnah iman adalah orang yang mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati, dan orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut termasuk mukmin.
Menurut Mu’tazilah, orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia bukan termasuk mukmin dan bukan pula kafir, tetapi disebut fasiq.
Mengenai berbagai pendapat diatas, hendaklah tidak menjadikan kita terpecah belah, dan perbedan pikrian diantara umat Islam adalah wajar. Hendaklah kita sebagai umat Islam tidak usah terlalu memperbesar perbedaan yang ada, kita anut yang sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

KESIMPULAN
Dari uraian dan analisis di atas maka dapat penulis simpulkan:
  1. Iman dari segi lughat adalah pembenaran sedangkan dari segi istilah iman ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan apa segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
  2. Kufur artinya menutupi, tertutup, tersembunyi, ketidak percayaan keapda Tuhan
  3. Macam-macam kufur, ada kufur akidah dan kufur amaliyah, dan macam-macam kafir ada kafir ingkar, kafir inad, kafir junud dan lain-lain.
  4. Golongan Mu’tazilah mengklaim bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut dihukumi fasiq.
  5. Golongan Khawarij berpendapat bahwa iman tidak hanya dilisan dan hati saja, tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan / akhlak kita sehari-hari, dan orang yang tidak melakukan rukun Islam termasuk kafir. Sedangkan golongan Ahlu Sunnah, iman adalah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan orang yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut tetap mukmin.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta : UI Press, 1986.
Drs. Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987.
Drs. Ahmad Daudy, MA., Kuliah Akidah Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Cyrill Glosse, Penerjemah Gufron A. Mas’udi, EnsiklopediIslam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
Share:

8 September 2008

FUNGSI AKAL DAN WAHYU

Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah. Wahyu Allah sebagai sumber pokok ajaran agama Islam yang turunnya berakhir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan makhluk yang paling sempurna adalah manusia yang dianugerahi akal dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Oleh karena itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya dua sumber pengetahuan yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?

Pengertian Akal

Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحي), tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Tapi ini timbul pertanyaan apakah pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala? Dalam al-Qur’an sebagai dijelaskan dalam surat al-Hajj ayat 46 46 yang dikatakan bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Sebagaimana ayat berikut :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا (محمد:24)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad : 24)
Dan ayat yang lainpun menjelaskan juga bahwa tidak disebutkan bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘aql malahan dikatakan sama dengan al-qolb yang berpusat di dada.
Memang banyak sekali pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.

Pengertian Wahyu

Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya.
Dalam pengertian lain, wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi-sembunyi dan dengan cepat. Tentang penjelasan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri.
Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an. Salah satu ayat menjelaskan :
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (الشورى:51)
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S al-Syura : 51)
Jadi ada tiga cara :
1.Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham
2.Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa
3.Melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Dalam tassawuf dikenal tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, bukanlah pula suatu hal yang tidak dapat diterima akal.4 Maka yang diwahyukan dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan lain kata yang diakui wahyu dalam Islam adalah teks Arab di rubah susunan kata / diganti kata sinonimnya, itu tidak lagi wahyu. Soal akal dan wahyu, yang menjadi pegangan bagi ulama-ulama adalah teks wahyu dalam bahasa Arab dan bukan penafsiran atau terjemahan, yang diperbandingkan adalah pendapat akal dengan teks Arab dari al-Qur’an.

Perbedaan Pendapat tentang Akal dan Wahyu oleh beberapa Aliran

Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua.
Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan, masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan (khusul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifat Allah).
Kedua cabang dari masalah kedua ini adalah mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat (ma’rifah al-husn wa al-Qubh dan wujud i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih yang juga disebut al-tahsin wa al-tawbih). Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan.
Menurut golongan mu’tazilah bahwa mereka menyimpulkan bahwa dari keempat permasalahan di atas, semuanya dapat diketahui oleh akal. Golongan Asy’ariyah tidak sependapat. Dan mengatakan bahwa betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh memperoleh hukuman.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari dan al-Baghdadi juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendapat Asy’ariyah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah. Bahwa yang diwajibkan akal ialah perintah dan larangan bukan mengetahui mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, yang pada intinya bahwa akal hanyalah dapat mengetahui tiga persoalan pokok. Sedang yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu. Ini juga sependapat dengan golongan Samarkand dan Bukhara. Walaupun demikian, sebagian dari golongan Bukhara berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui baik dan buruk dan sebenarnya mereka masuk dalam aliran Asy’ariyah dan Muturidiah.
Untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal. Muturidiah Samarkand memberikan daya kurang besar dari mu’tazilah, tetapi lebih besar dari pada Muturidiah Bukhoro. Diantara semua aliran itu, Asy’ariyahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.

Fungsi Akal dan Wahyu

Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
_____________, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI Press, Jakarta, cet.V, 1986.
Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, CV. Bima Sejati, Semarang, 2003.
Share:

Dakwah via Media Seni Budaya (Tinjauan Sosiologi)

Dakwah Islam pada dasarnya ialah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw, namun bentuk dan cara penyampaiannya berlainan, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Dakwah dapat dilaksanakan dengan berbagai metode, seperti: ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan serta dapat pula dilaksanakandengan berbagai media, seperti: seni ketoprak, seni ludruk, seni wayang, seni teater dan lain-lain. Dengan demikian bagi juru dakwah untuk mempermudah menyampaikan dakwah dan juga agar mudah dipahami oleh sasaran dakwah, maka sebaiknya dakwah dilakukan dengan menggunakan media yang sudah ada, hal ini untuk menyesuaikan keadaan masyarakat tidak sama satu sisi sudah maju dan di sisi lain masih ketinggalan. Oleh karena itu dalam berdakwah walaupun menggunakan media modern namun sudah menghilangkan media tradisional yang masih dapat digunakan dengan baik, sehingga dalam berdakwah penggunaan media tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat.
Oleh karena keadaan lingkungan masing-masing masyarakat itu tidak selalu sama, maka materi harus berfariasi menyesuaikan keadaan dimana pelaku dakwah haruslah mencari masalah-masalah yang dihadapi, media dan sekaligus memikirkan pemecahannya yang nantinya menjadi bahan pembicaraan dalam berdakwah.
Materi dakwah adalah ajaran Islam, yang dikenal sebagai ajaran dakwah. Ajaran-ajaran Islam inilah yang wajib disampaikan kepada umat manusia dan mengajak mereka agar menerima dan mengikutinya. Diharapkan agar ajaran-ajaran Islam benar-benar diketahui, dipahami, dihayati, dan diamalkan, sehingga mereka hidup dan berada dalam kehidupan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam.
Seni merupakan media yang mempunyai peran yang amat penting dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati bagi pendengar maupun penontonnya. Terbukti, karena keindahan seni dalam bahasa Al-Qur’an yang terlantunkan oleh adiknya Umar bin Khatab bergetar hatinya untuk masuk Islam.
Demikian juga dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masayarakat karena para Walisongo sebagai da’i menggunakan bentuk-bentuk seni dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah pada waktu itu, yaitu media wayang dan gamelan.
Menurut Abdurrahman Al Baghdadi, definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis) dan dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari / drama).
Seni merupakan bentuk keindahan yang tampak nyata yang langsung dapat dinikmati oleh manusia. Oleh karena itulah, orang beriman menyukai keindahan dalam bentuk yang tampak dan yang ada disekelilingnya, karena semua itu adalah jejak yang membekas dari keindahan Allah SWT.
Adapun pendekatan dan pengembangan dakwah yang digunakan oleh Walisongo sesuai dengan media dakwah setempat yang sedang digandrungi oleh masyarakat, yaitu wayang. Para Wali melihat kesenian wayang sebagai media komunikasi dan interaksi yang sangat mampu terhadap pola pikir masyarakat. Kesenian wayang orang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah (di Islamkan).
Sehingga dengan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masyarakat karena Walisongo menggunakan bentuk-bentuk kesenian dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah yaitu media wayang dan gamelan. Dengan media itu mudah ditangkap oleh masyarakat yang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang konkrit dan realistis, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Melihat kenyataan yang sedemikian maka kesenian memiliki peranan yang tepat guna sehingga dapat mengajak kepada khalayak untuk menikmati dan menjalankan isi yang terkandung didalamnya.
Dalam konteks keilmuwan dakwah yang digunakan Islam dengan metode kesenian adalah salah satunya dengan menggunakan lagu-lagu shalawt rebana, nasyid, pop, dangdut dan lain-lain. Mengapa dapat dikatakan sebagai media dakwah, karena syair yang terpancar/digunakan bernilai/bermuatan dakwah, sehingga dapat dikatakan bahwa seni bisa sebagai ajang untuk berdakwah.
Perlu diperhatikan, sebagai salah satu alternatif dalam penempatan seni sebagai media dakwah adalah, usaha menelusuri jati diri atau kreatifitas seni Islam, dengan memadukan rasa, cipta dan karsa sebagai aspek budaya dengan jiwa Islam.
Share:

AYAT-AYAT TENTANG ILMU PENGETAHUAN

Al-Qur’an telah merambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya danmembentu pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur’an menunjukkan bahwa materi bukanlah suatu yang kotor dan tanpa nilai, karena padanya terdapat tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah serta kegaiban dan keagungan alam semesta yang amat luas adalah ciptaan Allah dan al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan keghaiban, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya.
Oleh karena itu al-Qur’an membawa manusia terhadap Allah melalui ciptaannya dan realitas kongkret yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah sesungguhnya yang terdapat pada ilmu pengetahuan yang mana mengadakan observasi lalu menarik hukum-hukum alam berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat mengetahui tentang segala hal yang telah diciptakan oleh Allah melalui observasi yang teliti dan terdapat hukum-hukum yang mengatur gejala alam dan al-Qur’an menunjukkan kepada realitas intelektual yang maha besar, yaitu Allah SWT, lewat ciptaannya.

QS. Al-Mujadalah, 58 : 11

يَاَيُّهاَالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّخُوْا فِيْ الْمَجَالِسِ فَافْسَخُوْا يَفْسَخِ اللهُ لَكُمْ، وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ، وَالَّذِيْنَ أُتُواالْعِلْمَ دَرَجَاتٍ، وَاللهُ بِمَا تَعءمَلُوْنَ خَبِيْرٌ(المجادله:١١)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan keoadamu:”berlapang-lapanglah kamu dalam majelis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:”berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah, 58:11)
Selanjutnya berkenaan dengan ayat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kata tafassahu pada ayat tersebut maksudnya adalah tawassa’u yaitu saling meluaskan dan mempersilahkan.
Kata yafsahillahu lakum maksudnya Allah akan melapangkan rahmat dan rizki bagi mereka.
Kata unsuzyu maksudnya saling merendahkan hati untuk memberi kesempatan kepada setiap orang yang datang.
Kata yarfa’illahu ladzina amanu maksudnya Allah akan mengangkat derajat mereka yang telah memuliakan dan memiliki ilmu di akhirat pada tempat yang khusus sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian derajatnya.
Dari ayat tersebut dapat diketahui, hal sebagai berikut:
  1. Bahwa para sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada di majelis Rasulullah saw, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar wejangan dari Rasulullah saw. Yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu terdapat kebaikan yang amat dalam serta keistimewaan yang agung.
  2. Bahwa perintah untuk saling meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di majelis, tidak saling berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan, karena cara demikian dapat menimbulkan keakraban diantara sesama orang yang berada di dalam majelis dan bersama-sama dapat mendengar wejangan Rasulullah saw.
  3. Bahwa pada setiap orang yang memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju pintu kebaikan dan kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia dan akhirat. Singkatnya ayat ini berisi perintah untuk memberikan kelapangan dalam mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan kepada setiap orang Islam. Atas dasar inilah Rasulullah saw, menegaskan bahwa Allah akan selalu menolong hambanya, selama hamba tersebut selalu menolong sesama saudaranya.
Adapun arti potongan ayat dibawah ini adalah:
إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّخُوْا فِيْ الْمَجَالِسِ فَافْسَخُوْا
Maksudnya adalah apabila kamu diminta berdiri selama berada di majelis Rasulullah saw, maka segeralah berdiri, karena Rasulullah saw terkadang mengamati keadaan setiap individu, sehingga dapat diketahui setiap keadaan orang tersebut, atau karena Rasulullah saw, ingin menyerahkan suatu tugas khusus yang tidak mungkin tugas tersebut dapat dikerjakan oleh orang lain. Berhubungan dengan hal yang demikian, maka bagi orang yang datang terdahulu di majelis tersebut tidak boleh mempersilahkan orang yang datang belakangan untuk duduk di tempat duduknya.
Imam Malik, Bukhari, Muslim dan Turmudzi meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw, bersabda: La yuqimu al-rajulu min majlisi walakin tafassakhu wa tawassa’u. Yang artinya: seorang tidak sepantasnya mempersilahkan tempat duduknya kepada orang lain (yang datang belakangan). Tetapi cukup dengan memberikan kelapangan dan mempersilahkan lewat.
  يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ، وَالَّذِيْنَ أُتُواالْعِلْمَ دَرَجَاتٍmaksudnya adalah bahwa Allah akan mengangkat orang mukmin yang melaksanakan segala perintahnya dengan memberikan kedudukan yang khusus, baik dari pahala maupun keadilan-Nya. Singkatnya bahwa setiap orang mukmin dianjurkanagar memberikan kelapangan kepada sesama kawannyaitu datang belakangan, atau apabila dianjurkan agar keluar meninggalkan majelis, maka segera tinggalkanlah tempat itu, dan jangan ada prasangka bahwa perintah tersebut akan menghilanhkan haknya. Melainkan merupakan kesempatan yang dapat menambah kedekatan pada Tuhannya, karena Allah tidakakan menyia-nyiakan setiap perbuatan yang dilakukan hambanya. Melainkan akan diberikan balasan yang setimpal di dunia dan akhirat.
Sedangkan potongan ayat وَاللهُ بِمَا تَعءمَلُوْنَ خَبِيْرٌ maksudnya bahwa Allah mengetahui setiap perbuatan yang baik dan buruk yang dilakukan hamba-Nya, dan akan membalasnya amal tersebut. Orang yang baik akan di balas dengan kebaikan. Demikian pula orang yang berbuat buruk akan dibalas buruk atau diampuni-Nya.
Ayat tersebut diatas selanjutnya sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan dengan cara menjunjung tinggi atau mengadakan dan menghadiri majelis ilmu. Orang yang mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai derajat yang tinggi dari Allah.

QS. Al-Fathir, 35:27-28

اَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً، فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفًا اَلْوَانُهَا، وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيْضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَنُهَا وَ غَرَابِيْبُ سُوْدٌ (٢٧) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهُ كَذَلِكَ، إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَائُوْا، إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ(٢٨)
Tidaklah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Al-Fathir, 35:27-28)
Selanjutnya berkenaan dengan ayat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pada ayat ini Allah menguraikan beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaannya yang oleh kaum musyrikin dapat dilihat setiap waktu yang kalau mereka menyadari pula ke-Esaan dan kekuasaan Allah yang Maha Sempurna itu. Allah menjadikan sesuatu yang beraneka ragam macamnya yang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa dan baunya. Sebagaimana yang kita saksikan buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, ada yang merah dan sebagainya.
Kemudian dalam ayat (28) Allah menjelaskan tentang hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaanya. Allah SWT, menciptakan binatang-binatang melata dan binatang ternak, yang bermacam-macam warnanya, sekalipun dari jenis-jenis yang satu. Bahkan ada binatang yang satu sering terdapat warna yang bermacam-macam.
Tentang ulama atau orang-orang yang berilmu pengetahuan, Ibnu Katsir telah menafsirkan “tidak lain orang yang akan merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama yang ma’rifat yaitu mengenal Tuhan menilik hasil kekuasaan dan kebesarannya yang mempunyai sekalian sifat kesempurnaannya dan yang mempunyai al-Asma’ul Husna apabila ma’rifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, ketakutan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak.
Dari ayat 27 dan 28 tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diturunkannya hujan, tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam.
  2. Demikian juga manusia, binatang-binatang diciptakan Allah bermacam-macam warna jenisnya sebagai tanda kekuasaanNya.
  3. Yang benar-benar mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dan mentaatinya hanyalah ulama, yaitu orang-orang yang mengetahui secara mendalam kebesaran Allah. Dia Maha Perkasa menindak orang-orang kafir, Maha Pengampun kepada hamba-hambanya yang beriman dan taat.

QS. An-Nahl, 16:79

اَلَمْ يَرَوْا اِلَىالطَّيْرِمُسَخَّرَاتٍ فِيْ جَوِّالسَّمَاءِ، مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلاَّاللهُ، اِنَّ فِيْ ذَالِكَ لَأَيت لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ (النحل:٧٩)
Tidaklah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.
Dalam ayat ini di jelaskan apa yang membuktikan kesempurnaan ilmu-Nya. Maka dijelaskan bahwa pengetahuan tentang perkara ghaib yang ada dilangit dan bumi hanya ada pada sisi-Nya. Dijelaskan pula apa yang membuktikan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Maka dijelaskan bahwa kebangkitan kiamat secepat kerdipan mata atau lebih cepat daripada itu. Selanjutnya Allah kembali menjelaskan dalil-dalil tentang tauhid, dan bahwa Dialah yang berbuat dan berkuasa penuh diantara dalil-dalil itu. Disebutkan penciptaan manusia dalam berbagai perkembangannya kemudian burung yang ditundukkan untuk terbang diantara langit dan bumi, serta bagaimana Dia menjadikannya bisa terbang diangkasa tanpa ada yang menahannya selain Dia dengan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah mengingatkan para hamba-Nya kepada dalil lain yang membuktikan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
اَلَمْ يَرَوْا اِلَىالطَّيْرِمُسَخَّرَاتٍ فِيْ جَوِّالسَّمَاءِ، مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلاَّاللهُ
Apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang ditundukkan di udara antara langit dan bumi, tidak ada yang menahannya di angkasa dari jatuh ke bumi, kecuali Allah azza wajalla, dengan kekuasaannya yang luas. Padahal tubuhnya berat dan udara yang ringan tidak ada tiang dibawahnya. Sekiranya saja Allah mengambil kekuatan untuk terbang yang telah dia berikan kepadanya, niscaya tidakakan kuasa untuk terbang tinggi.
Tafsirannya: Allah SWT berfirman memberitahu tentang kesempurnaan pengetahuan dan kekuasaannya terhadap segala sesuatu, Dia mengetahui apa yang tersembunyi di langit maupun di bumi dan tiada seorang mengetahui hal-hal yang ghaib melainkan dengan petunjuk Allah dan jika ia diberitahu oleh-Nya , kekuasaan-Nya tak terbatas, tidak dapat ditentang, ditentang atau dilumpuhkan.
Dengan firman kun (jadilah) maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya dalam sekejap mata atau bahkan lebih cepat.8

QS. Al-Mulk, 67:1-5

تَبَارَكَ الَّذِىْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ(١) الَّذِىْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلاً، وَهُوَ الْعَزِيْزُالْغَفُوْرُ(٢) الَّذِىْ خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَتٍ طِبَاقًا، مَا تَرَى فِى خَلْقِ الرَّحْمَانِ مِنْ تَفَوُتٍ، فَارْجِعِ الْبَصَرَ، هَلْ تَرَى مِنْ فُطُوْرٍ (٣) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًاوَّهُوَ حَسِيْرٌ (٤) وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَالدُّنْيَا بِمَصَبِيْحَ وَجَعَلْنَهَا رُجُمًا لِّلشَّيَطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ (٥)
1.Maha Suci Allah di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2.Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
3.Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekalian tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.
4.Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.
5.Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang indah dengan bintang-bintang dan kami jadikan bintang-bintang itu alat pelempar syaetan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk : 1-5)
Tafsirannya Maha Agung Allah dengan sifat-sifat-Nya disegala makhluk dan segala sesuatu. Dia kuasa untuk bertindak dalam kerajaan-Nya menurut kehendak-Nya. Memberi nikmat dan menyiksa, mengangkat dan merendahkan, memberi dan menahan. Kemudian, Dia mulai merinci dari hukum-hukum kerajaan-Nya dan bekas-bekas kekuasaan-Nya, disamping menjelaskan bahwa keduanya itu dibangun menurut hukum dan maslahat, serta mengikuti tujuan-tujuan yang agung.
Sesungguhnya bintang-bintang ini disamping merupakan hiasan bagi dunia, juga merupakan sebab-sebab rizki bagi orang-orang yang saleh seperti para Nabi, para ulama, dan para arif bijaksana. Bintang-bintang itu juga merupakan penyebab terbentuknya rizki yang menarik bagi syahwat setan-setan manusia dan jin didalam alam ini terkumpul yang bernbahaya dan yang bermanfaat, dan berikanlah kepada masing-masing apa yang telah disiapkan baginya. Jiwa yang baik dan yang jahat mengambil dari materi yang di tundukkan dan dipaksa ini, sehingga menjadi penyebab pahala bagi jiwa-jiwa yang baik dan penyebab azab bagi jiwa-jiwa yang jahat.
Tentang hal itu mereka mempunyai perkiraan dan persangkaan, karena mengambil kejahatan mereka dari fenomena-fenomena alamiah yang tumbuh dari panas dan cahaya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ialah bintang-bintang yang dijadikan Allah sebagai hiasan langit dunia tidak akan berpindah dari tempatnya dan tidak dipergunakan untuk melempar. Akan tetapi dari bintang itu keluarlah cahaya yang membunuh jin atau melumpuhkannya.
Berkatalah Qatadah, Sesungguhnya Allah menciptakan bintang-bintang itu untuk 3 perkara, hiasan bagi langit, pelontar setan dan tanda-tanda yang dapat dijadikan petunjuk didarat dan dilaut. Barang siapa yang membicarakannya tidak seperti itu, maka ia telah berbicara tentang yang tidak diketahuinya, malampaui batas dan zalim.

KESIMPULAN
Di tinjau dari sifat pendidikan dalam al-Qur’an diungkapkan bahwa ilmu pengetahuan dan al-Qur’an merupakan dua aspek kebenaran yang sama, dan tidak ada pertentangan antara keduanya. Wahyu pertama al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah agar menuntut ilmu pengetahuan umat manusia. Sebagaimana dalam surat al-Alaq ayat (1-5) tentang ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga menganjurkan manusia untuk berdoa semoga Allah SWT menambah ilmu pengetahuan kepadanya.
Di tegaskan dalam al-Qur’an bahwa hanya orang yang berilmu yang dapat lebih tinggi tingkat taqwanya kepada Allah. Sebagaimana dalam surat Fathir ayat 28. karena mereka mengetahui dan memahami tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah, baik yang tertulis dalam al-Qur’an maupun yang terlihat dalam alam semesta.

DAFTAR PUSTAKA
Musthafa Al-Maraghi Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, Toha Putra, juz 22, 29, Semarang, 1989.
Katsir Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Bina Ilmu, jilid 4, Surabaya, 1984.
Hamka, Prof. Dr. Tafsir Al-Athor, Pustaka Islam, juz 28, Surabaya, 1993.
Hasbi Ash Sgiddieqy, Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’an Majid, Annur , PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, PT. Dana Bhakti, Yogyakarta, 1995.
Nata Abudin, H., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Share:

MEMBANGUN MASYARAKAT ISLAM DARI MADINAH

Nabi Muhammad Saw adalah anggota Bani Hasyim, kabilah yang belum berkuasa dalam suku Quraisy. Beliau lahir dalam keadaan yatim, ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika beliau masih dalam kandungan. Pada waktu Nabi berusia 6 tahun, beliau yatim piatu. Kemudian beliau diasuh oleh kakeknya, yaitu Abdul Muthalib.
Dalam usia yang kedua puluh lima, Nabi berdagang ke Syiria membawa barang dagangan khadijah. Dalam perdagangan beliau ini, beliau memperoleh laba yang besar, kemudian khadijah melamarnya. Akhirnya Nabi Hijrah ke Madinah, tepatnya di kota Yatsrib. Sejak saat itu, sebagai penghormatan nama kota Yatsrib diganti dengan nama Madinatun Nabi (kota Nabi) atau disebut dengan Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah Islam memancar ke seluruh dunia.
Tatkala gejala-gejala kemenangan telah mulai kelihatan di Yatsrib, Nabi menyuruh sahabat berpindah ke sana, untuk menyelamatkan agama dari penganiayaan Quraisy, dan untuk mencarikan perlindungan kepada kaum muslimin yang baru masuk Islam di kota itu. Kota Yatsrib terletak pada lintasan perniagaan antara Makkah dan Syam. Bila penduduk Yatsrib bermusuhan dengan kaum muslimin, maka perniagaan mereka akan mengalami reruntuhan. Oleh karena itu, untuk mengatasi keadaan tersebut, kaum Quraisy mengambil tindakan sebagaimana yang diceritakan dalam firman Allah Swt :
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (QS. Al-Anfal : 30).

Membangun Masyarakat Islam

Dalam periode Makkah Nabi belum berhasil meletakkan dasar-dasar Islam, lalu beliau hijrah ke Yatsrib yang diganti dengan nama Madinah al-Munawarah, yang biasa disebut dengan nama Madinah saja, yang berarti kota yang berseri-seri beliau segera meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam. 4 Dasar-dasar itu antara lain yaitu :

1. Mendirikan masjid

Sebelum agama Islam datang, telah terjadi kebiasaan bagi suku-suku Arab menyediakan suatu tempat untuk pertemuan. Di tempat itu mereka mempertontonkan sihir, mengadakan upacara perkawinan, berjual beli dan lain sebagainya.
Setelah agama Islam datang, Rasulullah hendak mempersatukan suku-suku bangsa ini, dengan jalan menyediakan suatu tempat pertemuan. Di tempat ini semua penduduk dapat bertemu untuk mengerjakan ibadat dan pekerjaan-pekerjaan atau upacara-upacara lain. Maka nabi mendirikan sebuah masjid, dan diberi nama “Baitullah”. Masjid sangat berperan penting mempersatukan umat dari berbagai suku. Di samping itu, masjid juga sebagai tempat berkumpul atau bertemu, tempat untuk mengadili perkara, jual beli dan lain-lain.

2. Mempersatukan antara kaum Anshar dan Muhajirin

Sementara kaum muslimin (muhajirin) hijrah gelombang demi gelombang dari Makkah menuju Madinah. Maka dari itu Nabi Saw sangat memperhatikan kelangsungan hidup mereka yang meninggalkan seluruh harta benda yang mereka miliki demi untuk memenuhi perintah Allah, Rasul-Nya dan agama. Seluruh kekayaan kaum Muhajirin telah dirampas orang-orang kafir Makkah ketika hendak hijrah dari sana. Terhadap masalah ini, persaudaraan Islam merupakan jawaban yang tepat. Kemudian Nabi mempersaudarakan kaum Anshar (penolong) dan kaum Muhajirin. Orang Anshar melepaskan setengah kekayaannya untuk diberikan kepada saudara Muhajir-nya. Sehingga demikian, setiap muslim Makkah mendapat rumah baru dari muslim Madinah. Hal ini merupakan kasih sayang, keramahtamahan dan simpati yang dianjurkan Islam untuk memperkuat persaudaraan, al-Qur’an menyatakan :
“...Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) ...” (QS. Al-Anfal, 8 : 75).

3. Perjanjian untuk saling membantu antara kaum muslimin dan bukan muslimin

Penduduk Madinah sesudah peristiwa hijrah itu terdiri atas tiga golongan, yaitu : kaum muslimin, bangsa Yahudi dan bangsa Arab yang belum menganut agama Islam. Rasulullah Saw hendak menciptakan suasana bantu membantu, dan sifat toleransi antara golongan-golongan tersebut, karena itu beliau membuat perjanjian antara kaum muslimin dan bukan muslimin.

4. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat baru

Islam adalah agama dan negara. Karena masyarakat Islam itu telah berwujud, maka menjadi suatu keharusan Islam untuk menentukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru terwujud itu. Sebab ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam periode ini terutama diwujudkan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat yang diturunkan itu diberi penjelasan oleh Rasulullah.
Maka timbullah dari dua buah sumber yang jadi pokok hukum ini, (al-Qur’an dan Hadits) satu sistem yang amat indah untuk bidang politik, yaitu sistem bermusyawarah. Allah berfirman :
“...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (QS. Ali ‘Imran : 159).

Perang dalam Islam

Perang Badr

Perang ini terjadi pada tahun ke-2 H di bulan Ramadhan antara kaum muslimin dengan kaum Quraisy. Medan pertempuran terjadi di dekat sumur seseorang yang bernama Badr, sehingga dikenal dengan nama Perang Badr. Pasukan muslimin berjumlah + 300 orang yang dipimpin oleh 3 pahlawan, yaitu Ubaidah bin Haris, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan kaum Quraisy berjumlah + 1.000 orang pasukan yang dipimpin oleh 3 orang pahlawan kenamaan, yaitu ‘Utbah bin Rabi’ah, al-Walid putra ‘Utbah dan Syaibah.
Pertempuran berjalan dengan seru, yang akhirnya dimenangkan oleh pihak Muslimin. Ketiga pahlawan Quraisy mati terbunuh, demikian pula dengan Abu Jahal, sedangkan para pahlawan Islam selamat kecuali ‘Ubaidah. Pasukan muslimin menewaskan 70 orang lawan dan menahan banyak musuh.

Perang Uhud

Perang Uhud terjadi di kaki gunung Uhud tahun ke-3 H. Sebab dari perang Uhud yaitu kaum Quraisy ingin menebus kekalahan yang diderita pada waktu Perang Badr. Pasukan Quraisy berjumlah + 3000 orang dibawah pimpinan Talhah bin Abi Taihah yang terdiri dari berbagai suku, antara lain suku Arab Tihamah, Kinanah, bani al-Haris, Bani al-Haun dan lain-lain. Pasukan Quraisy dilengkapi dengan 200 pasukan berkuda dan 3.000 unta, 700 di antara memakai baju besi. Sedangkan kaum muslimin berjumlah + 1.000 pasukan, di bawah pimpinan Abdullah bin Ubai. Ternyata sepertiga dari pasukan itu adalah kaum munafiq, mereka kembali ke Madinah tak mau meneruskan perang.
Sesampai di bukit Uhud, Nabi mengatur posisi, lima puluh orang pemanah diletakkan di tempat yang dapat dimasuki oleh musuh dari belakang. Pada awal pertempuran, kaum muslimin memperlihatkan kemenangannya. Tetapi pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Nabi meninggalkan posnya, sehingga kacau balaulah pasukan yang dipimpin oleh Nabi, yang akhirnya pasukan muslimin menderita kekalahan.

Perang Khandaq

Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun ke-5 H. Dinamakan Khandaq karena di sekitar Madinah terutama di bagian utara di gali parit atas usul Salman al-Farisi untuk mempertahankan kota dari serangan musuh.
Ketika pasukan sekutu sampai di Madinah, mereka tercengang dengan adanya parit yang menganga lebar dan dalam menghalangi mereka. Terpaksa mereka hanya menghamburkan anak panah yang dilepas dari busurnya tanpa mengenai sasaran, sesekali di antara mereka menyeberangi parit seperti ‘Amr, tetapi ditebas oleh Ali bin Abi Thalib hingga tewas. Demikian pula dengan Ikrimah yang ingin menyeberangi parit, tetapi dihalau oleh Ali bin Abi Thalib. Pasukan sekutu pimpinan Quraisy berkemah di sekitar kota Madinah tanpa membawa hasil, maksudpun tak tercapai.
Dalam keadaan frustasi, Huyai ibn Ahtab dari Quraisy mendatangi pimpinan Yahudi bani Quraidah, Ka’ab ibnu Kasad yang telah membuat kesepakatan damai dengan Nabi, untuk bergabung dengan sekutu agar dapat bersama-sama menghancurkan kaum muslimin. Ka’ab setuju dengan ide itu, dan dengan sendirinya dia berkhianat dengan Nabi. Ternyata Nu’aim ibn Mas’ud, seorang pemimpin Arab yang telah masuk Islam datang kepada Nabi menawarkan diri untuk membantu Nabi memerintahkan agar ia untuk menyebarkan bibit perpecahan di kalangan sekutu. Sementara itu bertiuplah angin kencang yang memporak-porandakan kemah, menjungkirbalikkan periuk-periuk mereka dan menghamburkan debu yang akhirnya mereka lari dari perkemahan.

KESIMPULAN
Membangun masyarakat Islam di kota Madinah memang begitu sulit, banyak rintangan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga beliau langsung meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam, yaitu :
Pertama : Mendirikan masjid
Kedua : Mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin
Ketiga : Perjanjian untuk saling membantu antara kaum muslimin dan bukan muslimin.
Keempat : Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru.
Perang yang dihadapi Nabi dalam membangun Islam di Madinah yaitu perang Badr, perang Uhud, dan perang Khandaq.
Perang Badr yang terjadi di desa Badr pada tahun ke-2 H di bulan Ramadhan. Pasukan muslimin berjumlah + 300 orang, sedangkan kaum Quraisy berjumlah + 1000 orang. Perang ini dimenangkan oleh pihak muslimin.
Perang Uhud terjadi di kaki gunung Uhud tahun ke-3 H. sebabnya yaitu kaum Quraisy ingin menebus kekalahannya pada waktu perang Badr. Pasukan Quraisy berjumlah + 3000 orang. Sedangkan kaum muslimin berjumlah + 1000 orang. Akhir dari perang ini yaitu kaum muslimin menderita kekalahan.
Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun ke-5 H. Dinamakan khandaq karena di sekitar Madinah digali parit. Dalam perang ini pimpinan Quraisy ada yang meninggal, di antaranya Ikrimah dan ‘Amr.

DAFTAR PUSTAKA
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Jakarta : al-Husna Zikra, 1997.
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta : Logos, 199.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Majid Ali Khan, Muhammad Saw Rasul Terakhir, Bandung : Pustaka, 1980.
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1990
Share:

WAHDATUL WUJUD PANTEISME SPIRITUAL

Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan, sehingga dirasakan bahwa seseorang sedang berada di hadirat-Nya. Ajaran tasawuf yang berkembang pada masa permulaan dapat dikategorikan sebagai mistik pertama, tipe ini sangat identik dengan paham wahdatul wujud atau wujudiyah, yang merupakan pengembangan teori Tajaliyah Ibn Arabi. Doktrin wahdatul wujud terpusat pada ajaran tentang penciptaan alam, dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tuju martabat. Ajaran tasawuf yang dianut umat Islam mempunyai pandangan yang bercorak panteisme. Teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf baik teori wahdatul wujud atau yang lain semuanya bersifat panteisme. Pandangan ini merupakan hasil dari konsepsi filsafat disebut monoisme, yaitu konsepsi yang berpendapat bahwa Tuhan dan alam adalah satu.

Wahdatul Wujud “Panteisme Spiritual

Panteisme atau wahdatul wujud (bersatunya kembali manusia dengan Tuhan) bersumber pada filsafat monoisme (Tuhan dan alam adalah tunggal) dengan cara emanasi atau al-faid (pancaran) dari Tuhan terjelmalah universum (alam semesta) yang serba aneka.
Tasawuf panteisme adalah tasawuf yang berpendapat bahwa hanya ada satu semata yaitu wujud Allah, bentuk jamak yang terlihat dari alam ini adalah ilusi yang menguasai keterbatasan akal budi. Ringkasnya wujud adalah satu tidak jamak.

Tasawuf dan Panteisme

Tumbuhnya gerakan panteisme di Andalusia dimulai dengan terdapatnya benih-benih panteisme tasawuf yang terdapat di sana. Tasawuf panteisme dari Andalusia atau kawasan Islam bagian barat melebarkan sayapnya ke bagian timur lewat tangan Ibnu Arabi dan Ibnu Sab’in.

1. Kesatuan wujud menurut Ibnu Arabi

Dalam teorinya tentang wujud Ibnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Ibn Arabi menginterpretasikan wujud segala yang ada sebagai Teofani abadi yang tetap berlangsung dan tercampaknya yang maha benar di setiap saat dalam bentuk yang terhitung bilangannya.
Ibnu Arabi mengemukakan tentang teori manusia sempurna atau hakekat Muhammad yang berdasarkan pada kesatuan wujudnya manusia. Menurut Ibnu Arabi adalah alam seluruhnya, karena Allah ingin melihat substansinya dalam alam seluruhnya yang meliputi seluruh hal yang ada yaitu karena hal ini bersifat wujud. Kemunculan manusia sempurna menurut Ibn Arabi adalah esensi kecenangan cermin alam. Pendapat Ibn Arabi tentang manusia sempurna atau hakekat Muhammad membuatnya sampai pada pandangan tentang kesatuan agama, sebab sumber agama itu satu, yaitu hakekat Muhammad, agama adalah tunggal dan semua itu adalah kepunyaan Allah.

2.Kesatuan mutlak menurut Ibn Sab’in

Dalam pahamnya Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama, sebab wujud Allah adalah asal segala yang ada pada masa lalu, kini atau masa depan, sementara wujud materi yang tampak justru dua rujukan pada wujud mutlak yang rohaniyah, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual bukan material.
Menurut Ibn Sab’in, wujud adalah satu alias wujud Allah semata tidak ada yang lain selain wujud Allah.

Konsep tentang Wahdatul Wujud

Dalam akidah Islam, konsep tauhid merupakan salah satu konsep yang paling vital terutama dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan. Tauhid diartikan sebagai pengakuan tentang keesaan Tuhan, yang penegasannya terungkap dalam syahadah, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Alam tercipta melalui proses pemancaran (emanasi al-faid) dari zat Allah, ia mengamalkan proses keluarnya alam tersebut dengan proses keluarnya pengetahuan dari Allah. Dengan demikian meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga tidak berbeda dengannya secara mutlak, karena alam bukan wujud keduanya yang benar-benar terpisah darinya.
Dalam filsafat monoisme dinyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu dan segala yang ada hanyalah bentuk penjelmaan Tuhan. Filsafat monoisme dengan emanasinya juga menjadi prinsip dasar tasawuf. Ibnu Arabi menyatakan adalah suatu dan satu, wujud yang mutlak, maka Nur (cahaya) merupakan bagian dari dirinya itulah hakekat Muhammad kenyataan pertama dalam ketuhanan.
Filsafat monoisme dengan teori emanasi (al-faid) dianut oleh kaum Syi’ah dan tasawuf. Kesimpulan ini diajukan oleh para intelektual muslim seperti Ibnu Khaldun dan Syaristani. Filsafat ini dianut oleh Neoplatonisme dengan tokoh Platirus, menyatakan bahwa pusat wujud alam semesta (universum) adalah Tuhan yang Maha Esa, kebaikan mutlak sumber pikiran hakekat segala sesuatu.
Demikianlah pandangan-pandangan baik tentang hubungan antara Tuhan dan alam maupun tentang proses penciptaan alam, semua itu dinamakan doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud), alam dalam konsep wahdatul wujud merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari al-haq. Karena ia pancaran dari zatnya, alam bukan zat al-haq yang mutlak melainkan sekedar bayangannya, karena Tuhan adalah zat yang esa, tidak ada yang dapat menyertainya, meskipun ia selalu menyertai segala sesuatu.
Plotinus dalam teori monoisme mengenal 2 jalan :
1.Jalan menurun dengan emanasi, Tuhan > akal > jiwa > universum
2.Jalan menaik dengan panteisnya : bersatunya kembali jiwa manusia dengan Tuhan : jiwa manusia > jiwa > akal > Tuhan.

KESIMPULAN
Panteisme atau wahdatul wujud itu menerangkan bahwa hubungan manusia, alam dan Tuhan, semua yang ada di alam ini adalah ciptaannya, Tuhan itu satu bukan jamak, manusia atau hakekat Muhammad didasarkan pada kesatuan wujudnya, karena ingin melihat dalam seluruhnya meliputi semua hal yang ada di dunia ini adalah wujud (nyata). Panteisme bersumber pada filsafat monoisme (Tuhan dan alam adalah satu) dan segala yang ada adalah ciptaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Gharimi al-Taftazani Abu al-Wafa, Sufi dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1997.
Jailani, Abdul Qadir, Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Fathurrahman, Oman, Menyoal Wahdatul Wujud, Mizan Jakarta, 1999.
Share:

WAHYU DAN KITAB

Diskursus tentang wahyu dalam Islam, bukanlah sesuatu hal yang baru. Karena pembahasan tema ini telah banyak ditulis oleh para pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam pembahasan tentang wahyu sendiri secara khusus banyak ditulis di dalam kitab-kitab yang secara langsung berkaitan dengan al-Qur’an.
Dalam Islam, kebenaran di samping dapat dicapai dengan kekuatan akal, juga tidak mengesampingkan wahyu, yang merupakan pengkhabaran dari Tuhan kepada manusia.

Pengertian Wahyu

Menurut bahasa (etimologi) kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyi yang memiliki beberapa arti, di antaranya suara, tulisan, isyarat, bisikan, paham, dan juga api. Ada juga yang mengartikan sebagai sesuatu yang tersembunyi dan cepat. Wahyu dengan pengertian ini berarti memberitahukan sesuatu dengan cara yang tersembunyi dan cepat. Dengan demikian, pengertian ini mengandung maksud penyampaian sabda Tuhan kepada manusia pilihan-Nya tanpa diketahui orang lain, agar dapat diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Setelah Allah Swt menceritakan tentang kisah ashabul kahfi, dan menunjukkan bahwa al-Qur’an memuat kisah tersebut dengan menyatakan hal itu sebagai wahyu yang diperoleh dari Tuhan dengan menyatakan hal itu sebagai wahyu yang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Tahu tentang yang gaib-gaib, maka Allah memerintahkan kepada Nabi Saw supaya tekun mempelajari al-Qur’an dan membawanya, dan agar jangan peduli dengan ucapan yang berkata kepadanya : “Datangkanlah al-Qur’an selain al-Qur’an ini, atau gantilah ia”.
Kemudian Allah menyebutkan pula kemudian dan akibat buruk yang akan ditemui orang-orang kafir pada hari kiamat, serta kenikmatan abadi yang akan diperoleh oleh orang-orang yang taqwa sebagai imbalan dari amal-amal selain shalat yang mereka dulu melakukannya.
Dalam firman-Nya disebutkan :
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Qur’an). tidak ada (seorangpun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. (QS. Al-Kahfi : 27)
Maka, kalau kamu tidak melaksanakan al-Qur’an dan tidak mengikutinya, maka kamupun akan mendapatkan ancaman Allah yang dengan itu Allah mengancam orang-orang yang melanggar batas-batas al-Qur’an, maka kamu takkan mendapatkan perlindungan selain Allah maupun tempat kembali, karena kekuasaan Allah meliputi kamu dan selingkuh makhluknya, tidak seorangpun yang mampu lari dari suatu perkara yang dikehendaki Allah.
La Mubaddila : Tidak ada yang merubah
Li kalimaatihi : Bagi hukum-hukum-Nya. Jadi, tidak seorangpun yang mampu menghapuskan hukum-hukum yang tercantum dalam Kitab Allah.
Multahadan : Tempat berlindung yang kamu kembali kepadanya ketika mendapatkan musibah.
Thahir ibn ‘Asyur memahami ayat ini dalam arti jangan pedulikan kaum musyrikin yang tidak senang bila engkau membaca sebagian dari ayat al-Qur’an (yakni yang bertentangan dengan kepercayaan mereka), tetapi bacalah semua yang diwahyukan kepadamu, karena tidak ada yang dapat mengubahnya.
Kata (ملتحدا) multahada terambil dari kata (لحد) lahada yakni mencong ke samping, atau condong kepada sesuatu. Kuburan dinamai lahd / lahad karena ia adalah tempat yang mencong ke samping, dalam arti tanah digali ke bawah lalu dibuang liang ke samping dan disanalah mayat diletakkan sebagaimana cara penguburan di Mesir, Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya. Huruf (ت) ta’ pada kata multahada mengandung makna kesungguhan. Kata multahada pada ayat ini berarti tempat yang mencong ke samping yang digunakan untuk menghindari dari apa yang tidak disenangi / bahaya.
Allah Ta’ala menyuruh Rasulullah Saw membaca Kitab-Nya yang mulia dan menyampaikannya kepada manusia, “Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya”. Tidak ada yang dapat mengubah, menyimpangkan, dan menghilangkan kalimat-kalimat-Nya. Firman Allah Ta’ala, “Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain Dia”. Ibnu Jarir berkata, Allah Ta’ala berfirman, “jika kamu hai Muhammad, tidak membacakan kitab yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu, maka sesungguhnya tidak ada pelindung bagimu selain Allah”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika kamu tidak mengerjakan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah melindungimu dari gangguan manusia”.
وَرَجُلٌ مِنْ هُذَيْلٍ وَرَجُلاَنِ نَسِيْتُ اسْمَيْهِمَا فَوَقَعَ فِي نَفْسِ رَسُوْلِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ يَقَعَ فَحَدَّثَ نَفْسَهُ، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ "وَلاَ تَطْرُدِ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ"
“Kami berenam tengah bersama Rasulullah. Tiba-tiba kaum musyrik berkata kepada Nabi Saw. ‘usirlah mereka itu. Mereka tidak boleh lancang terhadap kami’. Sa’ad berkata, “Saat itu aku bersama Ibnu Mas’ud, Bilal, seseorang dari Hudzail, dan dua orang yang namanya aku lupa. Maka Rasulullah sangat tersinggung dan menyimpannya dalam hati beliau. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat, ‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari yang mengharapkan keridaan-Nya”.
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muslim, tanpa Bukhari.
Al-Hafizh Abu Bakar al-Bazar meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Said, keduanya berkata, Rasulullah Saw datang, sedang seseorang tengah membaca surah al-Hajj atau surah al-Kahfi. Maka orang itupun berhenti. Kemudian Rasulullah bersabda :
هَذَا الْمَجْلِسُ أُمِرْتُ أَنْ أَصْبِرَ نَفْسِيْ مَعَهُمْ
“Terhadap orang-orang pada majelis semacam inilah aku diperintahkan untuk bersabar menemaninya”

Kitab

Pendapat apapun yang dipegang sehubungan dengan hipotesis periode al-Qur’an yang berdiri sendiri, merupakan suatu kenyataan bahwa kata Qur’an jarang digunakan dalam bagian-bagian wahyu paling belakangan. Sebaliknya, terdapat rujukan-rujukan kepada al-Kitab, dan hal demikian berarti bahwa al-kitab masih dalam proses pewahyuan. Barangkali perbedaan antara “al-Kitab” dan “al-Qur’an” atau “bacaan” juga mengimplikasikan bahwa wahyu-wahyu sejak saat itu mulai ditulis sesaat setelah Nabi Muhammad diterima dan fungsinya Nabi pada masa itu tidak lagi mencerminkan seorang pemberi peringatan azab kepada manusia, tetapi lebih merupakan seorang yang memproduksi kitab.
Surat al-Kahfi ayat 27 ini intinya yaitu : bahwa tidaklah ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya, yang sebarispun tiadakan lupa dan setitik tiadakan hilang, maksudnya Yang Maha Tinggi tidak dicampuri dengan manusia, melainkan jadi tuntunan bagi manusia. Apa dan betapapun kesulitan yang dihadapi, namun Rasul wajib membacakannya kepada umatnya, dan semua makhluk-nya bisa berlindung dari kesulitan yang mana jua pun tidaklah bisa, tetapi akan kembali kepada Allah juga.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, Penerbit Lubuk Raya, Semarang, 2001.
Drs. Anwar Rasyidi, dkk., Musthafa al-Maraghy – Tafsir al-Maraghy, Toha Putra, Semarang, 1988.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah – Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Mizan, Jakarta, 2002.
Drs. Syihabuddin, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, Gema Insani Pers, Jakarta, 1999.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, cet.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.