7 Mei 2009

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN HUKUM ISLAM OLEH AHMAD BIN HANBAL

I. PENDAHULUAN

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.

Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.

Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubalighin akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali da’watul Islam.

Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang imam mazhab keempat yakni Imam Ahmad bin Hanbal, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta politik pada masa beliau dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.


II. PEMBAHASAN

1. Biografi Ahmad bin Hanbal

Nama lengkap Ahmad bin Hanbal ialah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahnya menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ayahandanya yang bernama Muhammad asy-Syalbani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.

Imam Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya.[1] Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.

Sebagian fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.

2. Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali

Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bid’ah telah mengancam sunnah. Orang yang berpendidikan telah mencelakakan orang yang tidak tahu, para penimbun harta kenyang dengan emas dan perak timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka akan membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut wara’ atau zuhud.[2]

Ahmad yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah. Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bid’ah dan bernazar untuk meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.

Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya.[3] Ahmad tertuntut untuk mencari jalan bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya kondisi waktu itu!

Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah, sebagai buktinya ditunjukkan pada :

a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah” itu bagi saya ialah memegang teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah di dalam urusan agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala perbuatan bid’ah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.

b. Beliau juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun dengan mereka itu di dalam pelayanmu”.[4]

Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli bid’ah.

3. Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali

Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib. Keturunannya berkali-kali mengadakan pemberontakan terhadap para khalifah yang berbuat aniaya dari Bani Umayyah, juga terhadap para khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya hanya dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syi’ah.

Kemudian setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya. Hingga akhirnya Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut, dan bila ada orang yang datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau rintangan, maka pasti akan merasakan tajamnya pedang para algojo atau lidahnya membisu dibalik tembok penjara.[5]

Namun demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap perilaku tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin, kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad tidak ingin berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati khalifah meskipun mereka menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada penguasa yang menyimpang itu lebih baik ketimbang fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja. Akan tetapi bukan berarti mendiamkan saja khalifah yang zalim. Dan menasehatinya akan lebih baik daripada memberontaknya.[6]

Ahmad bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan sesuatu yang beliau yakni kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah bagaimanapun caranya mencapai pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW. Beliau berkata “Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya”.

Sepanjang riwayat, ketia yang mulai Imam Syafi’i diminta oleh baginda harun al-Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya. Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : “Saya datang kepada engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau pangkat disisi kepala negara”.[7] Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.

Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi, kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya. Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.[8]

4. Wacana Keilmuwan Yang Digunakan

Dalam pesantrennya setiap selesai sholat ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau mengajukan bahwa ayat al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Qur’an dan hadits dengan mudah.

Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.[9]

5. Metode Istinbat Hukum

Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits yang menjelaskannya.

Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa berdasarkannya”.[10]

Kemudian, tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam memutuskan hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i, yang didasarkan atas lima hal :

íNash al-Qur’an dan Hadits Marfu’

Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.

íFatwa para sahabat Nabi

Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash terang, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari sahabat yang dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu bukanlah ijma’”. Fatwa sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.

íApabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau Mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau hadits dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.

íHadits Mursal dan Hadits Dha’if

Jalan ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits dha’if menurutnya ialah “yang tidak batil” atau “tidak munkar”, atau yang didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham, karena beliau memadang bahwa hadits dho’if yang bertingkatan tidak sampai ketingkat shahit, tetapi termasuk dalam hadits hasan itu lebih kuat dan lebih baik daripada qiyas.

íQiyas

Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak didapatkan dalam hadits mursal ataupun dha’if dan juga fatwa para sahabat.[11]

Tentang ijma’, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata “Barang apa yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma’ namanya”. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa ijma’ tidak diakui keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh seseorang tentang ijma’ adalah dusta”. Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah periode sahabat, tetapi tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih berpegang pada qiyas setelah teks al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.

Kemudian pendirian Imam Hanbali terdapat ra’yi dan ahli ra’yi dalam hukum keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas pendapat dari buah fikiran orang yang tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas dalil atau alasan dari al-Qur’an ataupun sunnah.[12]

Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya. Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.

6. Sekilas Tentang Mazhab Hanbali

Untuk sekedar diketahui, bahwa mazhab Imam Hanbali ini mazhab yang kurang berkembang di dunia Islam. Mula mazhabnya hanya berkermbang di Bagdad, tempat kediaman Imam Hanbali. Hingga abad IV H, mazhab inipun belum merambah di negara Mesir, tetapi baru sampai pada perbatasan Irak. Dan baru pada akhir abad VI Hijriah, mazhab Hanbali terdengar beritanya di Mesir. Kemudian, dengan usaha gigih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim, mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad 12 H dengan kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab Mazhab Hanbali menjadi mazhab penduduk Najed. Dan sekarang resmi di pemerintahan Saudi Arabia dan memiliki pengikut terbesar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, Irak.[13]

III. KESIMPULAN

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual dalam memahami al-Qur’an dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi, sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan hadits daripada ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.

Fatwa-fatwa Ahmad bin hanbal didasarkan atas 5 hal :

ë Nash Al-Qur’an dan Hadits Marfu’

ë Fatwa para sahabat

ë Bila ada perselisihan diambil yang paling dekat dengan nash al-Qur’an atau hadits

ë Hadits Mursal dan hadits Dha’if

ë Qiyas


DAFTAR PUSTAKA

Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983.

Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.

Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001.

Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.



[1] Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung, 1994, hlm 148.

[2] Ibid, hlm. 140.

[3] Ibid, 142.

[4] K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 290.

[5] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.

[6] Ibid.

[7] K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.

[8] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001, hlm. 105-106.

[9] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 168-169.

[10] Imam Munawir, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.

[11] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit, hlm. 108.

[12] K.H. Munawar, Khalil, Op.Cit, hlm. 291.

[13] Prof. TM. Hasbi Ash-Shidiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 148.

Share:

6 Mei 2009

PEMIKIRAN POLITIK ABAD PERTENGAHAN (AL-MAWARDI)

I. PENDAHULUAN

Al-Mawardi merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang terkenal, Ia juga merupakan tokoh terkemuka mazhab Syafi’i. ia menjadi hakim Agung (Qâdi al-Qudât) dalam pemerintahan Abbasiyah disaat al-Qadir berkuasa. Meskipun begitu ia merupakan penulis yang produktif. Cukup banyak karyanya dalam berbagai cabang ilmu : ushul fiqih, fiqih, hadits, tafsir, fiqih siyasah (ketatanegaraan). Lewat fiqih siyasah inilah namanya menonjol. Salah satu karyanya yang terkenal dan dijadikan rujukan untuk ilmu politik dan pemerintahan adalah kitabnya “al-Ahkam al-Sulthoniyyah” (peraturan-peraturan kerajaan/pemerintahan).

Didalam kitabnya tersebut al-Mawardi membahas tentang pokok-pokok kenegaraan seperti : Jabatan khalifah dan syarat-syaratnya, cara pengankatannya, hubungan antara negara dan rakyat, dasar pokok agar suatu negara dapat berdiri, dan juga mengenai pemecatan khalifah (kapan seorang khalifah itu diturunkan dari jabatannya) dan masalah lain yang berkaitan dengan ketatanegaraan.

Oleh sebab itu dalam makalah kami ini, akan sedikit dibahas mengenai pemikiran-pemikiran Imam al-Mawardi dengan kitab al-Ahkam al-Sulthoniyah-nya.

II. PEMBAHASAN

Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia lahir di Basra 364 H/975 M, dan wafat di Bagdad 450 H/1058 M. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Sungguhpun demikian, ia termasuk penulis produktif, cukup banyak bukunya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari ilmu bahasa, sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan.[1]

Walaupun al-Mawardi lahir di Basra, tapi ia dibesarkan di Bagdad. Dari ulama-ulama terkemuka di Baghad ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara guru-gurunya adalah : al-Hasan Ibnu Ali al-Hambali, Muhammad Ibnu Adi al-Muqri, Muhammad ibnu al-Ma’ali al-Asdi, Ja’far ibnu Muhammad ibnu al-Fadl al-Baghadi, dan Abu Hamid al-Isfiraini. Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri l-Mawardi. Pada gurunya itulah ia mendalami mazhab Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakan disebuah masjid yang terkenal dengan masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.

Kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak Imam Mawardi telah membuat ia terkenal sebagai seorang panutan yang disegani dan berwibawa dikalangannya, baik oleh masyarakat umum, maupun oleh pihak pemerintah. Oleh sebab itu beberapa kali dia ditunjuk sebagai hakim kerajaan di Baghdad, dalam pemerintahan Abbasiyah.[2] Dan pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M) karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (qâdi al-qudât), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan pemerintahan.[3]

Disamping itu ia juga mengajar, banyak ulama terkemuka sebagai hasil dari bimbingannya. Diantaranya : Abu al-Ainain Kadiri dan Abu Bakar al-Khattib. Disamping mengajar kegiatan ilmiah yang ditekuninya adalah mengarang. Banyak kitab-kitab berharga diwariskannya, dalam berbagai bidang : ushul fiqih, fiqih, hadits, tafsir, fiqih siyasah. Pada fiqih siyasah ini namanya menonjol, yang sampai sekarang menjadi referensi untuk ilmu politik dan pemerintahan menurut fiqih Islam. Bukunya yang terkenal adalah al-Ahkam al-Sulthoniyah.[4] Buku ini sedemikian lengkap dan dapat dikatakan sebagai “konstitusi umum” untuk negara, berisikan pokok-pokok kenegaraan seperti tentang jabatan khalifah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat sebagai pemimpin atau kepala negara dan para pembantunya, baik di pemerintah pusat maupun didaerah, dan tentang perangkat-perangkat pemerintah yang lain.

Al-Mawardi berijtihad dan menyusun sebuah kerangka politik tentang apa yang harus dilakukan dalam suatu pemerintahan, seperti ketentuan pokok dalam pengangkatan seorang khalifah, tugas-tugas khalifah dan pejabat negara, dan hubungan negara dengan rakyat.[5]

Asal Mula Tumbuhnya Negara

Sebagaimana Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tetapi Mawardi memasukkan unsur agama dalam teorinya. Manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibanding makhluk lain. Menurutnya, kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan adanya perbedaan individual (bakat, kecenderungan dan kemampuan) mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu dan mengadakan kerja sama. Dengan kata lain sebab lahirnya negara adalah hajat umat manusia untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama, dan otak mereka yang mengajari tentang cara bagaimana saling membantu dan tentang bagaimana mengadakan ikatan satu sama lain.[6]

Dalam pandangan al-Mawardi agar negara dapat ditegakkan, dari segi politik ia mempunyai enam unsur pokok :

(1) Agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral. Agama dapat mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia, karena menjadi pengawas melekat pada hati nurani manusia, maka agama menjadi sendi yang paling pokok bagi kesejahteraan dan stabilitas negara.

(2) Penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan. Dengan begitu ia bisa mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda-beda (heterogen); membina negara untuk mencapai tujuan luhur, menjaga agar agama dihayati serta diamalkan, dan melindungi rakyat, kekayaan, serta kehormatan mereka. Dalam kondisi konteks ini penguasa adalah imam atau khalifah.[7]

(3) Keadilan yang menyeluruh. Dengan menyeluruhnya keadilan akan tercipta keakraban antara sesama warga negara, menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada pimpinan, menyemarakkan kehidupan rakyat dan membangunkan minat rakyat untuk berkarya dan berprestasi. Keadilan juga akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai dari diri sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan buruk, kemudian berlaku adil pada orang lain. Yang tersebut terakhir dibagi kedalam tiga bagian : [1] Berlaku adil terhadap bawahan, seperti raja terhadap rakyatnya, dengan memberi kemudahan dan meninggalkan cara-cara yang memberatkan. [2] Berlaku adil terhadap atasan, seperti rakyat terhadap penguasanya dengan sikap taat yang ikhlas, siap membantu dengan loyalitas yang tinggi. [3] Berlaku adil terhadap sesama setara, yaitu tidak mempersulit urusan, meninggalkan tindakan tak terpuji dan yang menyakitkan.[8]

(4) Keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat hidup tenang dan dapat melaksanakan kewajiban dan haknya sebagai rakyat. Meratanya keamanan adalah akibat menyeluruhnya keadilan.

(5) Kesuburan tanah yang berkesinambungan. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat dipenuhi, dan dengan demikian dapat dihindarkan perbuatan dengan segala akibat buruknya.

(6) Harapan kelangsungan hidup. Generasi sekarang punya kaitan erat dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi lalu. Karenanya harus dipersiapkan generasi yang bersikap optimisme sehingga ia mampu mencukupi kebutuhannya. Sebaliknya generasi yang pesimis akan digilas oleh waktu dan perkembangan zaman dan tak mungkin bertahan. Rasulullah bersabda : “Adanya harapan adalah satu nikmat dari Allah kepada umatku, kalau tidak ada harapan orang tidak akan (payah-payah) menanam pohon, dan seorang ibu tidak akan menyusui anaknya”.[9]

Melalui sendi dasar etik yang demikian diharapkan negara benar-benar mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dan lawan.[10]

Pemikiran politik al-Mawardi, khususnya yang berkaitan dengan imamah (kepemimpinan) sebagai suatu sistem pemerintahan, dapat dilihat dalam kerangka sebagai berikut :[11]

(1) Hukum Menegakkan Imamah (kepemimpinan)

Imamah (kepemimpinan) yang dimaksud al-Mawardi, dijabat oleh khalifah atau pemimpin (al-rais), raja (al-mulk), penguasa al-sulthan), atau kepala negara (qâid al-daulat) dan kepadanya ia berikan label agama.[12] Al-Mawardi menyatakan “Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia”.[13] Dengan demikian seorang imam adalah pemimpin agama disatu pihak dan dilain pihak pemimpin politik.

Dasar pembentukan imamah kata Mawardi adalah wajib secara ijma’. Akan tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau hukum agama (syari’ah). Menurutnya ada dua golongan, pertama, wajib karena pertimbangan akal (rasio). Alasannya manusia itu adalah makhluk sosial, dan dalam pergaulan antara mereka mungkin terjadi permusuhan, perselisihan, dan penganiayaan. Karenanya diperlukan pemimpin yang dapat mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan itu. Jadi secara logika manusia membutuhkan pemerintahan. Golongan kedua, wajib berdasarkan hukum agama (syari’ah) bukan karena pertimbangan akal,[14] karena kepala negara menjalankan tugas-tugas agama yang bisa saja rasio tidak mendukungnya dan rasio itu tidak mewajibkan sang pemimpin untuk menjalankannya. Sementara itu, rasio hanya mewajibkan setiap orang yang berakal agar tidak melakukan kezaliman dan tidak memutuskan hubungan dengan orang lain, serta mendorong untuk berbuat adil dan menyambung hubungan dengan orang lain. Sebagaimana firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ... (النساء : 59)

Dan juga hadits nabi yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah dari Abi shalih dari Abi Hurairah r.a bahwa Nabi bersabda :

سَيليْكُمْ بعدى وُلاَةٌ فَيَلِيْكُمْ البَرُّ بِبِرِّهِ وَيَلِيْكُمُ الْفَاجرُ بفُجُوره, فَاسْمَعُوْا لَهُمْ وَاَطِيْعُوا فِي كُلّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ, فَإِن أَحْسَنُوا فلكم وَلَهُمْ, وان أ ساؤا فلكم وعليهم.[15]

(2) Yang Berhak Di Pilih

Orang yang berhak dicalonkan sebagai kepala negara (imam) harus memiliki tujuh syarat berikut ini :

a. Adil dalam arti yang luas

b. Punya ilmu unutk dapat melakukan ijtihad didalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum.

c. Sehat pendengaran, mata dan lisannya, supaya dapat berurusan langsung dengan tanggung jawabnya.

d. Sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah cepat.

e. Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum.

f. Berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh.

g. Keturunan Quraisy. Berdsarkan nash dan ijma’ yang terjadi pada pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah; ketika Abu Bakar menyatakan,

Nabi SAW bersabda : الائمة من قريش (متفق عليه). Maka terpilihlah Abu Bakar menjadi khalifah secara ijma’. Rasulullah SAW juga

Telah bersabda : قدّموا قريشا ولا تقدّ مو ها , Nash yang telah diterima ini tidak ada pihak yang meragukannya dan tidak pula ada pihak yang

menyanggahnya.[16]

(3) Para Pemilih (Ahl al-Ikhtiyar)

Mereka yang berhak memilih harus mempunyai tiga syarat [17]:

a. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan (al-‘Adalah) memenuhi semua kriteria.

b. Mempunyai ilmu sehingga tahu siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala negara dengan syarat-syaratnya.

c. Memiliki pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.

Orang-orang yang berhak memilih iman ini adalah para wakil rakyat yang biasa disebut ahl al-hall wa al-‘aqd (orang-orang yang mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah dan menetapkan keputusan).

(4) Cara Pemilihan Imam (Suksesi Kepala negara)

Dalam suksesi kepala negara dapat ditempuh dengan dua sistem :

a. Dipilih oleh ahl al-hall wa al-‘aqd.

b. Wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya.

Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sumber awal agama Islam maupun dari fakta historis, al-Mawardi tidak menemukan sistem baku tentang suksesi kepala negara, tetapi suksesi dalam Islam yang telah di implementasikan oleh para sahabat ada tiga sistem. Pertama, pemilihan umum yang dilakukan oleh lembaga legislatif seperti kasus Abu Bakar. Kedua, pemilihan sistem komisi yang dipilih untuk menentukan penggantian kepala negara, kemudian penentuan komisi ini di promosikan kepada rakyat untuk disahkan, seperti promosi Umar bin Khattab. Ketiga, sistem penunjukkan oleh kepala negara sebelumnya dengan terlebih dulu memperhatikan suara politik rakyat, sebagaimana naik tahtanya Utsman ibn Affan.[18]

(5) Kewajiban-kewajiban Imam

Tugas yang harus diemban oleh kepala negara ada 10 hal[19]:

a. Menjaga dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf.

b. Menegakkan keadilan, supaya yang kuat tidak menganiaya yang lemah, dan yang lemah tidak merasa teraniaya.

c. Menegakkan hukum, supaya agama Allah dan hak-hak umat terjaga.

d. Menjaga keamanan dan menjaga daerah kekuasaannya dari gangguan musuh dan penjahat sehingga umat/rakyat bebas dan aman baik jiwa maupun hartanya.

e. Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh.

f. Jihad pada orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam.

g. Memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash dan ijtihad.

h. Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif.

i. Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang ia pegang.

j. Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara.

(6) Mengetahui Imam (Kepala Negara)

Jika jabatan imam telah diserahkan secara resmi kepada seseorang, baik dengan penyerahan mandat maupun pemilihan, seluruh umat Islam harus mengetahui perpindahan jabatan itu kepada imam yang baru, dengan sifat-sifatnya. Akan tetapi, mereka tidak harus mengetahui sosoknya secara langsung dan namanya, kecuali dewan pemilih yang menjadi landasan legalitas pengangkatan kepala negara dan faktor penentu sahnya jabatan itu.[20]

(7) Pemakzulan (Pemecatan Imam)

Setelah imam diangkat oleh ahl al-hall wa al-aqd dan mendapat baiat (pengakuan) dari umat, maka imam atau khalifah tersebut sebenarnya telah mengikat janji (kontrak) dengan umat.

Bagi imam, perjanjian itu merupakan komitmen untuk menjalankan kewajibannya dengan tulus dan ikhlas dan bagi umat perjanjian itu mengandung arti bahwa mereka akan mematuhi dan mendukung khalifah atau imam. Tetapi kepatuhan umat padanya akan hilang, yang membuat kekhalifahannya juga hilang, kalau terjadi hal-hal sebagai berikut :

a. Khalifah atau imam kehilangan sifat adil, memperturutkan hawa nafsu, dan melakukan kemungkaran,

b. Khalifah atau imam kehilangan kesehatan mental atau fisik (misalnya, kehilangan akal, penglihatan, rasa, penciuman),

c. Khalifah atau imam menjadi tawanan atau kekuasaannya dirampas oleh sultan atau amir yang membuat kemerdekaannya hilang.[21]

(8) Teori Kontrak Sosial

Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara ahl al-hall wa al-aqd atau al-ikhtiar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan di depan.

Adapun yang menarik dari hal ini, bahwa al-Mawardi memperkenalkan teori kontrak sosial pada awal abad XI masehi, dan baru lima abad kemudian, yakni pertengahan abad XVI masehi mulai bermunculan teori kontrak sosial di Barat. Dengan demikian Mawardi adalah satu-satunya pemikir politik Islam Zaman Pertengahan yang berpendapat bahwa kepala negara dapat diganti kalau ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugas, meskipun Mawardi tidak memberikan cara atau mekanisme bagi pergantian kepala negara itu. Juga ia tidak menjelaskan bagaimana ahl al-ikhtiar atau ahl al-hall wa al-aqd itu diangkat, dan dari kalangan mana, berdasarkan kualifikasi pribadi atau perwakilan kelompok.[22]

III. PENUTUP

Al-Mawardi mendasarkan teorinya secara realistik, hal itu dapat dilihat dalam pemikirannya yang tetap mempertahankan kepala negara harus berbangsa Arab dari suku Quraisy. Dan yang melatar belakangi adalah situasi politik pada saat itu, orang-orang Persi dan Turki terang-terangan akan merebut kekuasaan dari tangan Abbasiyah, dan merekapun bekerja sama dengan Syiah untuk menggulingkannya. Karenanya, status quo perlu dipertahankan agar terjamin stabilitas politik. Meskipun begitu ia berusaha mengadakan perbaikan yang sejalan dengan kaidah fiqhiyah :

المعا فظة بالقديم الصالح والاخذ بالجديد الأصلح

Upaya al-mawardi mempertahankan etnis Quraisy, secara konstektual interpretatif dapat dikatakan, bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Karena itu hadits-hadits yang mengutamakan etnis Quraisy harus dipahami sebagai ajaran yang bersifat temporal.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996.

Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.

Hashbi ash-Shiddieqy, Asas-Asas Hukum Tata Negara Menurut Syari’at Islam, Matahari Masa, Yogyakarta, 1969.

Prof. Dr. M. Yusuf Musa, MA, Politik dan Negara Dalam Islam, Pustaka LSI, Yogyakarta, 1991.

Dr. Mochtar Efendy, S.E., Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Perc. Universitas Sriwijaya, 2001.

Drs. Muhammad Azhar, MA., Filsafat Politik (Perbandingan Antara Islam dan Barat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Dr. J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1990.



[1] Drs. Muhammad Azhar, MA., Filsafat Politik (Perbandingan Antara Islam dan Barat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Ed.1, cet-2, hlm. 81.

[2] Dr. Mochtar Efendy, S.E., Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Perc. Universitas Sriwijaya, cet.1, 2001, hlm. 399.

[3] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm. 1162.

[4] Dr. Mochtar Efendy, S.E., Loc.Cit

[5] Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit

[6] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1990, hlm. 61.

[7] Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit

[8] al-Mawardi, Adab al-Dunyā wa al-Dīn, dalam Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, ed.I, cet.4, hlm. 227.

[9] Munawir Sadzali, Op.Cit., hlm. 62.

[10] Muhammad Azhar, Op.Cit., hlm. 83.

[11] Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit., hlm. 1163.

[12] Muhammad Jalal Syaraf dan Ali, dalam Suyuti Pulungan, Op.Cit., hlm. 230.

[13] Al-Mawardi, dalam Suyuti Pulungan, hlm. 231.

[14] Ibid

[15] Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2000, hlm. 16.

[16] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah, dalam Prof. Dr. M. Yusuf Musa, MA, Politik dan Negara Dalam Islam, Pustaka LSI, Yogyakarta, 1991, hlm. 60.

[17] Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, Op.Cit., hlm. 17.

[18] Hashbi ash-Shiddieqy, Asas-Asas Hukum Tata Negara Menurut Syari’at Islam, Matahari Masa, Yogyakarta, 1969, hlm. 64.

[19] Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, Op.Cit., hlm. 37.

[20] Ibid, hlm. 35.

[21] Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit, hlm. 1164.

[22] Munawir Sadzli, Op.Cit, hlm. 69.



Share:
Diberdayakan oleh Blogger.