ASPEK NORMATIF DAN HISTORIS DALAM PEMIKIRAN ISLAM

16 Juni 2009

ASPEK NORMATIF DAN HISTORIS DALAM PEMIKIRAN ISLAM

I. PENDAHULUAN

Dalam setiap pemikiran keagamaan, tak terkecuali dalam Islam terdapat dua aspek yang berbeda. Dalam keilmuan menuntut pendekatan yang bersifat obyektif, rasional dan universal, dan hal ini lebih berorientasi pada pemikiran yang analisis-kritis. Sedang dalam kelembagaan keagamaan menuntut pada pemihakan yang bersifat partikular subyektif, dan memihak pada pandangan hidup tertentu. Dalam hal ini sulit untuk dibedakan secara tegas-proporsional, dimana wilayah “keilmuan” dan dimana wilayah “keagamaan”. Karena sifat keilmuan menuntut sikap kritis, obyektif, rasional dan menempatkan diri sebagai pengamat. Sedang lain pihak, yakni sikap keagamaan lebih menekankan pada subyektifitas, mengikuti apa adanya, menempatkan diri sebagai pelaku.

Dua hal itu sebenarnya jika dicermati terkandung dinamika yang saling memberikan manfaat bagi keduanya. Sehingga masing-masing mempunyai peran tersendiri tanpa saling mengalahkan antara yang satu terhadap yang lain.[1]


II. ASPEK NORMATIF DAN HISTORIS

Dua hal tersebut mengundang permasalahan, bagaimana hubungan sifat keilmiahan di satu pihak, dan di lain pihak Islam sebagai pandangan hidup diangkat sebagai obyek studi. Apakah Islam perlu dikaji secara ilmiah, ataukah cukup hanya diamalkan saja. Permasalahan yang lebih ekstrim lagi, mana yang lebih tepat menjadikan Islam sebagai obyek kajian ilmiah atau cukup dijadikan pedoman hidup yang tanpa perubahan dan kekurangan. Permasalahan semacam itu sebenarnya merupakan permasalahan klasik yang menjadi perdebatan pada abad tengah antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd, yang mempertanyakan bagaimana hukumnya mempelajari filsafat. Dan Ibn Rusyd telah menjelaskan permasalahannya lewat bukunya Fasl al-Maqal, tetapi tampaknya tidak cukup mencerahkan bagi pemikiran ortodoksi keagamaan yang mulai mengkristal.[2]

Permasalahan tersebut menjadi sulit, karena sikap keagamaan yang baik untuk dapat membedakan antara aspek normatif dengan aspek historis keagamaan, terutama keagamaan Islam. Menurut Muhammad Arkoun, sejak abad 12 hingga abad 19, bahkan sampai sekarang terjadi proses sakralisasi pemikiran keagamaan, sehingga tidak ada kekurangan,[3] yang oleh Fazlur Rahman disebut proses “ortodoksi” baik bagi Sunni maupun Syi’i. Maka terjadi proses pencampuran yang lekat antara aspek historis kekhalifahan yang normanya selalu berubah, karena produk zaman dan normativitas al-Qur’an dan keagamaan Islam yang universal. Sebenarnya keduanya dapat dibedakan, meskipun tidak dapat dipisahkan, karena memiliki hubungan yang dialektis, menyatu dalam satu kesatuan, tanpa berhenti pada suatu sisi, meninggalkan aspek historis kemanusiaan atau meninggalkan aspek normatif yang dihayati para pemeluk agama. Arkoun menjelaskan, sejak abad ke 12 hingga sekarang terjadi penepian aspek historis kemanusiaan yang selalu dalam proses dan pembentukan.[4] Secara ontologis, dalam keagamaan Islam dapat digambarkan sebuah mata uang logam yang mempunyai dua permukaan, yaitu dalam keberagamaan Islam terdapat dua permukaan yang menyatu pada suatu kesatuan yang utuh, yakni aspek normatif dan historis. Keduanya menyatu, tidak dapat disahkan, tetapi dapat dibedakan.

Sebagai contoh, peristiwa yang disebutkan pada surat ‘Abasa ayat 1-11, tampak aspek historis kenabian Muhammad saw ketika berhadapan dengan ‘Abdullah ibn Ummi Maktum yang buta. Peristiwa historis itu tidak ada yang sakral, sebab hanyalah hubungan antar manusia saja. Kekuatan rasio manusialah yang mampu menembus aspek normatif al-Qur’an yang bersifat kepastian (fard al-‘ain) yang universal.[5] Peristiwa historis itu bentuknya dapat berganti seribu macam, sehingga persoalan khusus Nabi Muhammad saw dengan Abdullah ibn Ummi Maktum dapat pula berganti bentuk sesuai dengan situasi historis dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi, aspek normatif dan etika al-Qur’an yang bersifat kepastian, fard al-‘ain, tetap sama dari dulu sampai kapanpun, yakni kewajiban memperlakukan orang lain dalam berbagai stratifikasi sosial yang ada secara santun, demokratis, egaliter dan adil.[6] Aspek universalitas-intelektualitas dari ajaran Islam terletak pada normativitas-etika yang mengikat semua pihak, sedang aspek partikularitas-kulturalnya terletak pada peristiwa perilaku Nabi Muhammad saw dan nabi-nabi lainnya.[7]

Dalam keragaman Islam, terdapat dua aspek bersama-sama, yakni aspek normatif, wahyu, dan aspek historis kekhalifahan.[8] Menurut para fuqaha’ aspek normatif adalah aspek ibadah mahdah yang ditekankan pada aspek-aspek legalitas formalitas-eksternal, sehingga kurang apresiatif terhadap dimensi esoteris, yang juga melekat pada religius imperatif yang bersifat mahdhah tersebut. Sedang aspek historis baik yang berkaitan dengan persoalan sosial, politik, budaya ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan dan sebagainya dianggap termasuk ghairu mahdhah, sehingga dikategorikan fard kifayah. Pengkategorian semacam ini berdampak dalam pemikiran demikian besar dalam tatanan pemikiran umat Islam, yakni permasalahan yang masuk dalam kategori fard kifayah kurang diminati, lantaran sudah terselesaikan lewat perwakilan beberapa kalangan saja. Sedangkan perwakilan itu sendiri tidak jelas. Jadi, jika dalam kelompok ibadah mahdhah campur tangan akal pikiran tidak diperbolehkan, maka kelompok fard kifayah inilah yang sebenarnya menumbuhkan wacana intelektual yang kritis dan obyektif. Sebab, dalam wilayah fard kifayah ini terdapat pergumulan dan wacana epistemologi keislaman yang berat, dan di sini pula membutuhkan pendekatan empiris yang obyektif dan rasional.[9] Hal ini bisa dimengerti lantaran terikat dalam konteks waktu, ruang, historis, kultur, dan psikologi[10] tertentu, sehingga tetap memberikan peluang untuk senantiasa didiskusikan.


III. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam kehidupan keagamaan, khususnya dalam pemikiran keagamaan Islam terdapat aspek normatif dan historis. Kedua aspek itu terdapat hubungan yang menyatu, tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan.

2. Aspek normatif, wahyu, harus diterima sebagaimana adanya, mengikat semua pihak, dan berlaku universal. Sedang aspek historis kekhalifahan, senantiasa dapat berubah, menerima diskusi, karena produk zaman tertentu, dan bukan hal yang sakral.

3. Diperlukan ketajaman untuk memahami mana aspek normatif dan mana yang aspek historis, sehingga tidak tercampuradukkan antara keduanya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958.

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II.

M. Arkoun, Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hashem Saleh, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1990.



[1] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II, hlm. 18.

[2] Ibid., hlm. 18-19.

[3] M. Arkoun, Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hashem Saleh, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1990, hlm. 172-173.

[4] Ibid.

[5] QS. Al-Furqan : 20

[6] M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 20-21.

[7] QS. Al-Mukmin : 78.

[8] M. Amin Abdullah, Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam, “Dian/Interfidei”, terbitan perdana. Dan M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 21.

[9] Ibid., hlm. 21-22.

[10] Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958, hlm. 54.



Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.