DAMPAK NEGATIF TEKNOLOGI MODERN DAN SIKAP ANTISIPATIF KAUM MUSLIMIN

1 Juli 2009

DAMPAK NEGATIF TEKNOLOGI MODERN DAN SIKAP ANTISIPATIF KAUM MUSLIMIN

  1. PENDAHULUAN

Kita wajib bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi anugerah berupa akal untuk berpikir. Dengan akalnya itu manusia selalu dinamis, dapat merencanakan kehidupannya yang lebih baik dari masa lalunya, dapat berbudaya dan menciptakan peradaban, mengolah dan memakmurkan alam, dan juga menciptakan teknologi modern pada masa kini. Upaya-upaya yang dilakukan manusia pada prinsipnya adalah untuk kepentingan dirinya, kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Hasil rekayasa yang disebut teknologi bukanlah muncul hanya di zaman sekarang. Meskipun ia memainkan peran sentral pada zaman modern, hanya saja teknologi telah ada sejak peradaban manusia (atau sejak “Zaman Sejarah”), terutama sejak tumbuhnya masyarakat kota pada bangsa Sumeria sekitar 5000 tahun yang lalu.1 Sebagaimana dikatakan oleh Hodgson, bahwa merupakan kemustahilan memandang zaman modern sebagai suatu kesatuan terpisah2 (keterpisahan). Kini pembicaraan teknologi modern cenderung bersifat ke-“Barat”-an, sehingga sering terkesan kesenjangan, minimal keseganan untuk dengan tegas mengakui konstribusi bangsa-bangsa Timur.3

Tidak dapat diragukan lagi, bahwa teknologi modern memang membawa manfaat dan kemakmuran umat manusia. Tetapi jika tidak diwaspadai dan tidak diperhatikan secara seksama, maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Untuk itulah, kaitan bahasan ini sebagai sikap kehati-hatian dan antisipatif khususnya dari kaum Muslimin.


  1. DAMPAK NEGATIF TEKNOLOGI MODERN

Tentang teknologi, Islam tidak menolaknya, justru Islam mendorong dan memberikan arahan agar dapat bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Sebab dalam teknologi jika tidak diwaspadai dan tidak diperhatikan secara seksama, maka selalu akan menjadi sebagai “pisau bermata dua”. Dan pada satu sisi dapat mendatangkan manfaat dan kesejahteraan bagi umat manusia, dan pada sisi yang lain dapat mendatangkan bahaya dan menghancurkan peradaban, harkat, martabat, serta kepentingan umat manusia.

Maka untuk menghadapinya, harus dilandasi dengan dua sikap. Meminjam istilah Abdus Salam, seorang ilmuwan Muslim, pemenang hadiah Nobel tahun 1979 dalam ilmu fisika, menyebutnya dengan : Tafakkur dan Tasykir. Tafakkur adalah berefleksi, berfikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam (sains). Dan tasykir adalah memperoleh penguasaan atas alam (dengan teknologi). Keduanya, sepanjang masa, merupakan dorongan-dorongan terpadu seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam bahwa al-Qur’an, dengan perintah yang diulang berkali-kali mengandung perintah umum untuk bertafakur dan bertasykir (mengejar sains dan teknologi) sebagai kewajiban atas masyarakat Muslim.4 Dengan kata lain, harus berpikir untuk menguasai, mendayagunakan dan menghasilgunakan alam (sains) untuk kesejahteraan umat manusia, dan bersyukur atas karunia Tuhan tentang kemanfaatan alam (dengan teknologi) bagi umat manusia.

Tentang teknologi, secara dramatis Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave, menjelaskan adanya perubahan manusia dari gelombang peradaban pertama, kedua, dan ketiga, dengan menganalisis empat sistem yang saling berkaitan yang disebutnya dengan : Lingkungan teknologi (techno-sphere), yang meliputi sistem penggunaan energi, sistem produksi, dan sistem distribusi barang. Lingkungan informasi (info-sphere), yang merupakan sistem saluran informasi untuk mendistribusikan pesan-pesan individu, kelompok atau organisasi. Lingkungan sosial (socio-sphere), merupakan sistem sosial yang menentukan peranan individu dalam hubungannya dengan sesamanya. Dan lingkungan kejiwaan (psycho-sphere) adalah suasana kejiwaan, keadaan rohaniah, yang meliputi seluruh anggota masyarakat. Keempat sistem ini membentuk, mempengaruhi dan menentukan dinamika di ambang peradaban ketiga. Gelombang peradaban kedua mulai runtuh. “Sebenarnya kita sedang mengalami bukan saja hancurnya lingkungan teknologi, lingkungan informasi, atau sistem sosial gelombang kedua, tetapi juga rontoknya suasana kejiwaan”.5 Di sini tampak pemikiran Toffler, bahwa perkembangan sains dan teknologi yang disebutnya sebagai revolusi teknologi, revolusi informasi, revolusi sosial, dan revolusi psikologi. Disebut revolusi, karena perubahan itu demikian cepat jika dibandingkannya dengan perubahan kultural umat manusia selama ratusan tahun.

Di atas telah disebutkan, bahwa teknologi selalu akan menjadi sebagai “pisau bermata dua”, ia dapat digunakan untuk tujuan yang baik dan jahat sekaligus. Memang teknologi modern telah menimbulkan manfaat yang banyak, dan dapat pula menimbulkan mafsadah yang lebih banyak lagi. Teknologi nuklir, dapat memberikan sumber energi, dalam dunia kedokteran bukan hanya untuk mendiagnosis suatu penyakit, tetapi juga untuk membunuh sel-sel kanker. Namun, seperti telah kita ketahui, lebih dari 50.000 senjata nuklir yang ada sekarang ini memiliki daya penghancur jutaan kali dari bom atom yang jatuh di Hiroshima. Biologi dan kimia telah melahirkan teknologi yang mempertahankan struktur kehidupan modern, seperti purifikasi air, peningkatan pertanian, kesehatan, pengolahan dan penyimpanan makanan. Saat ini, bioteknologi sanggup – dengan teknik pembelahan gen – menjadikan bakteri-bakteri semacam pabrik kimia yang menghasilkan insulin yang diperlukan bagi penderita diabetes, dan interferon yang diperlukan bagi pengidap kanker. Tetapi, bioteknologi juga dapat digunakan untuk mengembangkan senjata biokimia yang dapat memusnahkan ternak, tanaman, dan bahkan manusia. Teknologi ruang angkasa telah melahirkan satelit yang dapat digunakan untuk navigasi, prakiraan cuaca, memonitor sumber alam, menunjukkan masalah polusi, kegagalan panen, atau penyakit hewan. Tetapi pada saat yang sama, lebih dari 1800 satelit yang kini berada di ruang angkasa telah dipakai untuk kepentingan militer, di samping untuk menghancurkan sesama satelit, sehingga ruang angkasa penuh dengan sampah-sampah radioaktif. Teknologi pengetahuan lingkungan dapat digunakan untuk menyelamatkan suatu daerah dari bahaya banjir mencegah disertifikasi (meluasnya gurun pasir), dan menyediakan air bagi daerah yang kekeringan. Tetapi juga dapat dipergunakan untuk peperangan geofisik; menimbulkan kebakaran hutan, penyimpangan air sungai, gempa bumi, gelombang laut, atau ledakan vulkanik.6

Ada juga perkembangan teknologi yang dapat merisaukan kita, yaitu rekayasa genetik (genetic engineering) yang memungkinkan untuk “membuat” bayi manusia, seperti :

  1. Inseminasi artifisial, yang bermula dari penemuan tentang teknik pengawetan sperma sampai tiga belas tahun yang telah dapat melahirkan bayi. Jika wanita yang diinseminasi dengan sperma suaminya, tidak menjadi persoalan. Yang menjadi persoalan, misalnya, jika suami penyimpan spermanya di bank (banyak terjadi di Amerika), baru dipergunakan beberapa tahun kemudian setelah suaminya meninggal, bila terjadi kehamilan, bagaimana kedudukan anak itu?

  2. Inseminasi dengan donor sperma, yakni sperma dari donor yang diketahui identitasnya atau yang dirahasiakan, atau seorang gadis ingin memiliki anak tanpa suami, kemudian mengambil sperma dari bank dan diinjeksikannya oleh dokter. Berzinakah itu?

  3. Ovarian transplant dari satu wanita ke wanita lain. Kemungkinan cara ini dengan mencangkokkan ovum seorang wanita pada wanita lain. Setelah itu, kemudian dilakukan inseminasi. Bagaimana hubungan anak dengan wanita itu?

  4. Fertilisasi in vitro (dalam tabung). Fertilisasi terjadi di luar tubuh. Setelah embrio terbentuk, kemudian dimasukkan ke dalam rahim ibu. Dan embrio dapat ditanamkan pada rahim (manusia) siapa saja, tidak selalu pada rahim ibu pemberi ovum. Ini banyak terjadi ibu-ibu di Amerika yang menyewakan rahimnya dengan upah antara 10.000-25.000 dolar, yang disebut surrogate mother, gestational mother, contractual bay bearer, mercenary mother, dan sebagainya. Kemudian, yang lahir itu anak siapa?

Dan masih ada cara yang lain, yakni extra corporeal gestation (bayi tabung), parthenogenesis (pengembangan sel telur yang tak dibuahi), cloning dan embrio fusion (menggabungkan dua embrio yang memiliki empat orang tua). Menurut Lederberg, semua rekayasa ini kini belum dijalankan, tetapi dalam sepuluh atau tiga puluh tahun lagi dapat dipraktekkan. Dan kini juga telah dipikirkan untuk menanamkan embrio pada rahim binatang, seperti sapi, menurut Robert T. Francoer, embriolog, hal itu tidak sulit untuk dipraktekkan, kecuali ada kendala moral dan agama.7

Lebih dari itu, jika diperhatikan bahwa teknologi, khusus teknologi modern memiliki dinamika internalnya sendiri, sehingga hukum-hukum perkembangannya tidak semuanya tunduk pada kemauan manusia, yang dapat disebut sebagai sebuah determinisme teknologis. Sebab teknologi merupakan sebuah aspek peradaban manusia, maka determinisme teknologis itu dapat menyatu dengan determinisme sosial. Yakni, suatu pandangan bahwa perkembangan sosial, seperti banyak dianut kaum Marxsis dan penganut teori strukturalistik, terjadi menurut garis kepastian mengikuti struktur yang tersedia. Maka sebuah negara yang memiliki alat yang destruktif maksimal, seperti bom nuklir, akan sangat terdorong secara terminalistik untuk menggunakan alat itu dan tidak menggunakan alat lain dengan daya destruktif yang lebih kecil. Secara karikatural, jika seseorang memiliki pistol dan pisau, maka ia cenderung lebih menggunakan pistol yang memiliki daya destruktif maksimal daripada menggunakan pisau.8 Itulah salah satu keserakahan manusia yang dikuasai nafsunya. Maka dalam kaitannya dengan determinisme teknologis, dengan determinisme sosial ini dapat menjerumuskan manusia pada suatu malapetaka yang tak terhingga, sebuah “Armageddon” atau pertempuran besar yang sangat menentukan antara kemanusiaan dan nafsu yang pasti dimenangkan oleh nafsu.9

Pemikiran pesimistis semacam itu bukan tanpa alasan. Sebab dengan penilaian kritis terhadap teknologi modern lahir dari orang-orang modern sendiri atas dasar peristiwa bahwa sementara teknologi modern memungkinkan memberikan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan material, namun tidak berarti bahwa ia sekaligus menyediakan sarana peningkatan kualitas kemanusiaan. Sehingga meskipun manusia itu modern, namun tetap “primitif” dalam nilai-nilai kemanusiaan dan “buas” dalam perilakunya. Ini terbukti dengan munculnya Naziisme Jerman dan dijatuhkannya bom atom oleh Amerika pada kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang yang padat penduduknya pada akhir Perang Dunia II.

Jerman dengan Naziismenya, sulit untuk bisa dipahami sebagai bangsa dan negara yang demikian maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (saat itu termasuk paling maju di dunia) dapat terjerumus ke dalam kebiadaban Hitlerisme jika bukan karena manusia “modern”, namun masih terjangkit kemungkinan kebiadaban seperti pada fase primitif dalam perkembangan kehidupan sosial-budaya. Bagi Amerika, meskipun dapat diberi penghargaan karena ikut menghancurkan kebiadaban Nazi Jerman, dan juga karena dapat menghancurkan kebiadaban Jepang menyerang Pearl Harbor dan menindas bangsa-bangsa tetangganya di Asia Timur.10 Meskipun demikian, tetap terdapat pertanyaan yang digambarkan immoral dan biadab, seperti dinyatakan oleh Marshall G.S. Hodgson, bahwa ia tidak sanggup untuk melihat immoral dan kebiadabannya yang telah menjatuhkan bom-bom yang memiliki daya perusak yang dahsyat, dan membunuh tanpa pandang bulu dan tempat, dilakukan dua kali di kota-kota yang pada penduduk dan bangunannya, kebiadabannya itu digambarkan seperti bangsa Mongol pengikut Jengis Khan,11 yang terkenal brutal dan biadab.

Ungkapan dari Hodgson itu berarti, jika penggunaan bom (hasil teknologi) itu hanya satu kali dan di daerah yang jarang penduduknya akan memiliki nilai yang berbeda. Dan jika dimaksudkan untuk memberikan “peringatan” atau “pelajaran” bagi Jepang agar menyerah tanpa syarat, maka tujuan itu akan tercapai dengan menjatuhkan bom di daerah dan bahkan yang tanpa penduduk.

Dengan memperhatikan bukti-bukti dampak negatif dari teknologi tersebut, maka sangat wajar, kini timbul sikap mempertanyakan kembali hubungan manusia dengan teknologi yang justru dipelopori oleh individu-individu dari masyarakat berteknologi modern sendiri, atau mereka yang terbelakang, namun memiliki pengalaman individual tentang kehidupan modern dan memiliki akses kepada kalangan yang mempertanyakannya. Ini berarti adanya reaksi negatif dan mempertanyakan kembali terhadap kehadiran teknologi yang justru sebagian timbul dari ilmuwan modern sendiri, sehingga otentisitas dan kesejatiannya patut sekali diperhatikan.12 Marilyn Ferguson melaporkan secara rinci tentang gerakan yang memandang sains dengan sikap skeptis sejak tahun tujuh puluhan dan makin intensif tahun delapan puluhan. Everett Mendelson, ahli biologi dari Harvard, menyatakan : “Sains sebagaimana yang kita ketahui telah melewati masa gunanya”. Theodore Roszak, dalam Where the Wasteland Ends, mengejek rasionalitas ilmiah, dan mengajak orang terhadap kepekaan agama. Karena obyektifitas ilmiah telah menurunkan pengalaman manusia dari kehidupan. Akal hanyalah kemampuan manusia yang terbatas. Di samping akal, ada lagi spiritual knowledge,13 meminjam istilah Dr. Harun Nasution disebutnya daya rasa atau hati nurani manusia yang dapat membimbing akal.14 Kini di kalangan mereka, mulai menyadari pentingnya memandang alam sebagai suatu sistem yang utuh, melihat kekuatan-kekuatan supra-rasional, meta-empiris di balik semua kekuatan-kekuatan materialistis entah karena kekecewaan terhadap sains atau karena penemuan-penemuan baru dalam sains yang membawanya kepada tingkat kesadaran baru. “Kita sedang berjalan menghampiri ambang agama”, kata Assagioli, seorang psikolog dari Amerika.15

Mengapa timbul reaksi dan perubahan sikap tersebut? Dalam hal ini, tampaknya mereka menyadari, bahwa perilaku tersebut bukan hanya menjauhkan karunia Allah, bahkan menyalahi dan menentang karunia-Nya yang sebenarnya untuk kebajikan, namun digunakan untuk kejahatan. Seperti dikatakan oleh Hakim Dunia, Jens Everson, mencalonkan penjatuhan bom atom oleh Amerika atas Hiroshima dan Nagasaki itu sebagai kejahatan terbesar yang tiada taranya sepanjang sejarah umat manusia.16 Ini berarti bukan hanya kemunduran materi primordial, atau sifatnya yang kontradiktif dan dapat rusak, melainkan tertutupnya “mata hati”.17 Seperti dinyatakan dalam surat al-A’raf ayat 179 yang artinya :

“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka itulah orang-orang yang lalai”.18


  1. SIKAP ANTISIPATIF KAUM MUSLIMIN

Kekeliruan menggunakan teknologi itu, yang sebenarnya diperlukan sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan umat manusia, namun digunakan untuk hal yang sebaliknya, kemafsadahan (kerusakan) dan kejahatan. Hal ini terjadi, karena mereka terjerumus pada penyembahan manusia dan kebutuhan materialnya. Segala sesuatu yang berada di luar kesejahteraan fisik dan penumpukan kekayaan (material), yakni keperluan manusia yang lain dan bersifat fitri yang lebih tinggi dan halus, menjadi tersisih dari perhatian negara dan sistem sosial, seolah-olah hidup manusia tidak punya makna yang lebih tinggi, yang berakibat rasa tanggungjawab kepada Tuhan dan masyarakat semakin suram. Keadaan inilah yang dinilai oleh Solzhenitsyn sebagai “kemiskinan moral”.19 Ini berarti karena mereka hanya mengenal sisi luar dari kehidupan dunia ini, sedangkan sisi lain, yakni tujuan akhir (al-akhirat) tidak mereka hiraukan. (ar-Rum ayat 7).20 Pengetahuan tentang sisi luar dari kehidupan dunia, merupakan puncak ilmu mereka. (an-Naj ayat 30).21

Maka untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak negatif dari teknologi modern itu, kaum muslimin, sebagai umat yang beriman, dengan meminjam istilah dari ‘Ali Syari’ati yang menyebutnya dengan : “kembali kepada kepribadian sendiri”, yakni suatu ideologi atau keyakinan yang menimbulkan kesadaran,22 merupakan kewajiban bagi pemikir modern baik dari dalam maupun luar kalangan keagamaan.23 Menurut A. Baiquni yang dikutip Dr. A. Syafi’i Ma’arif, untuk memiliki dan menumbuhkan sikap apresiatif terhadap pengembangan ilmu (sains) dan teknologi di lingkungan umat Islam seperti sediakala dengan pengarahan dan pembinaan yang sesuai dengan ajaran agama,24 yang berarti agar aspek moral dari penggunaan sains dan teknologi wajib senantiasa dipertimbangkan.25 Maka sebelum memasuki era teknologi secara besar-besaran, suatu strategi moral yang mantap wajib dipersiapkan dengan matang,26 agar tujuan untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan di akhirat kelak dapat tercapai. Sebab jika tidak demikian, upaya-upaya semacam itu (penyembahan manusia dan kebutuhan materinya, penumpukan material) hanyalah akan sia-sia belaka, bahkan juga menyengsarakan umat manusia. Seperti dinyatakan dalam surat al-Kahfi ayat 103-105 yang artinya :

Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.27

Ayat itu memberikan pengertian, bahwa pekerjaan atau amalan dengan disiplin tinggi sekalipun tanpa dasar spiritual (iman) merupakan kesia-siaan belaka. Maka untuk menghadapi teknologi modern dan kemungkinan berbagai ekses negatifnya, sama halnya dengan menghadapi masalah kehidupan dengan berbagai problematikanya. Untuk itu diperlukan adanya sikap keseimbangan (equilibrium), sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Qasas ayat 77 yang artinya :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.28

Ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kekayaan materi dengan teknologi modernnya diperlukan sebagai jembatan untuk mencapai tujuan hidup yang penuh nikmat dan lestari, yaitu hidup dan kehidupan di akhirat. Untuk mencapainya, tetap tergantung pada faktor “the man behind the gun” ikut memegang peran amat menentukan dalam menjadikan teknologi bermanfaat atau mafsadah.29 Maka bagi “the man” diperlukan adanya self-control manusia yang dibimbing oleh akal sehat (right reason),30 daya rasa atau hati nurani,31 berdasarkan sinar imani yang murni kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu tauhid atau monotheisme yang sesuai dengan pesan Kitab Suci mengenai hal itu. Menurut keimanan al-Qur’an, hakekat wujud manusia adalah amalnya, dan nilai amalnya itu ditentukan oleh kualitas niat atau motivasi batinnya. Sebab itu tujuan pertama ajaran agama ditujukan pada penanaman iman dalam batin masing-masing orang, dengan maksud iman itu menyatakan dirinya secara konkrit dalam amal perbuatan yang bermoral. Iman yang mendalam, tulus dan bersifat pribadi itu mendasari komitmen orang yang bersangkutan dalam amal perbuatannya, yang kemudian direalisasikan dalam konteks hubungan antar pribadi anggota masyarakat, sehingga bersifat sosial dan berwatak kemanusiaan.32

Tegasnya, untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak negatif dari teknologi modern, harus didasari dengan iman, beramal saleh, saling mengingatkan antar sesama tentang kebenaran, dan tabah menghadapi realitas kehidupan di dunia ini. Seperti yang diajarkan al-Qur’an surat al-‘Asr ayat 1-3 yang artinya :

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.33

Ajaran al-Qur’an itu harus diyakini kebenarannya oleh siapapun yang mengaku dirinya sebagai umat Islam. Dan yang menarik justru adanya peringatan kepada orang-orang modern dari Marshall G.S. Hodgson, orang yang benar-benar “modern” yang lahir dan mati di negeri “modern” Amerika, menyatakan : … kita harus terus menerus siap sedia untuk meninjau kembali amalan kita dalam cahaya al-Qur’an (… we must stand continuously ready to reassess our practice in the light of the Qur’anic judgment).34 Dengan bimbingan al-Qur’an itu umat Islam akan benar-benar mampu mengontrol setiap amalannya untuk kebajikan, kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia seluruhnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, umat Islam akan benar-benar menjadi sebaik-baik umat (khaira ummah). Seperti disebutkan dalam surat ‘Ali Imran ayat 110 yang artinya :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.35

Dan atas perbuatan atau amalan yang telah lampau, terutama amalan-amalan yang salah dan yang tidak disadari, segera kita kembali dan berserah diri kepada Allah sebelum azab-Nya ditimpakan kepada kita. Seperti diajarkan dalam al-Qur’an surat az-Zumar ayat 54-55 yang artinya :

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.


  1. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

    1. Teknologi modern tetap diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia di dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.

    2. Dampak negatif dari teknologi modern karena faktor manusianya, yang akibat buruknya akan dirasakan dan ditanggung oleh masyarakat atau lingkungan yang lebih luas.

    3. Untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak negatif dari teknologi modern itu, kaum muslimin harus meningkatkan self-control-nya yang dibimbing oleh akal sehat (right reason), daya rasa atau hati nurani berdasarkan sinar imani kepada Tuhan Yang Maha Esa, beramal saleh, saling mengingatkan tentang apa yang benar, dan tabah menghadapi realitas kehidupan di dunia, sebagai khaira ummah.


DAFTAR PUSTAKA

Aristotle, Nocomachean Ethics, penerjemah, Martin Ostwald, Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, 1979.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1975.

Harian, Kompas, Jakarta, 17 April 1989, hlm. 7, rubrik “Kilasan Kawat Sedunia”.

Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam, jil. III, Chicago: The University of Chicago Press, 1974.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985.

Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, cet. IV, Bandung: Mizan, 1994.

Salam, Abdus, Panji Masyarakat, No. 400.

Schuon, Frithjof, (Muhammad Isa Nuruddin), Islam dan Filsafat Perenial, penerjemah, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1993.

Solzhenitsyn, Alexander I., “A World Split Apart”, Solzhenitsyn at Harvard, Ronald Berman, (ed.), Washington D.C., Ethics and Public Policy Center, 1980.

Syari’ati, ‘Ali, “Kembali Kepada Kepribadian Sendiri”, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, John J. Donohue dan John L. Esposito, penerjemah, Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984.

Toffler, Alvin, The Third Wave, London: Bantam Books, 1981.


1 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 529.

2 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, jil. III, Chicago: The University of Chicago Press, 1974, hlm. 200-201. “It hand not been isolated even in its origins, since it pre-supposed the wider historical complex of which the Occident format a part…”

3 Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 530.

4 Abdus Salam, Panji Masyarakat, No. 400. Lihat, Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, cet. IV, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 147.

5 Alvin Toffler, The Third Wave, London: Bantam Books, 1981, hlm. 365.

6 Jalaluddin Rahmat, op.cit., hlm. 149-150.

7 Ibid., hlm. 150-152.

8 Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 532-533.

9 Ibid., hlm. 533.

10 Ibid., hlm. 533-534.

11 Marshall G.S. Hodgson, op.cit., hlm. 414. By the end of the war, the moral irresponsibility was spreading. The American had long shown an unusual degree of moral sensitivity on the international scene. But to enforce on Japan their prideful demand for unconditional surrender without face-saving reservations, even the Americans, who were shocked by Nazi brutality, were not ashamed to demonstrate their mass-murdering atomic bomb not on open areas but not major cities, not once but twice within a few days: Schreklichkeit on a new mechanical level dispensing with the sentimental limitations imposed even among Chingiz Khans Mongols by personal involvement.

12 Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 531.

13 Jalaluddin Rahmat, op.cit., hlm. 153

14 Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 206.

15 Jalaluddin Rahmat, op.cit., hlm. 153-154.

16 Harian, Kompas, Jakarta, 17 April 1989, hlm. 7, rubrik “Kilasan Kawat Sedunia”.

17 Frithjof Schuon (Muhammad Isa Nuruddin), Islam dan Filsafat Perenial, penerjemah, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 194.

18 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1975, hlm. 251-252.

19 Alexander I. Solzhenitsyn, “A World Split Apart”, Solzhenitsyn at Harvard, Ronald Berman, (ed.), Washington D.C., Ethics and Public Policy Center, 1980, hlm. 16-17.

20 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 642.

21 Ibid., hlm. 873.

22 ‘Ali Syari’ati, “Kembali Kepada Kepribadian Sendiri”, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, John J. Donohue dan John L. Esposito, penerjemah, Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984, hlm. 569.

23 Ibid., hlm. 572.

24 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985, hlm. 151.

25 Ibid.

26 Ibid., hlm. 153.

27 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 459.

28 Ibid., hlm. 623.

29 Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 536.

30 Aristotle, Nocomachean Ethics, penerjemah, Martin Ostwald, Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, 1979, hlm. 81.

31 Harun Nasution, loc.cit.

32 Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 537.

33 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 1099.

34 Marshall G.S. Hodgson, op.cit., hlm. 122.

35 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 94.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.