PAHAM QADARIYAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA KINI

26 Agustus 2009

PAHAM QADARIYAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA KINI

Oleh:

Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*

Tentang kepastian timbulnya paham Qadariyah ini tidak dapat diketahui, tetapi menurut para ahli teologi Islam paham ini tampaknya ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhani (w. 80 H). Hanya saja tentang Ma’bad ini seperti dikatakan oleh W. Montgomery Watt : “Not much is known about Ma’bad al-Juhani”.

Tokoh keduanya adalah teman Ma’bad yang bernama Ghailan al-Dimasyqi yang terus menyiarkan pahamnya di Damaskus. Menurutnya, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, yakni manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik, maupun melakukan atau menjauhi perbuatan jahat semuanya atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini, manusia merdeka dalam perilakunya, ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri, dan berbuat jahatpun atas kemauan dan kehendaknya sendiri.

Demikianlah paham qadar yang berkembang dalam pikiran Qadariyah, yang pada dasarnya meletakkan kebebasan manusia untuk melakukan sesuatu, karena ia mempunyai qudrah untuk itu. Ini berarti meletakkan posisi manusia secara proporsional lantaran manusia memiliki akal, yang dengannya (akal) manusia dapat melakukan yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian manusia bertanggungjawab atas perbuatannya.

Kecuali memiliki akal, manusia juga memiliki kesadaran diri, dan memiliki imajinasi, yang karena hal-hal demikian inilah membedakannya dengan alam semesta lainnya, sehingga ia memiliki otoritas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kekhalifahannya di bumi ini. Otoritasnya itu dibenarkan oleh al-Qur’an, seperti ayat :

إنّ الله لا يغيرما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

Dengan kecakapan intelektualnya, manusia dapat menentukan perjalanan hidupnya, dan dengan kata lain manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan, serta mempunyai kekuatan atau qudrah untuk melaksanakan kehendak dan perbuatan-perbuatannya.

Karena itulah pengertian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Paham ini dalam istilah Inggrisnya dikenal dengan sebutan free will dan free act.

Ketika paham Qadariyah timbul pertama kali yang dibawa oleh orang-orang Islam non-Arab, menimbulkan kegoncangan pikiran masyarakat Islam Arab yang semula berpaham fatalisme yang karena kondisi alamnya yang demikian keras. Untuk itu mereka menentang paham Qadariyah dengan ungkapan :

القدرية مجوس هذه الأمة

Dalam kaitannya dengan kondisi alam tersebut, paham Qadariyah ini justru menguntungkan untuk mengadakan perubahan sosial dan kondisi lingkungannya, untuk membangun sebagai sumber moral dan kekuatan untuk dapat melaksanakan sesuatu yang lebih baik dari kondisi semula, yang dikarenakan manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk itu.

Sekarang bagaimana dengan kehidupan manusia pada masa kini? Sebagai suatu analisis bahwa pada masa kini yang ditandai dengan teknologi yang serba canggih, arus globalisasi dan informasi, yang membikin segala sesuatu serba transparan, sehingga menuntut manusia lebih mendayagunakan kehendak, kekuatan dan kemampuannya untuk melaksanakan perbuatan-perbuatannya yang tepat, cepat dan berdayaguna demi tersingkapnya eksistensi manusia selaku khalifahtullah fi al-ardl, sebab al-masyi’ah, al-istitha’ah, dan fi’lu al-insan semua ada pada manusia.

Karena manusia memiliki qudrah untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau dengan kata lain manusia memiliki daya ikhtiyariyah itulah, maka manusia bertanggungjawab atas semua perbuatan-perbuatannya itu, dan karena itu pula berkaitan dengan keadilan Tuhan. Jika manusia tidak merdeka, yang karena perbuatan buruknya ia mendapat siksa, memberi kesan bahwa Tuhan tidak adil.

Sikap free will Qadariyah ini juga mengilhami dibidang lain, seperti tentang imamah, mereka cenderung mengembangkan demokrasi, yang dengan cara demikian manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Di sini tampak bahwa hak asasinya mendapatkan kehormatan dan terlindungi.



* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar IAIN Walisongo Semarang di Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.