AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA

1 November 2009

AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA


Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.[1]
"Apakah dan siapakah manusia?". Pertanyaan klasik ini selalu menarik untuk dijawab oleh umat manusia sepanjang zaman. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berbagai filosof dan ilmuwan mencoba membangun konsep apakah dan siapakah manusia. Dalam kenyataannya, jawaban atas pertanyaan ini selalu mengandung kelemahan karena keterbatasan manusia dalam memahami siapa dirinya dan sesamanya. Karenanya, sejumlah gugatan terhadap konsep manusia hadir dan "berloncatan" dihadapan kita. Permasalahannya adalah mungkinkah kita akan berhasil membangun konsep manusia yang dapat memahami dan memperlakukan manusia secara benar? Bagaimana pandangan al-Qur'an tentang manusia?
A. Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.[2] Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi[3] karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.
Berbicara tentang eksistensi manusia beserta nafsil insaninya berarti kita mengangkat suatu obyek studi yang tidak pernah bisa tuntas dipersoalkan (Sukanto MM, 1989). Manusia sebagai obyek ilmu pengetahuan akan dibicarakan dalam berbagai aspek dan seginya. Seorang biolog akan melihat manusia dari aspek biologi, sosiolog melihat manusia dari segi sosiologi, psikolog melihat manusia dari segi aspek kejiwaannya, dan begitu seharusnya ahli-ahli yang lain melihat manusia menurut disiplin ilmu masing-masing. Dorongan-dorongan kejiwaan merupakan unsur yang memberi warna pada manusianya. Dia akan menjadi manusia dengan kategori baik atau sebaliknya sesuai dengan arah yang disukainya. (Bahrun, 1973).[4]
Menurut Posmodernisme, dalam upaya memahami manusia ilmu-ilmu sosial kemanusiaan memandang manusia sedemikian rupa, sehingga manusia layaknya alat yang bisa di otak-atik seenaknya. Dimata ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, manusia adalah makhluk yang berada dalam keadaan sekarat dan tinggal menuju ajal tiba (man is dead or dying!!). [5]
B. Ayat-ayat Tentang Manusia
1. QS. al-Isra’: 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Keterangan :
Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataan-Nya dengan kata قد, ayat ini menyatakan bahwa dan Kami yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan berpikir, serta berpengetahuan dan Kami beri juga mereka kebebasan memilah dan memilih. Dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan dengan aneka alat transportasi yang Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka, atau yang Kami ilhami mereka pembuatannya, agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang kesemuanya Kami ciptakan untuk mereka. Dan Kami juga beri mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai kebutuhan mereka, lagi lezat dan bermanfaat untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa mereka. Dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
Kata كرّمنا (karramna) terambil dari kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’ dan mim, yang mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan sesuai objeknya. Karramna adalah anugerah berupa keistimewaan yang sifatnya internal, dalam konteks ayat ini manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada selainnya dan itulah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam kedudukannya sebagai manusia.[6]
ولقد كرّمنا (dan sesungguhnya telah Kami muliakan) kami utamakan بنى آدم (anak-anak Adam) dengan pengetahuan, akal, bentuk yang paling baik, setelah wafat jenazahnya dianggap suci dan lain sebagainya, وحملنهم فى البرّ (dan Kami angkut mereka di daratan) dengan menaiki kendaraan. والبحر (dan di lautan) dengan menaiki perahu-perahu. ورزقنهم من الطّيبت على كثيرممن خلقنا (dan Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan) seperti hewan-hewan ternak dan hewan-hewan liar. تفضيلا (dengan kelebihan yang sempurna).
Lafadz man di sini bermakna ma’ atau makna yang dimaksudnya menurut bab yang berlaku padanya. Maknanya menyangkut juga para malaikat, sedangkan makna yang dimaksud adalah keutamaan jenisnya, hal ini pengertiannya tidak memastikan bagi adanya keutamaan untuk semua individu atas para malaikat. Para malaikat lebih utama daripada manusia selain dari para Nabi.[7]
Manusia yang disebut dengan kalimat “al-Insan” itu memberikan arti bahwa manusia patut ditingkatkan martabatnya sampai pada tingkatan untuk memiliki keahliannya untuk menduduki jabatan khalifah (penguasa/pengatur) di atas bumi ini dan kemungkinannya untuk dibebani kewajiban-kewajiban dan kepercayaan atau amanat. Sebab hanya manusialah yang secara khusus dilengkapi dengan akal pikiran, kecakapan, dan kecerdasan serta hal-hal yang berkaitan dengan itu semua.[8]
Ayat ini merupakan anjuran agar manusia bersyukur dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan seseorang pun, karena Allah telah menundukkan baginya apa yang ada di darat dan di laut, bahkan memeliharanya dengan perhatiannya yang baik serta diberinya petunjuk kepada pembuatan bahtera hingga tempat berlayar di laut dan memberinya rezeki dengan yang baik-baik, serta melebihkannya atas sebagian besar makhluk-Nya.[9]
Munasabah:
Ayat yang lalu menggambarkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun yang durhaka, ayat ini menjelaskan sebab anugerah itu yakni karena manusia adalah makhluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia, baik ia taat beragama ataupun tidak.[10]
Asbabun Nuzul
Tidak ada
2. QS. Shad: 71-72
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Keterangan :
Uraian tentang kisah Adam as dapat ditemukan dalam beberapa surat, antara lain pada surat al-Baqarah, al-A’raf, al-Hijr, dan al-Isra’. Sementara ulama berpendapat bahwa ayat-ayat surat ini merupakan ayat-ayat pertama yang turun menyangkut kisah Adam as itu. Ini setelah memperhatikan perurutan turunnya surah-surah al-Qur’an, di mana tidak ditemukan uraian kisah tersebut sebelum turunnya surah ini.[11]
فإذاستويته (maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya) telah sempurna kejadiannya ونفخت (dan Kutiupkan) kualirkan فيه من رّوحى (kepadanya ruh ciptaan-Ku) sehingga ia menjadi hidup. Dimudhafkannya lafaz ruh kepada Allah dimaksudkan untuk memuliakan nabi Adam. Roh adalah tubuh yang lembut dan tidak kelihatan oleh mata, yang membuat manusia dapat hidup karena memasuki tubuhnya. فقعواله سجدين (maka hendaklah kalian tersungkur dengan sujud kepada-Nya) sujud penghormatan dengan cara membungkukkan badan.[12]
Munasabah:
Ayat yang lalu menafikan Rasul saw menyangkut al-mala’ al-a’la kecuali apa yang diwahyukan Allah kepada beliau. Ayat-ayat di atas dan ayat-ayat berikut menguraikan sekelumit dari berita tentang al-mala’ al-a’la itu, yakni tentang peristiwa Adam as bersama para malaikat dan iblis. Ayat-ayat di atas menyatakan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadian fisiknya dan Kutiupkan ke dalamnya ruh ciptaan-Ku, maka tunduklah kamu semua serta bersungkurlah secara spontan dan dengan mudah sebagai penghormatan kepada-Nya dalam keadaan bersujud.[13]
Asbabun Nuzul:
Tidak ada
3. QS. at-Tiin: 4-5
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”
Keterangan:
Kata خلقنا (Kami telah menciptakan terdiri dari kata خلق dan نا yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Kata نا (Kami) yang menjadi kata ganti nama itu menunjukkan kepada jamak, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjukkan satu pelaku saja dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Dari sisi lain, penggunaan kata ganti bentuk jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata ganti tersebut. Jadi, kata خلقنا mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah Bapak Ibu manusia. Kata الإنسان (manusia) yang dimaksud oleh ayat ini. Menurut al-Qurthubi adalah manusia-manusia yang durhaka kepada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut, yaitu : Kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Kata تقويم (taqwim) berakar dari kata (قوم) yang darinya terbentuk kata اقيموا، استقامة، قائمة dan sebagainya. تقويم diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki قِوَام (qiwam) yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya, sehingga isyarat tentang keistimewaan manusia dibanding binatang yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas pada bentuk fisik.[14]
Manusia telah diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal, sehingga kemudian Kami Allah bersama dengan manusia itu sendiri mengembalikannya ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Kata رددناه terdiri atas kata ردد yang dirangkaikan dengan kata ganti dalam bentuk jamak (نا) serta kata ganti yang berkedudukan sebagai obyek (هhu-nya. ردد antara lain berarti mengalihkan, memalingkan atau mengembalikan.[15]
Munasabah
Ayat-ayat yang lalu Allah bersumpah dengan menyebut empat hal. Ayat-ayat ini menjelaskan untuk sumpah itu. Di sini Allah berfirman bahwa : “Demi keempat hal di atas, sungguh Kami Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[16]
Asbabun Nuzul
Imam Ibnu Jarir telah mengetengahkan sebuah hadits melalyi Jabir al-‘Aufi bersumber dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”. (QS. at-Tiin: 5). Ibnu Abbas r.a telah menceritakan bahwa mereka yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah segolongan orang-orang yang dituakan umurnya hingga tua sekali pada zaman Rasulullah saw, karena itu ditanyatakanlah perihal mereka, sewaktu mereka sudah pikun, maka Allah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang pemaafan bagi mereka. Lalu dinyatakan-Nya bahwa bagi mereka pahala dari amal baik yang dahulu mereka lakukan sebelum pikun.[17]
4. QS. al-Baqarah: 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Keterangan:
و (dan) ingatlah hai Muhammad! واذقال ربك للملائكة انى جاعل فى الارض خليفة (ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.") yang akan mewakili Aku dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturan-Ku padanya, yaitu :
(Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya) yakni dengan berbuat maksiat.
(dan menumpahkan darah) artinya mengalirkan darah dengan jalan pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa itu yang juga mendiami bumi? Tatkala mereka berbuat kerusakan, Allah mengirim malaikat kepada mereka maka dibuanglah mereka ke pulau-pulau dan ke gunung-gunung.
(padahal kami selalu bertasbih) maksudnya selalu mengucapkan tasbih.
(dengan memuji-Mu) yakni dengan membaca “Subhanallahi wabihamdihi” artinya Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya.
(dan mensucikan-Mu) membersihkan-Mu dari hal-hal yang tidak layak bagi-Mu.
قال (Allah berfirman) انى اعلم ما لاتعلمون (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui) tentang maslahat atau kepentingan mengenai pengangkatan Adam, dan bahwa diantara anak cucunya ada yang taat dan ada pula yang durhaka hingga terbukti dan tampaklah keadilan di antara mereka.[18]
Dalam surat tersebut diungkapkan dalam bentuk tamsil dengan maksud agar lebih mudah dipahami oleh manusia, khususnya mengenai proses kejadian Adam dan keistimewaannya. Untuk maksud tersebut Allah memberitahukan kepada para malaikat tentang akan diciptakan-Nya seorang khalifah di bumi. Mendengar keputusan ini, para malaikat merasa terkejut, karenanya, mereka bertanya kepada Allah dengan cara dialog. Untuk menjawab pertanyaan para malaikat, Allah memberi pengertian kepada mereka dengan cara ilham agar mereka tunduk dan taat kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.[19]
Munasabah
Kandungan ayat ini sama dengan ayat-ayat sebelumnya, yakni menjelaskan nikmat-nikmat Allah, yang dengan nikmat itu dapat menjauhkan dari maksiat dan kufur dan dapat memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah. Diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk yang sedemikian rupa di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi. Hal tersebut merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah dan tidak ingkar kepada-Nya.
Pada ayat ini dan sebelumnya juga menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat manusia. Dalam penciptaan manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkap dalam bentuk dialog dan musyawarah sebelum melakukan penciptaan.[20]
Asbabun Nuzul:
Tidak ada

ANALISIS
Sesuai firman Allah dalam surat at-Tiin ayat 4 bahwasanya Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Disini bisa diartikan bahwa makhluk Allah yang mulia dan sempurna adalah manusia. “Dia” (manusia) ciptaan Allah yang paling unggul dari yang lain, diberi akal yang bisa digunakan untuk berfikir dan memikirkan sesuatu, khususnya ke-Maha Esa-an Allah. Dari keunggulan itulah Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan hewan. Maka, kita sebagai manusia harus bersyukur atas segala karunia Allah kepada kita, berupa akal dan bentuk yang sempurna.

KESIMPULAN
Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi dalam arti kita sebagai manusia harus bisa menjaga, melindungi, dan melestarikan bumi. Bukan untuk merusak ataupun menghancurkan apa yang Allah ciptakan di bumi ini. Karena kesempurnaan manusia dalam berfikir dengan akal nilah manusia melaksanakan fungsinya dengan sebaik mungkin. Atas dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-baiknya dalam fungsi sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin, dan Imam Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, Asbabun Nuzul Ayat, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Al-Maraghy, Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Juz XV, Semarang: Toha Putra, 1988.
Ancok, Djamaludin, dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994.
Nawawi, Rifaat Syauqi, dkk., Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Syathi’, ‘Aisyah Abdurrahman Bintusy, Manusia Siapa, Darimana dan Kemana?, Semarang: Toha Putra, 1982.
M. Thoyibi, dan M. Ngemron, Psikologi Islam, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000.

[1] Rifaat Syauqi Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 3
[2] Q.S. 95 : 4
[3] Q.S. 2 : 30
[4] M. Thoyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000, hlm. 51
[5] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 152.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 514.
[7] Imam Jalaluddin al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, Asbabun Nuzul Ayat, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 1154-155.
[8] ‘Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Siapa, Darimana dan Kemana?, Semarang: Toha Putra, 1982, hlm. 20.
[9] Musthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghiy, Juz XV, Semarang: Toha Putra, 1988, hlm. 142-143.
[10] M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 513.
[11] Ibid., hlm. 168-169.
[12] Imam Jalaluddin al-Mahally, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit., hlm. 1979.
[13] M. Quraish Shihab, op.cit., vol. 12, hlm. 168.
[14] M. Quraish Shihab, op.cit., vol. 15, hlm. 378.
[15] Ibid., hlm. 380.
[16] Ibid., hlm. 377.
[17] Imam Jalaluddin al-Mahally dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit., vol. 4, hlm. 2752.
[18] Imam Jalaluddin al-Mahally, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit., hlm. 17-18.
[19] Ahmad Musthofa al-Maraghiy, op.cit., juz 1, hlm. 133-134.
[20] Ibid., hlm. 131.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.