29 Juni 2009

FRIEDRICH NIETZSCHE : THEOLOGY OF THE DEAD OF GOD (STUDI ANALISIS)

  1. PENDAHULUAN
Aneh kedengarannya sebagai umat Islam mendengar adanya teologi Tuhan Mati. Tetapi, itulah kenyataannya yang terjadi di Barat yang Nasrani itu, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche. Kemudian timbul persoalan, mengapa ia sampai memiliki paham yang demikian? Dan bagaimana perspektif di dunia Islam? Hal-hal semacam itulah yang akan dicoba mencarikan jawabnya pada pembahasan berikut ini.

  1. BIOGRAFI DAN KARYA NIETZSCHE
F. Nietzsche (1844-1990) lahir di Prussia, Jerman. Ia adalah cucu dari dua pendeta Lutheran dan anak dari pendeta dari aliran yang sama. Bapaknya meninggal dalam usia muda dan ia diasuh oleh ibunya, kakak perempuannya dan neneknya serta dua orang bibinya yang tidak menikah.
Ia mendapat pendidikan di Universitas-universitas di Bonn dan Liepzig, dan ahli di bidang pilologi, sastra kuno, filosof dan penyair.1 Pada usia 25 tahun, ia diangkat menjadi Guru Besar di bidang sastra Latin dan Yunani. Tetapi, setelah berusia 33 tahun ia meninggalkan ruang kuliah dan menjalani hidup mengembara. Dan tidak menulis karya yang bersifat akademis, intelektual yang jelas, karena karya-karyanya lebih bercorak syair dan novel.2 Pada tahun 1889 ia mengalami gangguan kesehatan pikiran yang dibawa sampai akhir hayatnya.
Adapun karya-karyanya, antara lain :
  1. The Birth of Tragedy
  2. The Four Meditations
  3. Thus Spoke Zarathustra
  4. Beyond Good and Evil
  5. Toward a Genealogy of Morals
  6. The Will to Power (diterbitkan setelah ia meninggal).3

  1. PEMIKIRAN NIETZSCHE TENTANG TUHAN MATI
Pemikirannya tentang Tuhan mati, tertera dalam karyanya yang berjudul Zarathustra (bukan tokoh agama terkenal di Iran, hanya nama hayalan saja untuk orang bijaksana). Ia menggambarkan Zarathustra yang telah lama bertapa di atas gunung kemudian turun dan, ketika melalui seorang yang sedang bertapa di suatu tempat, berkata : “Aneh orang ini belum tahu kalau Tuhan telah mati…”. Kemudian di kota, Zarathustra masuk ke dalam pasar dan menuduh orang banyak telah membunuh Tuhan. Lengkapnya dapat diperhatikan sebagai berikut :
Si gila. Tidakkah kalian dengar tentang si gila yang menyalakan sebuah lentera pada jam-jam pagi yang terang benderang; ia lari masuk pasar dan berteriak: Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan! Si gila terbahak-bahak kegirangan di tengah-tengah orang banyak yang berdiri. Mereka sudah tidak percaya kepada Tuhan. Seorang di antara mereka berkata: Apakah ia telah tersesat seperti seorang bocah? Atau bersembunyikah ia? Takutkah ia kepada kita? Mengembarakah ia? Atau telah pindah? Demikianlah ocehan mereka sambil tertawa. Si gila kemudian meloncat ke tengah mereka dan menembus mereka bersama lenteranya. Dia berteriak: Kemanakah Tuhan larinya? Aku akan jelaskan kepadamu semua. Kita telah membunuhnya kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh… Bukankah lentera harus dinyalakan ketika pagi? Belumkah kita dengar para penggali pusara yang sedang menguburkan Tuhan? … Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati… (God is dead. God remains dead).4
Ungkapan Nietzsche itu menurut Karel A. Steenbrink, ada yang menyatakan bahwa Nietzsche hanya mengemukakan bahwa dalam kebudayaan pada zamannya Tuhan telah mati dalam hati manusia. Saat itu yang dipentingkan hanyalah materi belaka, apalagi cara berpikirnya didominasi oleh ilmu pasti alam telah menjauhkan manusia dari kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan.
Kecuali itu, ada yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kritik Nietzsche kepada agama Kristen, yang umumnya melarang kekayaan, seks dan seni. Di semua bidang ini, agama memberikan petunjuk yang umumnya bersifat larangan semata. Agama tidak membina manusia menjadi pribadi yang aktif dan bertanggungjawab. Dasar kepercayaan adalah kelemahan, sehingga manusia harus menyerahkan diri kepada Tuhannya dan harus taat kepada petunjuk yang datang dari luar dirinya. Maka agama Kristen merupakan hambatan bagi perkembangan pribadi manusia untuk menjadi manusia super dan Uebermensch.
Dari interpretasi karya Nietzsche itu, pada tahun 1960-an, teologi di Eropa dan Amerika Utara timbul puluhan karangan yang berpangkal dari anggapan bahwa Tuhan telah mati dan bahwa masih bisa dilanjutkan suatu agama tanpa Tuhan. Dan ada yang hendak mengarang teologi yang tidak terfokus kepada Tuhan, tetapi terfokus kepada Yesus. Bagi mereka “Tuhan telah mati” merupakan petunjuk penyaliban Yesus dan penderitaan sesama manusia di dunia ini. Dan juga ada yang hendak mengkritik ide teis tentang Tuhan dan hanya ingin menyempurnakannya, tetapi dengan menggunakan kata-kata yang keras dan kontroversial.5

  1. ANALISIS
Ungkapan Nietzsche tersebut merupakan ekspresi krisis manusia sekuler dalam hubungannya dengan konsepsi tentang Tuhan. Skeptisisme Nietzsche ini sebenarnya merupakan rumusan tajam tentang implikasi pandangan hidup ateistik-nihilistik dari humanisme sekuler yang melanda umat manusia. Di sini terlihat kelemahan teologi Kristen yang melalui usahanya untuk menerapkan ide baru dan mendekati kebudayaan modern, kadang-kadang menghasilkan banyak ide yang saling bertentangan.
Memang di Barat kita temukan: “In God We Trust”, kepada Tuhan kami percaya – di atas mata uang mereka (Amerika). Tetapi, tidak ada hubungan organiknya dengan kehidupan praktik mereka. Hal ini akan tampak pada kebijaksanaan yang diambil oleh pemegang kekuasaan dan politik luar negeri mereka, ternyata mereka tidak mengambil etik dari ungkapan tersebut. Mereka meneriakkan Principles of Human Right, prinsip-prinsip hak asasi manusia, tetapi kepada negara lain, mereka tidak segan-segan menyokong setiap rezim yang paling tirani sekalipun, asal rezim ini memihak mereka, menguntungkan mereka. Jadi bukan lagi pertimbangan double standard yang dipakai, tetapi multiple standard, standard etik sudah tidak ada lagi. Seperti pembelaan mereka terhadap Israil, perseteruannya terhadap Irak, Libia, sikap mereka terhadap Bosnia dan sebagainya. Demikian itu, karena mereka berpegang pada dua prinsip, yaitu:
  1. Sesuatu harus dikerjakan jika secara teknis memang mungkin untuk dikerjakan, something has to be done when it is technically possible to do it. Membuat bom nuklir mungkin secara teknologis, maka mereka lakukan. Soal akibatnya di luar pertimbangan.
  2. Semakin banyak engkau menghasilkan sesuatu dan semakin banyak engkau konsumsi, adalah semakin baik, the more you produce, the more you consume, the better. Jadi hidup adalah hidup yang konsumtif, dan ini merupakan penyakit yang telah menyebar ke mana-mana, terutama di kalangan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi tanpa mempertimbangkan kepada yang hidup di bawah garis kemiskinan.6
Tragedi Nietzsche itu merupakan fenomena intelektual di Barat, dimana agama gagal dalam memberikan jawaban yang memuaskan terhadap tuntutan intelektual manusia yang mencari sesuatu di balik yang ada ini. Betul Nietzsche, bahwa secara simbolik Tuhan telah mati di Barat. Sebab orang sudah tidak menghiraukan tindakan moral apapun. Yang ada adalah etik yang situasional dan individual. Tidak ada etik yang bersumber dari wahyu, yang berlaku secara universal yang menyebabkan orang Barat telah kehilangan kiblat yang sebenarnya.7 Jadi, Nietzsche sebenarnya masih merindukan sesuatu yang bermakna, meskipun ia telah menjadi agnostik, jika tidak ateis.
Keadaan di Barat tersebut, dapat terjadi di mana saja, termasuk di dunia Islam jika masyarakatnya telah meninggalkan ajaran wahyu. Untuk itu dalam zaman modern yang ditandai dengan rasionalisme, humanisme dan perubahan yang cepat, serta post modern yang ditandai dengan tidak adanya hal yang definitif, maka umat Islam harus bisa menjaga diri dengan sikap istiqamah, dalam arti teguh hati dan konsisten atas ajaran wahyu, seperti diungkapkan firman Allah SWT : “Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak)”.8 Air adalah lambang kehidupan dan kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten di jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia.9
Istiqamah bukan berarti statis, tetapi mengandung arti kemantapan yang lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Sehingga tidak akan goyah oleh cepatnya perubahan dan berjalan di atas kebenaran demi kebenaran untuk kembali kepada Allah. Kesadaran itu akan memberikan kebahagiaan hakiki, seperti janji Allah itu.

  1. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
    1. Pemikiran Nietzsche tentang Tuhan mati, sebenarnya merupakan kritik terhadap dunia Barat yang Nasrani yang telah meninggalkan ajaran agamanya, tidak ada etik dan moral yang universal.
    2. Nietzsche, sebenarnya ingin mencari sesuatu yang lebih bermakna, tetapi tidak ia temukan di Barat itu.
    3. Nietzsche tidak akan mempunyai pemikiran Tuhan mati, sekiranya ia hidup di Timur. Sebab, di Timur (Islam) masih ada etik universal.
    4. Kondisi di Barat, akan terjadi di Timur (Islam), jika umatnya telah meninggalkan ajaran agamanya (wahyu).


DAFTAR PUSTAKA
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985.
Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, ed., Elza peldi Taher, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, terj. R.J. Hollingdale, New York: Penguin Books, 1976.
Steenbrink, Karel A., Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Suka Press, 1987.
Titus, Harold H., et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
-----------------------
1 Harold H. Titus, et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 390.
2 Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Suka Press, 1987, hlm. 54.
3 Harold H. Titus, et.al., loc.cit.
4 Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. R.J. Hollingdale, New York: Penguin Books, 1976, hlm. 14.
5 Karel A. Steenbrink, loc.cit.
6 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985, hlm. 88.
7 Ibid., hlm. 87.
8 QS. Al-Jin/72: 16.
9 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, ed., Elza peldi Taher, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 174.



Share:

AL-BAQILANI : SIFAT TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA

  1. PENDAHULUAN

Al-Baqilani adalah salah seorang pengikut dan tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Sebagai murid al-Asy’ari melalui dua muridnya, Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Namun, ia tidak begitu saja menerima ajaran al-Asy’ari. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan gurunya, al-Asy’ari.1 Ini dapat terjadi karena perbedaan waktu dan tempat masing-masing. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada perbedaan pendapat, meskipun antara murid dan gurunya. Ini menunjukkan pula bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran hanya bersifat relatif dan dapat menerima perubahan.


  1. BIOGRAFI AL-BAQILANI

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqilani. Wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403 H/ 1013 M di Baghdad.2 Ia pernah menjadi hakim agung dan menonjol dalam berbagai pertemuan ilmiah, terutama dalam pembahasan usul fiqh dan ilmu kalam.

Karya tulisnya sebanyak 55 kitab, namun yang dapat dijumpai hanya 6 kitab, yaitu al-Izaz al-Qur’an; Tamhid; al-Insaf; yang berisi petunjuk singkat pandangan aliran Sunni dan rincian bahasan tentang al-Qur’an tidak diciptakan, qadr, melihat Tuhan dan syafa’at. Manaqib, berisi pembelaan Sunni pada kedudukan pemimpin. Intinsar yang membahas kedudukan lafaz al-Qur’an. Dan al-Bayan yang membahas kenabian.

Dari karya al-Baqilani mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan ilmu kalam Asy’ariyah, serta pemikiran pendahulunya seperti Ibn Furak, Abu Ishaq al-Isfarani dan al-Asy’ari sendiri. Kitab al-Luma’ karya al-Asy’ari menjadi jelas setelah disusun ulang oleh al-Baqilani. Ibn Taimiyyah menyebut al-Baqilani sebagai ahli ilmu kalam Asy’ariyah yang paling cemerlang, pembuka cakrawala pendahulu dan para pengikutnya.3


  1. MASALAH SIFAT TUHAN

Pemikiran al-Baqilani tentang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Bagi al-Asy’ari, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, sebab dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm), tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian juga dengan sifat-sifat lain, seperti sifat hayyun, ‘alimun, qadirun, mutakallimun, sami’un, basirun.4

Al-Baqilani menolak pendapat al-Asy’ari tentang adanya sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang disebut al-Asy’ari, bukanlah sifat, tetapi hal, dan ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah,5 meskipun pada mulanya ia mempunyai pendapat yang sebaliknya.

Pada mulanya al-Baqilani menerima pandangan al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan, yang kemudian ia kembangkan dan ia bagi menjadi dua bagian, yaitu : sifat zat dan sifat fi’il. Sifat Zat adalah sifat yang senantiasa disifatkan kepada Tuhan, yaitu : al-Hayyah, al-‘Ilm, al-Qudrah, al-Sam’u, al-Basar, al-Iradah, al-Baqa’, al-Wajhu, al-Ainani, al-Yadani, al-Ghadab, al-Rida, dan al-Idrak. Sedang sifat fi’il adalah al-Khalq, al-Rizq, al-‘Adl, al-Ihsan, al-Tafadul, al-In’am, al-Tawab, al-‘Iqab, al-Hasyr dan al-Nasyr.6 Kemudian semua sifat itu ia namakan hal yang sesuai dengan pendapat Abu Hasyim yang Mu’tazilah itu.


  1. MASALAH PERBUATAN MANUSIA

Masalah perbuatan manusia, al-Baqilani berbeda pendapat dengan gurunya, al-Asy’ari, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia sendiri dengan istilah kasb,7 dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu tidak mempunyai efek,8 dalam arti, semua perbuatan manusia seluruhnya diciptakan oleh Tuhan.

Bagi al-Baqilani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia, sedang bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk; duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jins) adalah ciptaan Tuhan, sedang duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya adalah species (na’u) dari gerak adalah perbuatan manusia sendiri. Manusialah yang membuat gerak yang diciptakan Tuhan mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya.9 Dengan demikian jika bagi al-Asy’ari, daya manusia tidak mempunyai efek. Tetapi bagi al-Baqilani, daya itu mempunyai efek.

Kemudian untuk menjelaskan pendapatnya itu, al-Baqilani menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada terdiri dari tiga unsur, yaitu jisim, jauhar (substansi atau atom) dan arad (aksiden), dan ketiganya itu telah diadakan, dan yang mengadakan adalah Tuhan.10 Kemudian ia menerangkan tentang perbuatan manusia, karena manusia mengetahui dari dirinya perbedaan antara duduk, berdiri dan berbicara jika terjadi sesuai dengan ikhtisar dan maksudnya. Pada kejadian itu, jauhar netral dan kemudian menerima ‘arad. Gerak perpaduan antara jauhar dan ‘arad itu menimbulkan perbuatan, maka adanya perbuatan itu merupakan hasil dengan daya yang hadits, hal ini disebut kasb. Dengan demikian kasb itu merupakan asas dari daya yang hadits.11


  1. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

    1. Meskipun al-Baqilani pengikut dan murid dari al-Asy’ari, tetapi dalam hal tertentu ia berbeda pendapat dengan gurunya, al-Asy’ari.

    2. Tentang sifat Tuhan yang diakui adanya oleh al-Asy’ari, semula al-Baqilani menerimanya. Namun, kemudian ia mengembangkannya dengan menyebutnya hal seperti pandangan Abu Hasyim dari Mu’tazilah.

    3. Tentang perbuatan manusia juga berbeda pendapat dengan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak mempunyai efek, karena diciptakan oleh Tuhan. Tetapi, al-Baqilani menyatakan perbuatan manusia mempunyai sumbangan yang efektif, dengan membedakan antara gerak yang diciptakan Tuhan dengan bentuk atau sifat dari gerak yang diciptakan oleh Manusia.

Demikianlah uraian singkat ini, tak lain semoga ada manfaatnya. Kritik dari para pembaca diterima dengan senang hati.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.

Al-Badawi, Abd ar-Rahman, Mazahib al-Islamiyyin, I, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayyin, 1971.

Al-Syahrastani, Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1974.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V.

------------------------

1 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V, hlm. 71.

2 Ibid.

3 H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1974, hlm. 958.

4 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952, hlm. 30-31. Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 95.

5 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, ibid.

6 Abd ar-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, I, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayyin, 1971, hlm. 615.

7 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, op.cit., hlm. 71-72.

8 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit., hlm. 97.

9 Ibid., hlm. 97-98.

10 Abd ar-Rahman al-Badawi, op.cit., hlm. 601.

11 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit., hlm. 97.




Share:

28 Juni 2009

AL-JUWAINI: PERBUATAN MANUSIA DAN ANTHROPOMORPHISME

I. PENDAHULUAN

Salah seorang tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan pengikut al-Asy’ari adalah al-Juwaini. Tetapi tidak selamanya ia sependapat dengan “gurunya”, al-Asy’ari, seperti permasalahan perbuatan manusia dan anthropomorphisme.1 Dalam pemikiran teologi ia berpegang pada prinsip bahwa cara terbaik untuk menemukan kebenaran adalah berpedoman pada akal dan naql serta memadukan keduanya,2 dan mendahulukan akal pada selain masalah aqidah.3

Al-Juwaini dipandang telah berjasa dalam memperjelas dan memperkokoh dasar-dasar pemikiran Asy’ariyah, sehingga mampu bertahan dari serangan-serangan lawan dan dapat mengalahkan serangan itu. Seperti juga al-Asy’ari, ia membela dan mempertahankan fiqh al-Syafi’i, sehingga wajarlah jika disebutkan bahwa atas jasa-jasa al-Juwaini, aliran Asy’ariyah makin bertambah kokoh baik dalam teologi maupun dalam pandangan fiqh.4


  1. BIOGRAFI AL-JUWAINI

Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah al-Juwaini.5 Ia lahir di Basitiskan, salah satu wilayah Khurasan, Persia6 tanggal 18 Muharram 419 H,7 dan wafat di daerah kelahirannya pada malam Rabu 25 Rabi’ al-Akhir 478 H.8

Tentang sebutan al-Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur, dan merupakan kebiasaan para sejarawan nama tokoh-tokoh tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat menetap atau tempat wafatnya.9

Selain itu, ia juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.10

Ia juga bergelar Imam Haramain,11 karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah, mendebat lawan-lawan serta memperkokoh sendi-sendi agama.12

Ia juga disebut Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam kesesatan.13

Adapun karya-karyanya tercatat berjumlah 27 kitab yang meliputi berbagai bidang, antara lain : fiqh, usul fiqh, pertentangan pendapat, tata cara tukar pikiran, aqidah, dan sebagainya. Dalam bidang aqidah, seperti kitab : Al-Irsyad ilaa Qawa’id al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Risalah fi Usul al-Din, al-Aqidah al-Nizamiyah, dan Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.14


  1. MASALAH PERBUATAN MANUSIA

Dalam hal ini, al-Juwaini berbeda pendapat dengan al-Asy’ari, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia sendiri dengan istilah kasb,15 dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu tidak mempunyai efek.16

Al-Juwaini seperti al-Baqilani, bahkan lebih jauh lagi, yaitu daya yang ada pada manusia mempunyai efek. Tetapi, efeknya serupa dengan apa yang terdapat antara sebab akibat. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi, dan demikian seterusnya sampai pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan.17

Tampaknya dalam hal ini al-Juwaini memiliki pandangan yang mirip dengan pandangan Mu’tazilah yang mendasarkan pada persoalan sebab-akibat atau yang lebih dikenal dengan Sunat Allah. Tidak mengherankan kalau Ahmad Amin menilai al-Juwaini dalam uraiannya tentang perbuatan manusia sebagai : “Kembali dengan jalan berliku-liku kepada ajaran Mu’tazilah”.18


  1. MASALAH ANTHROPOMORPHISME

Dalam masalah ini al-Juwaini berbeda dengan pandangan al-Asy’ari. Dalam ayat-ayat mutasyabbihat, seperti yad, ain, wajh, dan sebagainya, al-Asy’ari mengakui memang Tuhan mempunyai itu semua. Tetapi, tidak dapat ditentukan bagaimana (bila kaifa),19 yaitu dengan tanpa mempunyai bentuk batasan (la yukayyaf wa la yuhad).20

Al-Juwaini, dalam hal ini menggunakan ta’wil, yad diartikan kekuasaan Tuhan, ain diartikan penglihatan Tuhan, wajh diartikan dengan wujud Tuhan.21 Dan ayat 25 surat Taha “ar-Rahmanu ‘Ala al-‘Arsy Istawa” diartikan dengan : Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.22

Demikian itulah perbedaan antara al-Juwaini dengan al-Asy’ari dalam masalah anthropomorphisme.


  1. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

    1. Al-Juwaini sebagai tokoh dan pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, pendukung al-Asy’ari, namun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat dengan al-Asy’ari.

    2. Dalam masalah perbuatan manusia, al-Juwaini mempunyai pendapat yang mirip dengan pendapat Mu’tazilah, terutama yang berkaitan dengan masalah hubungan antara sebab-akibat.

    3. Dalam masalah anthropomorphisme al-Juwaini menggunakan ta’wil. Hal ini berbeda dengan al-Asy’ari yang tidak menggunakan ta’wil.

    4. Dalam usaha untuk dapat menghasilkan keyakinan (kebenaran), al-Juwaini menempatkan fungsi akal pada urutan kedua setelah nas (wahyu). Sedang dalam masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah ia mendahulukan argumentasi akliyah daripada nas.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.

Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Al-Ibanah ‘An Usul al-Diyanah, Al-Azhar: Idarah al-Tiba’ah al-Muniriyah, t.th.

Al-Juwaini, Imam al-Haramain, Kitab al-Irsyad Ila Qawa’id al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Ulasan Dr. Mahmud Yusuf Musa, Mesir: Maktabah al-Khaniji, 1950.

Al-Juwaini, ‘Abd al-Malik, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960.

Al-Sabaki, Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, III, Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Babi, 1965.

Al-Syahrastani, Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr Muhammad, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Amin, Ahmad, Zuhr al-Islam, IV, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964.

Musa, Jalal Muhammad Hamid, Nasy’ah al-Asy’ariyah wa Tatawwuriha, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1975.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V.

---------------------

1 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V, hlm. 72.

2 Jalal Muhammad Hamid Musa, Nasy’ah al-Asy’ariyah wa Tatawwuriha, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1975, hlm. 375.

3 Ibid., hlm. 376.

4 Ibid., hlm. 410-411.

5 Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, III, Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Babi, 1965, hlm. 249.

6 ‘Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960, hlm. 9.

7 Taj al-Din Abu Nasr, ‘Abd al-Wahab ibn Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, op.cit., hlm. 251.

8 ‘Abd al-Malik al-Juwaini, op.cit., hlm. 11.

9 Ibid., hlm. 7.

10 Ibid., hlm. 5.

11 Harun Nasution, loc.cit.

12 ‘Abd al-Malik al-Juwaini, op.cit., hlm. 8.

13 Ibid.

14 Ibid., hlm. 46-47.

15 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952, hlm. 71-72.

16 Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr Muhammad al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 97.

17 Ibid., hlm. 99.

18 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, IV, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964, hlm. 79.

19 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘An Usul al-Diyanah, Al-Azhar: Idarah al-Tiba’ah al-Muniriyah, t.th., hlm. 9.

20 Ibid., hlm. 22.

21 Imam al-Haramain al-Juwaini, Kitab al-Irsyad Ila Qawa’id al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Ulasan Dr. Mahmud Yusuf Musa, Mesir: Maktabah al-Khaniji, 1950, hlm. 156-157.

22 Abd al-Malik al-Juwaini, Lam’u al-Adillah, op.cit., hlm. 95.

Share:

26 Juni 2009

RELATIVISME PEMIKIRAN

Dalam kehidupan umat manusia ini senantiasa penuh dengan berbagai permasalahan yang timbul dari ekspresi berbagai pemikiran di antara mereka dan itu merupakan realitas eksistensi diri yang pasti diakui keberadaannya, dan hal itu pula diakui sebagai dinamika dalam kehidupannya. Ekspresi pemikiran itu dapat menimbulkan berbagai perbedaan pendapat, yang berarti menunjukkan tidak adanya hasil pemikiran manusia atas kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bersifat nisbi atau relatif belaka. Relativitas hasil pemikiran manusia meliputi berbagai aspek, antara lain akan tampak dalam pembahasan berikut ini :

  1. Studi Agama Islam

Dalam mempelajari agama Islam terdapat dimensi normatif dan historis. Keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Dalam surat ‘Abasa ayat 1-11 misalnya, tampak dimensi historis Nabi Muhammad saw ketika berhadapan dengan orang buta yang bernama ‘Abdullah ibn Ummi Maktum. Peristiwa historis ini hanyalah bentuk hubungan antar manusia,1 dan peristiwa itu bentuknya dapat berbeda. Sehingga peristiwa khusus Nabi Muhammad saw dengan ‘Abdullah ibn Ummi Maktum dapat pula berganti bentuk sesuai dengan situasi historis dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, dimensi normatif dan etika dalam al-Qur’an tetap sama sejak dari dahulu sampai kapan pun, yakni kewajiban memperlakukan orang lain, baik kepada orang Islam maupun non-Islam dalam berbagai stratifikasi sosial yang ada secara santun, demokratis, egaliter dan adil. Aspek universal-intelektual dari norma ajaran Islam terletak pada dimensi normatif-etik yang mengikat semua pihak. Sedang aspek partikular-kulturalnya adalah terletak pada peristiwa khusus pada perilaku Nabi Muhammad saw dan Nabi-nabi lainnya.2

Dalam kajian pemikiran Islam, seperti teologi Islam, menghadapi ayat-ayat al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang disebut qath’i al-dalalah dan dhanni al-dalalah. Ayat-ayat yang qath’i memberikan pengertian yang mutlak atau absolut, dan yang dhanni memberikan pengertian yang relatif. Sebab, memiliki beberapa arti dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud. Ayat-ayat yang dhanni inilah yang mengundang rasio untuk memberikan tafsir dan ta’wilnya, yang dapat dipastikan membuka peluang adanya perbedaan pendapat. Dua macam itu, dalam al-Qur’an menggunakan term muhkamat dan mutasyabihat.3

Menurut penyelidikan para ahli, jumlah ayat al-Qur’an yang bersifat absolut dan merupakan ajaran dasar itu tidak lebih dari 500 ayat atau sekitar 7,5 % dari seluruh ayat al-Qur’an. Dan di antara 500 ayat itu hanya 228 ayat atau 3,5 % yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan, maka sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an bersifat dhanni, yaitu ayat-ayat yang masih memerlukan penafsiran.4 Diperbolehkannya untuk memberikan penafsiran dan ta’wilan itu justru menunjukkan bahwa agama Islam tidak menghambat perubahan sosial dan dinamika masyarakat. Sebaliknya, yang menghambat adalah sikap mental umat yang tertutup, tidak siap untuk berdiskusi (musyawarah) dan tidak siap untuk mengadakan reorientasi pemikiran. Hal-hal yang bersifat historis dianggapnya sebagai hal yang langgeng, padahal sebagai hal yang tidak tetap dan dapat menerima perubahan alias tidak langgeng, sesuai dengan dinamika masyarakat, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.


  1. Komunitas Masyarakat

Dalam komunitas masyarakat yang demikian plural baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, etnis, dan agama, dapat dimengerti kompleksitasnya pemikiran mereka, masing-masing kelompok maupun individu dapat mengklaim kelompok atau individunya yang benar. Jika hal ini dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki interes, dan terlebih lagi jika dilakukan oleh masyarakat aktif (dalam istilah Etzioni) dengan ciri : kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor, dan komitmen pada satu tujuan atau lebih yang harus dicapai serta fasilitas kekuasaan untuk mengubah tatanan sosial,5 sulit kiranya untuk dapat hidup berdampingan dan rukun, tanpa adanya kedamaian, perlindungan dan keadilan, akan muncul keresahan sosial sampai bentrok fisik dan penindasan. Jika hal ini terjadi dalam konteks kebangsaan, maka akan mempercepat proses disintegrasi. Sebab setiap aktivitas atau aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu melahirkan kontra aksi.

Kejadian semacam tersebut tidak dikehendaki oleh komunitas masyarakat (termasuk dalam konteks kebangsaan). Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk menghindarinya demi keutuhan bersama, yaitu : membuka diri untuk menerima informasi, menciptakan satu visi yang sama, kesiapan untuk dialog, menghindarkan pemikiran yang memberikan kesan adanya suatu kontradictio in terminia, mampu berpikir sekomprehensif mungkin dengan segala implikasinya, mengakui adanya persamaan di antara perbedaan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, hasil pemikirannya harus tidak dipandang sebagai ekspresi sempurna, tetapi sebagai ekspresi yang siap dianalisis kembali. Sebab, tidak ada hasil pemikiran yang bersifat absolut.


  1. Pemikiran Induksi

Induksi ini merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah koleksi dari berbagai fakta, melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Dan pernyataan pengetahuan tentang fakta yang dipaparkan, tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan pada struktur dasar yang menyangga realitas fakta tersebut.6 Pemikiran induktif ini, meskipun premis yang digunakannya benar dan penalaran induktifnya benar, namun mungkin saja kesimpulannya salah. Pemikiran induktif ini tidak memberikan kepastian, tetapi sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik. Jika selama bulan Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka dapat dipastikan bahwa selama bulan Oktober tahun ini hujan juga akan turun.7 Di sini tidak ada kemutlakan kebenarannya, tetapi hanyalah berada pada tingkat probabilitas saja.

Kecuali itu, juga terdapat kelemahan atas dasar apa dapat menghubungkan berbagai faktor empiris dalam suatu hubungan kausalitas?8 Seperti rambut keriting dengan kerendahan inteligensia.


  1. Pemikiran Deduksi

Kebalikan dari pemikiran induktif adalah deduktif, yaitu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Kesimpulan yang diambil dalam berpikir deduktif merupakan hal yang pasti jika mempercayai premis-premis yang digunakan sebagai landasan penalarannya, maka kesimpulan penalarannya itu dapat mempercayai kebenarannya sebagaimana mempercayai premis-premis terdahulu.9

Bentuk pemikiran deduktif yang berpangkal dari rasionalisme sering menghasilkan kesimpulan yang benar jika ditinjau alur penalarannya, tetapi ternyata dapat sangat bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Seperti Aristoteles menyimpulkan bahwa gigi wanita lebih sedikit jika dibandingkan dengan gigi laki-laki. Padahal gumam Bertrand Russell, buat apa orang semacam dia yang telah nikah dua kali seharusnya lebih tahu tentang itu.10 Di sini memperlihatkan bahwa pemikiran deduktif yang dapat dipastikan kebenarannya pun juga masih terdapat kenisbian. Seperti dalam sistem ilmu pasti, sejak abad ke-19 mengalami perubahan, berawal dari ditemukan dan dikembangkan ilmu ukur yang menyimpang dari sistem Euklides, benarkah jumlah ketiga sudut segitiga 180o atau kurang atau justru lebih? Ternyata hasil penyelidikan Gilorami Saccheri (1667-1733) tentang sistem Euklides, dan gagasan Karl Fiedrich Gauass (1777-1855) berhasil dibangun dengan dua bentuk ilmu ukur lain dari Euklides. Masing-masing oleh Nikolai Iwanowitsj Labotsjewski (1793-1865), dan Bernard Riemann (1826-1866). Bentuk pertama menyatakan kurang dari 180o, sedang bentuk kedua menyatakan lebih dari 180o. Demikian juga dalam logika Aristoteles mengalami perkembangan hingga permulaan abad ke-20, George Boole (1815-1864), August de Morgan (1806-1870), Gottlob Frege (1846-1925) dan Bertrand Russell (1872-1970) dan Alfred Nort Whitehead (1861-1947) dalam karya besarnya Principia Mathematica, telah dikembangkan sistem-sistem logika apriori secara murni, dan terbukalah logika trinilai sampai nilai yang menyimpang dari logika dwinilai tradisional.11


  1. Kesimpulan

Dari uraian di atas yang merupakan data-data atau verifikasi dari hipotesis tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

    1. Hasil pemikiran manusia tidak ada yang dapat menemukan kebenaran secara mutlak, termasuk dalam memahami agama yang bersumber dari wahyu Allah yang ayat-ayatnya secara mayoritas berbentuk dhanni al-dalalah. Lebih dari itu, dalam persoalan komunitas masyarakat yang pluralistik semakin tampak jelas kenisbiannya.

    2. Dalam pemikiran induktif yang berdasarkan fakta-fakta empirik dan pemikiran deduktif yang didasarkan rasionalisme juga tidak lepas dari kenisbian. Sehingga jika dikatakan hasil pemikirannya dapat mencapai kebenaran, maka harus dikatakan sebagai kebenaran sementara yang terikat dengan ruang dan waktu, tidak dapat disebut sebagai kebenaran yang mutlak.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Al-Qur’an al-Karim.

Etzioni, Amitai, The Active Society, New York: The Free Press, 1968.

Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

Russell, Bertrand, The Impact of Science Upon Society, New York: Simon and Schuster, 1953.

Suriasumantri, Yuyun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. II, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Verhaak, C., dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, cet. III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

--------------------------

1 QS. Al-Furqan: 20.

2 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 20-21.

3 QS. Ali Imran : 7.

4 Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 173-174.

5 Amitai Etzioni, The Active Society, New York: The Free Press, 1968, hlm. 4.

6 Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. II, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 48.

7 Ibid., hlm. 221.

8 Ibid., hlm. 112.

9 Ibid., hlm. 221.

10 Bertrand Russell, The Impact of Science Upon Society, New York: Simon and Schuster, 1953, hlm. 7. Lihat, ibid., hlm. 112.

11 C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, cet. III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 87-88.




Share:

19 Juni 2009

TEOLOGI ORANG AWAM KIAI SALEH DARAT ULAMA JAWA AKHIR ABAD XIX

(Oleh: Dr. H. Ghazali Munir, M.A)*

I. PENDAHULUAN

Iman merupakan ajaran Islam yang paling fundamental dan pembahasannya telah dilakukan oleh para mutakallimin mulai dari zaman klasik seperti aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan sebagainya hingga zaman modern. Salah satu di antaranya adalah Kiai Saleh Darat yang telah membahas dan memberikan perhatiannya terhadap iman orang awam. Maka teologi yang dimaksud di sini (dalam Islam) adalah Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid, yang khusus membahas ke-Esaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.[1]


II. MENGENAL KIAI SALEH DARAT

Kiai Saleh Darat bernama Muhammad Salih ibn ‘Umar, lahir di daerah Kabupaten Jepara Jawa Tengah sekitar tahun 1820. Sedang nama yang sering digunakan adalah : “Syaikh Haji Muhammad Salih ibn ‘Umar as-Samarani atau Samarani” seperti tercantum pada sampul kitabnya Majmu’ah asy-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam, Munjiyat, Lata’if al-Taharah, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, dan sebagainya. Di kalangan orang Islam awam, ia lebih terkenal dengan sebutan “Kiai Saleh Darat” dengan dua alasan. Pertama, sesuai dengan akhir surat yang ia tujukan kepada Penghulu Tafsir Anom, penghulu Keraton Surakarta, yaitu : “Al-Haqir Muhammad Salih Darat” dan juga menulis nama “Muhammad Salih ibn ‘Umar Darat Semarang” ketika menyebut nama-nama gurunya dalam kitab al-Mursyid al-Wajiz. Kedua, sebutan “Darat” di belakang namanya, karena ia tinggal di suatu kawasan bernama “Darat”, yaitu suatu kawasan dekat pantai utara Kota Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar Jawa dan kini masuk wilayah Kecamatan Semarang Utara.[2] Ia wafat di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang.[3]


III. PANDANGAN DAN PERHATIAN KIAI SALEH DARAT TERHADAP IMAN ORANG AWAM

Pandangan dan perhatiannya terhadap iman orang awam terutama terlihat dalam pendahuluan (muqaddimah) kita Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, yang merupakan terjemahan dengan menggunakan bahasa Jawa dari kitab Jauharah al-Tauhid karya Ibrahim al-Laqani yang membahas tauhid, agar bermanfaat bagi orang awam yang tidak mengerti bahasa ‘Arab.[4] Dalam terjemahan itu masih mengutuhkan lafadnya nazam yang kemudian diterjemahkannya sebagai syarakh dari matan yang materinya diambil dari Hasyiyah al-Syaikh al-‘Alamah Ibrahim al-Bajuri dan sebagainya agar bermanfaat juga bagi orang awam.[5] Kemudian dalam menerjemahkan kitab Matn al-Hikam dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman bagi orang awam yang belajar agama (mengaji),[6] dan dalam kitab Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam mengharamkan orang awam mempelajari (mengaji) wahdah al-wujud dan ilm al-murtabah seperti mempelajari kitab Tuhfah al-Mursalah dan kitab Insan Kamil dan sebagainya dikarenakan keawamannya. Sebab kewajiban orang awam adalah mengikuti perintah (Allah) dan menjauhi larangan (Allah), jangan mengikuti para Khawas al-Mu’minin.[7]

Adapun yang dimaksud orang awam oleh Kiai Saleh Darat, kecuali orang Islam[8] tanah Jawa[9] yang tidak mengerti bahasa ‘Arab,[10] juga berpikir ringkas[11] (sederhana), taqlid dalam keimanannya dan tidak menggunakan dalil[12] (tidak argumentif). Kondisi semacam ini saat itu diakibatkan belenggu kolonial Belanda, sehingga masyarakat jatuh pada situasi kebodohan dan kemiskinan. Untuk itu, Kiai Saleh Darat ingin membebaskan kebodohan dengan menuntut ilmu yang bermanfaat[13] dan memberantas kemiskinan dengan mewajibkan bekerja (kasab) bagi orang awam[14] agar tidak tamak (mengharapkan harta orang lain) dan tidak menjadi pengemis,[15] mencari harta (rizqi) yang halal,[16] tidak boleh pasrah dan bergantung pada takdir,[17] karena imannya orang awam adalah dengan harta (mal)[18] dan meninggalkan pekerjaan (kasab) dapat menggoncangkan iman dan menghilangkan tauhid.[19] Maka orang harus introspeksi, apakah telah berbuat taat, sehingga harus bersyukur, atau telah berbuat maksiat, sehingga harus taubat,[20] sebab taat harus dengan kasab.[21]

Kiai Saleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, maka akan jatuh pada paham atau keyakinan sesat, seperti paham kebatinan yang menyatakan bahwa amal yang diterima adalah amal hati dan siri,[22] jatuh pada keyakinan manunggaling kawula Gusti, bersatu dengan Tuhan,[23] dari Syaikh Siti Jenar,[24] yang menyatakan tidak ada Tuhan kecuali Syaikh Siti Jenar, atau mengi’tiqadkan bahwa ruhnya itu Tuhan,[25] meramalkan dirinya kepada dukun ahli nujum, ahli kahanah, a’raf, dan tatayyar,[26] dan jatuh pada taqlid, sebab imannya orang taqlid tidak sah menurut ulama Muhaqqiqin.[27]

Kiai Saleh Darat sebagai pengikut ‘Aqidah Ahl al-Sunnah[28] wa al-Jama’ah,[29] dan menyatakan yang selamat hanyalah ‘aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah,[30] keduanya mendefinisikan iman hanyalah tasdiq bi al-qalb.[31] Al-Asy’ari, iman adalah tasdiq bi Allah[32] dan Maturidiyyah Bukhara, dalam hal ini sepaham dengan Asy’ariyyah, seperti disampaikan oleh al-Bazdawi bahwa iman adalah tasdiq bi al-qalb, tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya.[33] Golongan Samarkan, iman lebih dari tasdiq,[34] iman adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dengan ke-Esaan-Nya.[35] Bagi Ahl as-Sunnah, tasdiq bi al-jinan, iqrar bi al-lisan, dan ‘amal bi al-arkan mempunyai pengertian bahwa tasdiq bi al-qalb adalah zat al-iman dan nafs al-iman, iqrar bi al-lisan adalah syarat li ijra’i al-ahkam, dan ‘amal bi al-arkan adalah syarat li kamal al-iman.[36] Sedang menurut Abu Hanifah, iman adalah tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan bersama-sama bagi orang yang mampu mengucapkan.[37] Namun bagi Kiai Saleh Darat, yang mu’tamad adalah pendapat Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, sebab mengucapkan dua kalimah syahadat adalah syarat li ijra’i al-ahkam dan ‘amal adalah syart al-kamal. Maka jika tidak mengucapkan dan tidak beramal, tetapi tasdiq bi al-qalb ma’a al-iz’an adalah mukmin menurut Allah.[38] Di sini Kiai Saleh Darat menekankan tasdiq bi al-qalb dengan iz’an yang diartikan menurut dan menerima perilaku agama Islam beserta keyakinan bahwa sesuatu yang wajib adalah wajib, meskipun tidak melaksanakan, dan sesuatu yang haram adalah haram, meskipun melaksanakannya dan tidak mau mengucapkan dua kalimah syahadat karena malas, yang demikian ini disebut mukmin menurut Allah, karena dalam hatinya terdapat tasdiq,[39] masuk surga (min ahl al-jannah).[40] Demikian itu kalau meninggalnya husn al-khatimah, sebab meninggalnya seseorang itu menurut perilaku hidupnya dan syarat husn al-khatimah adalah ‘amal salih, sehingga arti Islam adalah melaksanakan ‘amal bi al-jawarih beserta iz’an dalam hati. Jika tasdiq bi al-qalb dan beserta iz’an dan ‘amal bi al-arkan, maka orang itu adalah mukmin dan muslim.[41] Di sini tampak perkembangan pemikiran Kiai Saleh Darat dari paham yang diikutinya, al-Asy’ari dan al-Maturidi,[42] yaitu secara eksplisit menekankan amal dan iman yang dikaitkan dengan Islam. Hal ini terbukti dengan peringatan Kiai Saleh Darat, agar tidak tertipu orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat, meninggalkan salat dan fardu yang lain dan melaksanakan maksiat menurut syara’, demikian itu kufur.[43] Di sini tampak jelas pula Kiai Saleh Darat menekankan amal (lahir) tidak sekedar tasdiq bi al-qalb.


IV. TEOLOGI KIAI SALEH DARAT BERDIALOG DENGAN REALITAS

Kiai Saleh Darat yang hidup pada masa kolonial Belanda, berpangkal dari situasi empiris,[44] pengalaman manusia dan situasi iman yang ada pada masyarakat, sebagai situasi yang dialami merupakan pangkal dari seluruh proses analisis,[45] dan digunakan untuk membantu memberikan kerangka menghayati iman dalam situasi konkritnya.[46] Ia tampil melaksanakan nahyi ‘an al-munkar, yang berarti membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan dan penindasan.[47] Penderitaan yang melanda masyarakat itu meresahkannya, dan kemudian dirumuskannya sebagai keprihatinan bersama yang menjadi tantangan hidup. Keprihatinan iman adalah reaksi orang beriman dalam situasi konkrit yang dialami bersama itu.[48] Keresahan dan keprihatinan Kiai Saleh Darat itu tertuang dalam perhatiannya terhadap iman orang awam yang berada dalam situasi dan akibat ulah kaum kolonial Belanda itu, dengan maksud agar mereka (orang awam) dapat menghayati Allah sebagai realitas tertinggi mengandung arti adanya hubungan yang dinamis antara yang menghayati dan yang dihayati,[49] dan dalam teologi Islam yang hidup untuk masa kini merupakan teologi yang berdialog dengan realitas saat ini.[50]

Di sini Kiai Saleh Darat tampil secara sadar dan reflektif, yang menyatakan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut oleh Blumer sebagai proses self-indication, yakni “proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu”.[51] Proses self-indication itu terjadi dalam konteks sosial di mana individu berupaya untuk “mengantisipasi” tindakan-tindakan orang (pihak) lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu.[52] Untuk itulah pemikiran Kiai Saleh yang dituangkan dalam bahasa Jawa sebagai instrumen kebahasaan untuk mengungkapkan ide dan keagamaan yang dalam masyarakat santri Jawa, misalnya, menempati posisi kedua setelah bahasa ‘Arab.[53] Dimaksudkan untuk memberikan stimulan kepada orang awam agar menuntut ilmu dan memahami keimanan agamanya secara benar dalam rangka membebaskan kebodohan akibat cengkeraman kaum kolonial.

Kecuali itu, Kiai Saleh Darat berada dalam masyarakat yang telah memiliki latar belakang ‘aqidah atau ideologi tertentu yang berhubungan dengan sistem nilai dan sikap dasar yang ada dalam etos masyarakat dan telah “terumus” dalam kerangka pemikiran yang lazim,[54] yaitu paham al-Asy’ari yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia, jika tidak seluruhnya.[55] Bagi al-Asy’ari, iman adalah tasdiq,[56] di tempat lain al-Asy’ari menyatakan iman adalah qaul dan ‘amal.[57] Perbedaan itu dapat dilihat dari pernyataannya sendiri, yaitu secara linguistik untuk kata iman. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka untuk menginterpretasikan kata-kata kunci harus memperhatikan pemakaian linguistik yang umum dalam bahasa Arab. Seperti orang Arab menyatakan, “Si Anu percaya (yu’minu, bentuk verbal berhubungan dengan iman) siksaan di alam kubur serta do’a (dari Nabi)”. Kata yu’minu dalam konteks semacam itu, menurutnya, berarti yusaddiqu, yaitu “dia menilai hal itu benar”, bentuk verbal yang berhubungan dengan tasdiq.[58] Demikian juga, al-Syahrastani menyatakan, bahwa menurut al-Asy’ari, iman adalah tasdiq, sedang qaul dan iman merupakan cabang-cabangnya.[59] Sedang al-Baghdadi menggunakan term ma’rifah sebagai hal yang sangat mendasar bagi tasdiq,[60] sependapat dengan al-Syahrastani, tanpa menggunakan qaul dan ‘amal.[61]

Konsep iman seperti tersebut, sebenarnya merupakan produk zaman, muncul didorong oleh situasi, kondisi dan tantangan historis tertentu,[62] dalam situasi konkrit, oleh Joachim Wach disebut dalam suatu konteks waktu, ruang, historis, kultur, psikologi,[63] sehingga dapat berubah.[64] Dalam konteks ini Kiai Saleh Darat tampil dengan alur pemikiran yang tidak berbeda, dengan kata lain, menggunakan metode partisipasi dengan ideologi lingkungan masyarakatnya, yaitu aqidah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, Asy’ariyah dan Maturidiyyah, dengan maksud mempromosikan keharmonisan agar tetap fungsional, dan sebagai aktor individual yang berinteraksi dengan aspek lingkungan fisik dan psikis terdorong untuk mengoptimalkan kebahagiaan,[65] namun ia menekankan ‘amal (lahir), seperti salat, zakat, dan haji.[66]

Perhatian Kiai Saleh Darat terhadap keimanan orang awam tersebut, tampaknya tetap relevan dengan masa sekarang, karena berpijak pada fenomena sosial secara langsung. Sebab, mereka merupakan komunitas masyarakat beriman yang merupakan unsur pembangunan, yang dibangun bukan hanya liturgi-kulturalnya, tetapi juga duniawinya. Duniawi harus dinilai kembali secara positif dan diintegrasikan dalam iman yang harus dimengerti secara dinamis, seperti dunia juga berciri dinamis.[67] Membangun duniawi sebagai aktualitas religius orang beriman, sebagai proses untuk mendapatkan kebahagiaan ukhrawi. Inilah sumbangan khusus teologi, yang mencoba menangkap dan menerangkan wahyu Allah. Ini merupakan komunikasi ideal, karena terus menerus timbal balik. Refleksi teologis tidak memandang sebagai “super ilmu” di atas ilmu-ilmu yang lain, tetapi juga tidak bisa didikte oleh ilmu lain. Tempat hubungannya adalah fakta, situasi yang dialami bersama.[68]


V. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Teologi Kiai Saleh Darat merupakan teologi yang berpijak pada realitas masyarakat, empirik, dan konkrit dalam lingkungan masyarakat yang dibelenggu oleh kolonial, dalam situasi kebodohan dan kemiskinan, sehingga mereka menjadi awam dalam keimanannya.

2. Dari refleksi sosial itu, ia ingin membebaskan masyarakatnya dengan membuat karya tulis berbahasa Jawa sebagai instrumen untuk menyampaikan ide dan keagamaannya, serta memberikan stimulan agar mereka mau menuntut ilmu yang bermanfaat dan belajar agama (mengaji) sehingga dapat mengerti iman secara benar.

3. Dari refleksi kultural yang telah memiliki ideologi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, yang menyatakan bahwa iman adalah tasdiq bi al-qalb, ia menggunakan metode partisipasi untuk menjamin keharmonisan komunitas masyarakat beriman yang merupakan unsur pembangunan demi kebahagiaan ukhrawi, maka harus dibangun duniawinya dengan menekankan amal (lahir).

4. Teologi orang awam Kiai Saleh Darat ini, tampak tetap relevan dengan kekinian dan masa yang akan datang, karena berpijak pada situasi sosial yang dialami.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II.

Al-Asy’ari, Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Al-Ibanah ‘An Usul al-Diyanah, Al-Azhar: Al-Muniriyyah, t.th.

________, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.

Al-Baghdadi, Abu Mansur ‘Abd al-Qahir ibn Tahir al-Tamimi, Kitab Usul al-Din, Constatinople: Madrasah al-Ilahiyat, 1928.

Al-Bazdawi, Abu Yusr Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim, Kitab Usul al-Din, Hans Peter Linss, ed., Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.

Al-Maturidi, Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud, Risalah fi al-‘Aqa’id, Y.Z. Yorukan, ed., Isambul: Ankara Universitesi, 1953.

Al-Nu’man, Abu Hanifah, Al-Fiqh al-Akbar, Mesir: Al-Hamiyyah, 1334.

Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.

Arkoun, Muhammad, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Arab al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1986.

Banawiratma, J.B., SJ., Analisis Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis, “Kemiskinan dan Pembebasan”, J.B. Banawiratma, SJ., ed., Yogyakarta: Kanisius, 1987.

___________, Proses Teologi Sosial, “Aspek-Aspek Teologi Sosial”, J.B. Banawiratma, SJ., ed., Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Blumer, Herbert, Simbolic Interactionism: Perspective and Method, Englewood Cliffs, New Jersey: Prantice Hall, Inc.

Hartono, Ferdinandus Haselaars, SJ., Teologi Praktis Dewasa Ini, “Teologi dan Spiritualitas”, J.B. Banawiratma, SJ., et.al., Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Izutsu, Toshihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam Analisis Semantik Iman dan Islam, terj., Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Jacobs, Toms, SJ., Teologi yang Eksistensial dan Kultural, “Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern”, Budi Susanto, SJ., ed., Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, A.E. Priyono, ed., Bandung: Mizan, 1991.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI- Press, 1986, cet. V.

Nicholson, Raynold A., The Mystics of Islam, London and Boston: Routledge and Kegan Paul, 1975.

Parsons, Talcott, The Social System, New York: Free Press, 1951.

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, terj., Tim Penerjemah Yosogama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, cet. V.

Salim, Abdullah, Majmu’at al-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam Karya Kiai Saleh Darat (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqih Berbahasa Jawa Akhir Abad XIX), Jakarta: Disertasi Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995.

Samarani, Muhammad Salih ibn ‘Umar, Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam, Cirebon: Al-Maktabah al-Mishriyyah, t.th.

________, Matn al-Hikam, Semarang: Toha Putra, t.th.

________, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, t.t. : t.p., t.th.

Steenbrink, Karel A., Perkembangan Teologi dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1987.

Wach, Joachim, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958.



* Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah Dosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

[1] Teologi dalam agama Kristen mencakup seluruh ajaran agama. Sebab, dalam agama Kristen tidak mempunyai sistem yang bulat seperti syari’at Islam. Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1987, hlm. 10.

[2] Abdullah Salim, Majmu’at al-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam Karya Kiai Saleh Darat (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqih Berbahasa Jawa Akhir Abad XIX), Jakarta: Disertasi Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995, hlm. 21-23.

[3] Ibid., hlm. 38 dan 57-58.

[4] Muhammad Salih ibn ‘Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, t.t. : t.p., t.th., hlm. 2. Selanjutnya disebut Tarjamah Sabil al-‘Abid.

[5] Ibid., hlm. 2.

[6] Muhammad Salih ibn ‘Umar Samarani, Matn al-Hikam, Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 2.

[7] Muhammad Salih ibn ‘Umar Samarani, Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam, Cirebon: Al-Maktabah al-Mishriyyah, t.th., hlm. 27. Selanjutnya disebut Majmu’.

[8] Tarjamah Sabil al-‘Abid, op.cit., hlm. 27.

[9] Ibid., hlm. 244.

[10] Ibid., hlm. 2.

[11] Ibid., hlm. 28.

[12] Ibid., hlm. 51-52.

[13] Ibid., hlm. 2-3. Majmu’, op.cit., hlm. 2.

[14] Tarjamah Sabil al-‘Abid., Ibid., hlm. 319. Matn al-Hikam, loc.cit.

[15] Tarjamah Sabil al-‘Abid., Ibid., hlm. 76. Matn al-Hikam, ibid., hlm. 6-7.

[16] Tarjamah Sabil al-‘Abid., Ibid., hlm. 315-316.

[17] Ibid., hlm. 143-144.

[18] Ibid., hlm. 319.

[19] Matn al-Hikam, op.cit., hlm. 6.

[20] Tarjamah Sabil al-‘Abid., op.cit., hlm. 254.

[21] Matn al-Hikam, loc.cit.

[22] Majmu’, op.cit., hlm. 27.

[23] Raynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, London and Boston: Routledge and Kegan Paul, 1975, hlm. 148.

[24] Majmu’, op.cit., hlm. 26.

[25] Ibid.

[26] Dukun ahli nujum adalah orang yang menebak dengan bintang manazil atau perjalanan hari dan pasaran Pon, Kliwon seperti perbuatan filosof menghitung hitungannya buruj dua belas. Ahli Kahanah atau kahin adalah dukun yang ahli menebak terhadap sesuatu yang belum terjadi bagi seseorang. ‘Araf dukun ahli menebak terhadap barang yang hilang. Tatayyar adalah dukun ahli menebak untung ruginya seseorang dengan sesuatu sebab, seperti celakamu sebab rumah. Ibid., hlm. 29-31.

[27] Ibid., hlm. 19. Tentang imannya orang yang taqlid bagi ulama Ahl as-Sunnah terdapat perbedaan pendapat : 1. Tidak cukup atau tidak termasuk imannya Muqallid, maka ia jadi kafir. 2. Cukup dan sah, tetapi durhaka, baik ia ahli nazar atau tidak. 3. Cukup dan diterima imannya, tetapi durhaka bagi ahli nazar. 4. Sah dan cukup taqlid pada al-Qur’an dan Hadits yang qat’i, seperti Wa Ilahukum Ilahun Wahid, tetapi tidak sah taqlid kepada selain al-Qur’an dan hadits sebab memungkinkan salah, karena tidak ma’sum. 5. Cukup dan sah, tetapi tidak durhaka mutlak baik bagi ahli nazar atau tidak. 6. Sah dan cukup, dan haram kalau nazar, sebab akan mendatangkan keraguan. Sedang yang mu’tamad menurut Kiai Saleh Darat yang nomor 3. Tarjamah Sabil al-‘Abid, op.cit., hlm. 40-41.

[28] Tarjamah Sabil al-‘Abid, ibid., hlm. 14.

[29] Ibid., hlm. 79.

[30] Ibid., hlm. 28.

[31] Ibid., hlm. 51.

[32] Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952, hlm. 75.

[33] Abu Yusr Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Bazdawi, Kitab Usul al-Din, Hans Peter Linss, ed., Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963, hlm. 146.

[34] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI- Press, 1986, cet. V, hlm. 148.

[35] Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi, Risalah fi al-‘Aqa’id, Y.Z. Yorukan, ed., Isambul: Ankara Universitesi, 1953, hlm. 16.

[36] Tarjamah Sabil al-‘Abid., op.cit., hlm. 55.

[37] Ibid. Abu Hanifah, al-Nu’man, Al-Fiqh al-Akbar, Mesir: Al-Hamiyyah, 1334, hlm. 6.

[38] Tarjamah Sabil al-‘abid, ibid., hlm. 55.

[39] Ibid.

[40] Ibid., hlm. 53-54.

[41] Ibid., hlm. 55.

[42] Ibid.

[43] Majmu’, op.cit., hlm. 28-29.

[44] Ferdinandus Haselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis Dewasa Ini, “Teologi dan Spiritualitas”, J.B. Banawiratma, SJ., et.al., Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 203.

[45] J.B. Banawiratma, SJ., Analisis Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis, “Kemiskinan dan Pembebasan”, J.B. Banawiratma, SJ., ed., Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 124.

[46] Alaysius Sutrisnaatmaka, MSF., Mewartakan dan Merayakan Teologi dan Liturgi di Indonesia, “Teologi dan Spiritualitas”, op.cit., hlm. 192.

[47] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, A.E. Priyono, ed., Bandung: Mizan, 1991, hlm. 229.

[48] J.B. Banawiratma, SJ., Proses Teologi Sosial, “Aspek-Aspek Teologi Sosial”, J.B. Banawiratma, SJ., ed., Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 13.

[49] Mauroux, Sur la nation de l’experience religieuse, “Recherches de sciences religieuses”, XXIV, 1947, dikutip Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958, hlm. 31.

[50] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II, hlm. 43.

[51] Herbert Blumer, Simbolic Interactionism: Perspective and Method, Englewood Cliffs, New Jersey: Prantice Hall, Inc., hlm. 81.

[52] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj., Tim Penerjemah Yosogama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, cet. V, hlm. 264.

[53] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 458.

[54] Toms Jacobs, SJ., Teologi yang Eksistensial dan Kultural, “Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern”, Budi Susanto, SJ., ed., Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 51.

[55] Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 269-270.

[56] Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, loc.cit.

[57] Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘An Usul al-Diyanah, Al-Azhar: Al-Muniriyyah, t.th., hlm. 10.

[58] Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, loc.cit. Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam Analisis Semantik Iman dan Islam, terj., Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hlm. 160-161.

[59] Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 101.

[60] Abu Mansur ‘Abd al-Qahir ibn Tahir al-Tamimi al-Baghdadi, Kitab Usul al-Din, Constatinople: Madrasah al-Ilahiyat, 1928, hlm. 218.

[61] Toshihiko Izutsu, loc.cit.

[62] Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Arab al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1986, hlm. 97.

[63] Joachim Wach, op.cit., hlm. 54.

[64] M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 33.

[65] Talcott Parsons, The Social System, New York: Free Press, 1951, hlm. 56.

[66] Majmu’, op.cit., hlm. 34.

[67] Stepanus Gitowiratmo, Pr., Gereja Kaum Awam sebagai Perwujudan Iman, “Teologi dan Spiritualitas”, op.cit., hlm. 51.

[68] J.B. Banawiratma, SJ., Analisis Sosial dan Pembebasan : Refleksi Teologis, “Kemiskinan dan Pembebasan”, op.cit., hlm. 127-128.




Share:
Diberdayakan oleh Blogger.