29 Juli 2009

RUKUN ISLAM (STUDI ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN AHMAD RIFA’I KALISALAK)


-->
Oleh: Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*
I. PENDAHULUAN
Telah diketahui bersama jika realisasi dari pada iman adalah Islam. Orang tidak akan mengetahui bahwa seseorang itu beriman jika tidak direalisasikan dengan amal perbuatan lahiriyah, sehingga terdapat kaitan erat antara iman dengan Islam.
Umat Islam pada umumnya mengakui bahwa rukun Islam ada lima macam, yang sering disebut “buniya al-Islam ‘ala khamsin”.[1] Namun, akan terjadi diskusi jika terdapat pemikir muslim yang tidak menyatakan demikian, seperti menyatakan rukun Islam itu satu.

II. BIOGRAFI
Ahmad Rifa’i (1786-1876), lahir di Desa Tempuran, selatan Masjid Besar Kendal. Ayahnya bernama Muhammad Marhum, anak seorang penghulu Landeraad Kendal bernama R.K.H. Abu Sujak alias Sutjowijojo. Sejak kecil ditinggal ayahnya, kemudian dipelihara oleh kakeknya bernama K.H. Asy’ari, ulama terkenal di Kaliwungu, dan dibesarkan dengan pendidikan agama. Tahun 1833, ia berangkat ke Makkah menunaikan ibadah haji, dan menetap untuk belajar di sana selama 8 tahun. Setelah kembali dari Makkah, ia kembali ke Kendal, kemudian menetap di Kalisalak, lantaran isterinya tinggal di desa itu dan mendirikan pesantren.[2]
Guru-gurunya di Makkah seperti: Syaikh ‘Abdurrahman, Syaikh Abu ‘Ubaidah, Syaikh ‘Usman (guru yang sama dengan Muhammad Salih), Syaikh ‘Abdul Malik, dan Syaikh ‘Isa al-Barawi yang merupakan mata rantai ‘ulama’ Syafi’iyyah menjadi guru as-Sinwani dan sampai pada ar-Rami serta Zakariya al-Ansari penulis Fath al-Wahab. Dan al-Baijuri penulis Syarh Jauharat at-Tauhid.[3]
Menurut Ahmad Nasihun, tokoh Rifa’iyyah (Tarajjumah), karya tulis Ahmad Rifa’i berjumlah 53 berkaitan dengan masalah akidah, syari’ah, dan tasawuf. Menurut Ahmad Syazirin Amin, karya tulisnya mencapai 69 kitab, terdiri dari 62 berbahasa Jawa, dan 7 berbahasa Melayu yang ditulis di Ambon.[4]
Karya tulisnya antara lain: Tanbihat, Husn al-Mitalab, Takhriyah, Abyan al-Hawa’ij, Nazam Arfa’ (koleksi Snouck Hurgronje). Nazam Kaifiyah (koleksi Hazeau). Tasyrihah al-Muhtaj, Nazam Atlab, Nazam Tazkiyah, Husn al-Matalib, Nazam Tahsinah (koleksi DA. Rinkes). GWJ. Drewes mempunyai 4 koleksi, 2 di antaranya berjudul Ri‘ayah al-Himmah, dan dua lainnya berisi 3 kitab yang dikumpulkan menjadi 1, yaitu antara lain: Bayan, Imdad, Takhyirah, Tanbih, dan Kitab Tariqat.[5]
Adapun murid-murid pertamanya antara lain: 1. Ilham, Kalipacung Batang. 2. Maupuro ibn Nawawi, Kranggongan Limpung. 3. Abdul Qahar Bekiking, Anjasari Cepiring. 4. Tubo, Purwosari Patebon Kendal, 5. Muhsin, Cepoko Mulyo Cepiring. 6. Abdul Hamid (mbah Hadis) Karangsambo Wonosobo. 7. Chasan Dimejo, Tangkelan Wonosobo. 8. Mansur, Ngadisalam Wonosobo. 9. Muhammad Ischak, Tangkelan Wonosobo. 10. Abdul Ghoni, Ngadisalam Wonosobo. 11. Abdul Hadi, Dalangan Wonosobo. 12. Muhammad Hasan, Bugangan Wonosobo. 13. Muhammad Thoyib, Kalibening Wonosobo. 14. Abdul Aziz, Tempursari Wonosobo. 15. Mukharrar, Bengek Purworejo. 16. Abu Salim, Paesan Kedungwuni Pekalongan. 17. Ilyas, Sambung Wiradesa Pekalongan. 18. Salamun, Wonosobo. 19. Sri Kasri, Wonosobo. 20. Hasan Muzakir, Wonosobo. 21. Abdul Yahya. 22. Mas Soemodiwirjo, Salatiga. 23. Abdul Saman, Kendal. 24. Hasan Muharram, Limbang Wonosobo. 25. Hasan Imam, Wonosobo. 26. Hasan Munada, Wonosobo. 27. Dolak, Magelang. 28. Mangun Potip. 29. Abdul Jalil. 30. Hasan Wiyanggong, Tirto Pekalongan. 31. Asnawi, Wonoyoso Pekalongan.[6]
Dari para murid pertama ini, ajaran Ahmad Rifa’i tersebar luas di luar wilayah Kalisalak, sehingga di beberapa tempat terdapat konsentrasi pengikutnya hingga sekarang, serta mereka mengisolasi diri dari kebudayaan perkotaan, seperti di Wonosobo, Batang, Pekalongan, Temanggung, Ambarawa, dan sebagainya. Pengikut ini terkenal dengan sebutan Tarajjumah.[7]
Pemikirannya tentang teologi, Ahmad Rifa’i mengakui sebagai pengikut Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, tentang fiqh bermazhab Syafi’i, dan tasawuf dapat dipandang sebagai pengikut al-Ghazali, lantaran dalam uraian pelaksanaan ibadah (fiqh) disertai amal batiniyah.[8] Ketiga hal (Usul atau Usul ad-Din, Fiqh dan Tasawuf) diungkapkan menjadi satu, seperti tertera dalam halaman kitabnya berjudul Ri’ayat al-Himmah:
Tanbih ikilah kitab Nazam Ri’ayah al-Himmah namane Terajjumah ‘ilmu syari’at telung perkara usul fiqh tasawuf saking haji Ahmad Rifa’i ibn Muhammad Syafi’iyyah mazhabe ahlu sunni tariqate.[9]
Terjemahnya :
Peringatan, kitab ini namanya Nazam Ri’ayah al-Himmah, terjemah ilmu syari’at tiga perkara, usul (usul ad-Din), fiqh, dan tasawuf dari haji Ahmad Rifa’i ibn Muhammad, mazhabnya Syafi’iyyah dan tarekatnya Ahl as-Sunnah.
Tiga hal (Usul atau Usul ad-Din, Fiqh dan Tasawuf) disebut bersama merupakan penekanan adanya hubungan timbal balik antara ketiganya, sebagai jawaban atas kalangan yang hanya mementingkan satu bidang saja.

III. MASALAH ISLAM
Al-Asy’ari sebagai tokoh sentral dari paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah hanya membahas hubungan iman dengan perbuatan seseorang. Sedang al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh dari aliran itu melihat permasalahan iman dan Islam berkaitan erat, lantaran iman adalah pekerjaan hati, dan Islam merupakan pekerjaan anggota badan (al-a‘mal bi al-jawarih). Baginya, iman merupakan gambaran tentang tasdiq yang berada dalam hati dan lisan. Sedang Islam merupakan gambaran tentang penyerahan dan kepasrahan dengan jalan taat kepada Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya. Di sini Islam lebih umum dibanding dengan iman, karena dalam Islam sudah mencakup pekerjaan hati, lisan dan amal dengan anggota badan.[10]
Permasalahan kaitan antara iman dan Islam menjadi lebih spesifik lantaran berkaitan dengan unsur-unsur pokok dalam Islam yang lazimnya disebut dengan istilah rukun Islam. Pokok permasalahannya terdapat pada siapa yang telah dianggap sebagai orang Islam dengan segala konsekuensinya dan siapa yang tidak (belum). Rumusan rukun Islam itu berpangkal pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa Islam dibangun atas lima hal (buniya al-Islam ‘ala khamsin),[11] dan hadis yang berisi penjelasan atau jawaban Nabi atas pertanyaan Malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman, Islam dan ihsan.[12]
Rumusan rukun Islam berjumlah lima macam, dikemukakan dan beredar luas di tengah masyarakat yang berhasil membentuk opini masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi kata kunci yang paten. Sebutan ini secara mekanistik dimiliki oleh masyarakat muslim sebagai konsekuensi dari penyederhanaan Islam agar mudah dimengerti mereka. Dalam hal ini, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional mempunyai peran besar dalam proses sosialisasi kata kunci itu (rukun Islam). Kitab-kitab yang beredar di pondok pesantren juga mengajarkan hal-hal yang lebih teknis, seperti rukun salat, rukun haji dan sebagainya sebagaimana tertera pada kitab-kitab Syafi’iyyah.
IV. RUKUN ISLAM AHMAD RIFA’I
Rukun menurut bahasa berasal dari bahasa Arab “rukn”, artinya sesuatu yang menguatkan atau bagian dari sesuatu.[13] Ia merupakan suatu kepastian dari suatu bangunan atau dapat dikatakan sebagai kepastian hubungan antara bagian dengan keseluruhannya. Dengan demikian, Islam terdiri dari lima rukun, sehingga tidak dapat disebut Islam tanpa adanya lima hal tersebut.[14] Dari keterangan ini jika diterapkan secara konsekuen, baik secara harfiyah maupun istilah, kata rukun merupakan bagian dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satunya.
Oleh karena itu, lantaran kata rukun telah menjadi baku untuk menggambarkan aspek asasi dari keislaman seseorang sebagaimana istilah rukun iman yang berjumlah enam macam yang menggambarkan aspek asasi dari keimanan. Maka ketika muncul istilah yang rumusannya berbeda, wajar jika menimbulkan gejolak, bahkan konflik sebagaimana terjadi pada munculnya rumusan rukun Islam hanyalah satu, seperti dikemukakan oleh Ahmad Rifa’i Kalisalak, yang juga pengikut Ahl as-Sunnah seperti dinyatakan :
Rukune Islam sawiji kinaweruhan
Yaiku ngucap syahadat roro ning lisan.[15]
Terjemahnya
Rukun Islam satu diketahui
Yaitu membaca dua syahadat di lisan.
Dalam kitab lainnya dinyatakan sebagai berikut :
Utawi rukun Islam kang dadi hasil sah Islam ingdalem zahir iku muhung ngucapaken ing kalimah syahadat roro lan ora dadi batal Islame wongiku lamun tinggal saking wajibe salat limang wektu lan Jum’at lan tinggal saking aweh zakat lan puasa Ramadan lan haji.[16]
Terjemahnya :
Adapun rukun Islam yang menjadi hasil sahnya Islam dalam lahiriyahnya hanya mengucapkan dua kalimah syahadat. Dan tidak menjadi batal Islamnya orang itu jika meninggalkan kewajibannya salat lima waktu, serta Jum’at, dan meninggal zakat, puasa Ramadan dan haji.
Dalam kaitan lainnya, Ahmad Rifa’i memberikan penegasannya tentang rukun Islam hanya satu, sebagai berikut :
Utawi rukune Islam kehadiran
Iku sawiji kelaka wus kinaweruhan
Yaiku ngucap syahadat roro ing lisan
Kang wus kasebut ngarep kapartelan.[17]
Terjemahnya :
Adapun kedatangan rukunnya rukun Islam
Itu satu saja telah diketahui
Yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat di lisan
Yang sudah disebut di depan secara jelas.
Sebagai suatu analitis, tentang rukun Islam satu dari Ahmad Rifa’i dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legalitas bagi orang-orang Islam di daerah pedesaan, yang lantaran alasan tertentu tidak dapat melaksanakan ajaran Islam lainnya secara sempurna, seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Maka dengan pandangan yang demikian, orang tersebut masih memiliki banyak harapan. Jika istilah rukun Islam diterapkan secara bulat, maka orang-orang yang belum dapat melaksanakan ajaran Islam itu, akan kehilangan harapan lantaran Islamnya telah rusak.
Pandangan itu dalam konteks Kalisalak pada saat itu, merupakan jawaban terhadap situasi santri yang heterogen, yaitu kalangan anak-anak maupun orang tua, dan lemahnya pemahaman agama, serta secara ekonomis kurang menguntungkan akibat kolonialisme Belanda. Pemikiran tentang rukun Islam satu, mempunyai kemiripan karakter dengan pihak Mur’ji’ah dalam konteks keutuhan status keislaman pelaku dosa besar. Dan dalam menciptakan isolasi dari kelompok lain, pemikiran semacam ini memiliki kemiripan karakter dengan pihak Khawarij dengan interpretasi ajaran. Jika Khawarij menggunakan istilah dosa besar sebagai alat isolasi, maka Ahmad Rifa’i menggunakan istilah ‘Alim ‘Adil bagi orang yang sah menjadi pemimpin. Disebutkan ‘Alim ‘Adil sebagai berikut :
Kang dihin ‘alim weruh ing syara’ panggeran
Kapindo ‘adil riwayat kapercayaan
Ora ngelakoni setengah gede dosane
Tan ngekelaken haram cilik tinemune.[18]
Terjemahnya :
Yang pertama ‘alim yang mengetahui aturan syara’
Yang kedua ‘adil dalam riwayatnya
Tidak melakukan sebagian dari dosa besar
Dan tidak membiasakan perbuatan haram kecil
Adapun tentang hadis yang menyatakan Islam dibangun atas lima hal (buniya al-Islam ‘ala khamsin), Ahmad Rifa’i merumuskannya dengan istilah kelakuhane Islam (perbuatan atau perilaku Islam) yang berjumlah lima, seperti dinyatakan :
Utawi kelakuhane Islam iku angucapaken ing kalimah syahadat roro lan anjenengaken salat lan aweh zakat lan puasa wulan Ramadan lan munggah haji ing Bait Allah lamun kuasa ing dalane.[19]
Terjemahnya :
Adapun perilaku Islam itu mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan salat, memberikan zakat, puasa pada bulan Ramadan, dan pergi haji ke Bait Allah jika mampu perjalanannya.
Jika diperhatikan, lima unsur Islam yang disebut rukun Islam yang harus ada pada keislaman seseorang, pendapat Ahmad Rifa’i tersebut dengan ulama lain yang berpendapat bahwa rukun Islam lima, sebenarnya secara substansial adalah sama. Hanya saja, Ahmad Rifa’i menggunakan ungkapan yang tidak lazim saat itu, yaitu kelakuhane Islam (perbuatan atau perilaku Islam) yang berjumlah lima hal, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat, melaksanakan salat, memberi zakat, puasa Ramadan, dan ibadah haji bagi yang mampu. Sedang ulama lain lazimnya menggunakan istilah-istilah rukun Islam yang berjumlah lima hal yang serupa dengan rumusan dari hadis tentang buniya al-Islam ‘ala khamsin yang unsur-unsurnya sama dengan yang dikemukakan oleh Ahmad Rifa’i dengan ungkapan atau rumusan kelakuhane Islam seperti tersebut di atas.
Jadi perbedaannya terletak pada bahasa yang dipergunakan oleh Ahmad Rifa’i dengan bahasa yang lazim dipergunakan oleh ulama lain, yang secara substansial tidak ada perbedaan antara kelakuhane Islam dengan rukun Islam yang semuanya menyatakan ada lima unsur. Oleh karena itu, tidak perlu ada permasalahan ataupun pertentangan antara pemikiran Ahmad Rifa’i dengan pemikiran para ‘ulama lainnya tentang Islam. Ahmad Rifa’i menyatakan tentang Islam adalah melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhkan larangan-Nya.[20] Hal ini sesuai dengan pemikiran ‘ulama Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah lainnya, seperti Muhammad Salih as-Samarani yang menyatakan, bahwa Islam adalah perilaku lahiriyah untuk melaksanakan syari’at Allah, seperti dinyatakan :
Utawi ma’nane Islam iku mituruti kawula maring sekabehane hukum syari’at Allah, tegese lakune badan jasmani ngelakoni perintah syari’at kaya salat zakat puasa haji, lan majibaken barang kang wajib-wajib lan ngaramaken barang kang haram-haram.[21]
Terjemahnya :
Adapun arti Islam itu hamba mengikuti kepada semua hukum syari’at Allah, maksudnya perilaku badan jasmani melakukan perintah syari’at, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Dan mewajibkan melakukan hal yang wajib-wajib, serta mengharamkan terhadap hal yang haram-haram.

V. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemikiran seseorang tokoh adalah berkaitan dengan ruang, waktu dan situasi. Ahmad Rifa’i berkaitan dengan masyarakat Kalisalak yang heterogen abad XIX, baik dari aspek pengetahuan agama maupun ekonomi.
2. Pemikiran tentang rukun Islam satu dari Ahmad Rifa’i, dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legalitas kepada orang-orang Islam pedesaan. Dengan alasan tertentu mereka tidak dapat melaksanakan ajaran Islam secara sempurna, sehingga mereka tetap memiliki harapan untuk masuk surga.
3. Pemikiran tentang kelakuhane Islam lima macam, sebenarnya sama dengan pendapat ulama lainnya dengan rumusan rukun Islam berdasarkan hadis tentang buniya al-Islam ‘ala khamsin. Maka secara substansial pemikiran Ahmad Rifa’i tentang rukun Islam satu dan kelakuhan Islam lima macam, tidak ada perbedaan substantif dengan pemikiran ulama pada umumnya dengan menggunakan rumusan rukun Islam lima macam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bantani, Muhammad Nawawi, Syarh Kasyifah as-Saja, Semarang: Taha Putra, t.th.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil.1, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, juz 1, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Arabiyyah, 2002.
Amin, Ahmad Syazirin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh Ahmad Rifa’i, Pekalongan: Yayasan al-Insap, 1989.
Djamil, Abdul, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Abad Sembilan Belas, Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughat wa A’lam, Beirut: Maktabah asy-Syarqiyyah, 1986.
Muslim, al-Jami‘ as-Sahih, jil.1, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Rifa’i, Ahmad, Nazam Arfa‘, t.k.: t.p., 1261 H.
___________, Ri‘ayah al-Himmah, Pekalongan: Pondok Pesantren Raudlatul Fadilah, 1395 H.
___________, Syarih al-Iman, t.k.: t.p., t.th.


* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar di IAIN Walisongo Semarang pada Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.
[1]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil.1, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 14.
[2]Abdul Djamil, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Abad Sembilan Belas, (Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 47-49 dan 54.
[3]Ibid., hlm. 51-52.
[4]Ibid., hlm. 63.
[5]Ibid., hlm. 64-67.
[6]Ahmad Syazirin Amin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh Ahmad Rifa’i, (Pekalongan: Yayasan al-Insap, 1989), hlm. 9.
[7] Abdul Djamil, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, hlm. 56.
[8]Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Arabiyyah, 2002), hlm. 111-dst. Mengemukakan persoalan ibadah dilihat dari segi rahasia yang terkandung di dalamnya, sehingga tidak terkesan hanya membahas masalah ibadah seperti kitab fiqh pada umumnya.
[9]Ahmad Rifa’i, Ri‘ayah al-Himmah, (Pekalongan: Pondok Pesantren Raudlatul Fadilah, 1395 H), hlm sampul. Pernyataan itu juga terdapat dalam kitab lain seperti Syarih al-Iman dan Tabyin al-Islah.
[10]Al-Ghazali, Ihya’, jil.1, hlm. 116.
[11]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil.1, hlm. 14. Muslim, al-Jami‘ as-Sahih, jil.1, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 34-35.
[12]Muslim, ibid., hlm. 30-31.
[13]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa A’lam, (Beirut: Maktabah asy-Syarqiyyah, 1986), hlm. 278.
[14]Muhammad Nawawi al-Bantani, Syarh Kasyifah as-Saja, (Semarang: Taha Putra, t.th.), hlm. 5.
[15]Ahmad Rifa’i, Ri‘ayah al-Himmah, hlm. 25.
[16]Ahmad Rifa’i, Syarih al-Iman, (t.k.: t.p., t.th.), hlm. 3.
[17]Ahmad Rifa’i, Nazam Arfa‘, (t.k.: t.p., 1261 H), hlm. 4.
[18]Ibid., hlm. 5.
[19]Ahmad Rifa’i, Syarih al-Iman, hlm. 3.
[20]Ibid., hlm. 1.
[21]Ibid.



Share:

28 Juli 2009

JALALUDDIN RUMI

I. PENDAHULUAN

Berbeda dengan tokoh-tokoh sufi lain semasanya, Rumi telah mengambil bentuk sufisme tersendiri. Artinya, tidak seperti kebanyakan sufi-sufi pendahulu dan semasanya yang lebih cenderung untuk mengungkap masalah metafisik dan maqamat, maka pemikiran sufisme Rumi lebih memiliki nuansa tersendiri yang tertuang dalam bentuk sajak, syair dan prosa.

Namun demikian, dengan tidak mengurangi nilai kemistisannya, syair-syair Rumi ternyata memiliki nilai tersendiri yang berkaitan dengan pengalaman batin Rumi. Sehingga dapat dikatakan, bahwa apabila seseorang ingin memahami pribadi Rumi dan perjalanan spiritualnya dalam menapaki sufi, maka seseorang harus dapat memahamkan syair-syair Rumi. Karena syair-syair tersebut tersurat pemikiran dan ajaran Rumi yang sesungguhnya.

Makalah ini mencoba mengulas kembali secara kritis tentang Jalaluddin Rumi, baik dari sisi pribadi dan perjalanan intelektualnya sampai pada ajaran-ajarannya.


II. PEMBAHASAN

A. Biografi Jalaluddin Rumi

Nama lengkap Jalaluddin Rumi adalah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Husin al-Khathbi al-Bakri. Beliau dilahirkan di Balkhi (Persia) pada tahun 604 H (1217 M) dan meninggal pada tahun 672 H (1273 M). Ketika beliau berusia 4 tahun, ayahnya membawa Rumi ke Asia Kecil yang pada waktu itu lebih dikenal dengan Negeri Rum. Itulah sebabnya, maka dia memakai nama “Rumi”, yang diambil dari nama negeri tempat tinggalnya.[1]

Ayahnya, Baha’ Walad adalah seorang dai terkenal, fakih sekaligus sufi yang menempuh jalan rohani sebagaimana Ahmad al-Ghazali, saudara Muhammad al-Ghazali yang dikenal dengan kesufiannya. Sebagai ahli fiqh sekaligus sufi, Baha’ memiliki pengetahuan eksoterik (yang berkaitan dengan hukum Islam) maupun pengetahuan esoterik (yang berkaitan dengan thariqah / tasawuf).

Berkaitan dengan dimensi eksoterik ini, dia mengajarkan kepada setiap Muslim tentang bagaimana caranya menjalankan kewajiban-kewajiban agama, sedangkan dalam dimensi esoterik, dia mengajarkan bagaimana cara menyucikan diri dan meraih kesempurnaan.[2]

Ia juga mempelajari dengan tekun kitab suci al-Qur’an baik pembacaan, penjelasan, ataupun penafsirannya. Penelusuran keilmuannya tidak berhenti sampai disana, Ia juga mempelajari hadist (satu cabang ilmu yang mengkaji ucapan dan perbuatan Rasul Muhammad serta para sahabat). Pengetahuannya yang luas dalam kajian keIslaman ditunjukkan dalam karya-karyanya yang mendalam.

Balkhi, pada tahun-tahun awal abad ke-13 di samping menjadi pusat pembelajaran yang maju juga merupakan pusat perdagangan. Tetapi keadaan politik memaksa terjadinya perubahan besar-besaran seiring dengan terjadinya penyerbuan besar-besaran tentara Mongol dari Asia Dalam. Tepatnya pada tahun 1220 Balkhi diserbu dan dimusnahkan hingga runtuh oleh kaum Mongol. Tapi penghancuran Balkhi oleh tentara Mongol tidak berpengaruh pada Baha’ Walad dan keluarganya. Mereka telah pindah dari Balkhi satu atau dua tahun sebelum penghancuran tersebut. Dalam pengelanaannya keluarga itu melewati Bagdad ke Mekah, kemudian ke Syria dan akhirnya sampai di Anatolia Tengah. Keluarga itu kemudian menetap di Laranda (Karaman, saat ini Turki). Di sana Jalaluddin menikahi Jauhar Khatun, seorang gadis muda berasal dari Samarkand.

Pada tahun 1228, atas undangan Pangeran Ala’uddin Kay-Qubad, Baha’ Walad memboyong keluarganya ke Konya Ibukota Kesultanan Rum Seljuq yang sedang berkembang pesat, dan pada waktu itu masih jauh dari jangkauan tentara Mongol. Di kota itu Baha’ Walad menjadi pengajar sebagaimana yang ia lakukan di Balkhi. Pada Januari 1231, Baha’ Walad yang mendapat julukan “Sultan Kaum Terpelajar”, wafat dan meninggalkan Jalaluddin sebagai penggantinya.[3]

Ketika Rumi mengambil kedudukan ayahnya, dia tampak sudah menguasai disiplin ilmu rohani dan ilmu-ilmu esoterik sufisme. Sejak itulah maka dia seakan-akan sulit menghindarkan diri dari sufisme, bahkan senantiasa terdorong kearahnya. Namun demikian, secara formal dia baru menjalani kehidupan seorang sufi ketika Burhanuddin Tirmidzi, murid kesayangan ayahnya datang ke Konya pada tahun 1232 hingga wafatnya tahun 1240. di bawah bimbingannya Rumi menjalani disiplin-disiplin ilmu kerohanian.

Rumi menjadi berubah ketika Syamsuddin dari Tabriz datang ke Konya pada tahun 1244. Syamsuddin Tabrizi memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap pribadi Rumi. Dialah yang menyebabkan Rumi berubah dari seorang ahli hukum menjadi seorang pecinta yang mabuk. Sehingga ada yang mengatakan bahwa tanpa kehadiran Syams, maka tidak akan pernah ada Rumi.

Selama kurang lebih satu atau dua tahun, Syams senantiasa mendampingi Rumi. Sehingga ketika tiba-tiba Syams meninggalkan Konya, maka Rumi menjadi cemas.[4]

Hilangnya Syams dan kerinduan yang timbul di dalam jiwanya pada kekasih spiritual menjadi pemicu pada diri Rumi untuk menggubah dan melagukan hasratnya yang merindu dalam lirik puisi Persia. Akhirnya Rumi mengetahui bahwa Syamsuddin pergi ke Damaskus, lalu ia mengutus putra tertuanya, Sultan Walad untuk membawa Syams kembali ke Konya. Syams akhirnya menempati rumah Rumi dan menikahi gadis muda pelayan rumah. Dia menetap di sana hingga tahun 1248, sebelum akhirnya menghilang sekali lagi dan tidak pernah ditemukan kembali. Tuduhan pembunuhan oleh anak kedua Rumi yang dilontarkan Aflaki, salah seorang penulis awal biografi, saat ini banyak diakui kebenarannya.

Rumi amat terkejut oleh perpisahan kedua ini hingga kemudian dia memutuskan untuk pergi sendiri ke Syria’ satu atau dua kali, untuk mencari sahabatnya. Pada akhirnya, dia menyadari bahwa Syams tidak akan ditemukan dan dia memutuskan untuk lebih mencari Syams “yang nyata” di dalam dirinya sendiri. Proses pemenuhan perkenalan antara pecinta dan kekasihnya telah terpenuhi, Jalaluddin dan Syamsuddin bukan merupakan dua jiwa yang terpisah. Mereka satu selamanya.

Setelah menjalani kehidupan mengajar dan memenuhi kebutuhan pengikut dan sahabatnya Maulana Jalaluddin Rumi meninggal dunia pada 17 Desember 1273.[5]

B. Karya- karya Jalaluddin Rumi

Rumi tidak “menulis “ buku dengan cara konvensional sebagaimana orang lain melakukannya. Prosa dan puisi Rumi pada saat ini disamping berasal dari karya-karya yang dicatat oleh pengikutnya ketika Rumi menyampaikannya secara lisan dan hasil pendiktean yang kemudian dia periksa lagi seperti dalam Matsnawi dan Diwan, juga karya-karya yang ditulis oleh para pengikutnya dari ingatan mereka atau dari catatan-catatan Rumi sendiri setelah kematiannya. Karya-karya seperti itulah yang terangkum dalam buku Signs of the Unseen (fihi ma fihi).

Karya utama Rumi adalah berjudul Masnavi-i ma’navi, yang dalam edisi Inggris berjudul Masnavi of Intrinsic Meaning. Karya ini terdiri dari enam jilid buku yang berisi 25.000 bait puisi. Karya ini digubah sebagai persembahan untuk memenuhi permintaan orang yang menjadi sumber inspirasi Rumi yang ketiga, Husamuddin Chelebi. Rumi menggunakan berbagai jenis cara pengungkapan sebagai medium ekspresinya. Dalam karyanya terdapat cerita, anekdot, dan lain-lain. Tapi semua isinya menyentuh aspek pembelajaran dan pemikiran spiritual. Adalah suatu yang wajar jika kita mengatakan bahwa ketika karya Rumi digubah, tidak ada kitab di dalam dunia Islam, kecuali al-Qur’an, yang begitu dihormati dan dirujuk oleh kaum Muslim sebagaimana Matsnawi karya Rumi.

Karya utama Rumi yamg lain ialah kumpulan puisi pendeknya yang luar biasa besar, Divan-i Syams-i Tabriz, yang terdiri dari ghazal, kuatrin (sajak empat seuntai) dan lain-lain, dalam bentuk yang tidak konvensional. Ciri khas Rumi yang secara sempurna tergabung dengan alter egonya dapat kita lihat dari baris-baris terakhir ghazalnya, suatu bagian yang dijadikan tempat oleh aturan konvensional di dalam puisi Persia untuk menyisipkan nama samaran sang penyair, sementara Rumi menempatkan nama kekasihnya Syams dari Tabriz.

Untuk melengkapi karya Matsnawi dan Diwan, kami menambahkan 144 surat Maulana Jalaluddin Rumi yang telah dikumpulkan dan dipelihara oleh pengikutnya. Surat-surat itu kebanyakan ditujukan kepada Parwana Mu’inuddin atau pejabat resmi lain dan pejabat-pejabat di Konya. Surat-surat itu ditulis untuk kepentingan mereka yang membutuhkan bantuan.

Dan untuk menambah catatan ceramah Rumi, di dalam Signs of Unseen (fihi ma fihi), kami sertakan kumpulan ceramah yang terpelihara di dalam Majalis-i sab’a-i Maulana (Ceramah dari Tujuh Pembahasan Maulana).

Fihi ma fihi merupakan kumpulan kuliah, wacana, perbincangan, dan komentar Rumi pada pelbagai masalah. Kebanyakan dari tujuh puluh satu bagian yang dimuat di dalam buku ini adalah bagian-bagian yang terlepas. Beberapa lagi berasal dari yang sejenis dengan “pembahasan” (majelis) guru sufi, atau pertemuan tak resmi dengan murid dan pengikutnya, selama itu sang guru menguraikan satu pokok bahasan atau lebih.

Meskipun banyak, atau bahkan semuanya, dari bagian yang barangkali telah ditulis Rumi selama masa kehidupan Rumi, hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan karya ini tidak selesai dibuat hingga Rumi wafat. Bentuk buku itu merupakan kenang-kenangan dari kumpulan wacana-wacana ayahnya, yang umumnya cenderung lebih merupakan pandangan terhadap suatu gagasan (seperti bagian 34 kitab Fihi ma fihi).[6]


III. PEMIKIRAN RUMI

1. Kesatuan Eksistensi

Cara pandang sufi terhadap eksistensi agak berbeda dari kaum teologi (mutakallimun). Bagi kaum sufi, “Eksistensi” (wujud) berarti “kenyataan / kebenaran” (haqiqah) dan tiada yang hakiki kecuali kenyataan / kebenaran tertinggi (ultimate realita, al-Haqq).

Rumi menyajikan pandangannya sendiri dalam kaitannya dengan penafsiran ungkapan terkenal al-Hallaj, “Anal al-Haqq”; (aku adalah kebenaran).

Orang-orang mengira ungkapan anal al-haqq adalah ungkapan kesombongan, padahal mengatakan ana al-Abd, aku hamba Allah, itulah yang sebenarnya merupakan ungkapan kesombongan, Anal Al Haqq adalah ekspresi kerendahan hati yang besar. Manusia yang mengatakan Ana al-abd mengakui dua eksistensi, eksistensinya dan Tuhan, sementara orang yang mengatakan anal Al-Haqq adalah ekspresi kerendahan hati yang besar. Manusia yang mengatakan anal al-‘abd mengakui dua eksistensi. Eksistensinya dan Tuhan, sementara orang yang mengatakan anal al-haqq telah meniadakan dan telah menyerahkan dirinya seraya berkata “Akulah Tuhan”, yakni aku tidak ada, Dia-lah segalanya: tiada sesuatu kecuali Tuhan. Inilah kerendahan hati yang luar biasa besarnya.

Ayat al-qur’an (QS. 75:3) mengungkap lebih jauh tentang konsepsi Rumi mengenai kesatuan eksistensi. “Dia yang pertama dan yang terakhir” berarti bahwa kenyataan / kebenaran tertinggi (al-Haqq) adalah prinsip segala makhluk dan mereka pasti kembali, sementara “Dia yang lahir, Dia yang Batin”, mengisyaratkan imanensi dan transendensi-Nya.

2. Cinta Universal

Dalam pandangan Rumi, Tuhan adalah pencipta semesta yang menciptakannya dari ketidakmaujudan (‘adam non-existence). Namun demikian, ketidakmaujudan itu bukanlah ketiadaan murni (nothingness). Akan tetapi ketidakmaujudan mengandung kenyataan dan potensial yang aktualisasinya menjadi kemaujudan (eksistensi) bergantung sepenuhnya pada kemuraan Tuhan (barakah).

Tentang bagaimana semesta ini diciptakan, Rumi berkeyakinan bahwa penciptaan adalah manifestasi diri Tuhan (izhar). Untuk mendukung pandangan ini, Rumi layaknya sufi lainnya, mengutip hadits qudsi terkenal yang mengatakan bahwa Tuhan adalah kekayaan tersembunyi; Dia menciptakan dunia ini agar bisa dikenali.

Sekarang mari kita lihat bagaimana semesta dihubungkan oleh Rumi dengan cinta. Seperti telah kita lihat, hal pertama yang diciptakan Tuhan adalah cinta, prioritas cinta ketimbang makhluk yang lain terbukti karena cintalah yang memotivasi Tuhan untuk menciptakan semesta. Dengan begitu, Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan kreatif paling dasariah, yang menyusup ke dalam setiap makhluk dan menghidupkan mereka.

Sebagai cermin Tuhan, semesta merefleksikan sifat-sifat-Nya sesuai dengan tingkatan eksistensi yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi tingkatan yang dicapainya, semakin banyak sifat Tuhan yang mereka refleksikan.[7]

3. Cinta Ilahi (‘Isyq)

Cinta (‘Isyq, mahabbah), menurut Rumi, bukan hanya milik manusia dan makhluk hidup lainnya, tapi juga semesta. Cinta kepada Tuhan telah menciptakan di dalamnya kerinduan untuk kembali dan bersatu.

Kadang-kadang Rumi menggambarkan cinta sebagai “astrolabe rahasia-rahasia Tuhan” yang menjadi petunjuk bagi manusia untuk mencari kekasihnya. Karena itu, cinta membimbing manusia kepada-Nya dan menjaganya dari gangguan orang lain. “Cinta”, kata Rumi, adalah “astrolabe misteri-misteri Tuhan”. Kapanpun cinta, entah dari sisi (duniawi) atau dari sisi (langit)nya, namun pada akhirnya ia membawa kita ke sana.

Dengan pengaruhnya yang luar biasa pada jiwa manusia, cinta juga dapat mempercepat perjalanan manusia menuju Tuhan. Jadi cinta Ilahi dapat menjauhkan manusia dari syirik (penyekutuan Tuhan) dan mengangkat-Nya ke tingkatan yang tertinggi dari tauhid.[8]

4. Pengetahuan Sejati (al-Ma’rifah)

Konsepsi Rumi tentang pengetahuan sejati (ma’rifah atau gnosis) dimulai oleh fakta bahwa “Tuhan mengajarkan Adam semua nama”. Nama-nama ini merupakan prototype semua pengetahuan sejati dan langsung berasal dari Tuhan. Menurut Rumi “kebijaksanaan Tuhan menciptakan dunia agar segala hal yang ada dalam pengetahuan-Nya tertangkap”. Demikianlah, tiga fundamental manusia untuk memahami seluruh kebenaran sejati yang bersembunyi dibalik pikiran manusia melalui pemahaman dunia fenomena.

Disini ada dua hal yang penting untuk di catat; pertama, ma’rifah sepenuhnya bergantung pada kehendak dan kemurahan Tuhan, dan kedua, ia bukanlah hasil latihan mental. Persepsi indra dan akal penting sebagai sarana yang membimbing kita hanya sampai pada gerbang pengetahuan sejati, dan sisanya bergantung pada rahmat Tuhan (barakah). Atas dasar ini, mereka yang hanya menggunakan persepsi indra atau penalaran diskursif, akan sia-sia mencari kebenaran.[9]

5. Wahdatul Adyan (kesatuan transcendental agama-agama

Seperti sufi lainnya, Rumi percaya pada kesatuan transcendental agama-agama dan memandang kontroversi diantara pada penganut agama-agama tersebut hanya terjadi karena mereka melihat bentuk luar agama dan bukan pada esensinya. Mereka terlalu terikat pada cara pandang formal dan tradisional yang memandang agama-agama lain terpisah dan akibatnya, tidak mengizinkan adanya visi tentang kesatuan semua agama. Dalam kisah yang terkenal tentang gajah di istana yang gelap, Rumi berusaha menunjukkan betapa orang-orang yang berpikiran sempit gagal menjelaskan hakikat agama-agama. Upaya mereka tidak akan pernah berhasil sebelum mereka memahaminya secara komprehensif.

Karena itu, jelas bahwa sepanjang kita tidak mampu menyaksikan hakikat agama secara komprehensif dan hanya melihatnya dengan sempit pertentangan antara agama-agama tidak akan berakhir. Solusinya hanya akan diperoleh, menurut Rumi apabila kita mampu melihat kesatuan transcendental dari tujuan-tujuannya yang tertinggi.[10]


IV. ANALISIS

Rumi sangat terkenal bukan hanya saja di timur, tetapi juga di barat. Beberapa orientalis barat menyebutnya sebagai “penyair sufi paling hebat yang pernah dilahirkan di Persia”. Penyair mistik Islam yang terbesar, dan bahkan penyair mistik paling agung sepanjang masa.

Kita bisa mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa tidak seorangpun penyair mistik dan penyair Islam lain yang dikenal lebih baik daripada Rumi di barat. Di indonesia tidak cukup dikenal, kecuali di lingkaran-lingkaran kecil kaum penyair. Namun demikian dalam dunia intelektual Islam, sayap-sayap bisa kita dengarkan gaung kehebatannya, baik melalui karya-karya maupun puisi-puisinya.

Ditilik dari keluasan wawasan dan ketajaman pandangan intelektualnya dari tema-tema universal yang ia hadirkan dalam setiap bait karyanya atau dari ekspresi ide-idenya dalam bahasa puitis yang dipenuhi simbolisme dan alegori, tidak diragukan lagi jika Rumi adalah seorang jenius dengan pemikiran yang brilliant dan hati yang besar. Melalui pandangannya yang tajam, ia sanggup mengantisipasi sejumlah gagasan yang muncul berabad-abad kemudian. Rumi mengembangkan gagasan yang mendorong manusia untuk bekerja keras dalam mengemban tugas beratnya sebagai wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Dengan demikian ia menyanggah pandangan yang keliru bahwa para sufi bersifat fatalistic.[11]

Hal yang penting yang dilupakan pada Rumi adalah bagaimana memahami pribadi Rumi secara utuh. Hal ini terjadi karena sampai dewasa ini orang-orang lebih cenderung melihat pada aspek pemikiran melalui hasil syair-syair Rumi dan tidak melihat pada aspek pribadi Rumi. Dengan kata lain, mengapa ajaran-ajaran yang termuat dalam syair-syair Rumi dapat diterima banyak orang pada massanya. Padahal ini berbeda dengan bentuk sufisme yang berkembang pada massanya. Padahal ini berbeda dengan bentuk sufisme yang berkembang pada saat itu yang lebih menonjolkan aspek maqamat sebagai suatu jalan menuju Ilahi. Sehingga wajar apabila Schimmel berargumen bahwa “basis, pusat dan tujuan pemikiran Rumi adalah Tuhan Yang Esa Tak Terbatas yang esensinya tidak pernah akan dicapai”.[12]


V. KESIMPULAN

Dari penjelasan dan pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pada dasarnya Rumi merupakan sosok yang ahli dalam bidang hukum (faqih), di samping menguasai berbagai ilmu lain. Namun karena pengaruh Syams, ia telah mulai menekuni dunia sufi, sehingga ia mengenang gurunya ini dengan membuat syair dalam satu kitan yang berjudul Diwan-i Syams Tabrizi.

2. Berbeda dengan kebanyakan sufi yang lebih mementingkan aspek maqamat dalam menapaki kehidupan sufi, maka Rumi tidak menjadikan maqamat sebagai bentuk jalan untuk menuju Ilahi.

3. Ajaran dan pemikiran Rumi hanya dapat ditelaah melalui bait-bait syairnya, sehingga dengan memahami syair-syairnya, maka akan dapat dipahami ajaran sufisme Rumi yang sebenarnya, baik yang menyangkut aspek ketuhanan, kemanusiaan, alam maupun keterkaitan dari ketiga aspek tersebut.

VI. PENUTUP

Dengan demikian dari semua uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengenal ajaran-ajaran Rumi. Khususnya menyangkut sejumlah spekulasi mistik. Teologinya yang pertama, pesan-pesan yang terdapat dalam ajaran-ajarannya bersifat dinamis, sehingga sangat membantu dalam menghidupkan kembali “semangat keagamaan” masyarakat muslim kontemporer yang masih belum bangkit dari tidur pulasnya. Kedua, metode-metode yang digunakan Rumi dalam mengartikulasikan pemikiran-pemikirannya sangatlah efektif. Rumi mendekati suatu masalah secara langsung, seakan-akan gampang saja baginya. Dengan menggambarkan peristiwa sehari-hari ke dalam anekdot, fabel, dongeng dan sebagainya sehingga masalah itu hampir-hampir terpecahkan dengan sendirinya.

Ketiga, Rumi memberi manusia modern sebagai pandangan atau refleksi, yang umumnya telah hilang di tengah kekacauan dan kebimbangan masa modern, tentang eksistensi manusia, seperti kedudukan manusia di alam semesta, kehendak bebas yang dianugerahkan Tuhan sebagai amanah, pengetahuan sejati (ma’rifah) yang dapat membimbingnya menuju jalan yang benar, cinta tanpa pamrih (isyq, mahabbah) yang dapat menyucikan jiwa, toleransi yang bisa mendatangkan perdamaian sejati diantara manusia, dan sebagainya.

________o(o)o________



DAFTAR PUSTAKA

Chittick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Adipura, Yogyakarta, 2001.

Hamka, Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1993.

Kartanegara, Mulyadhi, Jalal al-Din Rumi; Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju (PT. Mizan Publika), Jakarta, 2004.

Rumi, Jalaluddin, Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya, terj. Anwar Holid, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.

Schimmel, Annemerie. Dunia Rumi : Hidup dan Karya Penyair Besar Rumi, terj. Saut Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002.



[1] Hamka, Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1993, hlm. 19

[2] William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Adipura, Yogyakarta, 2001, hlm.1

[3] Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya, terj. Anwar Holid, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm.4 -5

[4] William C. Chittik, op.cit., hlm.4 -5

[5] Jalaluddin Rumi, op.cit., hlm.12-13

[6] Ibid., hlm 14-16

[7] Kartanegara, Mulyadhi, Jalal al-Din Rumi; Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju (PT. Mizan Publika), Jakarta, 2004, hlm. 48-57

[8] Ibid., hlm. 77-80.

[9] Ibid., hlm. 70-71

[10] Ibid., hlm. 87-90

[11] Ibid., hlm. xiii

[12] Annemerie Schimmel, Dunia Rumi : Hidup dan Karya Penyair Besar Rumi, terj. Saut Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 90





Share:
Diberdayakan oleh Blogger.