26 Agustus 2009

PAHAM QADARIYAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA KINI

Oleh:

Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*

Tentang kepastian timbulnya paham Qadariyah ini tidak dapat diketahui, tetapi menurut para ahli teologi Islam paham ini tampaknya ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhani (w. 80 H). Hanya saja tentang Ma’bad ini seperti dikatakan oleh W. Montgomery Watt : “Not much is known about Ma’bad al-Juhani”.

Tokoh keduanya adalah teman Ma’bad yang bernama Ghailan al-Dimasyqi yang terus menyiarkan pahamnya di Damaskus. Menurutnya, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, yakni manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik, maupun melakukan atau menjauhi perbuatan jahat semuanya atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini, manusia merdeka dalam perilakunya, ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri, dan berbuat jahatpun atas kemauan dan kehendaknya sendiri.

Demikianlah paham qadar yang berkembang dalam pikiran Qadariyah, yang pada dasarnya meletakkan kebebasan manusia untuk melakukan sesuatu, karena ia mempunyai qudrah untuk itu. Ini berarti meletakkan posisi manusia secara proporsional lantaran manusia memiliki akal, yang dengannya (akal) manusia dapat melakukan yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian manusia bertanggungjawab atas perbuatannya.

Kecuali memiliki akal, manusia juga memiliki kesadaran diri, dan memiliki imajinasi, yang karena hal-hal demikian inilah membedakannya dengan alam semesta lainnya, sehingga ia memiliki otoritas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kekhalifahannya di bumi ini. Otoritasnya itu dibenarkan oleh al-Qur’an, seperti ayat :

إنّ الله لا يغيرما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

Dengan kecakapan intelektualnya, manusia dapat menentukan perjalanan hidupnya, dan dengan kata lain manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan, serta mempunyai kekuatan atau qudrah untuk melaksanakan kehendak dan perbuatan-perbuatannya.

Karena itulah pengertian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Paham ini dalam istilah Inggrisnya dikenal dengan sebutan free will dan free act.

Ketika paham Qadariyah timbul pertama kali yang dibawa oleh orang-orang Islam non-Arab, menimbulkan kegoncangan pikiran masyarakat Islam Arab yang semula berpaham fatalisme yang karena kondisi alamnya yang demikian keras. Untuk itu mereka menentang paham Qadariyah dengan ungkapan :

القدرية مجوس هذه الأمة

Dalam kaitannya dengan kondisi alam tersebut, paham Qadariyah ini justru menguntungkan untuk mengadakan perubahan sosial dan kondisi lingkungannya, untuk membangun sebagai sumber moral dan kekuatan untuk dapat melaksanakan sesuatu yang lebih baik dari kondisi semula, yang dikarenakan manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk itu.

Sekarang bagaimana dengan kehidupan manusia pada masa kini? Sebagai suatu analisis bahwa pada masa kini yang ditandai dengan teknologi yang serba canggih, arus globalisasi dan informasi, yang membikin segala sesuatu serba transparan, sehingga menuntut manusia lebih mendayagunakan kehendak, kekuatan dan kemampuannya untuk melaksanakan perbuatan-perbuatannya yang tepat, cepat dan berdayaguna demi tersingkapnya eksistensi manusia selaku khalifahtullah fi al-ardl, sebab al-masyi’ah, al-istitha’ah, dan fi’lu al-insan semua ada pada manusia.

Karena manusia memiliki qudrah untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau dengan kata lain manusia memiliki daya ikhtiyariyah itulah, maka manusia bertanggungjawab atas semua perbuatan-perbuatannya itu, dan karena itu pula berkaitan dengan keadilan Tuhan. Jika manusia tidak merdeka, yang karena perbuatan buruknya ia mendapat siksa, memberi kesan bahwa Tuhan tidak adil.

Sikap free will Qadariyah ini juga mengilhami dibidang lain, seperti tentang imamah, mereka cenderung mengembangkan demokrasi, yang dengan cara demikian manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Di sini tampak bahwa hak asasinya mendapatkan kehormatan dan terlindungi.



* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar IAIN Walisongo Semarang di Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.




Share:

13 Agustus 2009

LARANGAN KORUPSI DAN MANIPULASI

Oleh:

Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*

Pada kesempatan ini, pertama-tama saya mengingatkan, mari kita tingkatkan taqwa kita kepada Allah SWT., dalam arti yang sebenar-benarnya, yaitu kita patuh dan tunduk hanya kepada allah SWT., dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan serta menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Sebab, dengan taqwa yang demikian inilah yang dapat membawa manusia kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak, yang merupakan kebahagiaan abadi.

Berbicara tentang korupsi dan manipulasi, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertiannya masing-masing. Korupsi, adalah perilaku yang dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau menggunakan kekuasaan tanpa hak, dengan maksud memperoleh keuntungan yang bersifat pribadi.[1] Sedang manipulasi adalah berbuat curang (memalsukan surat-surat, menggelapkan barang, dan sebagainya).[2] Maka manipulasi merupakan salah satu bentuk dan perwujudan dari korupsi yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi.[3] Kedua-duanya berintikan penyalahgunaan wewenang atau kepercayaan untuk kepentingan pribadi, golongan atau kelompok.



Kasus-kasus korupsi

Korupsi dan manipulasi telah melanda manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, China, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi muncul sebagai masalah. Hammurabi dari Babilonia, naik tahta sekitar tahun 1200 SM,[4] memerintahkan seorang gubernurnya untuk menyelidiki suatu perkara penyuapan,[5] dan mengancam beberapa bentuk korupsi dengan hukuman mati.[6] Di Roma terguncang, ketika hakim Hostilius Tubulus dijatuhi hukuman tahun 142 SM karena menjual keputusan dalam perkara pembunuhan.[7] Tahun 73-71 SM, Gaius Verres, gubernur Sisillia, mencapai puncak pemerasannya ketika orang tak berdosa dijatuhi hukuman mati, masih terus merundingkan besarnya uang suap untuk menentukan cara kematian dan penguburannya.[8]

Di China Kuno, para koruptor berpengaruh amat besar, dapat mengelak hukuman atas kejahatannya. Pada pertengahan abad V SM terjadi kelaparan, karena hasil panen ditimbun orang-orang kaya.[9] Ini terjadi karena kolusinya dengan penguasa. Wang Mang, merebut kekuasaan dari Han tahun 9 M, dengan berbohong menerima wangsit, dan memerlukan pejabat yang korup untuk mendukungnya, sehingga korupsi merajalela.[10] Ia dibunuh oleh serdadunya dalam pemberontakan tahun 23 M. Tampaklah, korupsi berperan atas kejahatannya, dan kesalahan pemerintah memperparah keadaan, dan ada kaitan antara korupsi dan kekuatan lainnya, sehingga menjatuhkan suatu dinasti.

Di India, sejak anak-anak usia sekolah sudah diperkenalkan korupsi. Kebiasaan yang baik, memberi hadiah bunga kepada guru, diganti dengan arloji, pulpen impor, lipstik dan sari. Pendaftaran ke Universitas diperkirakan 20 % yang diterima menggunakan keterangan palsu. Jika kemudian ketahuan, berkas itu tidak dapat dilacak. Pemalsuan dan manipulasi di pengadilan, menyuap hakim dengan cara menjual barang-barang yang diinginkan hakim dengan harga di bawah standar. TV seharga 7000 rupe dijual kepada hakim 3000 rupe.[11]

Di Malaysia, perbekalan angkatan darat di Malaysia Timur, mie cepat-hidang, pada periode Januari 1977 sampai Desember 1978 harga kontraknya M$ 4,90 dan M$ 3,90 perpaket. Pada saat yang sama di Semenanjung Malaysia hanya 14 sen. Maka pemerintah dapat menghemat M$ 962.000 jika dibelikan di Semenanjung.[12]

Di Pakistan, semula penyuapan hanya melibatkan pegawai bawahan, kemudian meningkat terang-terangan antara pemberi dan penerima, dan kemudian dilakukan terang-terangan di kantor-kantor pemerintah.[13] Di kalangan ahli hukum, memberikan nasehat yang salah, ke dalam permasalahan yang lebih banyak biaya. Dalam pendidikan, memberikan bocoran soal, menyuap penguji agar memberi nilai yang memenuhi syarat. Dalam perpajakan, beberapa orang menyarankan memalsukan angka pajak pendapatan.[14]

Di negara kita, Indonesia, beberapa pengamatan Komisi Empat yang dibentuk Presiden Soeharto tanggal 31 Januari 1970, adalah korupsi dan inefisiensi Pertamina, tidak dapat melawan manipulasi asing untuk menekan harga minyak mentah. Pertamina tidak menyetor 55% dari keuntungannya pada Dana Pembangunan. Tahun 1967 hutang pajak Pertamina Rp. 1.244 Milyar, dan tahun 1970 defisitnya $ 17 juta. Tentang skandal pengadilan, keterangan pers Operasi Tertib Pusat (Obstbpus) tanggal 28 Januari 1981, seorang hakim tertangkap basah saat menerima suap di kantornya. Ia dikatakan minta suap Rp. 50 juta untuk memenangkan perkara permata senilai Rp. 300 juta. Kemudian Obstbpus memasang perangkap dengan bantuan nyonya yang menguap, dan tanggal 26 Nopember 1980 sang hakim ditahan tepat sesudah menerima uang Rp. 1.000.000 dan selembar cek giro senilai Rp. 9.000.000 di kantornya. Manipulasi ekspor fiktif, bank Bumi Daya ditipu $ 10.709.283.71. Masyarakat diberi informasi oleh Laksmana Sudomo, Panglima Kopkamtib, bahwa hal ini penipuan berat yang dapat merusak citra Indonesia di luar negeri.[15] Dan yang belum lepas dari ingatan kita adalah kredit bermasalah lebih Rp. 1 trilyun di Bapindo oleh Golden Key Group yang perkaranya telah diputuskan oleh pengadilan.

Sampai kini korupsi merajalela di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilakukan oleh berbagai pihak, dari oknum eksekutif, legislatif dan yudikatif, bahkan dilakukan oleh penegak hukum sendiri, pemandangan sehari-hari di berbagai media.



Ideologi korupsi

Orang melakukan sesuatu perbuatan berdasarkan suatu ideologi. Demikian pula korupsi. Adapun ideologi korupsi antara lain :

1. Mendapatkan keuntungan, meskipun dengan kolusi. Bahkan ada yang terang-terangan menyarankan korupsi. Ini terjadi karena pengawasan ekonomi yang tidak menentu dan tingkat gaji yang tidak mencukupi, sehingga memungkinkan kolusi.[16]

2. Memaafkan korupsi dan menganggapnya berfungsi, dengan mengabaikan alternatif pembangunan yang tidak korup.[17]

3. Memandang rendah terhadap hukum, dan direalisasikan dalam perbuatan. Seperti dilakukan industri obat-obatan di Amerika Serikat yang telah banyak dijatuhi pidana karena keterangan dan iklannya yang mengelabuhi masyarakat.[18]

4. Fungsionalisme, yakni analisis atau hipotesis tertentu dari kaum fungsionalis,[19] yang memandang korupsi dan kejahatan berdasarkan akibat-akibat obyektif. Sehingga pendekatan yang amoral (tidak mengenal moral) itu membuat kejahatan dan korupsi lebih dapat diterima.

5. Korupsi dan kejahatan yang lain adalah fungsional bagi kebutuhan masyarakat. Ini sumbangan besar terhadap ideologi korupsi dari para koruptor dan gangster, yang secara tidak langsung melahirkan teori korupsi fungsional, sebagai bagian teori fungsional semua perbuatan kriminal.[20]

6. Filsafat fungsional korupsi menerima usaha yang korup sebagai sesuatu yang wajar. Keuntungan adalah kepentingan utama, meski pun dilakukan di balik topeng pembangunan. Ini merupakan campuran antara pragmatisme, relativisme nilai, dan sedikit nihilisme.[21]

Ideologi-ideologi tersebut merupakan sumber utama korupsi, yaitu adanya keserakahan, semangat mementingkan diri sendiri, dan egoisme kelompok dan golongan.



Sebab-sebab korupsi

Adapun sebab-sebab terjadinya korupsi di tengah-tengah masyarakat antara lain :

1. Adanya perang. Pengeluaran pemerintah yang besar untuk persediaan, memberi peluang pada korupsi. Kelangkaan barang dan bahan makanan, serta inflasi yang tinggi, karena lemahnya pengawasan pemerintah, merupakan sarana untuk menutup kurangnya pendapatan.

2. Pemerintah kolonial dan perlawanan kaum nasionalis terhadapnya. Seperti di India saat penjajahan Inggris, menipu pemerintah kolonial umumnya dianggap sebagai perbuatan patriotik. Kebiasaan tidak jujur itu tetap berlangsung setelah India merdeka tahun 1947.[22]

3. Bertambahnya pegawai secara cepat yang berakibat gajinya berkurang, mengakibatkan juga mencari pendapat tambahan.[23]

4. Lembaga hadiah dan kewajiban menyantuni. Karena ketidaktahuan orang atas perbedaan antara kewajiban kemasyarakatan dan perorangan, dan antara sumber milik pemerintah dan pribadi. Pikiran naif itu menyebabkan korupsi. Sebab tampak mereka tidak mengira jika melakukan kesalahan.[24]

5. Jabatan primonial, tidak mengenal perbedaan birokratis antara lingkup “pribadi” dan “resmi”. Pelaksanaan pemerintah dianggap urusan pribadi, dan kekuasaan politik dianggap miliknya yang dapat dieksploitasi dengan menarik berbagai sumbangan dan pungutan.[25]

6. Kaum relativisme. Sikap mendua terhadap korupsi, yakni korupsi mengandung hal-hal yang baik dan buruk, yang berakibat tumbuhnya rasa hormat terhadap korupsi dan orang korup.

7. Solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah, dan perubahan-perubahan yang mendadak dalam sejarah.[26]

Sebab-sebab tersebut merupakan peristiwa yang muncul dalam waktu yang singkat. Namun, berdampak sangat luas dan lebih lama daripada pemunculannya.



Akibat-akibat korupsi

Berbagai akibat dari korupsi akan timbul kemudian, seperti :

1. Berbagai bentuk ketidakadilan pada saat-saat yang menyedihkan. Seperti banyaknya kematian akibat paceklik karena bantuan untuk mereka dicuri para koruptor, dan pemalsuan obat-obatan pada saat darurat. Maka kerugian akibat korupsi lebih besar dari keuntungannya.[27]

2. Akan mengabaikan tuntutan pemerintah yang layak. Sebab perhatiannya hanya tertuju pada korupsi.

3. Ketidakefisienan yang menyeluruh dalam birokrasi, karena mengabaikan alternatif lainnya yang realistis dan rasional. Keuntungan dari penyuap adalah kerugian bagi pemerintah.

4. Menciptakan kelalaian yang disebut efek psikosentris yang memiliki dua kutub bertentangan, yakni memperbesar semangat pada fokus tertentu, dan mematahkan semangat pada sejawat yang tidak terlibat korupsi.

5. Menyuburkan kejahatan lain, yakni adanya sindikat kejahatan yang dapat membengkokkan hukum.

6. Pengaruh kolektif dan kumulatifnya adalah melemahnya semangat perangkat birokrasi, memberikan pelayanan palsu dan kerjanya tidak tulus.

7. Memantapkan kekuasaan dan kebebasan berbuat. Seperti membuang limbah industri secara ilegal yang menghancurkan lingkungan hidup.[28]

8. Status dan penghargaan. Suatu ilustrasi, betapa parahnya korupsi dan kemerosotan rohaniah adalah pemakaman Big Jim Colosimo, tokoh bandit Chicago, pelayatnya dari berbagai unsur yang tidak selaras atas penghormatan bagi seorang bandit.[29]

9. Suka kemewahan. Peti jenazah Dion O’Banion yang ditembak mati tahun 1924 seharga 10.000 dolar, dan semua biaya pemakamannya 100.000 dolar.[30]

10. Pengkhianatan. Yakni membantu musuh dalam perang. Seperti saat perang Vietnam, perlengkapan militer dan obat-obatan jatuh ke tangan Vietkong melalui pasar gelap.[31]

11. Kejahatan yang terorganisasi yang menginginkan uang dan kekuasaan, yakni kesusilaan dan hukum yang khusus dan rahasia, sehingga orang tidak sadar bahwa mereka dipengaruhi.

12. Terkumpulnya kekayaan dan kekuatan besar, sehingga orang tidak mampu membongkar dan mendapat balasan yang sering menghancurkan.[32]

13. Beban ekonomi jatuh pada masyarakat. Suap dimasukkan biaya, maka harga-harga menjadi mahal, di samping pajak dan pungutan lain yang sah. Negara kekurangan dana untuk melaksanakan fungsinya secara layak.[33]

14. Mempengaruhi produktifitas masyarakat dan mengabaikan kesejahteraan rakyat.[34]


Antisipasi Islam terhadap Korupsi

Memperhatikan akibat dari korupsi tersebut, jelas merupakan perbuatan fakhsya’ dan munkar [35] yang dilarang oleh Allah, dan juga dilarang oleh pemerintah dengan segala peraturannya. Karena perbuatan korupsi berkaitan dengan aspek ekonomi dan mental, maka Islam memberikan arahan ekonomi pada dua sasaran : (1) Mendekatkan manusia pada kehidupan yang penuh harga diri, baik spiritual maupun material bagi seluruh masyarakat. (2) Keadilan distribusi dan mengurangi (jika tidak menghilangkan) melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin,[36] dengan memberikan dasar-dasar :[37]

1. Dasar filosofis, yaitu (a) tauhid, yakni meletakkan dasar hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan sesamanya, (b) rububiyah, suatu tuntutan ilahiah untuk mencukupi, mencari dan mengarahkan sesuatu menuju kesempurnaan (surgawi) dengan memanfaatkan sumber daya yang berguna, (c) khilafah, peranan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi dan bertanggungjawab atas kekhalifahannya,[38] (d) tazkiyah, pemurnian dan pertumbuhan, merupakan tugas para rasul untuk melaksanakan tazkiyah pada seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhan, sesama manusia, lingkungan alam, masyarakat, maupun dengan negara.

2. Dasar Etika dan Moral. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi (material), Islam tidak pernah mengkompromikan antara halal dan haram. Dalam kategori pertama, banyak ayat-ayat yang memerintahkan kebaikan dan menjauhi keburukan. Dan kategori kedua, melarang korupsi.

3. Dasar Ekonomi. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi berdasarkan kesempatan kerja, menjauhkan riba, dan Tuhan tidak melarang sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, seperti disebutkan dalam surat al-A’raf ayat 32-33 yang artinya :

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".[39]

4. Dasar Sosial, yakni menekankan pentingnya solidaritas umat Islam dalam bentuk keadilan distribusi dengan tatacara untuk mengalokasikan kesejahteraan individu dan masyarakat, dan alat distribusi yang utama adalah khilafah yang berhak mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.

Untuk memberikan standar etika, Islam memberikan tuntutan untuk menindak orang-orang yang menyalahgunakan wewenang tanpa pandang bulu. Seperti, korupsi, suap, nepotisme dan favoritisme. Dalam sebuah hadits dinyatakan: “Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti tangannya saya potong”.

Dalam kaitannya dengan itu semua, yang harus diperhatikan adalah mencegah ketidakadilan. Hal ini Islam memberikan metode :

1. Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, khususnya pada bidang-bidang terkait, sebagai upaya untuk menghindari penyimpangan karena ketidaktahuan.

2. Adanya interaksi yang bebas antara masyarakat dengan seluruh bagian pemerintah, khususnya peradilan, sehingga dapat mengurangi ketidakadilan secara cepat.

3. Adanya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hak dan kewajibannya. Dengan memperjelas tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawab masyarakat terhadap pemerintah, sehingga dapat memperkecil penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan dari kedua belah pihak, yakni pemerintah dan masyarakatnya.[40]




DAFTAR PUSTAKA

Abbas, K.A., “The Corners of Corruption”, Corruption in India, Suresh Kohli, (ed.), New Delhi, Chetana Publication, 1975.

Alatas, Syed Hussain, “Effect of Corruption”, Singapore Tiger Standard, Februari 28, 1957.

Alatas, Syed Hussain, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (terj.), Nirwono, Jakarta: LP3ES.

Al-Buraey, Muhammad A., Islam Landasan Administrasi Pembangunan, (terj.) Ahmad Nashir Budiman, Jakarta, Rajawali, 1986.

Andreski, Stanislav, The African Predicament, London, Michael Yoseph, 1968.

Brooks, Robert C., Corruption in American Politics and Life, New York, Dood, Mead and Company, 1910.

Cicero, The Verrine Orations, 11, V, No. 26, (terj.), L.H.G. Greenwood, London, Q. Heinemann, 1935.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Driver, G.R., dan J.C Miles, (ed., trans), The Babylonian Laws, I, London: Oxford University Press, 1952.

Ferrero, Guglielmo, The Greatness and Decline of Rome, I, (terj.), A.E., Zimmern, London, W. Weinemann, 1909.

Gardiner, John A., dan David J. Olson, (ed.), The Theft of the City, Bloomington, Indiana University Press, 1974.

Golay, Frank G., dkk., Underdevelopment and Economics Nationalism in Southeas Asia, Ithaca, Cornell University Press, 1969.

Guterboks, Hans G., “Balylonia and Assyria”, Encyclopaedia Brittanica, II, USA, 1969.

Kohli, Suresh, (ed.,), Corruption in India, New Delhi, Chetana Publications, 1978.

Ku, Pan, The History of the Former Han Dinasty, III, (terj.), Homer H. Dubs, Boltimor, Weverly Press, 1938.

Landesco, John, Organized Crime in Chicago, Chicago and London, University of Chicago Press, 1968.

Merton, Robert K., Social Theory and Social Structure, bab 3, New York, Free Press, 1968.

Mintz, Morton, dan Jerry S. Cohen, America Inc, New York, Dial Press, 1971.

Paterson, James Hamilton, The Greedy War, New York, David Mckay, 1972.

Rashid, A., Corruption in Pakistan, Karachi, Published by Author, 1965.

Report of the Auditor General, Federal Government, Malaysia 1977, Kuala Lumpuyr, 1980.

Swan, Nancy L., Food and Money in Ancient China, Princeton, Princeton University Press, 1950.

Weber, Max, Economy and Society. III, Guenther Roth dan Claus Wittich, (ed.), New York, Columbia University Press, 1967.

Wertheim, “The Sociological Aspects of Corruption in Indonesia”, Political Corruption, Arnold J. Heidenheimer, (ed.), New York, Holt. Rinehaert, Winston, 1970.



* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar IAIN Walisongo Semarang di Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.

[1] Robert C. Brooks, Corruption in American Politics and Life, New York, Dood, Mead and Company, 1910. hlm. 46.

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 557.

[3] Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (terj.), Nirwono, Jakarta: LP3ES, hlm. viii.

[4] Hans G. Guterboks, “Balylonia and Assyria”, Encyclopaedia Brittanica, II, USA, 1969, hlm. 962.

[5] G.R. Driver dan J.C Miles, (ed., trans), The Babylonian Laws, I, London: Oxford University Press, 1952, hlm. 69.

[6] Ibid., hlm. 23.

[7] Guglielmo Ferrero, The Greatness and Decline of Rome, I, (terj.), A.E., Zimmern, London, W. Weinemann, 1909, hlm. 25-26.

[8] Cicero, The Verrine Orations, 11, V, No. 26, (terj.), L.H.G. Greenwood, London, Q. Heinemann, 1935, hlm. 537.

[9] Nancy L. Swan, Food and Money in Ancient China, Princeton, Princeton University Press, 1950, hlm. 222-223.

[10] Pan Ku, The History of the Former Han Dinasty, III, (terj.), Homer H. Dubs, Boltimor, Weverly Press, 1938, hlm. 317.

[11] Suresh Kohli, (ed.,), Corruption in India, New Delhi, Chetana Publications, 1978, hlm. 110-114.

[12] Report of the Auditor General, Federal Government, Malaysia 1977, Kuala Lumpuyr, 1980, hlm. 124.

[13] A. Rashid, Corruption in Pakistan, Karachi, Published by Author, 1965, hlm. 2-3.

[14] Ibid., hlm. 24.

[15] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 106-1

[16] Frank G. Golay, dkk., Underdevelopment and Economics Nationalism in Southeas Asia, Ithaca, Cornell University Press, 1969, hlm. 464-465.

[17] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 230.

[18] Morton Mintz dan Jerry S. Cohen, America Inc, New York, Dial Press, 1971, hlm. 267-1.

[19] Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure, bab 3, New York, Free Press, 1968, hlm. 108.

[20] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 268-269.

[21] Ibid., hlm. 281.

[22] K.A. Abbas, “The Corners of Corruption”, Corruption in India, Suresh Kohli, (ed.), New Delhi, Chetana Publication, 1975, hlm. 29-6.

[23] Wertheim, “The Sociological Aspects of Corruption in Indonesi”, Political Corruption, Arnold J. Heidenheimer, (ed.), New York, Holt. Rinehaert, Winston, 1970, hlm. 206-2067

[24] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 123.

[25] Max Weber, Economy and Society. III, Guenther Roth dan Claus Wittich, (ed.), New York, Columbia University Press, 1967, hlm. 1028-1029.

[26] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 125-126.

[27] Stanislav Andreski, The African Predicament, London, Michael Yoseph, 1968, hlm. 26.

[28] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 178-6.

[29] John Landesco, Organized Crime in Chicago, Chicago and London, University of Chicago Press, 1968, hlm. 191.

[30] Syed Hussain Alatas, op.cit., hlm. 192-193.

[31] James Hamilton-Paterson, The Greedy War, New York, David Mckay, 1972, hlm. 260-3

[32] John A. Gardiner dan David J. Olson, (ed.), The Theft of the City, Bloomington, Indiana University Press, 1974, hlm. 354-5.

[33] Robert C. Broks, op.cit., hlm. 195.

[34] Syed Hussain Alatas, “Effect of Corruption”, Singapore Tiger Standard, Februari 28, 1957.

[35] QS. Al-A’raf/7 : 33.

[36] Muhammad A. Al-Buraey, Islam Landasan Administrasi Pembangunan, (terj.) Ahmad Nashir Budiman, Jakarta, Rajawali, 1986, h. 205-206.

[37] Ibid., hlm. 193-9

[38] QS. Al-Ahzab/33 : 72

[39] QS. Al-A’raf/7 : 32-3

[40] Muhammad A. Al-Buraey, op.cit., hlm. 370-1.




Share:
Diberdayakan oleh Blogger.