SEPUTAR MASALAH TOLERANSI

14 Mei 2011

SEPUTAR MASALAH TOLERANSI



A.    Pengertian Toleransi
Secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab menterjemahkan dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.[1]
Dari dua pengertian di atas penulis menyimpulkan toleransi secara etimologi adalah sikap saling mengizinkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.[2]
Secara terminologi banyak batasan yang diberikan oleh para ahli sebagai berikut:
  1. W.J.S Purwadarminta menyatakan
Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.[3]
  1. Dewan Ensiklopedi Indonesia
Toleransi dalam aspek sosial, politik, merupakan suatu sikap membiarkan orang untuk mempunyai suatu keyakinan yang berbeda. Selain itu menerima pernyataan ini karena sebagai pengakuan dan menghormati hak asasi manusia.[4]
  1. Ensiklopedi American
Toleransi memiliki makna sangat terbatas. Ia berkonotasi menahan diri dari pelanggaran dan penganiayaan, meskipun demikian, ia memperlihatkan sikap tidak setuju yang tersembunyi dan biasanya merujuk kepada sebuah kondisi dimana kebebasan yang di perbolehkannya bersifat terbatas dan bersyarat.[5]
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa toleransi adalah suatu sikap atau sifat dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain serta memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.
Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.[6] Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.[7] Dengan kata lain, pelaksanaannya hanya pada aspek-aspek yang detail dan teknis bukan dalam persoalan yang prinsipil.
Sebenarnya toleransi lahir dari watak Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dapat dengan mudah mendukung etika perbedaan dan toleransi. Al-Qur'an tidak hanya mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujarat: 13) [8]  

Ayat tersebut menunjukkan adanya ketatanan manusia yang essensial dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan yang memisahkan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain, manusia merupakan tiap keluarga besar.
Di dalam memaknai toleransi ini terdapat dua penafsiran tentang konsep tersebut. Pertama, penafsiran negatif yang menyatakan bahwa toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama. Sedangkan, yang kedua adalah penafsiran positif yaitu menyatakan bahwa toleransi tidak hanya sekedar seperti pertama (penafsiran negatif) tetapi harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain.[9]
Selain itu toleransi mempunyai unsur-unsur yang harus ditekankan dalam mengekspresikannya terhadap orang lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1.      Memberikan kebebasan atau kemerdekaan
Dimana setiap manusia diberikan kebebasan untuk berbuat, bergerak maupun berkehendak menurut dirinya sendiri dan juga di dalam memilih suatu agama atau kepercayaan. Kebebasan ini diberikan sejak manusia lahir sampai nanti ia meninggal dan kebebasan atau kemerdekaan yang manusia miliki tidak dapat digantikan atau direbut oleh orang lain dengan cara apapun. Karena kebebasan itu adalah datangnya dari Tuhan YME yang harus dijaga dan dilindungi. Di setiap negara melindungi kebebasan-kebebasan setiap manusia baik dalam undang-Undang maupun dalam peraturan yang ada. Begitu pula di dalam memilih satu agama atau kepercayaan yang diyakini, manusia berhak dan bebas dalam memilihnya tanpa ada paksaan dari siapapun.[10]
2.      Mengakui Hak Setiap Orang
Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap perilaku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain, karena kalau demikian, kehidupan di dalam masyarakat akan kacau.
3.      Menghormati Keyakinan Orang Lain
Landasan keyakinan di atas adalah berdasarkan kepercayaan, bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang atau golongan yang memonopoli kebenaran dan landasan ini disertai catatan bahwa soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing orang.
4.      Saling Mengerti
Tidak akan terjadi, saling menghormati antara sesama manusia bila mereka tidak ada saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.[11]
Sedangkan toleransi dalam pergaulan hidup antara umat beragama yang didasarkan pada tiap-tiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri, mempunyai bentuk ibadah (ritual) dengan sistem dan cara tersendiri yang ditaklifkan (dibebankan) serta menjadi tanggung jawab orang yang pemeluknya atas dasar itu. Maka toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.[12]
Toleransi beragama mempunyai arti sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini,[13] tanpa ada yang mengganggu atau memaksakan baik dari orang lain maupun dari keluarganya sekalipun.
Secara teknis pelaksanaan sikap toleransi beragama yang dilaksanakan di dalam masyarakat lebih banyak dikaitkan dengan kebebasan dan kemerdekaan menginterprestasikan serta mengekspresikan ajaran agama masing-masing.
Masyarakat Islam memiliki sifat yang pluralistik dan sangat toleran terhadap berbagai, kelompok sosial dan keagamaan karena hidup bermasyarakat merupakan suatu kebutuhan dasar hidup manusia agar tujuan hidup manusia dapat diwujudkan, karena bila terbentuk suatu kehidupan berdasarkan persaudaraan, penuh kasih sayang dan harmoni.[14]
Toleransi pada kaum muslimin seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW, diantaranya sebagai berikut:
  1. Tidak boleh memaksakan suatu agama pada orang lain.
Di dalam agama Islam orang muslim tidak boleh melakukan pemaksaan pada kaum agama lainnya, karena memaksakan suatu agama bertentangan dengan firman Allah SWT di dalam surat Al-Kafirun ayat   1-6.
ö@è% $pkšr'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$# ÇÊÈ   Iw ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ   Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç6ôãr& ÇÎÈ   ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ  
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah  menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".
Disitu dijelaskan bahwa orang-orang muslim tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang-orang kafir, begitu pula orang-orang kafir tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang muslimin. Disitu juga dijelaskan bahwa bagi kita agama kita (orang muslim) dan bagi mereka agama mereka (orang kafir).
  1. Tidak boleh memusuhi orang-orang selain muslim atau kafir
Perintah Nabi untuk melindungi orang-orang selain muslim seperti yang dilakukan oleh Nabi waktu berada di Madinah. Kaum Yahudi dan Nasrani yang jumlahnya sedikit dilindungi baik keamanannya maupun dalam beribadah. Kaum muslimin dianjurkan untuk bisa hidup damai dengan masyarakat sesamanya walaupun berbeda keyakinan.
  1. Hidup rukun dan damai dengan sesama manusia
Hidup rukun antar kaum muslimin maupun non muslimin seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW akan membawa kehidupan yang damai dan sentosa, selain itu juga dianjurkan untuk bersikap lembut pada sesama manusia baik yang beragama Islam maupun yang beragama Nasrani atau Yahudi.[15]
  1. Saling tolong menolong dengan sesama manusia
Dengan hidup rukun dan saling tolong menolong sesama manusia akan membuat hidup di dunia yang damai dan tenang. Nabi memerintahkan untuk saling menolong dan membantu dengan sesamanya tanpa memandang suku dan agama yang dipeluknya. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur'an pada surat Al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:
¢(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
Dan tolong-menolonglah kamu dalam  kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[16]
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa di dalam Al-Qur'an dijelaskan dengan sikap tolong menolong hanya pada kaum muslimin tetapi dianjurkan untuk tolong menolong kepada sesama manusia baik itu yang beragama Islam maupun non Islam. Selain itu juga seorang muslim  dianjurkan untuk berbuat kebaikan di muka bumi ini dengan sesama makhluk Tuhan dan tidak diperbolehkan untuk berbuat kejahatan pada manusia. Disitu dikatakan untuk tidak mematuhi sesamanya. Selain itu juga dilarang tolong menolong dalam perbuatan yang tidak baik (perbuatan keji atau dosa).
Di dalam karya tulis ini, penulis ingin menekankan kerangka berfikir yang berkaitan dengan terwujudnya suatu keyakinan antara lain:
  1. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk suatu agama atau beragama sebagai salah satu hak yang esensial bagi kehidupan manusia, karena kebebasan untuk memilih agama datangnya dari hakekat manusia serta martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, bukan dari orang lain atau dari orang tua. Untuk itu di dalam menganut atau memilih suatu agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun.
Di Indonesia dalam peraturan undang-undang disebutkan pada pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Hal ini jelas bahwa negara sendiri menjamin penduduknya dalam memilih dan memeluk agama atau keyakinannya masing-masing serta menjamin dan melindungi penduduknya di dalam menjalankan peribadatan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
  1. Penghormatan dan eksistensi agama lain
Etika yang harus dilakukan dari sikap toleransi setelah memberikan kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain, dengan pengertian menghormati keragaman dan kepercayaan yang ada, baik yang dilindungi oleh negara maupun yang tidak dilindungi dalam artian yang pemeluknya sedikit.
Setiap agama mengandung ajaran klaim eksklusif yaitu mengaku agama yang dipeluknya adalah suatu agama yang paling benar (truth claim).[17] Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif personal oleh setiap pemeluk agama, ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan.[18]
Ketegangan-ketegangan dua kubu yang berbeda sering terjadi sampai sekarang, hal ini disebabkan truth claim atau klaim kebenaran diletakkan bukan hanya sebatas ontologis metafisis saja tetapi melebar memasuki wilayah sosial politik. Kenyataan ini menjadikan stagnasi bagi peran agama untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kondisi semacam ini diperburuk oleh pemeluk agama yang menyibukkan diri pada masalah eksoteris dan indentitas, lahirnya agama merupakan nilai-nilai spiritual yang mendasar dari kandungan ajaran agama-agama.[19]
Masalah yang menyebabkan timbulnya benturan dan konflik agama ialah "Double Standar" atau standar ganda. Dalam sejarah standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya. Lewat standar ganda inilah, kita menyaksikan munculnya prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Hugh Godard seorang kristiani, ahli teologi Islam di Notingham University Inggris, memberikan contoh bahwa hubungan Kristen dan Islam kemudian berkembang menjadi kesalahpahaman, bahkan menimbulkan ancaman antara keduanya. Orang-orang Kristen maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, sedangkan terhadap agama lain, mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realitas historis, adalah suatu kondisi berlakunya standar ganda (Double Standar).[20]
Agama Islam adalah agama yang membawa misi rakhmatan lil alamin. Oleh karena itu ajarannya banyak yang toleran atau penuh dengan tenggang rasa mendorong kebebasan berfikir dan kemerdekaan berpendapat, serta saling memperhatikan kepentingan masing-masing dan saling cinta kasih diantara sesama manusia.

B.     Pluralisme Sebagai Suatu Kenyataan Asasi Manusia
Pluralisme merupakan sebuah realitas sosial yang siapapun tidak mungkin mengingkarinya, karena pluralisme juga merupakan hukum Allah (sunatullah). Pluralisme harus disertai dengan kesadaran teologi bahwa kehidupan, terutama kehidupan agama ini memang plural dan itu merupakan kehendak Allah.[21] Seperti yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 48:
9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. [22]
Ide tentang pluralitas di atas merupakan prinsip dasar ajaran Islam. Ajaran ini harus diupayakan untuk ditransformasikan ke dalam masyarakat modern supaya tercipta suasana yang kondusif bagi kehidupan manusia.
Realitas dari seluruh pluralisme yang melanda kehidupan umat manusia, dewasa ini yang paling berbobot dan pelaksanaannya pluralisme agama. Sebab pluralisme ini sangat sensitif bagi kelangsungan hidup beragama.[23]
Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme secara istilah adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak dan banyak itu.[24]
Secara fenomenologis, istilah pluralisme beragama (religious Pluralisme) menunjukkan pada fakta bahwa sejarah agama-agama menampilkan suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian tiap-tiap tradisi. Secara filosofis, istilah pluralisme beragama menunjukkan pada suatu teori dengan hubungan antar berbagai konsepsi, persepsi dan respon tentang ultim yang satu, realitas ketuhanan yang penuh dengan misteri. Teori hubungan antar agama itu paling tidak didekati melalui dua bentuk utama, enklusivisme dan inklusivisme. Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan menyatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama karena hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme.[25]
Selama ini, jika berbicara soal pluralitas atau kemajemukan agama, maka pertama sekali kita maksudkan sebagai usaha untuk menciptakan hubungan dialogis antar umat beragama melalui dialog demi terciptanya kerukunan umat beragama.[26]
Implikasi dari pluralisme tersebut seseorang (pemeluk agama) harus dapat merubah sikap cara dan pola berfikirnya yakni dari berfikir subjektif menuju ke objektif.[27]
Pluralisme agama merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan. Oleh karena itu pluralisme tidak dapat terwujud atau keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan kepada "situasi cerai berai" dan permusuhan yang tidak mencakup tali persatuan yang mengikat semua pihak.[28]
Sementara itu Alwi Shihab memberikan pengertian tentang konsep pluralisme, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.          Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana, contohnya di kantor, di sekolah atau di kampus-kampus. Dengan kata lain pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
b.         Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realitas dimana aneka ragam agama, ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Misalnya di kota New York, disitu tumbuh keragaman agama, namun interaksi positif antar penduduk di bidang agama sangatlah minim atau sedikit.
c.          Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditemukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensinya adalah bahwa agama apapun harus dinyatakan benar atau dengan kata lain semua agama adalah sama.
d.         Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaktu menciptakan suatu agama baru dengan memasukkan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.[29]
Dengan pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang saling menjatuhkan, saling merendahkan, atau mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lain, tetapi justru menempatkannya pada posisi saling menghormati, saling mengikuti dan bekerja sama.
Oleh karena itu pluralisme agama diakui sebagai dasar pijakan pengakuan eksistensial pluralitas agama bagi pencarian titik temu antar agama berdasarkan adanya kesamaan melalui nilai kemanusiaan universal dalam setiap agama.[30]
Pluralisme beragama di Indonesia adalah suatu hal yang harus dijunjung dan dihormati oleh semua komponen bangsa ini, karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama, dimana tiap individu harus menyatukan persepsi secara bulat.
Bagi bangsa Indonesia yang sangat pluralis, pengalaman hubungan antar agama yang pernah terjadi kiranya menjadi acuan. Dalam kenyataan di Indonesia perpecahan dan konflik yang berlatar belakang keagamaan sangat mudah terjadi dan kadang kala hanya karena persoalan yang sepele. Bahkan hampir setiap tahun terjadi ketegangan, kadang kerusuhan akibat sentimen antar umat beragama yang terjadi di daerah yang rawan konflik seperti Ambon, Poso dan sebagainya, bukan hanya karena kerusuhan itu mengakibatkan korban benda dan nyawa yang sia-sia. Tetapi pembinaan nasional yang telah dilakukan sejak lama melalui berbagai program, seakan hilang tanpa bekas. Maka perlu kiranya merenungkan konsep pluralisme agama guna mencari input positif bagi keberagaman di Indonesia.[31]
Ada beberapa tantangan yang berkaitan dengan pluralitas agama baik yang bersifat internal maupun eksternal, yang mengharuskan tiap umat beragama perlu berfikir dan bertindak secara tepat untuk dapat mengantisipasi dan menyelesaikannya.
Sementara Harold Coward menyebutkan ada tiga temu yang berkaitan dengan tantangan pluralisme, yaitu:
Pertama: Pluralisme dapat dipahami dengan baik dan paling logis, jika dapat memakai yang satu terwujud dalam yang banyak, pada hakekatnya Tuhan hanya satu dan sama bagi semua agama.
Kedua: Ada pengalaman bersama mengenai kualitas pengalaman agama particular sebagai alat. Artinya agama merupakan alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan manusia dan alat untuk mencapai Tuhan yang sama.
Ketiga: Spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada agama-agama lain. Sebab bagaimanapun, pluralisme akan selalu menuntut saling membagi pemahaman particular kita dan ini akan memperkaya rohani serta memperkuat keyakinan terhadap agama sendiri.[32]
Kasus-kasus atau kerusuhan yang terjadi di Indonesia sendiri maupun di luar negeri, persengketaan dan perang yang didasari oleh agama yang mengakibatkan banyaknya umat manusia yang kehilangan saudara kerabatnya, dan juga tempat-tempat ibadah yang rusak bahkan dibakar, seperti masjid gereja bahkan sekolah-sekolah yang tidak layak pakai untuk kegiatan belajar mengajar. Hal ini disebabkan setiap pemeluk agama kurang menyadari arti toleransi antara umat beragama dan menerima perbedaan yang ada.
Selain itu juga karena maraknya provokator yang sengaja untuk memecah belah kerukunan yang terjalin pada masyarakat dengan didasari kepentingan politik diatas kepentingan agama, maka masyarakat akan mudah untuk diprovokasi untuk saling bermusuhan antar sesama umat beragama.



[1] Prof. DR. H. Said Agil Husin Al-Munawar, MA., Fikih Hubungan Antar Agama, Penerbit Ciputat Press, Jakarta, hlm. 13.
[2] Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1979, hlm. 22.
[3] W.J.S Porwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 1084.
[4] Dewan Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedia Indonesia Jilid 6, Ikhtiar Baru Van Hoeve, t.th, hlm. 3588.
[5] Dewan Ensiklopde American, Ensiklopedi American
[6] H.M. Daud Ali, dkk., Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 80.
[7] Prof. DR. H. Said Agil Husin Al-Munawar, MA., op.cit., hlm. 13.
[8]  Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1989, hlm. 847. 
[9] Maskuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 13.
[10] Ibid., hlm. 202.
[11] Umar Hasyim, op.cit., hlm. 23.
[12] Prof. DR. H. Said Agil Husin Al-Munawar, MA., op.cit., hlm. 14.
[13] H.M. Daud Ali, op.cit., hlm. 83.
[14] Abdul Munir, Pokok-pokok Ajaran NU, Ramdhani, Solo, 1989, hlm. 50-51.
[15] Yunus Ali Al-Mukhdor, Toleransi Kaum Muslimin, PT. Bungkul Indah, Surabaya, 1994, hlm. 5.
[16] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, op.cit, hlm. 156.
[17] Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan Pemikiran Nurcholis Muda, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 237.
[18] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag., Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Pelajar, Bandung, 2004, hlm. 199.
[19] M. Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Ilmu dan Budaya, dalam Mukti Ali dkk., Agama dan Pergaulan Masyarakat Dunia, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hlm. 268-269.
[20] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, op.cit., hlm. 201.
[21] M. Imadadun Rahmat, et.al, Islam Pribumi Mendialogkan Agama, Membaca Realita, Erlangga, Jakarta, 2003, hlm. 186-187.
[22]  Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, op.cit, hlm. 168.
[23] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 26.
[24] Syamsul Ma'arif, M.Ag, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 11.
[25]  Drs. Adeng Muctar Ghozali , M.Ag, Op.Cit, hlm. 123.
[26] Victor I. Tanja M.Th, Ph.D, Pluralisme Agama dan Problem Sosial, Pustaka Ciderindo, Jakarta, hlm. 8.
[27] Kuntowijoyo, Loc.Cit., hlm. 26.
[28] Muhammad Imaroh, Islam dan Pluralitas, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hlm. 9.
[29] Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 41-42.
[30] Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Sipness, 1999, hlm. 6-7.
[31] Fatimah Usman, Wahdat Al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama, LKIS, Yogyakarta, hlm. 65.
[32] Ibid, hlm. 67-68.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.