4 Maret 2011

KEMANDIRIAN BELAJAR PAI


A.    Pengertian Kemandirian Belajar PAI
Pada dasarnya pengertian mandiri itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologi (istilah).
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata "mandiri" mempunyai arti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.
Sedangkan pengertian mandiri secara istilah diartikan oleh beberapa ahli antara lain : J.L.G.M. Drost S.J, menyatakan bahwa kemandirian adalah keadaan kesempurnaan dan keutuhan kedua unsur (budi dan badan) dalam kesatuan pribadi. Dengan kata lain, manusia mandiri adalah pribadi dewasa yang sempurna.[1]
Enung Fatimah mendefinisikan mandiri (berdiri diatas kaki sendiri dengan kemampuan seseorang untuk tidak bergantung dengan orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.[2]
Menurut Zakiyah Daradjat, mandiri adalah : Kecenderungan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya tanpa minta tolong kepada orang lain. Juga mengukur kemampuannya untuk mengarahkan kelakukannya tanpa tunduk kepada orang lain. Biasanya anak yang berdiri sendiri lebih mampu memikul tanggung jawab, dan pada umumnya mempunyai emosi yang stabil.[3]
Belajar secara umum diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku akibat interaksi individu dengan lingkungannya.[4]
Menurut Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid :
التعليم: هو تغيير فى ذهن المتعلم يطرأ على خبره سابقة فيحدث فيها تغييرا جديدا
"Belajar adalah proses perubahan dalam pemikiran siswa yang dihasilkan atas pengalaman terdahulu kemudian terjadi perubahan baru”.[5]
Sedangkan menurut Clifford T. Morgon berpendapat bahwa "Learning defined as any relatively permanent change in behaviour which occurs as a result of experience or practice".[6]  Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative tetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman.
Kemandirian belajar seseorang menurut Samana dikutip oleh Syarifudin Huda adalah bagaimana ia mengatur serta mengendalikan kegiatan belajarnya atas dasar pertimbangan, keputusan dan tanggung jawab sendiri. Kemandirian belajar merupakan keadaan kesiapan belajar siswa yang berasal dari dalam diri siswa untuk bertindak dan mereaksi terhadap obyek-obyek yang berhubungan dengan bagaimana seseorang mengatur serta mengendalikan kegiatan belajarnya atas. Pertimbangan, keputusan dan tanggung jawab sendiri.[7]
Sedangkan arti dari pendidikan agama Islam itu sendiri berangkat dari pengertian pendidikan secara umum. Dalam UU Sisdiknasno.20 tahun 2003, pengertian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pada dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, mastarkat, bangsa dan negara.[8]
Adapun pengertian pendidikan menurut F. J. MC. Donald dalam bukunya Educational Psychology dijelaskan bahwa “Education is process or an activity which is directed at producing desirable change in the behavior of human beings[9]
“Pendidikan adalah sebuah proses atau aktivitas yang dijelaskan pada usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam tingkah laku manusia.”
Dalam istilah pendidikan agama Islam, banyak para ahli pendidik Islam yang mendefinisikannya dengan penjabaran yang berbeda-beda, antara lain:
Achmadi, mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiositas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.[10]
H. M. Arifin mendefinisikan pendidikan agama Islam sebagai proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik dan mengangkat derajat kemasyarakatan sesuai dengan kemampuan ajarannya.[11]
Dari berbagai definisi tersebut secara garis besrnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama islam adalah usaha sadar yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai tujuan yang ditetapkan.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar PAI adalah suatu bentuk belajar yang berpusat pada kreasi siswa dari kesempatan dan pengalaman penting bagi siswa sehingga ia mampu, percaya diri, memotivasi diri dan sanggup belajar setiap waktu dalam materi pelajaran PAI.
B.     Ciri-ciri Kemandirian Belajar
Ciri-ciri kemandirian anak pada dasarnya sangat luas dan tingkat kemandiriannya pun sangat beragam pada tingkatan usia. Dalam hal ini banyak ahli yang menjabarkan ciri-ciri tersebut.
Ciri-ciri kemandirian menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Beller dikutip Dra. Muntholi’ah, M.Pd, ciri-ciri kemandirian meliputi:
1)      Mampu mengambil inisiatif
2)      Mencoba mengatasi kesulitan yang datang dari lingkungan
3)      Mencoba melakukan aktifitas untuk mencari kesempurnaan
4)      Mendapatkan kepuasan dari hasil kerjanya
5)      Mencoba mengerjakan tugas rutinnya secara mandiri[12]
2.      Menurut Gilmore dikutip dari Chabib Toha merumuskan ciri-ciri kemandirian meliputi:
1)      Ada rasa tanggung jawab
2)      Memiliki pertimbangan dalam menilai problema yang dihadapi secara intelijen
3)      Adanya perasaan aman bila berbeda pendapat dengan orang lain
4)      Adanya sikap kreatif sehingga menghasilkan ide yang berguna.[13]
3.      Menurut Dra. Muntholi’ah, M.Pd. ciri-ciri mandiri sebagai berikut:
1)      Mampu berfikir kritis, kreatif, dan Inovatif
2)      Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain
3)      Tidak lari atau menghindar dari masalah
4)      Memecahkan masalah dengan berfikir yang mendalam
5)      Apabila menjumpai masalah diselesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain
6)      Tidak merasa rendah diri bila berbeda pendapat dengan orang lain
7)      Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan disiplin
8)      Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.[14]
Dalam kaitannya dengan belajar dan berdasarkan uraian diatas, Kemandirian belajar ini diwujudkan dengan adanya inisiatif pada kegiatan belajar, kebebasan bertindak dan bersikap sesuai dengan nilai yang diajarkan, kemantapan diri atau keyakinan dalam setiap kegiatan belajar dan bertanggung jawab dalam setiap aktivitas belajarnya.
Sedangkan untuk memperjelas suatu hal atau keadaan yang terkait dengan kemandirian belajar maka penulis dapat menarik kesimpulan dari uraian diatas bahwa ciri-ciri yang dapat dilihat pada siswa yang mempunyai kemandirian belajar adalah sebagai berikut :
1.      Inisiatif Pada Kegiatan Belajar
Komponen ini meliputi kemampuan berfikir dan bertindak yang original, kreatif, penuh inisiatif dan tidak mengharap penghargaan dari orang lain.
Menurut Mihaly Csikszetmihalyi (1996) bahwa orang kreatif adalah orang yang berfikir atau bertindak mengubah suatu ranah atau menetapkan suatu ranah baru. (a created person is someone whose thoughts or action change a dominan, or establish a new domain).
Kretivitas siswa dimungkinkan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah turut menunjang mereka dalam mengekspresikan inisiatifnya.
2.      Kemantapan atau Percaya Diri dalam setiap Kegiatan Belajar
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri alias ”sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut diman ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.
3.      Tanggung Jawab dalam Setiap Aktivitas Belajarnya
Manusia memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif untuk menunjukkan tanggung jawab terhadap setiap gagasan, kata dan tindakan kita, apapun konsekuensi yang ditimbulkannya. Kemampuan bertanggung jawab yang sangat penting adalah rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Seseoran bertanggung jawab untuk meguasai, mengontrol dan mengendalikannya sendiri. Kemandirian seseorang ditandai dengan adanya kecenderungan untuk mengambil sikap penuh tanggung jawab.
C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar
Adapun faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.      Faktor Internal
Yaitu faktor dalam diri anak itu sendiri antara lain faktor kemantangan usia dan jenis kelamin serta inteligensinya.[15] Faktor iman dan taqwa merupakan faktor penguat terbentuknya sifat mandiri. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur'an sebagai berikut :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (فاطر: 18)
"Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain". (Al-Fatir : 18).[16]
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (المدثر: 38)
"Tiap-tiap orang bertanggung jawab terhadap segala yang diperbuatnya". (Al-Mudatsir : 38).
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (ال عمران: 139)
"Janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula merasa sedih, kamu adalah orang-orang yang paling baik apabila kamu beriman". (Ali-Imran : 139).[17]
Prof. Dr. Zakiah Daradjat mengutip pendapat Binet mengenai faktor internal ini : "Bahwasannya kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang abstrak tidak sempurna perkembangannya sebelum mencapai 12 tahun, dan kemampuan mengambil kesimpulan yang abstrak dari fakta yang ada baru tampak pada usia 14 tahun. Untuk itu maka pada usia 14 tahun, anak-anak telah dapat menolak saran-saran yang tidak dapat dimengertinya dan mereka sudah dapat mengkritik pendapat-pendapat berlawanan dengan kesimpulan yang diambilnya".[18]
2.      Faktor Eksternal
Yaitu faktor yang berasal dari luar diri anak tersebut yang meliputi:
1)      Pembinaan
Setiap anak ingin mandiri, akan tetapi tidak berarti bahwa orang tua/ pendidik melepas begitu saja dan membiarkan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Namun harus dibina sesuai dengan perkembangan psikis dan pertumbuhan fisiknya.
"Apabila pembinaan pribadi anak terlaksana dengan baik, maka si anak memasuki masa remaja  yang mudah dan pembinaan pribadi di masa remaja itu tidak akan mengalami kekurangan".[19]
Dengan demikian anak mempunyai pribadi yang luhur sehingga mudah untuk mandiri.
2)      Pembiasaan dan Pemberian Kesempatan
Pendidikan hendaknya menyadari bahwa dalam membina pribadi anak sangat diperlukan pembiasan dan latihan secara serius dan terus menerus yang cocok dengan perkembangan psikisnya, karena dengan pembiasaan dan latihan tersebut lambat laun anak akan terbiasa dan akhirnya melekat menjadi bagian dari pribadinya. Dalam pembiasaan itu dapat dilakukan dengan :
a)      Teladan
Dengan teladan maka akan timbul gejala identifikasi positif, yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru.[20]
Identifikasi positif penting sekali dalam pembentukan kepribadian.
b)      Anjuran, Suruhan dan Perintah
Kalau dalam teladan anak dapat melihat, maka dalam anjuran, suruhan dan perintah adalah alat pembentukan disiplin secara positif.
c)      Latihan
Tujuannya untuk menanamkan sifat-sifat yang utama dan untuk menguasai gerakan-gerakan serta menghafalkan pengetahuan.[21] Latihan dapat membawa anak kea rah berdiri sendiri (tidak selalu dibantu orang lain).
d)     Pujian
Berperan dalam menguatkan dan mengukuhkan suatu tingkah laku yang baik.[22] Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. Dengan pujian yang tepat, akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri.[23]
e)      Hukuman
Hukuman bertujuan untuk menekan atau membuang tingkah laku yang tidak pantas.[24] Hukuman sebagai reinforcement yang negative teapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bias menjadi alat motivasi.[25]
Dalam prakteknya pendidik dalam menanamkan pembiasaan dan latihan serta memberikan kesempatan harus memperhatikan usia, kematangan psikis dan kekuatan fisik anak didik sehingga tidak terjadi kesalahan yang berakibat fatal.


[1] J.L.G.M. Drost S, J. Sekolah : Mengajar atau Mendidik?, (Jakarta: Konislun, 1998), hlm. 39.
[2] Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 141.
[3] Zakiyah Daradjat, Perawatan Jiwa Untuk Anak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 130.
[4] Winarno Surahmad, Pengantar Interaksi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Tarsito, 1986), hlm. 65 – 66.
[5] Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid, At-Tarbiyah wa Thuruqut Tadrir, Juz, I, (Mesir : Radul Ma'arif t,th), hlm. 169.
[6] Clifford T. Morgon dan Richard A King, Introduction to Psychology, (Tokyo : Crow Hill, 1971), hlm. 63.
[7] Dikutip Syarifudin Huda (03111145), Hubungan Konsep Diri dengan Kemandirian Belajar Siswa Kelas VIII SMP N 3 Weru, (Semarang: IKIP PGRI, Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling, 2007), Skripsi, hlm. 15.               
                [8] UU Sisdiknas no.20 tahun 2003, (Jakarta:BP. Darma Bhakti, 2003), hlm.3
                [9] F. J. MC. Donald, Educational Psychology, (San Fransisco: Wadsworth, 1959), hlm, 4
[10] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.29
[11] M. Arifin, Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 14-15
[12] Muntoli’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunung Jati Offset, 2002), hlm. 54
[13] Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm. 123
[14]  Muntholi’ah, M.Pd, op. cit, hlm. 57.
[15] H.M. Chabib Thoha, op. cit., hlm., 124.
[16]  Ibid., hlm., 124.
[17] Ibid., hlm. 124-125
[18] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 38.
[19] Ibid., hlm. 58.
[20] Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Ma’rif, 1980), hlm. 85
[21] Ibid., hlm. 86.
[22] Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), cet. 11, hlm. 137.
[23] Sardiman AM., op. cit., hlm 94.
[24] Singgih D. Gunarsa, op. cit., hlm 137.
[25] Sardiman AM., loc. cit.
Share:

2 Maret 2011

METODE RESITASI


A.    PENGERTIAN DAN DASAR METODE RESITASI
Ada beberapa pengertian metode resitasi atau definisi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut Nana Sudjana:
Tugas atau resitasi tidak sama dengan pelajaran rumah tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas dapat merangsang anak untuk lebih aktif belajar baik secara individual maupun kelompok.[1]
2.      Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Azwan Zain:
Metode Penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Masalah tugas yang diberikan siswa dapat dilakukan di kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa atau dimana saja asal tugas itu dapat dikerjakan.[2]
3.      Menurut Mulyani dan Johan Permana. H:
 Metode pemberian tugas atau penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru yang dikerjakan peserta didik di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau kelompok[3]
Berdasarkan uraian di atas pengertian metode pemberian tugas adalah suatu cara dari guru dalam proses belajar mengajar untuk mengaktifkan siswa dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah dan untuk dipertanggung jawabkan kepada guru.
Dalam Al-Qur’an prinsip metode resitasi dapat dipahami dari ayat yang berbunyi:
bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
”Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-Qiyamah [75]: 17-18)[4]

Al-Maraghi menafsirkan potongan ayat tersebut di atas sebagai berikut:
قرأناه: اى قرأة جبريل عليك، فاتبع قرأنه: اى فاستمع قرأته وكررها حتى يرسخ فى نفسك. [5]
Qara’nahu : dimaksudkan adalah Jibril membacakannya kepadamu
Fattabi’ qur’anah : maksudnya maka dengarkanlah bacaan dan ulang-ulangilah agar ia mantap dalam dirimu.[6]
Ayat tersebut merupakan bentuk pembelajaran al-Qur’an ketika malaikat Jibril memberikan wahyu (al-Qur’an) kepada Nabi Muhammad saw dengan membacakannya, maka Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk mengulanginya, sehingga Nabi hafal dan bacaan tersebut dapat membekas dalam dirinya.

B.     KELEBIHAN DAN KEKURANGAN METODE RESITASI
1.      Kelebihan Metode Resitasi
Ada beberapa kelebihan metode resitasi menurut para ahli antara lain:
a.       Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain kelebihannya:
1)      Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktifitas belajar individual ataupun kelompok.
2)      Dapat mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan guru.
3)      Dalam membina tanggung jawab dan disiplin siswa.
4)      Dapat mengembangkan kreatifitas siswa.[7]
b.      Menurut Mulyani:
1)      Metode pemberian tugas dapat membuat siswa aktif belajar.
2)      Tugas lebih merangsang siswa untuk lebih banyak, baik waktu dikelas maupun diluar kelas atau dengan lain, baik siswa dekat dengan guru maupun jauh dengan guru.
3)      Metode ini dapat mengembangkan kemandirian siswa yang diperlukan dalam kehidupannya.
4)      Tugas lebih meyakinkan tentang apa yang akan dipelajari dari guru, lebih memperdalam, memperkaya, atau memperluas pandangan tentang apa yang dipelajari.
5)      Tugas dapat membina kebiasaan siswa untuk mencari dan mengelola sendiri informasi dan komunikasi.
6)      Metode ini dapat membuat siswa bergairah dalam belajar karena kegiatan-kegiatan belajar dapat dilakukan dengan berbagai variasi sehingga tidak membosankan.
7)      Metode ini dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa.
8)      Metode ini dapat mengembangkan kreatifitas siswa.[8]
2.      Kekurangan Metode Resitasi
Ada beberapa kekurangan metode Resitasi antara lain :
a)      Siswa sulit dikontrol, apakah benar dia yang mengerjakan tugas ataukah orang lain.
b)      Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikannya adalah anggota tertentu saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik.
c)      Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.
d)     Sering memberikan tugas yang menonton (tak bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa.[9]
e)      Seringkali anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya menitu hasil pekerjaan orang lain tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri.
f)       Terkadang tugas itu dikerjakan orang lain tanpa pengawasan.[10]
Dari pengertian diatas tampak bahwa pelaksanaan metode ini banyak menuntut hakekat siswa sebab anak selalu dituntut oleh guru untuk belajar sendiri baik itu untuk materi yang sudah diterangkan ataupun yang belum diterangkan.
C.    Langkah-langkah Metode Resitasi
Ada langkah-langkah yang harus diikuti dalam penggunaan metode pembelajaran tugas antara lain :
  1. Fase Pemberian Tugas
Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan :
a.       Tujuan yang akan dicapai
b.      Jenis tugas jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut
c.       Sesuai dengan kemampuan siswa
d.      Ada petunjuk atau sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa
e.       Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut.
Dalam fase ini tugas yang diberikan kepada setiap anak didik harus jelas dan petunjuk-petunjuk yang diberikan harus terarah.
  1. Langkah Pelaksanaan Tugas
a.       Diberikan bimbingan atau pengawasan oleh guru
b.      Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja
c.       Diusahakan atau dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain
d.      Dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang dia peroleh dengan baik dan sistematik
Dalam fase ini anak didik belajar (melaksanakan tugas) sesuai tujuan dan petunjuk-petunjuk guru.
  1. Fase Mempertanggungjawabkan Tugas
a.       Laporan siswa baik lisan atau tertulis dari apa yang telah dikerjakannya
b.      Ada tanya jawab diskusi kelas
c.       Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun non tes atau cara lainnya
Dalam fase ini anak didik mempertanggungjawabkan hasil belajarnya baik berbentuk laporan lisan maupun tertulis. [11]
Karena tugas yang dikerjakan pada akhirnya akan dipertanggung jawabkan maka siswa akan terdorong untuk mengerjakan secara sungguh-sungguh. Dengan metode ini sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu lebih mendalam.
D.    Pelaksanaan Metode Resitasi
Tugas dapat dilaksanakan dalam berbagai kegiatan belajar baik perorangan atau kelompok. Adapun pelaksaan yang ditempuh dalam metode ini antara lain:
1.      Pendahuluan:
Pada langkah ini perlu mempersiapkan mental murid untuk menerima tugas yang akan diberikan kepada mereka pada pelajaran inti, Untuk itu perlu memberikan kejelasan tentang suatu bahan pelajaran yang dilaksanakan dengan metode ini, diberikan contoh-contoh yang serupa dengan tugas jika keterangan telah cukup.
2.      Pelajaran inti:
Guru memberika tugas, murid melaporkan hasil kerja mereka sementara gurumengadakan koreksi terhadap tugas-tugas tersebut, da bila ditemukan kesalahan maka perlu diadakan diskusi.
3.      Penutup:
Pada langkah ini murid bersama guru mengecek kebenaran sementara murid disuruh mengulangi tugas itu kembali.[12]
E.     Penerapan Metode Resitasi dalam embelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran pendidikan agama Islam adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu peserta didik dalam belajar agama Islam.[13]
Dalam proses belajar mengajar penggunaan satu metode mengajar untuk segala macam tujuan belajar tentunya tidak efektif . Berbeda tujuan, berbeda cara mencapainya. Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam dapat menggunakan berbagai macam metode, antara lain metode resitasi atau metode pemberian tugas.
Metode pemberian tugas adalah metode interaksi edukatif dimana murid diberi tugas khusus (sesuai dengan bahan pelajaran) diluar jam-jam pelajaran. Dalam pelaksanaannya murid-murid dapat mengerjakan tugasnya tidak hanya dirumah, tetapi dapat dikerjakan diperpus, laboratorium, dan lainnya kemudian dipertanggungjawabkan kepada guru.[14]
Dalam pendidikan agama Islam, metode interaksi ini sering digunakan, terutama dalam hal-hal yang bersifat praktis misalnya, setelah selesai pelajaran berwudhu (di sekolah) murid-murid ditugaskan untuk melihat, memperhatikan dan menirukan orangtuannya atau orang-orang lain dirumah atau masjid yang sedang berwudhu, kemudian melaporkannya kepada guru di sekolah pada jam pelajaran berikutnya. Atau contoh lain, menjelang hari raya idul fitri guru menerangkan tentang masalah zakat fitrah, kemudian murid ditugaskan untuk membentuk amil zakat yang melaksanakan tugas mengumpulkan zakat fitrah dan membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sesuai pelaksanaan tugas ini mereka harus membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya kepada guru.[15]


[1] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm. 81.
[2] Syaiful Bahri Djamarah dan Azwan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), edisi revisi, hlm. 85.
[3] Mulyani. S dan Johar Permana, Strategi Belajar Mengajar, (JATENG: DEPDIKBUD Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1999), hlm. 151.
[4] Arief Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 165.
[5] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 29, (Beirut: Dar al-Maraghi, t.th.,), hlm. 150.
[6] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terjemahan, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 244.
[7] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, op. cit, hlm. 87.
[8] Mulyani, op. cit, hlm. 152
[9] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, loc. cit.,  
[10] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 198.  
[11] Syaiful Bahri Djamarah,dan Aswan Zain, op. cit, hlm. 86
                [12] Arief Armai, op.cit, hlm. 167
[13] Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galiza, 2003), hlm. 13
[14] Zuhirini, dkk, loc. cit
[15] Zuhairini, dkk, op. cit, hlm.84
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.