NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF ISLAM

29 Oktober 2013

NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Problema seksual merupakan sebuah realitas yang betul-betul terjadi. Manusia apapun tidak mungkin dapat mengabaikannya dan menganggap cukup bahayanya. Hal ini merupakan sebuah problema yang terjadi sepanjang sejarah. Sejak manusia lahir, tumbuh, dan berkembang menjadi dewasa telah di beri oleh Allah SWT nafsu seksual demi kebaikan dan kemaslahatan semua umat manusia. Akan tetapi, pada zaman kita sekarang ini, problema seksual telah semakin parah bahayanya dan makin rumit, berbeda dengan zaman sebelumnya, karena adanya pergaulan bebas yang tidak mengenal batas antara dua jenis kelamin pada pelbagai tempat.
Masalah kawin mut’ah adalah topik yang banyak diperbincangkan di antara kita, mulai dari zaman Nabi sampai sekarang ini. Salah satu yang terkandung dalam perkawinan mut’ah adalah memudahkan kehidupan free sex yang tidak terikat dengan ikatan apapun, dan terlepas dari tanggung jawab perkawinan.[1]
Dalam literatur yang ada ternyata nikah mut’ah di kenal dikalangan syi’ah, selain faham syi’ah tidak membenarkan berlakunya nikah mut’ah setelah ditanya larangan dari Nabi Saw, dalam hadits shahihnya.

Pengertian Nikah Mut’ah

Menurut philology bahasa dikatakan, bahwa ini bertema dengan rumpun kata kawan, yang berarti teman, sahabat, sehingga kawin mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya kawin dengan “A” dan pada kawin dengan “I”. ini memberi arti yang sedikit berbeda dan membawa arti yang lebih mendalam. Dalam Islam, sebenarnya kawin hendaklah mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan. Dan harus berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan dari siapapun.  Tidak pula boleh di sebabkan oleh sesuatu problema sebelumnya yang menjadikan perkawinan itu terpaksa di lakukan.
Perkawinan Islam bukan semata hubungan jasmani untuk kemaslahatan hawa nafsu dan bersifat sementara di waktu diperlukan belaka. Selain itu bahwa perkawinan adalah melestarikan hidup duniawi dengan melahirkan keturunan yang menyusul untuk menjayakan bumi Allah.
Perkawinan dalam Islam dinamakan “Zawaj” atau “Nikah”, artinya pasangan dalam arti dua mahkluk di jadikan pasangan hidup. Ada juga yang mengartikan bahwa nikah adalah akad yang mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam dimana mendapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan fikiran dari sikap yang menjerumuskan dan membahayakan.[2]Kata mut’ah di artikan kesenangan atau hiburan. Dilihat dari arti bahasa ini, maka mut’ah artinya pernikahan semata-mata untuk tujuan hiburan, memuaskan syahwat. Dalam arti istilah mut’ah ialah perkawinan sementara dengan tujuan semata-mata mencari kepuasan seksual bagi pihak laki-laki dan pihak wanita. Bagi pihak wanita boleh jadi bisa di jadikan perkawinannya. Setelah masa perkawinannya usai, dengan sendirinya ikatan itupun terputus, pihak wanita mendapatkan upah.[3]
Jadi nikah mut’ah adalah nikah yang di lakukan seseorang dengan tujuan semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah tersebut dilarang karena di lakukan untuk waktu yang terbatas dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang di syari’atkan.[4]

Syarat Mut’ah

Ketika Islam belum turun, nikah mut’ah ternyata sudah membudaya di masyarakat. Pada saat itu syariat Islam belum melarangnya. Hikmahnya ialah supaya aqidah Islam meresap dahulu, baru setelah pemahaman aqidah meresap larangan mut’ah diberlakukan.
Seluruh kaun muslimin sepakat bahwa Islam telah menghalalkan pernikahan mut’ah selama beberapa hari pada peristiwa penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga hari saja (Nabi yang Agung dan selalu menjaga kemaluan menghalalkan pernikahan mut’ah kepada para sahabatnya untuk bermut’ah), yang terjadi pada tahun ke-5 H.[5] Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. مَـامَ اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ أَيَّـامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
Dari Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan perkawinan mut’ah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari, kemudian sesudah itu Ia larang”. (H.R. Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ سَاءْ نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adakah kawin mut’ah pada awal Islam, ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di jalin kenalan, lalu ia kawin kepada seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa ia akan tinggal di sana, maka wanita itu pelihara barang-barangnya dan mengurus keperluannya”. (H.R. Tirmidzi)[6]
Melihat dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah diperbolehkan tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan dibahas sedikit di kalangan Syi’ah tentang nikah mut’ah. 

Nikah Mut’ah Halal di Kalangan Syi’ah

Menurut syi’ah, mut’ah tidak boleh di lakukan kembali oleh orang yang mengetahui dengan benar. Maksudnya percaya dengan riwayat-riwayat bohong yang mengatas-namakan ucapan ahli bait dan yang mengetahui kebebasan seks. Jika ia percaya pada hal itu, halal baginya nikah mut’ah. Sementara terhadap orang yang tidak mengetahuinya haram.
Nikah mut’ah yang berlaku di kalangan syi’ah ialah dengan batas waktu yang jelas dan dengan imbalan upah yang jelas pula. Ketentuan ini secara otomatis batal setelah masa yang telah ditentukan itu berakhir. Adapun mengenai sighad (akad) nikah mut’ah adalah seperti yang diriwayatkan dari Abban bin Thaghlib, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu Abdullah : “Apa yang akan aku katakan kepada perempuan bila aku bersunyi-sunyian dengannya? Ia menjawab : kamu mengatakan : Aku menikahimu secara mut’ah atas dasar Kitabullah dan sunnah Nabi, tidak waris-mewarisi, selama sekian hari dan jika kamu menghendaki, untuk sekian tahun, dengan imbalan sekian dirham. Kamu sebutkan imbalannya menurut yang telah disepakati, sedikit atau banyak. Jika ia mengatakan ya, berarti dia rela dan ia telah menjadi istrimu.[7]

Hukum Nikah Mut’ah

Menurut sumber jelas sekali, hukum nikah mut’ah itu haram, lain lagi dengan faham syi’ah. Mereka membolehkan nikah mut’ah sebagaimana pendapat umum mengetahuinya. Tentu saja mereka beralasan pula, bahkan menggunakan ayat dan hadits sebagai alasannya.
Pembenaran pemahaman mut’ah didasarkan atas tafsir keliru, yaitu penggunaan ke-24 dari surat an-Nisa’, yang artinya : “Kalau kamu melakukan nikah mut’ah, maka bayarlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban”. Ayat ini sengaja dipenggal supaya maknanya tidak sama dengan tafsiran jumhur ulama Sunni. Padahal ayat ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan nikah mut’ah, akan tetapi membicarakan soal mahar bagi istri yang sah di nikahi.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama Sunni menulis dalam tafsirnya bahwa Q.S. an-Nisa’ : 24, dipahami oleh mayoritas ulama sebagai izin melakukan nikah mut’ah, tetapi itu pada awal masa Islam dan izin tersebut telah di cabut atau dibatalkan. Memang sekian banyak hadits sahih yang membuktikan bahwa nikah mut’ah pernah di lakukan oleh para sahabat Nabi dan beliau tidak melarangnya, namun kemudian dibatalkan.[8]

Hukum Nikah Mut’ah yang terdapat dalam Nas al-Qur’an

1)      Q.S. al-Baqarah [2] : 241
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ  (البقراة : 241)
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Q.S. al-Baqarah : 24).[9]
2)      Q.S. an-Nisa’ [4] : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَـكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَـكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلـِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِـكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُـوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النـساء : 24)
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki*b (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian*c (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.*d Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an-Nisa : 24)[10]
3)      Q.S. al-Mu’minun [23] : 5-6
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.[11]
Dalam surat al-Mu’minun: 5-6, tidak disebut mut’ah, sehingga dengan demikian ayat ini melarangnya atau dengan kata lain nikah mut’ah tidak menjadi sebagai salah satu cara yang dibenarkan untuk menyalurkan nafsu seksual.
1)      H.R Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ : إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran tentang mut’ah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai orang-orang, lalu sesudah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2)      H.R Thabrani
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ غَزِيَّةَ قَـالَ : سَمِعْتُ النَّبِيُّ ص.م. يَـوْمَ فَتْحُ مَكَّةَ يَقُوْلُ مُتْعَـةُ النـِّسَاءِ حَرَامٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (رواه الطبرانى)
Dari Harits bin Ghaziyah, ia berkata : Aku dengar Nabi S.a.w berkata pada hari menaklukkan Makkah, kawin mut’ah dengan wanita haram (Beliau berkata begitu) tiga kali” (H.R. Thabrani)
3)      H.R Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد ومسلم)
Dari Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah! Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari kiamat nanti, lantaran itu barang siapa yang ada padanya wanita nikah mut’ah, hendaklah ceraikan dia dan janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu telah berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim)[12]

Pendapat para ulama tentang Nikah Mut’ah

1)      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Dalam kitabnya Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang membolehkan pernikahan mut’ah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti pendapat Umar bin Khattab, tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk sahabat Ali r.a yang oleh kalangan syi’ah dimuluskan (tidak sepengetahuan sahabat Ali r.a itu sendiri). Anehnya, kaum Syi’ah justru membolehkannya, padahal Ali r.a melarangnya, tidak menyetujui.
2)      Ulama Sunni
Ulama Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya, namun yang jelas bahwa keseluruhan riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya nikah mut’ah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu pelarangannya, yang penting adalah larangannya.[13]

ANALISIS
Dari pembahasan tentang nikah mut’ah ini, pemakalah dapat mengambil sebuah kesimpulan, pada awalnya Rasulullah S.a.w memang memperbolehkan nikah mut’ah, demi kebaikan umat Islam itu sendiri. Akan tetapi setelah itu Rasul melarang keras nikah tersebut, karena di pandang tidak sesuai dengan tuntunan Islam itu sendiri yang mana bahwa Islam adalah “Rahmatan lil alamin
Dengan diharamkannya nikah mut’ah, ketika direnungi ternyata banyak sekali hikmah yang terkandung di dalamnya, antara lain :
  1. Menjauhkan muslimin dari tujuan perkawinan yang rendah, yang mana perkawinan dalam Islam diletakkan dalam kedudukan yang suci, mulia dan agung
  2. Menghindarkan kaum mukminah dari perbuatan rendah menjual diri hanya untuk kepentingan syahwat
  3. Membebaskan dari tujuan buruk menelantarkan keturunan (anak-anak) yang mungkin lahir dari nikah mut’ah
  4. Menjauhkan pandangan merendahkan syariat nikah, karena dengan nikah mut’ah sebuah perkawinan tidak punya arti. Wanita dalam hinaan dan derajat yang sangat rendah.
Menanggapi tentang masalah perzinaan, pemakalah menyimpulkan walaupun ulama bermadzhab Sunni menegaskan keharaman nikah mut’ah, kita tidak bisa mempersamakannya secara sempurna. Bahwa zina secara pasti dan tegas diharamkan dalam al-Qur’an, yang mana kalau mendekati saja tidak boleh apalagi melakukannya. Ketika terbukti ada yang melakukan perzinaan dan di saksikan oleh empat orang atau mengakui sendiri tentang perbuatannya, dapat dijatuhi hukuman dera atau rajam. Ini telah disepakati oleh seluruh umat Islam, sedangkan mut’ah ada yang membolehkannya.
Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwa nikah mut’ah tidak dapat di terima dalam keadaan apapun, oleh siapapun dan haram hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Amili, Ja’far Murtadho, Nikah Mut’ah Dalam Islam, Jakarta: as-Sajjad, 1992.
Al-Muslimun “Majalah Hukum dan Pengetahuan Agama Islam”, Jakarta : Yayasan al-Muslimun, 1997.
Fachruddin, Fuad Mohd., Dr., Kawin Mut’ah (Dalam Pandangan Islam), Jakarta: Ilmu Jaya, 1992.
Hussan, A., dkk., Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, CV. Diponegoro, Bandung, , cet.IX 1985.
Malullah, Muhammad, Menyikap Kebobrokan Nikah Mut’ah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.
Rifa’i, Moh., Drs. H., Mutiara Fiqih, jilid II, Semarang: CV. Wicaksana, 1998.
Rochman, Fatchur, AR, 160 Ayat-ayat Hukum al-Qur’an, Apollo, Surabaya, 1993.
Shihab, M. Quraish, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, Mizan, Bandung, 1999.
Soenarjo, Prof. R.H.A, SH., al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta,  1971.
Subhani, Ja’far, Yang Hangat dan Kontroversial Dalam Fiqih, Jakarta: Lentera, cet. II, 2002.


[1] Ja’far Murtadho al-Amili, Nikah Mut’ah Dalam Islam, Jakarta : as-Sajjad, 1992, hlm. 7
[2] Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah (Dalam Pandangan Islam), Jakarta: Ilmu Jaya, 1992, hlm. 13
[3] Al-Muslimun “Majalah Hukum dan Pengetahuan Agama Islam”, Jakarta: Yayasan al-Muslimun, 1997, hlm. 65
[4] Drs. H. Moh. Rifa’i, Mutiara Fiqih, jilid II, Semarang: CV. Wicaksana, 1998, hlm. 862
[5] Ja’far Subhani, Yang Hangat dan Kontroversial Dalam Fiqih, Jakarta: Lentera, cet. II, 2002, hlm. 142
[6] A. Hussan, dkk., Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, cet.IX
[7] Muhammad Malullah, Menyikap Kebobrokan Nikah Mut’ah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, cet.I, hlm. 129-132
[8] M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 130
Mut’ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya.
[9] Drs. Fatchur Rochman, AR, 160 Ayat-ayat Hukum al-Qur’an, Apollo, Surabaya, 1993
*b Maksudnya  : Budak-budak di miliki suaminya tidak ikut tertawan bersamanya.
*c ialah selain dari malam-malam wanita yang tersebut dalam ayat 23 dan 24 surat an-Nisa’
*d ialah menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali mas kawin yang telah ditetapkan.
[10] Prof. R.H.A Soenarjo, SH., al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta,  1971, hlm. 120-121
[11] Ibid., hlm. 326
[12] A. Hasan, dkk., op.cit.,
[13] M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 132
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.