TAREKAT MAWLAWIYAH

26 April 2014

TAREKAT MAWLAWIYAH

Tarekat (thariqah) yang secara harfiyah berarti jalan kecil (path), memiliki dua pengertian (konotasi) yang berbeda, tapi tetap berhubungan. Yang pertama, tarekat dimengerti sebagai perjalanan menuju Tuhan. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang maqamat (stations) dan ahwal (states), yang kedua tarekat dipahami sebagai “persaudaraan” atau ordo spiritual (spiritual order) yang biasanya merupakan perkumpulan spiritual yang dipimpin oleh seorang guru (mursyid) dan para khalifahnya. 
Nama Mawlawiyah berasal dari kata “Mawlana” (guru kami atau our master), yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada seorang “sufi penyair Persia terbesar sepanjang masa”, Muhammad Jalal ad-Din Rumi (w. 1273). Oleh karena itu, jelas bahwa Rumi adalah pendiri tarekat ini, yang didirikan sekitar 15 tahun terakhir hidup Rumi. Walaupun dapat dibilang tidak terlalu besar dibanding misalnya dengan tarekat Naqsyabandiyah, tetapi tarekat ini masih bertahan hidup hingga akhir-akhir ini. Dan salah satu mursyid (spiritual guide) dan sekaligus wakil yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syaikh Kabir Helminski, yang bermarkas di California, Amerika Serikat. Beberapa sarjana Barat telah memujinya sebagai “Penyair sufi paling menonjol yang pernah dihasilkan Persia”, bahkan ada yang menyebutnya “Penyair mistik terbesar / teragung sepanjang masa”.[1] 
Annemarie Schimmel juga menyimpulkan, “kita dapat dengan aman mengatakan bahwa tidak ada penyair dan mistik Islam lainnya yang dikenal demikian baik di Barat daripada Rumi”.
Mawlana lahir di kota Balkh (Afghanistan) pada tanggal 6 Rabi’al al-Awal atau 30 September 1207. Dari pihak ayahnya, ia merupakan keturunan dari khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq. Sedangkan dari pihak ibu, dari Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat.
Ajaran-ajaran pokok sang Mawlana disebut sebagai trilogy metafisik, yaitu Tuhan, Alam dan Manusia.
Ajaran Mawlana Rumi tentang Tuhan, pada gilirannya telah dikembangkan dari pernyataan al-Qur’an sendiri yang mengatakan bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Bathin”.
Pada konsep Rumi tentang alam semesta. Bagi Rumi, motif penciptaan alam oleh Tuhan adalah cinta. Cintailah yang telah mendorong Tuhan mencipta alam, sehingga cinta Tuhan merembas, sebagai nafas Rahmani, kepada seluruh partikel alam, dan menghidupkannya, sehingga berbalik mencintai sang penciptanya. Bagi Rumi, cinta adalah tenaga universal yang bertanggung jawab atas gerakan evolutif alam dari level yang rendah ke level-level yang lebih tinggi.
Sekarang kita mendiskusikan konsep Mawlana tentang manusia, baik dari sudut posisi, pengetahuan dan kebebasannya. Dalam pandangan Rumi, manusia memiliki posisi yang sangat baik dalam kaitannya dengan alam maupun dengan Tuhan. Dalam kaitannya dengan alam, Rumi memandang manusia sebagai tujuan akhir penciptaan.
Menurut Ira Freid lamder, ada lima “tekke” (zawiyah) Mawlawiyah, sebelum tahun 1925, yang merupakan pusat-pusat tarekat yang aktif sebagai suatu bentuk kehidupan komunal. Siapa saja dibawah usia 18 tahun, yang masuk tarekat ini diminta untuk menunjukkan izin tertulis dari kedua orang tuanya sebelum ia bisa diterima untuk hidup di tekke tersebut. Sang mursyid membawa anak laki-laki tersebut kepada syaikh tekke untuk mengutarakan maksud dan keinginannya.
Sang syaikh akan membai’at (menginisiasi) anak tersebut dengan upacara kecil yang terdiri dari membaca zikir (laa ilaaha ilaa Allah) dan “Allah Akbar” dan pemberian topi Darwisy (sikke) yang digunakan dalam upacara tersebut. Sang murid diminta untuk mengikat janji setia kepada syaikh sistem pembelajaran di tekke ini adalah belajar sambil melakukan kepatuhan kepada sang syaikh tidak berarti seseorang telah kehilangan kebebasannya melalui persiapan “bagaimana menjadi sesuatu” seseorang justru memperoleh kemerdekaannya.
Bagian-bagian/tahap-tahap dalam sama’, yaitu tarian gasing yang terkenal dari tarekat Mawlawiyah. Tarian (yang merupakan upacara spiritual ini) dibagi dalam kedua bagian. Bagian pertama terdiri dari naat (sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling atau taksim dan lingkaran Sultan Walad). Bagian kedua terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an dan doa.[2]

[1] Amin Banani, Kidung Rumi: Puisi dan Mistisisme dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 6.
[2] Dr. Hj. Sri Mulyati, M.A., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Maktabah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 332-342.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.