21 Oktober 2015

ZUHUD DAN URGENSINYA DI ZAMAN MODERN

Perjalanan hidup manusia sebagai hamba Allah untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki yakni untuk selalu dekat dengan Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Tingkat kesucian dan kesempurnaan seorang hamba sangat bervariasi mulai dari yang awam sampai yang ma’rifatullah. Untuk itu jiwa seseorang memerlukan pelatihan dan pendidikan mental yang panjang, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin.
Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan (suluk) dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhannya, yaitu dunia materi. Dalam tasawuf sikap ini disebut zuhud. Adapun posisi zuhud dalam tasawuf adalah sebagai maqam (stasion-stasion yang harus dilalui dan diusahakan oleh seseorang dalam pencapaian tujuan tasawufnya). 

Pengertian Zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyaiin watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunyâ, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk beribadah.[1] Orang yang melakukan zuhud disebut zâhid, zuhhâd, atau zâhidûn artinya kecil atau sedikit.[2]
Harun Nasution mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[3] Zuhud juga berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya, sebagaimana firman Allah:
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Al-Hadid : 23).
Ibnu Abbas r.a berkata:
“Zuhud terdiri dari tiga huruf, yaitu: Zay, Ha dan Dal. Zay (zad) adalah bekal untuk hari kemudian, Ha (huda) adalah petunjuk agama dan Dal (Dawam) adalah kekal dalam menekuni, melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT”.
Dalam kesempatan lain Ibnu Abbas r.a berkata tentang zuhud:
“Zuhud itu terdiri dari Zay (Zinatun = keindahan), dalam arti meninggalkan keindahan (sehingga tidak duduk terpukau), Ha (Hawa =  hawa nafsu) dalam arti meninggalkan hawa nafsu (sehingga tidak tertipu oleh foya-foya dan melakukan maksiat lainnya), dan Dal (dunya) dalam arti menjauhi keduniawian (artinya memanfaatkan keduniawian di jalan Allah SWT)”.[4] 

Faktor Zuhud 

Para sarjana, baik dari kalangan orientalis, maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi munculnya zuhud. Meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun ajaran agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, dan sebaliknya banyak dijumpai nas agama yang memberi motif beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka. Allah menggambarkan kehidupan dunia dalam surat al-Hadid : 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. Al-Hadid : 20).
Sementara ada ayat yang menunjukkan bahwa kehidupan di akhirat lebih baik dari pada kehidupan di dunia:
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”. (QS. Ad-Dhuha : 4)
 …Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (QS. Al-‘Ankabut : 64)
Selanjutnya Allah SWT menegaskan bahwa dengan adanya dua alternatif tersebut, manusia dipersilahkan memilih yang mana, diantara dua pilihan tersebut: 
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. (QS. An-Nazi’at : 37-41).[5]
Rasulullah juga bersabda: 
“Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Sedangkan orang bakhil jauh dari Allah, jauh dari manusia dan dekat dengan neraka”. (H.R Tirmidzi).
Kebakhilan merupaka©n buah dari kecintaan terhadap dunia, sedangkan kedermawanan itu merupakan buah dari sikap zuhud.
Rasulullah bersabda pula:
“Berzuhudlah kamu di dunia, niscaya Allah akan menyukaimu. Dan berzuhudlah kamu terhadap apa yang ada di tangan orang lain, niscaya orang banyak akan menyukaimu”. (HR. Hakim).
Sebenarnya masih banyak sekali dalil-dalil yang mengajarkan tentang zuhud. Dan dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah keberpalingan dari semua bagian kehidupan dunia yang dicenderungi oleh hawa nafsu, kepada segala sesuatu yang lebih baik daripadanya. Dengan pengetahuan dan anggapan bahwa apa yang ditinggalkannya itu adalah sesuatu yang rendah dan hina dibanding apa yang diambilnya.
Zuhud tidak sekedar sikap tidak mempedulikan harta, akan tetapi yang sebenarnya adalah suatu sikap yang terpateri di dalam jiwa (batin) dan merupakan bagian dari jiwa itu sendiri. 

Zahid 

Seorang zahid hendaklah memperhatikan tiga perkara berikut ini di dalam batinnya: 
  1. Jangan merasa senang atas adanya sesuatu, dan jangan merasa susah atas tiadanya sesuatu. 
  2. Hendaklah sama perasaannya dalam menghadapi pujian dan celaan 
  3. Hendaklah kesenangannya semata-mata karena Allah, dan hendaklah hatinya dikuasai oleh manisnya ketaatan.[6] 
Seseorang yang menyibukkan diri dengan mengedepankan segala hal yang mubah, itu bertentangan dengan zuhud yang disyariatkan. Maka, jika dia sibuk dengan segala hal yang mubah sehingga mengabaikan perbuatan yang wajib dia telah berbuat maksiat. Apabila tidak demikian, dia berkurang tingkatannya dari orang-orang yang dekat kepada Allah dan termasuk dalam tingkatan orang-orang muqtashid (pertengahan).[7]
Ibrahim Ibnu Adham pernah ditanya : “Dengan cara bagaimana tuan mencapai derajat zahid (orang yang zuhud)?” Jawab beliau: “Aku mencapai derajat zuhud dengan tiga hal: 
“Mengingat kubur (mati), hatiku menjadi hampa, sedang padaku tidak ada yang dapat menenteramkan hatiku (karenanya aku selalu mengingat Allah SWT). Aku memandang bahwa perjalanan (menuju akhirat itu) amat jauh, sedangkan aku tidak mempunyai bekal (karenanya aku persiapkan kepentingan dunia ini untuk bekal di akhirat). Aku yakin bahwa Allah SWT adalah Hakim Yang Maha Perkasa, sedangkan aku tidak mempunyai alasan untuk menolak Putusan-Nya (karenanya aku berusaha menjauhi segala larangan-Nya dan berusaha melaksanakan segala perintah-Nya).[8] 

Perspektif Para Sufi tentang Zuhud

Hasan Bashri (632-721) dianggap oleh golongan sufi sebagai orang pertama yang membicarakan dan mengajarkan tentang tasawuf. Diantara ajaran beliau tentang zuhud, beliau berpendapat bahwa dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dalam rasa benci kepadanya atau zuhud, akan berbahagia, dan memperoleh faedah. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara.
Kemudian Abdul Qadir Jailani, tokoh sufi dan tarekat dari Baghdad berkenaan dengan masalah zuhud ini, berpijak pada firman Allah SWT surat Thaaha : 131. 
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”.
Tetapi tokoh sufi yang berbicara tentang zuhud secara panjang lebar tidak lain ialah al-Ghazali. Ia menyatakan bahwa zuhud secara keseluruhan berarti benci kepada yang disukai dan berpaling kepada yang lebih disukai. Orang yang tidak menginginkan kepada sesuatu selain Allah SWT hingga surga sekalipun diabaikan, maka orang semacam inilah yang disebut zuhud mutlak. Orang yang tidak menginginkan setiap keberuntungan di dunia tetapi tidak zuhud pada keberuntungan di akhirat seperti bidadari, istana, sungai-sungai yang mengalir, dan buah-buahan maka dia juga orang zuhud, tetapi derajatnya kurang dari pada zuhud mutlak. Orang yang meninggalkan keberuntungan dunia sebagian dan menerima sebagian seperti orang yang menolak harta benda tetapi menerima kemegahan, maka menurut ahli zuhud orang yang seperti ini derajatnya sama dengan orang yang bertaubat dari sebagian perbuatan maksiat.
Sikap zuhud yang dilakukan golongan sufi merupakan suatu sikap yang berlebih-lebihan. Untuk ini Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa Islam melarang manusia berlebih-lebihan dalam agama dan memberantas ajaran-ajaran penyiksaan diri demi agama. Hal ini disyaratkan dalam firman Allah SWT: 
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan”. (QS. Al-A’raf : 31). 
Kemudian di dalam penciptaan alam semesta terdapat kebaikan, keindahan, keharmonisan, segala sesuatu di dalam alam semesta telah diciptakan untuk dimanfaatkan dan dinikmati manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : 
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah : 29).[9] 

Urgensi Zuhud di Zaman Modern

Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang-kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya, meluncur bagaikan binatang, bahkan lebih hina dari padanya.
Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi gemerlap ini. Antara lain sifat at-Tama’, yaitu sifat loba dan sifat al-Hirs, yaitu sifat keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat-sifat seperti inilah yang pada akhirnya menumbuhkan perilaku menyimpang seperti korupsi dan manipulasi.[10]
Dalam kaitannya dengan problem masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap Tuhan, seperti materi dan sebagainya.[11] 

KESIMPULAN
Sebenarnya tidak diperlukan ilmu lebih jauh untuk memahami pengertian zuhud, yaitu bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal. Karena kadang-kadang mereka yang tidak mau meninggalkan dunia juga mengetahui hal-hal yang demikian, tetapi karena lemah ilmu dan keyakinan, atau karena dikuasai oleh hawa nafsunya, atau karena dipaksa oleh tangan-tangan setan, maka pada akhirnya ia tertipu, sementara ajal menjemputnya.
Sikap manusia terhadap dunia, sebagaimana yang telah diharapkan dan dituntun oleh al-Qur’an, mempunyai nilai-nilai yang sangat positif dan merupakan senjata yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi kehidupan, khususnya di abad modern ini yang sarat dengan problema, baik psikis, ekonomis, dan etis. Zuhud dapat dijalankan sebagai benteng membangun diri dalam menghadapi gemerlapnya materi.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Ibnu Hajar al-Asqolani, Nasihat dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia, CV. Diponegoro, Bandung, 1993.
Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Abu Ridho, Terjemah Mau’idhotul Mukminin, Asy-Syifa’, Semarang, 1993.
Ibnu Taimiyah, Mengenali Gerak Gerik Kalbu, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001.
Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

[1] Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626.
[2] Ibid., hlm. 308.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 56.
[4] Ibnu Hajar al-Asqolani, Nasihat dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia, CV. Diponegoro, Bandung, 1993, hlm. 41.
[5] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 7-9.
[6] Abu Ridho, Terjemah Mau’idhotul Mukminin, Asy-Syifa’, Semarang, 1993, hlm. 750.
[7] Ibnu Taimiyah, Mengenali Gerak Gerik Kalbu, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, hlm. 35.
[8] Ibnu Hajar al-Asqolani, op.cit., hlm. 40.
[9] Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 125-127.
[10] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., op.cit., hlm. 181.
[11] Ibid., hlm. 179.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.