Maududi telah merumuskan kembali ajaran-ajaran Islam, mendakwahkan dan memperjuangkannya agar diterima dan dilaksanakan oleh umat manusia. Pemikirannya tentang Islam berpangkal dari doktrin tauhid, yaitu mengesakan Allah. Menurut Maududi, doktrin inilah yang menjadi inti misi para Rasul Allah sepanjang masa. Di dalam Islam tauhid terpatri dengan tepat dalam kalimat: Laa ilaa ha illaa Allah, tiada Tuhan melainkan Allah. Pengakuan terhadap keesaan Allah ini mengacu pengakuan lainnya seperti: hanya Allah Pemelihara sekalian alam, hanya Allah Pemegang kedaulatan dan Pembuat hukum yang harus dipatuhi dan sebagainya. Dengan tauhid seseorang loyal secara total hanya kepada Allah. Ketundukan secara total kepada Allah inilah, -menurut Maududi- yang disebut Islam. Dalam pengertian ini, semua alam adalah muslim, sebab ketundukannya yang total kepada hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan kepadanya. Hanya manusia adalah makhluk yang unik. Dia mendapat kebebasan untuk tunduk atau tidak mematuhi hukum-hukum moral yang ditetapkan Tuhan kepada mereka. Hanya mereka yang mematuhi hukum-hukum Tuhan inilah yang disebut muslim. Kebutuhan umat manusia untuk mengetahui hukum-hukum Tuhan yang harus ditaati, terpenuhi dengan adanya kenabian. Nabi atau Rasul adalah pembawa aturan-aturan hidup yang ditetapkan Tuhan. Dari al-Qur’an dan Sunnah yang diterima dari Nabi Muhammad saw dapat diketahui aturan-aturan hidup yang ditetapkan Tuhan untuk dipatuhi oleh umat manusia. Aturan-aturan Tuhan itu mencakup semua aspek kehidupan manusia. Untuk itu, manusia muslim tidak hanya patuh dan menyembah di rumah-rumah ibadah saja, tetapi juga patuh dan tunduk terhadap aturan-aturan Tuhan pada setiap waktu dan tempat. Maududi menolak anggapan bahwa Islam hanya agama yang mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, atau hanya perangkat doktrin tentang metafisika dan ritual belaka, tetapi Maududi menegaskan bahwa Islam adalah way of life. Maka Islam mempunyai ajaran yang komprehensif dan mencakup semua aspek kehidupan manusia.[1]
Maududi mengakui adanya predestination bagi manusia hanyalah dalam bidang biologis, seperti kelahiran, pertumbuhan dan kehidupan diatur oleh aturan biologis. Ia tidak lepas dari hukum tersebut. Semua organ tubuh mematuhi aturan yang telah ditetapkan itu. Pendek kata, alam semesta dengan segala isinya mengikuti ketetapan yang berlaku yang memang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur alam semesta itu. Hukum yang demikian ini adalah hukum Allah SWT.[11]
Dalam hal anthropomorphisme, melihat Tuhan, dan tentang sabda Tuhan, Maududi tidak secara explicit membicarakannya. Sebagai suatu analisis, karena Tuhan adalah imateri maka Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Maududi sebagai salah seorang yang menghargai akal, sebagaimana kaum Mu’tazilah, menganut faham ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain. Seperti kata al-‘Arsy harus diartikan kekuasaan, al-Yad diartikan kekuasaan.[26] Mengenai melihat Tuhan, secara rasional bahwa Tuhan adalah imateri, maka Tuhan tak dapat dilihat dengan mata kepala, sebab yang dapat dilihat dengan mata kepala adalah yang mengambil tempat, padahal Tuhan tidak mengambil tempat, sehingga Tuhan tidak dapat dilihat. Jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, maka Tuhan dapat dilihat di alam ini. Ternyata sampai sekarang tidak pernah ada orang melihat Tuhan.[27] Sedang mengenai sabda Tuhan, Maududi hanya menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk mempercayai adanya kitab-kitab yang diturunkan Tuhan sebelum diturunkannya al-Qur’an. Kitab-kitab itu diturunkan melalui nabi-nabi dengan cara yang sama, yaitu melalui wahyu dari Allah SWT. Turunnya kitab suci al-Qur’an hanyalah untuk memastikan, menyatakan kembali dan melengkapi kitab-kitab suci sebelumnya yang telah dimanipulir oleh manusia atau telah hilang karena waktu.[28] Dalam hal ini Maududi tidak pula secara explicit membahasnya seperti dalam teologi yakni: jika sabda merupakan sifat, maka ia kekal, tetapi jika sabda tersusun dan karena itu mesti diciptakan dan tidak dapat kekal. Sebagai suatu analisis, karena Maududi tidak menolak adanya sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an, maka dalam hal ini tampaknya ia lebih dekat pendapatnya dengan kaum Asy’ariyah, yang berpegang bahwa sabda adalah sifat, maka ia mesti kekal. Untuk menghindari bahwa yang tersusun tidak bersifat kekal (qodim), maka harus diberi arti lain tentang sabda. Sehingga sabda adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda dalam arti abstrak inilah yang bersifat kekal dan dapat menjadi sifat Tuhan. Yang dimaksud dengan al-Qur’an bukanlah yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata, dan surat-surat, tetapi arti atau makna abstrak itu. Dalam arti inilah al-Qur’an menjadi sabda Tuhan dan bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, al-Qur’an bersifat baru serta diciptakan, dan bukan sabda Tuhan.[29]
a. Iman kepada Allah
b. Iman kepada para malaikat
c. Iman kepada kitab-kitab Allah, termasuk al-Qur’an al-Karim
d. Iman kepada para nabi, termasuk Muhammad saw
e. Iman kepada hari kemudian, yakni hari kiamat.[33]
Memang benar bahwa Rasul Allah saw menyebutkan juga “ketentuan baik dan buruk” sebagai salah satu rukun iman. Tetapi menurut Maududi, hakekat keimanan terhadap taqdir ini adalah merupakan bagian dari iman terhadap Allah. Sebab itulah maka al-Qur’an menjelaskannya dalam kandungan arti ketauhidan. Argumentasi Maududi, mengapa ia secara terpisah diterangkan dalam hadits? Tidak lain karena bagian dari keimanan kepada Allah ini mempunyai kedudukan yang teramat penting. Meskipun demikian, sering kali ia tidak dapat ditangkap oleh sementara orang, dan karena itu pula sangat dipandang perlu untuk disebutkannya secara terpisah. Sehingga kaum muslimin dapat ingat selamanya dan sekejappun tidak akan pernah lupa.[34]
Tampaklah rukun iman yang dikemukakan oleh Maududi berbeda dengan yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama atau pemikir muslim lainnya. Sebagai suatu analisis, hal ini terjadi tidak lain karena Maududi yang menghargai kemampuan akal dan kebebasan manusia, agar umat Islam tidak terbelenggu terhadap paham fatalisme. Sebab jika umat Islam, ulama dan pemikirnya terbelenggu terhadap fatalisme, maka umat Islam tidak dapat kreatif dan dinamis, serta dunia Islam tidak akan ada kemajuan.
1. Akal dan WahyuDalam hal ini Maududi, di samping Tuhan memberikan karunia kepada semua manusia yang berupa kemampuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan, berpikir, mengambil keputusan dan perasaan untuk membedakan antara yang salah dan benar, Tuhan juga memberikannya batas-batas tertentu, kebebasan kepada manusia untuk menentukan kehendak dan tindakannya. Dalam kebebasan inilah manusia diuji, baik dalam ilmu pengetahuan, kebijakan, kemampuan membedakan antara yang benar dan salah, maupun menentukan kehendak dan tindakan.[2] Tampaklah bahwa Maududi mengakui penggunaan akal baik untuk membedakan antara yang benar dan salah, untuk menentukan kehendak dan tindakan, dan tentu saja untuk memahami kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Namun demikian terdapat kesulitan bagi manusia dalam menghadapi pertanyaan tentang peraturan hidup yang benar, yang diridlai Tuhan. Meskipun manusia mempunyai intelektual yang tinggi, masih kecil kemungkinan untuk menciptakan peraturan hidup yang benar tersebut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang tidak akan membiarkan makhluk ciptaan-Nya memikul ujian yang begitu berat. Maka atas kemurahan-Nya Tuhan memilih utusan-Nya di antara manusia itu sendiri yang membawa hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang benar tentang hidup, memberikan pengetahuan tentang arti dan tujuan hidup, kehidupan hari kemudian dan menunjukkannya jalan yang dapat dilalui untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan abadi. Manusia-manusia terpilih ini disebut Nabi Allah atau Rasul Allah yang membawa wahyu dari Tuhan. Dan kumpulan tulisan yang berisi firman-firman Allah SWT disebut kitab suci.[3] Dengan demikian, manusia untuk mengetahui tentang Tuhan dan kehidupan yang diridlai Allah,[4] di samping menggunakan akal juga menggunakan wahyu. Akal sebagai daya berpikir manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[5]
2. Fungsi WahyuMenurut Maududi, karena manusia tidak mengetahui Allah SWT, sifat-sifat-Nya yang sebenarnya, tidak mengetahui malaikat-malaikat yang mengatur mekanisme dan setiap segi kehidupan, tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengetahui jalan yang dapat memperoleh nikmat dari Tuhan, dan tidak mengetahui masa yang akan datang, maka pengetahuan-pengetahuan tersebut diajarkan oleh Nabi-Nabi yang mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT dan apa yang dibawa oleh Nabi-Nabi adalah benar. Di atas semua itu, kekuatan dan kebajikan ajaran-ajaran yang mereka sampaikan memaksa manusia untuk mengakui mereka berbicara benar dan pengajaran mereka patut dan harus diikuti. Keyakinan ini juga disebut “Iman bi al-ghaib”. Pengertian dan pengakuan atas kebenaran (iman bi al-ghaib), sangat penting dalam menuju kepada ketaatan kepada Allah dan untuk bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada perantara lain kecuali nabi dalam mencapai pengetahuan yang benar. Dan tanpa pengetahuan yang benar dan tepat manusia tidak akan dapat berjalan mengikuti ajaran Islam secara benar.[6] Digambarkan oleh Maududi, jika orang mempelajari ilmu ukur, pasti diketahui bahwa di antara dua titik hanya ada satu garis lurus, tidak ada garis lain. Sama halnya dengan jalan kebenaran (sirat al-mustaqim). Jalan ini mempunyai dua titik yaitu manusia dan Tuhan. Dan nyata sekali, hanya ada satu jalan dan jalan yang lain adalah jalan yang salah dan akan menuju kehancuran. Jalan ini telah ditunjukkan oleh Nabi dan tiada jalan lain kecuali jalan tersebut.[7] Dan juga dikatakannya bahwa ajaran dan perjalanan hidup Rasul Allah dijadikan obor petunjuk jalan, sehingga mereka tidak kehilangan pegangan dan keluar dari jalan yang benar menuju kesesatan.[8] Dalam hal ini Maududi antara lain mengambil dasar firman Allah SWT surat Ibrahim ayat 1, yang artinya:
“(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji”.Dengan demikian nyatalah bagi Maududi, bahwa fungsi wahyu adalah sebagai petunjuk kepada manusia, agar manusia dapat melakukan ketaatan, beribadah kepada Allah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperlukan.[9]
3. Free Will dan PredestinationBagi Maududi, karena manusia dikaruniai akal dan pikiran, maka manusia mampu berpikir dan mengambil keputusan, memilih dan menolak, mengambil dan mengenyampingkan sesuatu. Ia bebas menjalani hidup sesuai dengan cara yang dipilihnya. Ia bebas memeluk agama, mengambil jalan hidup, merumuskan kehidupan menurut kehendaknya. Ia dapat dan boleh menciptakan peraturannya sendiri dan mengikuti peraturan yang diciptakan orang lain. Ia diberi kebebasan dan dapat menentukan tingkah lakunya. Pada aspek ini manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Ia diberi kebebasan dalam berpikir, memilih dan bertindak.[10] Jadi karena akal dan pikirannya itulah yang mengakibatkan manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya, dan karena itu pula yang membedakannya dari makhluk hidup yang lain.
Maududi mengakui adanya predestination bagi manusia hanyalah dalam bidang biologis, seperti kelahiran, pertumbuhan dan kehidupan diatur oleh aturan biologis. Ia tidak lepas dari hukum tersebut. Semua organ tubuh mematuhi aturan yang telah ditetapkan itu. Pendek kata, alam semesta dengan segala isinya mengikuti ketetapan yang berlaku yang memang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur alam semesta itu. Hukum yang demikian ini adalah hukum Allah SWT.[11]
4. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak TuhanDalam hal ini Maududi hanya menyatakan, bahwa betapa banyaknya perwujudan kekuasaan Allah SWT. Kekuasaan yang membuktikan bahwa hanya ada satu Pencipta, Penguasa alam semesta dan Pengatur jagad raya. Bukti-bukti ini memantulkan sifat-sifat Allah SWT: Kebijaksanaan-Nya yang Maha Agung, Kekuasaan-Nya yang tanpa batas, kekuatan-Nya yang tiada tara.[12] Dengan demikian Maududi, dalam hal ini tidak secara eksplisit membicarakan tentang kekuasaan dan kehendak Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya. Hanya saja sebagai suatu analisis, karena Maududi mengakui kemampuan akal, manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, yang demikian itu, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak-semutlaknya.[13]
5. Keadilan TuhanDalam hal ini dijelaskan oleh Maududi, bahwa pada gilirannya seseorang harus mengetahui akibat dari kepercayaan dan ketaatan kepada Allah SWT dan sebaliknya. Manusia harus mengetahui rahmat yang bakal diterima jika ia mengikuti petunjuk Allah, dan juga harus mengetahui akibat yang harus ditanggungnya jika ia memilih jalan pengingkaran.[14] Allah akan memberikan ganjaran kepada setiap manusia. Allah menimbang perbuatan baik dan jahat setiap orang. Bagi yang lebih banyak berbuat baik akan mendapat hadiah (pahala) dan bagi yang lebih banyak berbuat jahat akan mendapat hukuman.[15] Hal ini terkait dengan keimanan terhadap hari Qiyamat, yang merupakan saat kebangkitan manusia yang dihidupkannya kembali untuk dihadapkan kepada pengadilan suci. Saat itu ditetapkan pelaksanaan pemberian pahala dan hukuman.[16] Ketika Allah memimpin pengadilan dan mengumumkan secara adil, yaitu memberi rahmat kepada orang-orang yang benar dan menghukum yang bersalah; tentu ada suatu tempat bagi orang-orang yang suci untuk menikmati rahmat Allah berupa kehormatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan secara menyeluruh; dan ada pula suatu tempat lain bagi orang-orang yang dikutuknya untuk merasakan penderitaan.[17] Ini merupakan konsekuensi logis, bahwa setiap amal perbuatan manusia pasti dipertanggungjawabkan di hadapan Penciptanya guna diberi alasan atas amal perbuatannya itu, baik yang kecil maupun yang besar, yang buruk maupun yang baik, dengan balasan kebaikan dan keburukan (siksa).[18] Jelaslah tentang keadilan Tuhan, bahwa Tuhan mesti memberi pahala kepada orang yang taat kepada-Nya dan memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Sehingga tidak mungkin Tuhan akan menghukum kepada anaknya orang musyrik yang disebabkan dosa yang diperbuat orang tuanya, dan juga tidak mungkin memberi beban kepada manusia di luar kemampuannya.
6. Perbuatan-Perbuatan TuhanBerpijak dari persoalan keadilan Tuhan, sebagaimana yang diakui oleh Maududi, maka Tuhan juga mempunyai kewajiban-kewajiban bagi manusia, seperti Tuhan memilih sekian orang di antara hamba-Nya untuk diangkat sebagai rasul yang diberinya pengetahuan yang benar dan mempercayakan kepada mereka suatu tugas untuk memberi petunjuk kepada manusia menuju jalan kebenaran dan kebajikan.[19] Memang keadaan akal tidak dapat mengetahui segala sesuatu yang harus diketahuinya tentang Tuhan dan alam ghaib, dan karena Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia, maka Tuhan wajib mengirim Rasul-Nya kepada manusia agar manusia dapat memperoleh hidup yang baik dan terbaik, baik di dunia maupun di akhirat kelak.[20] Seperti juga Tuhan berkewajiban tidak akan memberi beban di luar kemampuan manusia, serta berkewajiban untuk menepati janji dan melaksanakan ancaman-Nya. Tuhan akan bersifat tidak adil jika Ia tidak menepati janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, dan jika melaksanakan ancaman untuk memberi hukum kepada orang yang berbuat jahat.[21]
7. Sifat-Sifat TuhanDalam hal ini Maududi berpijak dari masalah iman, seseorang harus iman bahwa Allah itu ada. Jika orang tidak yakin akan adanya Allah, bagaimana ia dapat taat kepada-Nya? Dalam beriman manusia harus mengetahui sifat-sifat Allah. Ini diperlukan agar tertanam dalam jiwa manusia sifat-sifat baik dan luhur sesuai dengan petunjuk yang telah digariskan Allah. Bagi yang tidak mengetahui bahwa hanya ada satu Tuhan, Allah SWT, Pencipta, Pengatur dan Pemelihara alam semesta dan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyamai-Nya maka orang itu akan jatuh dan salah salam memilih Tuhan.[22] Semua sifat-sifat ketuhanan ini hanya dimiliki Allah yang tunggal. Tidak mungkin sifat-sifat ini dimiliki oleh dua Tahun atau lebih. Karena keduanya akan dan pasti berebut kekuasaan, sehingga tidak ada lagi sifat-sifat Yang Maha Kuasa, atau Yang Maha Mengetahui, karena adanya yang satu menyamai terhadap yang lain. Dengan demikian, maka hanya ada satu yang memiliki semua sifat-sifat ketuhanan ini, yaitu Allah SWT.[23] Al-Qur’an juga menjelaskan, bahwa al-Qur’an memberikan penetapan sifat ketuhanan hanya kepada Dzat yang diakuinya, yaitu Allah SWT. Kemudian ia meminta manusia agar tidak beriman dan bersujud selain kepada-Nya, tidak mengagungkan dan takut selain kepada-Nya, tidak mengharap dan meminta tolong selain kepada-Nya, bahkan tidak bertawakkal selain kepada-Nya semata. Kemudian orang harus yakin bahwa dirinya akan kembali kepada-Nya; dan Dia akan memberi perhitungan, serta baik ataupun buruk ketentuan atau nasib dirinya hanyalah tergantung kepada-Nya.[24] Dengan demikian Maududi tidak menolak adanya sifat-sifat Allah sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’an. Sebagai suatu analisis, pemikir semacam Maududi jelas menghindari adanya ta’addud al-Qudama’ atau multiplicity of eternals. Meskipun Tuhan mempunyai sifat mengetahui, berkuasa dan sebagainya misalnya, tetapi mengetahui, berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti yang sebenarnya. Seperti pendapat Abu al-Huzail yang disitir oleh Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa arti Tuhan mengetahui adalah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan itu sendiri.[25]
Dalam hal anthropomorphisme, melihat Tuhan, dan tentang sabda Tuhan, Maududi tidak secara explicit membicarakannya. Sebagai suatu analisis, karena Tuhan adalah imateri maka Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Maududi sebagai salah seorang yang menghargai akal, sebagaimana kaum Mu’tazilah, menganut faham ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain. Seperti kata al-‘Arsy harus diartikan kekuasaan, al-Yad diartikan kekuasaan.[26] Mengenai melihat Tuhan, secara rasional bahwa Tuhan adalah imateri, maka Tuhan tak dapat dilihat dengan mata kepala, sebab yang dapat dilihat dengan mata kepala adalah yang mengambil tempat, padahal Tuhan tidak mengambil tempat, sehingga Tuhan tidak dapat dilihat. Jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, maka Tuhan dapat dilihat di alam ini. Ternyata sampai sekarang tidak pernah ada orang melihat Tuhan.[27] Sedang mengenai sabda Tuhan, Maududi hanya menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk mempercayai adanya kitab-kitab yang diturunkan Tuhan sebelum diturunkannya al-Qur’an. Kitab-kitab itu diturunkan melalui nabi-nabi dengan cara yang sama, yaitu melalui wahyu dari Allah SWT. Turunnya kitab suci al-Qur’an hanyalah untuk memastikan, menyatakan kembali dan melengkapi kitab-kitab suci sebelumnya yang telah dimanipulir oleh manusia atau telah hilang karena waktu.[28] Dalam hal ini Maududi tidak pula secara explicit membahasnya seperti dalam teologi yakni: jika sabda merupakan sifat, maka ia kekal, tetapi jika sabda tersusun dan karena itu mesti diciptakan dan tidak dapat kekal. Sebagai suatu analisis, karena Maududi tidak menolak adanya sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an, maka dalam hal ini tampaknya ia lebih dekat pendapatnya dengan kaum Asy’ariyah, yang berpegang bahwa sabda adalah sifat, maka ia mesti kekal. Untuk menghindari bahwa yang tersusun tidak bersifat kekal (qodim), maka harus diberi arti lain tentang sabda. Sehingga sabda adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda dalam arti abstrak inilah yang bersifat kekal dan dapat menjadi sifat Tuhan. Yang dimaksud dengan al-Qur’an bukanlah yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata, dan surat-surat, tetapi arti atau makna abstrak itu. Dalam arti inilah al-Qur’an menjadi sabda Tuhan dan bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, al-Qur’an bersifat baru serta diciptakan, dan bukan sabda Tuhan.[29]
8. ImanDalam bahasa Arab, kepercayaan kepada Allah disebut iman yang berarti “mengetahui, mempercayai dan menjadi yakin tanpa keraguan sedikitpun”. Maka iman berarti keyakinan yang tidak tergoyahkan yang timbul berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan. Seorang yang mengetahui dan percaya kepada Allah, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, petunjuk-petunjuk-Nya dan peraturan-peraturan-Nya mengenai rahmat dan hukum-Nya disebut mukmin. Kepercayaan ini membimbing manusia menjadi taat dan memasrahkan diri kepada kehendak-Nya, dan orang yang melaksanakan ini disebut muslim. Tanpa iman seseorang tidak akan dapat menjadi muslim yang benar. Iman merupakan suatu titik awal yang tak dapat dimulai. Hubungan antara Islam dan Iman bagaikan hubungan antara pohon dan bibitnya. Pohon tidak ada tanpa bibit. Demikian juga bagi manusia, ia tidak dapat menjadi muslim tanpa iman.[30] Ajaran Nabi Muhammad saw yang paling fundamental adalah percaya terhadap keesaan Tuhan, yang ditunjukkan dengan kalimat syahadat (dalam Islam): “La> ila>ha illa> Alla>h” (tidak ada Tuhan selain Allah). Kalimat ini menjadi landasan, dasar dan inti Islam, yang membedakan manusia menjadi seorang muslim atau kafir, atau musyrik, atau orang dahriya (orang yang tidak percaya adanya Allah SWT). Pengakuan atau penolakan terhadap kalimat syahadat ini membedakan manusia antara muslim dan non-muslim. Bagi yang percaya akan terbentang kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Sedang yang tidak percaya, kehancuran yang akan menjadi ganjarannya. Tetapi perbedaan antara keduanya bukan hanya karena kalimat syahadat tersebut. Kekuatan sebenarnya terletak pada penerimaan secara sadar dan mutlak terhadap ajaran Islam dan penerapannya dalam kehidupan secara nyata.[31] Di sini tampak bahwa Maududi tidak hanya mengemukakan “iqrara bi al-lisan dan tasdiq bi al-qalbi”, tetapi juga menekankan “’amal bi al-jawarih”. Ia mengambil contoh, mengulang-ulang kata “maka” tidak dapat mengenyangkan orang yang lapar.[32] Ini berarti jika orang tidak benar-benar melaksanakan makan, maka ia tidak bakal kenyang.
9. Konsep ImanMengenai konsep iman, telah diterangkan dalam al-Qur’an secara jelas. Al-Qur’an pada suatu saat dan tempat menerangkan unsur iman itu secara global dan garis besar saja, tetapi pada tempat dan saat yang lain al-Qur’an juga menerangkan dalam bentuk rinci dan lengkap. Seperti tertera dalam surat al-Baqarah ayat 177, yang artinya:
“…akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.Melalui ayat-ayat al-Qur’an, antara lain seperti tersebut di atas, Maududi mengambil suatu kesimpulan bahwa “rukun iman” dalam ajaran Islam hanya ada lima, yaitu :
a. Iman kepada Allah
b. Iman kepada para malaikat
c. Iman kepada kitab-kitab Allah, termasuk al-Qur’an al-Karim
d. Iman kepada para nabi, termasuk Muhammad saw
e. Iman kepada hari kemudian, yakni hari kiamat.[33]
Memang benar bahwa Rasul Allah saw menyebutkan juga “ketentuan baik dan buruk” sebagai salah satu rukun iman. Tetapi menurut Maududi, hakekat keimanan terhadap taqdir ini adalah merupakan bagian dari iman terhadap Allah. Sebab itulah maka al-Qur’an menjelaskannya dalam kandungan arti ketauhidan. Argumentasi Maududi, mengapa ia secara terpisah diterangkan dalam hadits? Tidak lain karena bagian dari keimanan kepada Allah ini mempunyai kedudukan yang teramat penting. Meskipun demikian, sering kali ia tidak dapat ditangkap oleh sementara orang, dan karena itu pula sangat dipandang perlu untuk disebutkannya secara terpisah. Sehingga kaum muslimin dapat ingat selamanya dan sekejappun tidak akan pernah lupa.[34]
Tampaklah rukun iman yang dikemukakan oleh Maududi berbeda dengan yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama atau pemikir muslim lainnya. Sebagai suatu analisis, hal ini terjadi tidak lain karena Maududi yang menghargai kemampuan akal dan kebebasan manusia, agar umat Islam tidak terbelenggu terhadap paham fatalisme. Sebab jika umat Islam, ulama dan pemikirnya terbelenggu terhadap fatalisme, maka umat Islam tidak dapat kreatif dan dinamis, serta dunia Islam tidak akan ada kemajuan.
[1] Khurshid Ahmad dan Zafar Ansari, (ed.), op.cit., hlm. 365-366.
[2] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, (Lahore: One Seeking Mercy of Allah, 1960), hlm. 12.
[3] Ibid., hlm. 27-28.
[4] Ibid., hlm. 37.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 79.
[6] Abul A’la Maududi, op.cit., hlm. 29-30.
[7] Ibid., hlm. 38-39.
[8] Abul A’la Maududi, Al-Hadharah al-Islamiyyah, Ushusuha wa Mabadi’uha, (terj.), Afif Muhammad dan Chatib Saifullah, Dasar-Dasar Iman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), hlm. 101.
[9] Harun Nasution, op.cit., hlm. 96.
[10] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, op.cit., hlm. 4.
[11] Ibid., hlm. 2-3.
[12] Ibid., hlm. 26.
[13] Harun Nasution, op.cit., hlm. 118.
[14] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, op.cit., hlm. 21-22.
[15] Ibid., hlm. 117.
[16] Ibid., hlm. 123.
[17] Ibid., hlm. 127-128.
[18] Abul A’la Maududi, Al-Hadharah al-Islamiyyah, op.cit., hlm. 22.
[19] Ibid.
[20] Harun Nasution, op.cit., hlm. 131.
[21] Ibid., hlm. 132.
[22] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, op.cit., hlm. 20.
[23] Ibid., hlm. 95.
[24] Abul A’la Maududi, Al-Hadharah al-Islamiyyah, op.cit., hlm. 44-45.
[25] Harun Nasution, op.cit., hlm. 135.
[26] Ibid., hlm. 137.
[27] Ibid., hlm. 139.
[28] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, op.cit., hlm. 109.
[29] Harun Nasution, op.cit., hlm. 144.
[30] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, op.cit., hlm. 23-24.
[31] Ibid., hlm. 86-87.
[32] Ibid.
[33] Abul A’la Maududi, Al-Hadharah al-Islamiyyah, op.cit., hlm. 18.
[34] Ibid.