Pendahuluan
Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah (Ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan) dan merupakan salah satu dari
Pada umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun kurang membantu mereka untuk jangka panjang. Karena uang atau kebutuhan sehari-hari yang diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakir dan miskin. Banyak sekali pendapat bahwa zakat yang dikeluarkan kepada orang golongan ini dapat bersifat produktif yaitu untuk menambah atau sebagai modal usaha mereka.
Oleh karena itu untuk memberikan zakat yang bersifat konsumtif harus melalui syarat yang mana mampu melakukan pembinaan dan pendampingan pada mustahiq agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat keimanan dan keislamannya.
Pembahasan
A. Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif
1. Zakat Sebagai Sumber Dana Tetap yang Potensial
Zakat bisa menjadi sumber dana tetap yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, terutama golongan fakir miskin, sehingga mereka bisa hidup layak secara mandiri tanpa menggantungkan nasibnya atas belas kasihan orang lain. Hal ini sejalan dengan hikmah diwajibkannya zakat sebagai umat islam yang mampu, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a. Untuk membersihkan/menyucikan jiwa si muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dari sifat-sifat tercela seperti kikir, sangat mementingkan diri sendiri (individualisme) dan sebagainya.
b. Untuk membersihkan harta bendanya dari kemungkinan bercampur dengan harta benda yang tidak 100% halal. Misalnya ‘syubhat’ atau diperoleh kurang wajar. Misalnya seorang dosen menerima honorarium mengajar untuk 12 bulan, sebenarnya hanya mengajar 6 bulan. Perhatikan firman Allah SWT. dalam Surat Al-Taubah ayat 103:
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan….” (QS. At-Taubah: 103).
c. Untuk mencegah berputarnya harta kekayaan berada di tangan orang kaya saja, demi mewujudkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
d. Untuk memenuhi kepentingan umum, seperti jembatan dan untuk kepentingan agama seperti masjid/musholla dan sebagainya.
e. Untuk meningkatkan kualitas hidup/kesejahteraan manusia.
2. Penggunaan Zakat Konsumtif dan Produktif
Menurut Dawam Raharjo dkk. dalam bukunya “Islam dan Kemiskinan” mengatakan: “Dalam gagasan strategi yang baru, yang disebut Basic Strategy timbul gagasan untuk melakukan sesuatu yang disebut “pengalihan konsumtif” (transfer of consumption), “pengalihan pendapatan” (transfer of income), “pengalihan kekayaan” (transfer of wealth), “pengalihan investasi” (transfer of invest) ataupun “pembagian kembali kekuasaan” (redistribution of powers). Maksudnya adalah bahwa hendaknya program-program pembangunan itu ditujukan dan dapat diambil manfaatnya secara langsung oleh golongan yang paling miskin dan paling lemah.
Imam Nawawi berkata dalam Kitab Al-Majmu’: “Masalah kedua adalah dalam menentukan bagian zakat untuk orang fakir dan miskin. Sahabat-sahabat kami orang-orang Irak dan Khurasan telah berkata: Apa yang diberikan kepada orang fakir dan miskin, hendaklah dapat mengeluarkan mereka dari lembah kemiskinan kepada taraf hidup yang layak. Ini berarti ia mesti menerima sejumlah barang atau uang tunai yang dapat memenuhi semua kebutuhannya”.
Untuk melepaskan mereka dari kemiskinan dan ketergantungan mereka dengan bantuan orang lain. Untuk itu perlunya penggunaan zakat produktif tradisional dan zakat produktif kreatif. Sebenarnya berdasarkan pengamatan dan bacaan kepustakaan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan zakat ada empat kategori. Selain zakat produktif tradisional dan kreatif, ada juga zakat konsumtif tradisional dan kreatif. Akan tetapi zakat konsumtif tradisional sifatnya dalam kategori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau zakat harta yang diberikan kepada korban bencana alam. Kategori kedua adalah zakat konsumtif kreatif. Maksudnya adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti misalnya diwujudkan dalam bentuk alat sekolah, beasiswa dan lain-lain. Adapun zakat produktif tradisional dan kreatif, guna untuk melepaskan fakir miskin kepada taraf hidup yang layak dan dapat memenuhi semua kebutuhannya, yaitu kategori ketiga, zakat produktif tradisional adalah zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif. Misalnya kambing, sapi, mesin jahit, alat-alat pertukaran dan sebagainya. Pemberian zakat dalam bentuk ini akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja bagi fakir miskin.
Selanjutnya yaitu kategori terakhir, zakat produktif kreatif. Ke dalam bentuk ini dimaksudkan semua pendayagunaan zakat yang diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan, biak untuk membangun suatu proyek sosial maupun untuk membantu atau menambah modal seseorang pedagang atau pengusaha kecil. Penggunaan kategori ketiga dan keempat ini perlu dikembangkan karena pendayagunaan zakat yang demikian mendekati hakikat zakat, baik yang terkandung dalam fungsinya, sebagai ibadah dalam kedudukannya sebagai dana masyarakat.
Akan tetapi diisyaratkan bahwa yang memberikan zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq zakat dalam kegiatan usahanya. Juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanann dan keislamannya.
Bahtsul Masail Diniyah Maudhuiyyah atau pembahasan masalah keagamaan penting dalam muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama, memberikan arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para mustahiq zakat. Namun ada persyaratan penting bahwa calon mustahiq itu sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta zakat yang seandainya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau didayagunakan dan mereka memberi izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
3. Langkah-langkah Pendistribusian Zakat
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut:
a. Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b. Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil, homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c. Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pad pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggung jawab.
d. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa untuk melepaskan dari kemiskinan dan ketergantungan, orang yang tidak mampu (miskin) dengan bantuan orang lain, yaitu perlunya penggunaan zakat secara produktif untuk meningkatkan kehidupan mereka, dan agar mereka mampu mandiri dan mencukupi kebutuhan pokok hidupnya dalam jangka panjang juga terlepas dari kemiskinan.
Dan dalam melaksanakan zakat yang bersifat produktif perlu adanya kapasitas lebih dari pengelola zakat untuk mengimplementasikan konsep pemberdayaan ini, baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun infaq yang dimilikinya.
Assalamu'alaikum.
BalasHapusSedikit koreksi mengenai perkataan dari Imam Nawawi.
Sebenarnya yang dikatakan beliau adalah Fakir dan miskin, bukan Kafir dan miskin.
Mohon diperbaiki agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Wasalamu'alaikum