PANDANGAN ISLAM TENTANG KERJA

9 Mei 2014

PANDANGAN ISLAM TENTANG KERJA

Setiap manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya melalui bekerja manusia akan berusaha memperoleh harta kekayaan. Karena tanpa berusaha manusia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Apakah ajaran Islam menganjurkan dan memberi motivasi untuk bekerja yang hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi? Pertanyaan ini timbul karena terdapat ayat yang seolah-olah mencegah orang untuk menjadi kaya (Al-Humazah atau Al-Takatsur). Perbedaan dalam rezeki ada keterangannya dalam surat An-Nahl: 71 yang mengatakan bahwa Allah melebihkan sebagian kamu terhadap sebagian yang lain tentang rezeki. Ini sebenarnya merupakan konsekuensi belaka dari kebebasan bekerja atau keterbukaan kesempatan atau akses terhadap rezeki Allah, tergantung dari beberapa faktor antara lain usaha setiap orang itu sendiri.[1]
Sebenarnya kekayaan dengan segala bentuknya, baik material maupun spiritual merupakan keutamaan dan mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan kemiskinan meskipun demikian, kekayaan bukanlah segala-galanya bukan tujuan akhir dari kehidupan muslim. Kekayaan hanyalah alat untuk memakmurkan bumi. Oleh karena itu, al-Qur’an mencela orang-orang yang hanya menumpuk harta kekayaan tetapi tidak peduli dengan nasib orang lain (Al-Qur’an 104 : 1-9).
Dalam syari’at Islam, kekayaan Islam dipandang amat penting untuk dapat menjalankan ketentuan-ketentuannya, dan paling tidak ada dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yaitu untuk melaksanakan kewajiban zakat dan haji.[2]

A.    Pengertian Kerja

Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat menghidupi diri dan keluarga.
Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial itu dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap aktivitas kerja yang ditekuni. Sedangkan dukungan individu dapat berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti kebutuhan untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh pengakuan dari orang lain, memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bekerja merupakan kegiatan pokok dari suatu aktivitas kemanusiaan yang dapat dibagi menjadi sejumlah dimensi, yaitu dimensi Fisiologis. Dimensi psikologis, dimensi ikatan sosial dan ikatan kelompok, dimensi ekonomi, dimensi kekuasaan, serta dimensi kekuasaan ekonomi.
1.      Dimensi Fisiologis
Dimensi Fisiologi adalah dimensi yang memandang bahwa manusia bukanlah mesin. Manusia dalam bekerja tidak dapat disamakan dengan mesin.
2.      Dimensi Psikologis,
Dimensi Psikologis merupakan suatu dimensi dimana kerja disamping merupakan beban, juga merupakan suatu kebutuhan. Dengan demikian bekerja juga merupakan upaya pengembangan kepribadian.
3.      Dimensi Ikatan Sosial dan Kelompok,
Pekerjaan dapat menjadi pengikat sosial dan kelompok karena pekerjaan akan dapat menjadi cara seseorang untuk memasuki suatu ikatan kelompok tertentu. Dengan pekerjaannya seseorang dapat menyatakan tentang bagaimana status yang dimilikinya.
4.      Dimensi Ekonomi,
Dimensi ekonomi mengandung pengertian bahwa pekerjaan merupakan sumber mata pencaharian bagi seseorang. Pekerjaan dapat menjadi sumber kegiatan ekonomi untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Dengan adanya sumber penghasilan inilah seseorang dapat hidup secara mandiri dan menghidupi keluarganya.
5.      Dimensi Kekuasaan,
Dimensi kekuasaan dalam bekerja selalu ada, terutama jika seseorang bekerja dalam suatu organisasi kerja. Bagaimanapun setiap pekerjaan dalam ruang lingkup suatu organisasi kerja selalu ada wewenang pribadi. Dalam organisasi kerja, pekerjaan harus di susun sedemikian rupa, sehingga ada jadwal, jelas pendelegasian wewenangnya. Semua ini menyangkut masalah kekuasaan.
6.      Dimensi Kekuasaan Ekonomi
Dimensi kekuasaan ekonomi menerapkan bahwa setiap orang dalam pekerjaan akan memberikan sumbangan berdasarkan pada apa yang sudah mereka lakukan.
Secara hakiki bekerja seorang muslim merupakan ibadah bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya”. (Al-Kahfi : 7)
Karena kebudayaan kerja Islami bertumpu pada akhlaqul karimah umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Semangat dirinya adalah minallah, fisabilillah, Illah (dari Allah, dijalan Allah, dan untuk Allah).[3]

B.     Falsafah Kerja

Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.
Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah Saw: “Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi “Sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga. Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus berusaha payah, maka tidak halal anda menerima upah dan imbalan.[4]
Θ   Kewajiban mencari rizki yang halal:
طَلَبُ اْلحَلاَ لِ فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ
“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Θ  Ancaman terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal
أَشَدُّ االنَّاسِ حَسْرَةٍ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ رَجُلُ كَسَبَ مَالاً مِنْ غَيْرُ حِلَّةٍ فَذَ خَلَ بِهِ النَّارَ
“Orang yang paling rugi di hari kiamat kelak adalah orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menyebabkan ia masuk neraka”.[5] (HR. Bukhari)

C.    Ciri Etos Kerja Muslim

Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah-lakunya yang dilandasi pada keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (Khairu ummah)
Ciri etos kerja muslim:
1.      Mereka kecanduan waktu
2.      Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
3.      Mereka kecanduan kejujuran
4.      Mereka memiliki komitmen (Aqidah, Akad, I’tikad)
5.      Istiqamah, kuat pendirian
6.      Mereka kecanduan pendirian
7.      Konsekuen dan berani menghadapi tantangan (challenge)
8.      Memiliki sikap percaya diri
9.      Kreatif
10.  Bertanggung jawab
11.  Bahagia karena melayani
12.  Memiliki harga diri
13.  Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership)
14.  Berorientasi ke masa depan
15.  Hidup berhemat dan efisien
16.  Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)
17.  Memiliki insting bertanding (fastabiqul khairat)
18.  Mereka kecanduan bekerja dan harus mencari ilmu
19.  Memiliki semangat perantauan
20.  Memperhatikan kesehatan dan gizi
21.  Tangguh dan pantang menyerah
22.  Memperkaya jaringan silaturahmi
23.  Memiliki semangat perubahan (spirit of change).[6]
Kerja keras bukan hanya dilakukan pada saat memulai saja, tetapi juga terus dilakukan walaupun kita sudah berhasil. Lakukan perbaikan terus menerus, terhadap pekerjaan yang telah lalu, jangan terlena karena keberhasilan.[7]

D.    Tujuan Bekerja Menurut Islam

Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah. Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita dapat makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik.
“Bahwa Allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka bekerja keras dalam usaha mencari mata pencaharian”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
“Dari ‘Aisyah (istri Rasulullah), Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang bekerja keras ia akan diampuni Allah”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
1.      Memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga
Bekerja menurut Islam adalah memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga termasuk istri, anak-anak dan orang tua. Islam menghargai semua itu sebagai sedekah, ibadah, dan amal saleh.
2.      Memenuhi ibadah dan kepentingan sosial
Bila bekerja dianggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta benda yang dihasilkannya. Alat-alat pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia, melalui proses kerja adalah hak orang-orang yang memperolehnya dengan kerja tersebut, dan harta benda itu dianggap sebagai sesuatu yang suci. Jaminan atas hak milik perorangan, dengan fungsi sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan infaq, merupakan dorongan yang kuat untuk bekerja. Dasarnya adalah penghargaan Islam terhadap upaya manusia.[8]

E.     Pekerjaan yang Diperbolehkan Islam

Pada dasarnya Islam menjunjung tinggi nilai kerja agar manusia dapat hidup sejahtera. Namun kesejahteraan tidak mungkin tercapai tanpa adanya keadilan dan kebebasan individu itu dibatasi oleh kebebasan individu yang lainnya. Setiap perbuatan yang mengganggu kebebasan orang lain sama halnya berbuat ketidakadilan. Islam menghendaki kebebasan yang harmonis yang mampu memacu kesejahteraan bersama. Maka disitulah perlunya aturan yang jelas dan tegas, termasuk dalam bekerja.
Banyak sekali lapangan pekerjaan yang tersedia untuk manusia. Semakin maju peradaban manusia semakin bertambahlah jenis profesi atau pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang diperbolehkan Islam antara lain:
1.      Menjadi buruh, karyawan, pegawai   
2.      Pertanian, peternakan, dan perikanan  
3.      Perdagangan                                       
4.      Pendidikan dan keguruan                   
5.      Industri dan pakaian jadi 
6.      Pertambangan darat dan laut 
7.      Jasa transportasi 
8.      Pengobatan 
9.      Konstruksi dan pertukangan
Masih banyak jenis pekerjaan atau profesi lain yang diperbolehkan Islam. Jenis profesi baru akan terus bertambah sesuai perkembangan peradaban manusia yang tiada hentinya. Namun sebagai dasar pemikiran, semua profesi yang halal adalah yang tidak dilarang Islam. Esensi larangan adalah karena pekerjaan itu dapat merugikan orang lain, mengandung ketidakadilan, kezaliman atau dengan sengaja membantu orang melakukan perbuatan yang haram.

F.     Pekerjaan yang Dilarang Islam

Setiap usaha harus dilakukan menurut peraturan-peraturan yang berlaku agar tidak ada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dirugikan. Dalam usaha tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam suatu negara. Setiap usaha yang merugikan seseorang atau orang banyak atau melanggar Undang-Undang umum yang berlaku di dalam suatu negara, dilarang oleh Islam dan hukumnya haram. Demikian pada usaha-usaha maksiat atau yang membatu terjadinya maksiat, penipuan, dan pemaksaan. Beberapa jenis pekerjaan yang dilarang Islam antara lain:
1.      Meminta-minta                   
2.      Perjudian                            
3.      Pelacuran                            
4.      Mencuri dan merampok     
5.      Mencari pekerjaan dengan suap             
6.      Bekerja pada perusahaan terlarang
7.      Riba
8.      Mengurangi timbangan dengan curang
9.      Produksi dan jual beli barang haram
10.  Memonopoli dan penimbunan[9]

KESIMPULAN
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Manusia diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu karena Allah tidak menurunkan harta benda, iptek dan kekuasaan dari langit melainkan manusia harus mengusahakannya sendiri. Manusia harus menyadari betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim. Kemandirian atau ketidak ketergantungan kepada belas kasihan orang lain ini mengandung resiko, bahwa umat Islam wajib bekerja keras. Dan syarat itu adalah memahami konsep dasar bahwa bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos kerja yang tinggi.
Tujuan bekerja menurut Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, dan memenuhi ibadah dan kepentingan sosial. Islam menjunjung tinggi nilai kerja, tetapi Islam juga memberi balasan dalam memilih jenis pekerjaan yang halal dan haram.

[1] M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, PT. Nara Wacana, Yogyakarta, 1990, hlm. 50
[2] Ali-Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, CV.  Aneka, Solo, 1997
[3] KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 2-26
[4] Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 36-38
[5] Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992, hlm. 18-20
[6] KH. Toto Tasmara, Ibid, hlm. 73-139
[7] Dr. H. Buchari Aima, Ajaran Islam Dalam Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, 1994, hlm. 12
[8] Al-Sumanto Alkindhi, Ibid, hlm. 43-47
[9] Ibid, hlm. 80-110
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.