SEJARAH LAHIRNYA MU'TAZILAH

2 Februari 2016

SEJARAH LAHIRNYA MU'TAZILAH

Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 666 M, di Madinah dalam pertentangan yang terjadi dengan tentara yang datang dari Mesir, selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah teologi dalam Islam. Dalam bidang politik, peristiwa itu memecah umat Islam menjadi 2 golongan: Sunni dan Syi’ah. Perkembangan sejarah Islam, bukan dalam politik saja tetapi juga dalam bidang agama dan pemikiran, banyak dipengaruhi dan ditentukan arahnya oleh pertentangan antara kedua golongan besar ini. Dalam bidang teologi, peristiwa Utsman bin Affan itu menimbulkan masalah iman dan kufur. Peperangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke 4 dan Muawiyah bin Abi Sufiyan, Gubernur Damsyik yang menganggap Ali bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman, dicoba diselesaikan dengan jalan damai yaitu jalan tahkim (arbitrase) yang biasa dipakai pada zaman jahiliyah. Jalan damai ini oleh segolongan tentara Ali tidak disetujui karena kelihatannya mereka telah dekat memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ini berarti mereka akan mendapat harta rampasan yang akan dibagi-bagikan kepada semua yang turut berperang dipihaknya. Tidak puas dengan keadaan ini, mereka tinggalkan barisan Ali dan membentuk kekuatan sendiri yang kemudian dikenal dengan nama kaum Khawarij. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja, yaitu keluar, yang dalam kasus ini berarti keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, khalifah ke 4.[1]
Masalah politik ini segera mereka tingkatkan dan kaitkan dengan iman dan kufur, masalah Islam atau tidak Islamnya seseorang. Dalam teologi, ayat 44 dari Surat al-Ma’idah mengatakan: siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah ditentukan Allah, adalah kafir.  Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah menyelesaikan persengketaan mereka tidak dengan pergi kepada teologi, tetapi dengan mengikuti kembali tradisi hakam zaman jahiliah. Dengan demikian Ali dan Muawiyah dalam pandangan Khawarij, telah menjadi kafir dan bukan mu’min, jadi bukan orang Islam lagi. Demikian juga Amr bin Al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, masing-masing pengantara dari pihak Muawiyah dan Ali.[2]
Tidak menentukan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah dalam Al-Qur’an menurut Khawarij, adalah dosa besar. Dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa pembuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad dan orang murtad harus dibunuh. Yang dipandang dosa besar antara lain adalah berbuat zina dan membunuh manusia tanpa sebab yang sah. Maka dalam pandangan Khawarij, orang yang berzina dan membunuh sudah keluar dari Islam, dan harus dibunuh. Dalam perkembangan selanjutnya yang mereka akui orang Islam hanyalah orang yang menganut ajaran-ajaran Khawarij. Orang-orang Islam lainnya adalah kafir dan murtad serta harus diperangi. Maka selain memerangi Ali dan Muawiyah sebagai lawan-lawan politik mereka, kaum Khawarij juga menentang umat Islam yang tidak sepaham dengan teologi mereka.
Bagi golongan Murji’ah, perbuatan tidak mempunyai pengaruh apa-apa atas iman. Sehubungan dengan itu masalah dosa besar dan pembuat dosa besar pada abad pertama hijriah banyak dan hangat diperbincangkan. Kepada alim ulama banyak diajukan pertanyaan mengenai masalah itu. Demikian Hasan Al-Bashri (642-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada suatu hari mendapat pertanyaan dari salah seorang yang turut mendengar kuliahnya. Sebelum sempat menjawab, seorang peserta lain yang bernama Washil bin Atha’ (699-748 M) menegaskan: membuat dosa besar tidak mu’min dan tidak kafir.
Kemudian ia meninggalkan majlis gurunya dan membentuk majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya. Kata mu’min, dalam paham Washil, mengandung pujian, sedangkan pembuat dosa besar bukanlah orang yang terpuji tetapi sebaliknya pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih mengakui kedua syahadat. Karena pembuat dosa besar tidak mu’min dan tidak kafir, ia mempunyai posisi di antara keduanya dan boleh diberi predikat muslim.
Adapun dosa besar yang dilakukannya itu tidak bisa diputuskan oleh umat Islam lain di bumi ini, tetapi diserahkan kepada pembuat dosa besar itu sendiri. Kalau ia bertaubat, dalam arti taubat yang sebenarnya, dosa besar itu akan diampuni Tuhan dan ia masuk surga. Tetapi kalau ia tidak mau bertaubat, dan mati sebelum sempat taubat dengan sebenar-benarnya taubat, dosa besarnya tidak terhapus dan ia masuk neraka untuk selama-lamanya. Hanya hukuman yang diterimanya lebih ringan dari hukuman yang diberikan Tuhan kepada orang kafir. Ajaran ini kemudian dikenal dengan nama “al-manzilah bayn al-manzilatain”, posisi di antara dua posisi mu’min dan kafir, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Peristiwa inilah yang menimbulkan lahirnya Mu'tazilah yang pada mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan Murji’ah. Nama Mu'tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata I’tazala, yang berarti mengasingkan diri, menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Basri, setelah melihat Washil memisahkan diri. Hasan Al-Basri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut: I’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mu'tazilah. Mengasingkan diri bisa berarti mengasingkan diri dari majlis kuliah Hasan Al-Basri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan pendapat Khawarij. Menurut teori lain nama Mu'tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Basri, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan Mu'tazilah menurut penulis sejarah al-Thabari dan Abu al-Fuda[3] Memang sudah dipakai pada zaman itu. Golongan yang tidak mau turut campur dengan pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Di antara orang-orang demikian terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husein, Abdullah dan al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafi.
Ada anggapan bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir, dan karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Sebenarnya kata I’tazala berasal dari kata akar a’zala yang berarti “memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir. Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak bisa berasal dari kata zalla.
Orang-orang Mu'tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl al-Tauhid wa ahl al-Adl, tidak menolak nama Mu'tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu'tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu'tazilah yang buku-bukunya banyak ditemui kembali pada abad kedua puluh Masehi ini, di dalam teologi terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar. Dengan demikian kata Mu'tazilah mengandung arti pujian.[4] Menurut keterangan seorang Mu'tazilah lain, Ibn Al-Murtadha, nama Mu'tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu'tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.[5]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa situasi ummat Islam pada masa itu telah terpecah-pecah menjadi beberapa aliran golongan. Golongan Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah, saling berbantah satu dengan yang lain. Masing-masing mempertahankan pendiriannya sendiri, yang tak dapat dibayangkan untuk dapat dipertemukan satu dengan yang lain. Masalah dosa besar merupakan pangkal persengketaan, misalnya Khawarij berpendapat bahwa Utsman, Ali, Muawiyah dan orang-orang yang menerima tahkim adalah berdosa besar. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa semua yang terlibat dalam persengketaan kaum muslimin tetap mu’min dan tidak keluar dari Islam. Iman adalah pekerjaan hati semata-mata, amal perbuatan sama sekali tidak mempengaruhi iman seseorang. Golongan Syi’ah juga berpendapat bahwa khalifah-khalifah sebelum Ali adalah perampas hak, sebab Ali yang telah diberi wasiat nabi untuk menerima jabatan khalifah. Mereka berpendapat bahwa para perampas itu juga kafir dan kekal dalam neraka.
Pada abad kedua Hijriah, Kota Bagdad (Irak) menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.  Filsafat Yunani telah masuk ke dunia Islam dan pikiran-pikiran filsafatnya banyak mempengaruhi kaum muslimin.[6] Demikian pula agama Yahudi, Kristen, Zoroaster dan kepercayaan-kepercayaan setempat telah banyak dibawa masuk oleh orang-orang yang baru saja memeluk agama Islam, di mana sisa kepercayaan mereka tidak bisa dibuang sama sekali. Terasa sekali kegiatan dari pada agama lain dan orang-orang yang sengaja memasuki Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam, demikian pula ajaran-ajaran filsafat menyerang Islam dengan caranya sendiri. Demikianlah pada masa itu Islam menghadapi berbagai serangan baik dari luar maupun dari dalam. Dalam situasi menghadapi perpecahan dan perbedaan pendapat serta serangan-serangan baik dari luar maupun dari dalam, lahirlah Mu’tazillah.[7]
Untuk mengatasi dan menghindari berlarut-larutnya perpecahan dan perbedaan pendapat, Mu’tazillah mengemukakan konsepsi jalan tengah dalam usaha mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda. Pendapatnya tidak terlalu keras sebagaimana pendapat Khawarij dan juga tidak terlalu lemah sebagaimana pendapat Murji’ah, tetapi bainal manzilataini, di antara dua pendapat yang berbeda.
Terhadap serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam, Mu'tazilah muncul dengan pikiran-pikiran baru guna menyelamatkan Islam.
Usaha itu melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam”. Ilmu ini berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam.
Dengan demikian, lahirnya Mu’tazilah adalah karena masalah agama dan bukannya bermotif politis, meskipun dalam perkembangan selanjutnya menggunakan unsur politik untuk mengembangkan dan memaksakan ajaran dan pahamnya. Maka lahirlah satu golongan baru Mu'tazilah sehingga menambah jumlah golongan yang telah ada.

[1] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. 6, Mizan (Anggota IKAPI) Bandung, 2000, hlm.126.
[2] Ibid.
[3] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Dar Alkitab Alhadits, Kairo, 1964. hlm. 290.
[4] Al-Qur’an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Qur’an-Falsafi fi al-Islam, Kairo, 1966, hlm. 430-1.
[5] Ahmad Mahmud Subhi, Fi’Ilm Al-Kalam, Kairo, 1969, hlm. 75 – 6.
[6] Nurcholis Majid, Khasanah Intelektual Islam, hlm. 21.
[7] Ibid, hlm. 22
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.