10 November 2008

NEGARA HUKUM


PENDAHULUAN

Sejak zaman dahulu orang mengerti, bahwa ada hubungan antara kemiskinan rakyat dengan susunan negara dan hukum yang mereka bentuk. Adanya dasar-dasar ekonomi dalam negara telah diakui selama berabad-abad. Hal itu akan ditunjukkan orang ketika mempersoalkan negara, terutama dengan mengemukakan adanya kekuasaan politik yang dapat timbul dari golongan-golongan ekonomi di dalam negara yang bersangkutan.

Sesudah abad pertengahan, ketika kerajaan-kerajaan dengan sistem kekuasaan mutlak timbul, masalah-masalah ekonomi tetap merupakan pokok yang penting bagi negara itu. Ini berbeda dengan masa sebelumnya, dalam mana berjuang untuk hidup merupakan masalah kekeluargaan yang terbatas. Dengan diakuinya pemerintah sebagai pusat negara timbullah suatu cara pemeliharaan kesejahteraan yang perlu bagi mereka.[1] Selanjutnya di dalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang sangat mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan dan kesentosaan manusia.[2]

PERMASALAHAN

1. Bagaimana hukum di negara kita?

2. Bagaimana hubungan antara penguasa dengan rakyat?

3. Apakah al-Qur’an dapat memecahkan persoalan-persoalan kenegaraan?

PENERAPAN METODE HUKUM POSITIF UNTUK MENERANGKAN NEGARA

Selama abad ke-19 susunan filsafat abstrak untuk menerangkan negara sama sekali tenggelam. Naturalisme dan organisme tampil sebagai penggantinya. Bersama itu arti hukum positif makin bertambah dalam negara. Dalam hal ini bukti yang jelas adalah kemenangan kaum revolusioner pada tahun 1789. Kitab Undang-undang yang berpedoman pada hasil karya Napoleon di banyak negara semakin kiat kedudukannya, sebagaimana diharapkan orang. Di dalamnya antara lain ditetapkan bahwa seorang hakim boleh memutuskan yang wajib menyerahkan perkaranya pada putusan pengadilan.

Di atas badan kehakiman itu terletak lah kekuasaan jasmani negara, yakni keadilan. Bila salah satu pihak yang bersengketa tidak mau melaksanakan apa yang diputuskan oleh hakim, maka keadilan harus dipaksakan dengan tindakan tegas.

Logika hukum itu atau pemikiran menurut ajaran hukum ini timbul karena orang, dengan mengesampingkan segala bukti dan pendapat dari luar, berpedoman pada ide, bahwa peraturan undang-undang yang syah membentuk suatu dunia yang tersendiri. Sistem yang bekerja di dalam dunia hukum itu harus dita’ati oleh setiap warga negara dan warga masyarakat dalam perilakunya. Oleh sebab itu, setiap orang juga harus memahami dunia hukum itu.[3]

SIFAT DAN HAKIKAT NEGARA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Seperti telah dikemukakan, negara-negara adalah subyek utama hukum internasional, kita tidak dapat membuat suatu definisi yang tepat bagi istilah “negara”, namun dengan memperhatikan kondisi-kondisi modern yang berlaku hingga sekarang ini, kita dapat menentukan beberapa ciri pokok yang dimiliki sebuah negara.

Di dalam pasal I Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban negara (yang ditanda tangani AS dan beberapa negara Amerika Latin). Kita dapat melihat ciri-ciri pokok ini :

“Negara sebagai suatu pribadi hukum internasional seharusnya memiliki kualifikasi-kualifikasi berikut : (a) penduduk yang permanen; (b) wilayah tertentu; (c) suatu pemerintahan; dan (d) kemampuan untuk berhubungan dengan negara-negara lain.”

Sebagaimana telah dikemukakan, konsepsi Kelsen mengenai negara menekankan bahwa negara suatu pemikiran teknis yang menyatakan fakta bahwa sekumpulan aturan-aturan hukum tertentu mengikat sekelompok individu tertentu yang berdiam di wilayah teritorial tertentu. Dengan perkataan lain, negara dan hukum merupakan dua istilah yang sinonim. Berdasarkan analisis yang lebih cermat, segera akan terlihat bahwa teori ini merupakan konolensasi dari keempat karakteristik sebuah negara, seperti yang dikemukakan diatas khususnya keberadaan suatu sistem hukum sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan sebagai salah satu komponen status kenegaraan.[4]

AL-QUR’AN DAN KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan adalah seni, seni mengajak orang lain berbuat menurut cita-cita yang kita inginkan.

Kepemimpinan dalam Islam. Bagaimanapun levelnya dan apapun bidangnya, adalah suatu amanat. Pemimpin sebagai pemikul amanat diwajibkan melaksanakan hak-hak dari pihak yang memberikan amanat yang hakiki, ialah Allah SWT.

Oleh sebab itu, Islam menolak suatu kepemimpinan yang tidak terikat pada moral dinul-Islam, misalnya kepemimpinan yang menghalalkan segala cara dengan menodai kebenaran dan keadilan. Islam melarang menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang tidak pantas menerimanya lantaran integritas moralnya rendah terhadap penegakan hukum dan keadilan.

Allah berfirman :

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ {النساء : 58}

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.[5]

HUBUNGAN PENGUASA DAN RAKYAT WILAYAH YANG BERDAULAT DAN JAMAAH DIBAWAH SEORANG PEMIMPIN

Suatu jamaah akan sehat dan yang menyebabkan kelemahan akan sirna dan mereka berhimpun dengan seorang imam, maka mereka adalah jamaah dan tidak ada jamaah lainnya dan mereka akan mengalami masa kejayaan (afiyah). Mereka disebut sebagai jamaah yang sehat. Sebaliknya, jamaah yang sakit adalah jamaah yang kelompok-kelompok di dalamnya mengklaim dirinya sebagai jamaah yang benar sehingga hubungan pertalian antar kelompok pun tercerai berai. Karena sesama anggotanya beretika, mereka terbagi-bagi dalam beberapa kelompok. Ahli hadits menamakan masa itu sebagai masa kemerosotan dan kebrobokan sesuai dengan kondisinya, jamaah seperti itu memiliki definisi sendiri.

Pada masa kejayaan, kelompok yang berada di luar jamaah yang resmi dianggap sebagai pengkhianatan. Kelak mereka akan menghadap Tuhan tanpa adanya pembelaan jamaah yang sempurna, yang berada di bawah seorang pemimpin.

Imam Ahmad ditanya mengenai hadits Nabi SAW yang mengatakan :

مَنْ مَـاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَـامْ مَـاتَ مِتَةٌ جَـاهِلِيَّةً

Barang siapa mati dan tidak menganut seorang imam (pemimpin), maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah.[6]


KESIMPULAN

Kita semua pasti tahu bahwa di Indonesia itu merupakan negara hukum. Disamping itu pula terdapat aliran yang demokratis yang menghendaki suatu negara yang sempurna sesuai akal sehat, aliran demokratis in mewujudkan kedaulatan rakyat. Sikap undang-undang pun optimis terhadap masa depan yang cerah, masa depan penuh dengan perdamaian dan masa depan yang bebas. Sistem demokratis ini nampaknya lebih dekat dengan politik Qur’ani, walaupun ia tidak identik dengan demokrasi barat.

Penguasa mempunyai hak untuk memerintah terhadap rakyatnya, tetapi sebaiknya penguasa mempunyai sifat terbuka sama yang lainnya dan rakyatnya pun juga sebaliknya. Maka sistem pemerintahan seperti itu masih digunakan pada masa sekarang yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Nah… dengan teori modern seperti ini, maka pemimpin harus dipilih oleh rakyat dan kesepakatan bersama. Agar hukum tetap berjalan. Dengan sistem dan lembaga hukum yang sangat efektif dan kuat, siapa pun yang bersalah harus diadili di pengadilan / diberikan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku.


DAFTAR PUSTAKA

JHR. Dr. J.J. Von Schmid, Negara dan Hukum dalam Abad ke-19, PT. Pembangunan – Penerbit Erlangga, Jakarta, 1985.

Nurcholish Madjid, Islam dan Masalah Kenegaraan, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1985.

J.G. Strarke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1991.

A.M. Fatwa, Agama dan Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1997.

Dr. Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, Jakarta, 1995.



[1] JHR. Dr. J.J. Von Schmid, Negara dan Hukum dalam Abad ke-19, PT. Pembangunan – Penerbit Erlangga, Jakarta, 1985, hlm. 15

[2] Nurcholish Madjid, Islam dan Masalah Kenegaraan, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 128

[3] Ibid., hlm. 161-162

[4] J.G. Strarke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 93-84.

[5] A.M. Fatwa, Agama dan Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1997, hlm. 38-39

[6] Dr. Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, Jakarta, 1995, hlm. 69-70.

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.