Agama dan perilaku keagamaan di anggap sebagai gejala yang merupakan faktor yang tak tetap dan tergantung (dependent variabel). Tujuan pendekatan institusional memperlihatkan bagaimana pelbagai struktur dari institusi dapat menjelaskan perilaku keagamaan.[1]
Masyarakat alami adalah masyarakat yang di bentuk atau didirikan di atas dasar yang alami, mengikuti hukum dan ketentuan alam yang diturunkan ke dalam ini dengan tidak sewenang-wenang, tidak kontradiktif dan tidak berlawanan.
Pernyataan tersebut tidaklah di pahami bahwa masyarakat alami adalah masyarakat yang membebaskan dirinya dari suatu ikatan yang dapat mengungkungnya. Ia tidak terikat oleh suatu belenggu yang mengekangnya, dan ia tidak berusaha memperbaiki ketidakserasian alam dan mengembalikannya dari penyimpangan.
Pemahaman seperti ini mesti di jauhkan, karena hukum-hukum alam itu sendiri akan melepaskan diri pada tatanan yang bersifat fitrah (alami) tanpa ada satupun pengekangan, melainkan hanya mengarahkan tatanan tersebut kepada tujuan akhirnya. Alam ini sebenarnya memperkenalkan untuk memperbaikinya dan mengubur tatanan yang mengekangnya. Seandainya alam itu tidak mau menentang dan menolaknya dan mengharuskannya untuk melakukan sesuatu yag tidak sesuai, maka tidaklah berani ia menyimpang dari jalannya.[2]
Cara-cara yang terinci dimana agama dan politik diasosiasikan dalam berbagai masyarakat telah sejak lama menjadi subyek untuk dikomentari oleh para ilmuwan sosial. Banyak ilmuwan sosial yang memandang bahwa agama terutama berfungsi sebagai alat mengabsahkan dan melindungi kepentingan-kepentingan politik dan kelas sosial yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu. Menurut pandangan ini, agama adalah kekuasaan konservatif secara intern, yang secara aktif meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial yang telah mapan dan menetralisir setiap usaha yang signifikan untuk mengubah orde itu. Namun juga dikemukakan bahwa agama sering berfungsi sebagai panggilan berhimpun guna melakukan perubahan-perubahan besar dari lembaga-lembaga yang telah ditetapkan. Pandangan yang kedua ini percaya bahwa agama tidak harus bersifat konstruktif dan sesungguhnya, sering merupakan kekuatan yang radikal.[3]
Berpijak dari masalah tersebut penulis akan menguraikan bagaimana pandangan Ibnu Khaldun mengenai sosiologi dan cara berfikirnya.
II. PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun seorang tokoh dan pemikir muslim, nama lengkapnya Abd al-Rohman (Abu Zaid) bin Muhammad bin Abi Bakar bin Hasan. Ia dilahirkan di Trus pada tanggal 17 Mei 1332 M, dari keluarga Aristokrat yang berasal dari Hadramaut, dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M.
Dua buah karyanya yang terbesar yaitu kitab al-Ibrar dan Muqadimah Ibn Khaldun yang selesai di tulis pada tahun 1377 M. Muhsin Mahdi mengemukakan bahwa Ibn Khaldun tidak menulis karya bidang sejarah seperti lazimnya di zaman itu, tetapi menyusun suatu karya bercorak baru yang belum di kenal sebelumnya. Dengan cara ini Ibn Khaldun melakukan perubahan dalam penulisan sejarah dengan melakukan analisis mendalam tentang peristiwa sejarah.[4]
Ibnu Khaldun terkenal pula dengan suatu teori yang disebut “Ashabiyah” yakni adanya persamaan kepentingan sebagai akibat dari adanya saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan tertentu menyebabkan orang bergabung dan bersatu dalam kelompoknya dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Ibn Khaldun mengatakan bahwa Ashabiyah muncul karena empat sebab, yakni :
1. Ikatan darah atau keturunan dan kerabat
2. Ikatan perjanjian atau persekuruan
3. Ikatan yang timbul karena hubungan perlindungan dengan yang dilindungi karena bergabungnya seseorang atau sekelompok dengan kelompok lain dan menyatakan loyal terhadap kelompok yang melindunginya.
4. Ikatan agama.[5]
B. Mukaddimah Ibn Khaldun
Ibnu Khaldun menghimpun untuk kita aliran sosiologinya dalam karyanya muqaddimah. Keunggulan muqaddimah ditemukan dalam :
Pertama, falsafah sejarah, penemuan ini telah memberi kita pengertian tentang pemahaman yang baru tentang sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah ilmu yang memiliki filsafat.
Kedua, metodologi sejarah, Ibn Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan watak benda-benda empirik, oleh karena epistimologinya adalah observasi. Prinsip ini merangsang para sejarawan untuk mengorientasikan pemikirannya kepada eksperimen-eksperimen dan tidak menganggap cukup eksperimen yang sifatnya individual tetapi mereka hendaknya mengambil sejumlah eksperimen.
Ketiga, dialah penggagas ilmu pengetahuan atau falsafah sosial. Menurut pendapatnya ilmu ini adalah kaidah-kaidah untuk memisahkan yang benar dari yang salah dalam penyajian yang mungkin dan yang mustahil.
Ibn Khaldun membagi topik ke dalam 5 fasal besar, yaitu :
Pertama, tentang masyarakat manusia secara keseluruhan dan jenis-jenisnya dan perimbangannya dengan bumi, “Ilmu sosiologi umum”.
Kedua, tentang masyarakat pengembara dengan menyebut kasilah-kasilah dan etnis yang biadab; “sosiologi pedesaan”.
Ketiga, tentang negara khilafat dan pergantian sultan-sultan; “sosiologi politik”.
Keempat, tentang pertukaran, kehidupan, penghasilan, dan aspek-aspeknya; “sosiologi industri”.
Kelima, tentang ilmu pengetahuan, cara memperolehnya dan mengajarkannya; “sosiologi pendidikan”.
Muqaddimah bukanlah kajian sederhana bagi ilmu kemasyarakatan, tetapi suatu percobaan yang berhasil dalam memperbarui ilmu sosial. Oleh karena itu Ibn Khaldun mengajak menjadikan ilmu sosial ilmu yang berdiri sendiri, karena itu Prof. Sati al-Hasri berpendapat bahwa : “Ibn Khaldun berhak dengan gerak pendiri ilmu sosial lebih daripada Comte, oleh karena Ibn Khaldun telah berbuat yang demikian jauh sebelum Comte lebih dari 460 tahun”.
C. Teori Ras dari Ibn Khaldun
Ibn Khaldun adalah seorang yang menonjolkan etnis satu atas etnis yang lain. Dari ras-ras yang ditonjolkan adalah ras Arab, yang berikut ini adalah sebagian dari teorinya.
Pertama, sesungguhnya Ras Arab dengan ciri pengembara yang ada pada mereka adalah ras perampok dan pemalas. Mereka merampok menurut kemampuan mereka, tanpa penaklukan dan menghindari bahaya.
Kedua sesungguhnya, semua itu menjadi naluri dan watak mereka. Mereka merasa enak di luar (tidak terlihat) oleh ketentuan-ketentuan hukum dan tidak terikat oleh politik. Watak ini berbeda jauh dengan watak etnis menetap.
Ketiga, etnis Arab sungguh lebih baik pengembangan dari etnis manapun, sikap ini telah mempengaruhi sebagian pemikir. Pengaruh itu nampak dari pendirian yang berbeda.[6]
III. KESIMPULAN.
Ibn Khaldun adalah seorang jenius karena di dalam muqaddimah dia melihat dalil-dalil berdasarkan pada pandangan yang luar kajian yang mendalam dan fikiran yang luar biasa. Tidak ragu-ragu lagi bahwa muqaddimah adalah karya terbesar sepanjang zaman dan tempat serta tidak tertandingi oleh karya akal manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Ensiklopedi Islam, CV. Anda Utama, Jakarta, 1993.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Syaikh Muhammad al-Madani, Masyarakat Ideal dalam Perspektif Surah an-Nisa’, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002.
Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 163
[2] Syaikh Muhammad al-Madani, Masyarakat Ideal dalam Perspektif Surah an-Nisa’, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002, hlm. 62
[3] Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 528
[4] Depag RI, Ensiklopedi Islam, CV. Anda Utama, Jakarta, 1993, hlm. 387
[5] Ibid, hlm. 388
[6] op. cit, hlm. 58-61
0 comment:
Posting Komentar