TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK POLIGAMI BAWAH TANGAN

25 April 2014

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK POLIGAMI BAWAH TANGAN

Islam menganjurkan dan mendorong adanya suatu perkawinan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur sedemikian rupa. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara dua orang (laki-laki dan perempuan) untuk hidup bersama menurut ketentuan syari’at Islam. 
Pada dasarnya Islam menganut sistem monogami, yaitu seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri hanya boleh memiliki seorang suami, prinsip ini sesuai dengan UU No.1 Th 1974 pasal 3 ayat 1 yang menyatakan :
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.[1] 
Pengecualian dari prinsip monogami ditetapkan pada ayat berikutnya, yaitu poligami boleh dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa dan setelah mendapat izin dari istri.
Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat dipenuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya agar poligami dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak menjadi kesewenang-wenangan terhadap istri. Maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur mengenai proses poligami.
Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang diwajibkan mengajukan permohonan izin poligami kepada pengadilan agama di daerah tempat tinggalnya sesuai dengan pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan:
“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.[2] 
Karena prosedur poligami yang dianggap sangat menyulitkan dan kurangnya kesadaran akan pentingnya arti sebuah perkawinan maka terjadilah banyak penyimpangan-penyimpangan dalam masyarakat.
Adanya penyimpangan-penyimpangan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang diantaranya untuk menjaga hubungan laki-laki dan perempuan agar terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agama, dan bahwa agama tidak mengharuskan atau menyebutkan pencatatan pernikahan. Dengan demikian banyak masyarakat yang melakukan poligami bawah tangan. Poligami bawah tangan tidak hanya terdapat pada suatu daerah tertentu saja, hampir di semua daerah ada yang melakukannya. 
Pengertian Poligami Bawah Tangan 
Definisi tekstual poligami bawah tangan secara pasti belum pernah penulis temukan. Bahkan UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat kebijaksanaan tentang tidak diperbolehkannya poligami tidak dicatatkan, inipun tidak memberikan definisi secara eksplisit. Namun dalam hal ini, menurut hemat penulis, pengertian bisa diketahui dari definisi poligami dan nikah bawah tangan.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, Polus artinya banyak, gamos artinya perkawinan. Jadi sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang isteri dalam suatu saat.[3]
Dalam fiqh munakahat, yang dimaksud poligami adalah seorang laki-laki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang.[4]
Nikah bawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan secara agama tetapi tidak dihadapan PPN (tidak dicatatkan).[5]
Jadi, poligami bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri atau banyak istri dalam waktu yang sama yang dilakukan secara agama tetapi tidak dilakukan dihadapan PPN (tidak dicatatkan). 
Dasar Hukum Poligami Bawah Tangan 
Dasar hukum diperbolehkannya poligami sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa’ : 3)[6] 
Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat di atas tidak membuat suatu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelumnya, namun hanya membicarakan tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilakukan saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.[7]
Para pakar fiqih sepakat, bahwa hukum melakukan poligami adalah boleh (mubah), Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntunan kehidupan. Allah SWT telah mensyari’atkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat.[8]
Abbas Mahmud al-Aqqab berpendapat bahwa Islam tidak menciptakan poligami, tidak mewajibkan dan tidak pula mensunatkannya, akan tetapi Islam mengijinkan poligami itu dalam beberapa kondisi dengan bersyarat keadilan dan kemampuan.[9] 
Praktek Poligami Bawah Tangan Ditinjau dari Hukum Islam 
Praktek poligami bawah tangan sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu dan masih eksis sampai sekarang, sebagai salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Praktek poligami bawah tangan tidak hanya terjadi di suatu daerah tertentu, tetapi terjadi di semua daerah.
Dalam melakukan poligami, prakteknya biasanya dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh lingkungan sekitar. Setelah beberapa lama, barulah masyarakat sekitar mengetahuinya. Poligami yang dilakukan tetap mengacu kepada ketentuan agama, yaitu terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan, hanya saja tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama, proses pelaksanaannya dilakukan dihadapan tokoh agama atau kiai setempat.
Indonesia sebagai negara hukum di mana aturan tentang pernikahan telah diatur di dalam UU No. 1 tahun 1974, maka suatu pernikahan di samping memenuhi syarat secara agama juga harus dilaksanakan sesuai dengan undang-undang tersebut agar pernikahannya mempunyai kekuatan hukum.
Salah satu aturan pemerintah tersebut adalah tentang pernikahan, di mana suatu pernikahan harus dicatatkan pada petugas pencatat pernikahan, begitu juga dengan seorang yang akan melakukan poligami, maka ia harus meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.[10] 
Dalam mengajukan permohonan poligami, suami harus mempunyai alasan-alasan sejalan dengan pasal 4 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 yang menyatakan :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”.[11] 
Di samping itu, pengajuan permohonan berpoligami kepada pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi : 
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
  1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 
  2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 
  3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka”.[12] 
Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus mampu menyediakan biaya untuk menafkahi wanita yang akan dinikahinya, begitu pula laki-laki yang sudah mampu mempunyai istri satu tapi belum mampu memberikan nafkah yang layak, maka ia tiada boleh berpoligami.[13] Dengan demikian poligami itu boleh dilakukan jika seorang itu mampu dan berlaku adil.
Menurut asalnya, keadilan itu adalah persamaan antara dua orang yang bersamaan, misalnya bahwa setiap istri sama dengan istri yang lain, dalam nilainya sebagai istri, karena yang menjadi ukuran ialah hubungan sebagai suami istri.[14]
Adil menurut keterangan ustadz Muhammad Abduh ialah bahwa seorang suami menjadikan suasana pergaulan dengan istri-istrinya itu, bahwa dua orang istri dijadikan seperti dua karung yang sama beratnya sedang diletakkan di atas daun timbangan, maka kalau ia tidak sanggup untuk mencintai istri-istrinya itu dengan cara yang sama, maka janganlah sampai terjadi ia memberatkan timbangan yang satu, sehingga yang lain seperti tergantung pada daun timbangan yang satu lagi.[15]
Dengan demikian, keadilan di sini ialah adil dalam arti mampu melayani segala kebutuhan para istri-istrinya dan anak-anaknya secara imbang, baik kebutuhan jasmaninya maupun kebutuhan rohaninya.
Kebolehan seorang untuk berpoligami itu terbatas sampai empat orang istri, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 ayat 1 yang berbunyi :
“Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri”.[16] 
Menurut jumhur ulama, kebolehan berpoligami terbatas pada empat wanita, alasannya adalah karena huruf wawu (وَ) pada surat an-Nisa’ ayat 3 dalam kata wa tsulatsa dan wa ruba’a bermakna huruf au (أَوْ) yang artinya “atau”. Jadi huruf wawu di sini tidak diartikan menurut arti asalnya, yaitu “dan”.[17] Mereka berpegangan pada hadits sebagai berikut: 
أن غيلان بن سلمه الثقفى اسلم وله عشر نسوة فىالجاهلية، فأسلمن معه. فأمره النبى ص.م. أن يتحيراربعامهن. [18]
“Bahwa Ghailan bin Salmah masuk Islam dan ia mempunyai 10 istri, mereka itupun masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi saw menyuruh Ghailan memilih empat orang istri diantara mereka itu”. (HR. Turmudzi).
Menurut Nakha’i, Ibn Abi Lailam Qasim bin Ibrahim dan Madzhab Zahiri, kebolehan berpoligami terbatas pada sembilan wanita. Alasan mereka adalah bahwa pengertian huruf wawu (و) dalam surat an-Nisa’ ayat 3 tetap menurut arti aslinya, yaitu “dan” yang gunanya untuk menambah jumlah bilangan. Sedang lafadz matsna, tsulatsa, dan ruba’a tidak dapat diartikan menurut aslinya yaitu dua-dua, dan tiga-tiga dan empat-empat. Jadi harus diartikan dengan dua dan tiga dan empat. Oleh karena itu, wawu di sini untuk menambah, maka dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan. Dan ini sesuai dengan perbuatan Rasulullah saw yang ketika wafat meninggalkan istri sembilan orang.[19]
Menurut Khawarij dan sebagian Syiah memandang bahwa kebolehan berpoligami terbatas sampai 18 wanita, alasannya bahwa pengertian matsna adalah dua-dua, karena itu menunjukkan berulang-ulang yang sekurang dua kali, jadi dua-dua (dua kali) sama dengan empat, dengan juga arti tsulatsa dan ruba’a, oleh karena huruf wawu untuk menambah bilangan, maka empat tambah enam tambah delapan sama dengan delapan belas.[20] 

ANALISIS
Hukum praktek poligami bawah tangan menurut ketentuan fiqh (agama), merupakan sebuah perkawinan yang sah, karena telah terpenuhi syarat pernikahan dan rukun pernikahan, yaitu : 
a.       Adanya calon mempelai (laki-laki dan perempuan) 
b.      Adanya wali nikah 
c.       Adanya dua orang saksi, dan 
d.      Adanya ijab dan qabul.
Jika dilihat dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka praktek poligami bawah tangan belum dikatakan syah, karena tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam Undang-undang. Prosedur itu antara lain: 
  • Harus mengajukan permohonan kepada pengadilan, hal itu sesuai dengan pasal 4 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 yaitu : 
“Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.[21] 
  • Harus mempunyai alasan-alasan untuk berpoligami
Dalam mengajukan permohonan poligami, suami harus mempunyai alasan-alasan sejalan dengan Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan. 
“Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 
  1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 
  2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 
  3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”.[22] 
  • Harus mempunyai syarat-syarat berpoligami
Syarat-syarat poligami yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (1) yaitu : 
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka”.[23] 
Di dalam Kompilasi Hukum Islam suatu perkawinan itu harus dicatatkan pada petugas pencatat nikah, hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) KHI, yaitu :
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatatkan”.[24] 
Dengan demikian apabila poligami tidak dicatatkan sesuai dengan prosedur yang ada, maka belum dikatakan syah. Dalam hal ini, prosedur yang ditetapkan itu lebih banyak segi positifnya dari pada negatifnya. Misalnya apabila mempunyai anak maka anaknya mempunyai status hukum yang syah baik menurut agama maupun hukum Indonesia dan apabila terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia, maka istri dan anak-anak dari hasil poligami akan tetap mendapat warisan sesuai dengan bagiannya. Maka hal ini sejalan dengan prinsip : 
التصرف الإمام علىالرّعية مفوط بالمصلحة.
“Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan masyarakat”.[25] 
Apabila pernikahan poligami tidak sesuai dengan prosedur, maka tidak akan mempunyai bukti otentik yang bila suatu saat terjadi kecurangan atau penyimpangan, misalnya salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak yang lain tidak dapat melakukan upaya hukum, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 56 ayat (3) yaitu :
“Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum”.[26] 
Di samping adanya ketentuan pencatatan perkawinan di dalam kompilasi juga disebutkan ketentuan-ketentuan lain, misalnya disebutkan tentang batas istri yang boleh dipoligami yaitu Pasal 55 ayat (1) yaitu :
“Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri”.[27]
KESIMPULAN
Praktek poligami bawah tangan secara agama merupakan pernikahan yang sah, karena sudah terpenuhi syarat dan rukun pernikahan, tetapi jika dilihat dari hukum formal atau hukum yang berlaku di Indonesia, pernikahan yang dilakukan belum syah, karena tidak terpenuhinya ketentuan prosedur poligami yang sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
Pada dasarnya poligami bawah tangan lebih banyak madlaratnya dari pada maslahatnya. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, maka tujuan itu akan sulit terwujud bila perkawinannya itu tidak sesuai dengan hukum yang ada. Seperti kaidah Hukum Islam : 
الضرر يزال
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”.[28]

[1] Lihat, Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 tahun 1994 tentang Perkawinan.
[2] Lihat, Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, 1994, hlm. 2736.
[4] Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003, cet. 1, hlm. 129.
[5] Muhammad Saifullah, Hukum Islam: Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005, cet. 1, hlm. 45.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Surabaya: Trikarya, 2004, hlm. 99.
[7] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 200.
[8] Musfir al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 39.
[9] Abdul Ghani Abud, Terj. Al-Usrah al-Mursalah wa al-Usrah al-Mu’ashirah, Bandung: Pustaka, 1987, cet.1, hlm. 102.
[10] Lihat Pasal 4 ayat 1, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[11] Lihat Pasal 4 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[12] Lihat Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[13] Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, cet.1, hlm. 56.
[14] Abdul Nasir Taufiq al-Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, cet. 1, hlm. 152.
[15] Ibid.
[16] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 93.
[17] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 140.
[18] Imam Turmudzi, Sunnah Turmudzi, juz 3, Beirut Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, t.t., hlm. 435.
[19] Ibrahim Hosen, op.cit., hlm. 142.
[20] Ibid., hlm. 143.
[21] Lihat Pasal 4 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[22] Lihat Pasal 4 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[23] Lihat Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[24] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., op.cit., hlm. 79.
[25] Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 124.
[26] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., op.cit., hlm. 93.
[27] Ibid.
[28] Imam Musbikin, op,cit., hlm. 30.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.