Diskursus tentang wahyu dalam Islam, bukanlah sesuatu hal yang baru. Karena pembahasan tema ini telah banyak ditulis oleh para pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam pembahasan tentang wahyu sendiri secara khusus banyak ditulis di dalam kitab-kitab yang secara langsung berkaitan dengan al-Qur’an.
Dalam Islam, kebenaran di samping dapat dicapai dengan kekuatan akal, juga tidak mengesampingkan wahyu, yang merupakan pengkhabaran dari Tuhan kepada manusia.
Pengertian Wahyu
Menurut bahasa (etimologi) kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyi yang memiliki beberapa arti, di antaranya suara, tulisan, isyarat, bisikan, paham, dan juga api. Ada juga yang mengartikan sebagai sesuatu yang tersembunyi dan cepat. Wahyu dengan pengertian ini berarti memberitahukan sesuatu dengan cara yang tersembunyi dan cepat. Dengan demikian, pengertian ini mengandung maksud penyampaian sabda Tuhan kepada manusia pilihan-Nya tanpa diketahui orang lain, agar dapat diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Setelah Allah Swt menceritakan tentang kisah ashabul kahfi, dan menunjukkan bahwa al-Qur’an memuat kisah tersebut dengan menyatakan hal itu sebagai wahyu yang diperoleh dari Tuhan dengan menyatakan hal itu sebagai wahyu yang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Tahu tentang yang gaib-gaib, maka Allah memerintahkan kepada Nabi Saw supaya tekun mempelajari al-Qur’an dan membawanya, dan agar jangan peduli dengan ucapan yang berkata kepadanya : “Datangkanlah al-Qur’an selain al-Qur’an ini, atau gantilah ia”.
Kemudian Allah menyebutkan pula kemudian dan akibat buruk yang akan ditemui orang-orang kafir pada hari kiamat, serta kenikmatan abadi yang akan diperoleh oleh orang-orang yang taqwa sebagai imbalan dari amal-amal selain shalat yang mereka dulu melakukannya.
Dalam firman-Nya disebutkan :
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Qur’an). tidak ada (seorangpun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. (QS. Al-Kahfi : 27)
Maka, kalau kamu tidak melaksanakan al-Qur’an dan tidak mengikutinya, maka kamupun akan mendapatkan ancaman Allah yang dengan itu Allah mengancam orang-orang yang melanggar batas-batas al-Qur’an, maka kamu takkan mendapatkan perlindungan selain Allah maupun tempat kembali, karena kekuasaan Allah meliputi kamu dan selingkuh makhluknya, tidak seorangpun yang mampu lari dari suatu perkara yang dikehendaki Allah.
La Mubaddila : Tidak ada yang merubah
Li kalimaatihi : Bagi hukum-hukum-Nya. Jadi, tidak seorangpun yang mampu menghapuskan hukum-hukum yang tercantum dalam Kitab Allah.
Multahadan : Tempat berlindung yang kamu kembali kepadanya ketika mendapatkan musibah.
Thahir ibn ‘Asyur memahami ayat ini dalam arti jangan pedulikan kaum musyrikin yang tidak senang bila engkau membaca sebagian dari ayat al-Qur’an (yakni yang bertentangan dengan kepercayaan mereka), tetapi bacalah semua yang diwahyukan kepadamu, karena tidak ada yang dapat mengubahnya.
Kata (ملتحدا) multahada terambil dari kata (لحد) lahada yakni mencong ke samping, atau condong kepada sesuatu. Kuburan dinamai lahd / lahad karena ia adalah tempat yang mencong ke samping, dalam arti tanah digali ke bawah lalu dibuang liang ke samping dan disanalah mayat diletakkan sebagaimana cara penguburan di Mesir, Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya. Huruf (ت) ta’ pada kata multahada mengandung makna kesungguhan. Kata multahada pada ayat ini berarti tempat yang mencong ke samping yang digunakan untuk menghindari dari apa yang tidak disenangi / bahaya.
Allah Ta’ala menyuruh Rasulullah Saw membaca Kitab-Nya yang mulia dan menyampaikannya kepada manusia, “Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya”. Tidak ada yang dapat mengubah, menyimpangkan, dan menghilangkan kalimat-kalimat-Nya. Firman Allah Ta’ala, “Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain Dia”. Ibnu Jarir berkata, Allah Ta’ala berfirman, “jika kamu hai Muhammad, tidak membacakan kitab yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu, maka sesungguhnya tidak ada pelindung bagimu selain Allah”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika kamu tidak mengerjakan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah melindungimu dari gangguan manusia”.
وَرَجُلٌ مِنْ هُذَيْلٍ وَرَجُلاَنِ نَسِيْتُ اسْمَيْهِمَا فَوَقَعَ فِي نَفْسِ رَسُوْلِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ يَقَعَ فَحَدَّثَ نَفْسَهُ، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ "وَلاَ تَطْرُدِ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ"
“Kami berenam tengah bersama Rasulullah. Tiba-tiba kaum musyrik berkata kepada Nabi Saw. ‘usirlah mereka itu. Mereka tidak boleh lancang terhadap kami’. Sa’ad berkata, “Saat itu aku bersama Ibnu Mas’ud, Bilal, seseorang dari Hudzail, dan dua orang yang namanya aku lupa. Maka Rasulullah sangat tersinggung dan menyimpannya dalam hati beliau. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat, ‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari yang mengharapkan keridaan-Nya”.
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muslim, tanpa Bukhari.
Al-Hafizh Abu Bakar al-Bazar meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Said, keduanya berkata, Rasulullah Saw datang, sedang seseorang tengah membaca surah al-Hajj atau surah al-Kahfi. Maka orang itupun berhenti. Kemudian Rasulullah bersabda :
هَذَا الْمَجْلِسُ أُمِرْتُ أَنْ أَصْبِرَ نَفْسِيْ مَعَهُمْ
“Terhadap orang-orang pada majelis semacam inilah aku diperintahkan untuk bersabar menemaninya”
Kitab
Pendapat apapun yang dipegang sehubungan dengan hipotesis periode al-Qur’an yang berdiri sendiri, merupakan suatu kenyataan bahwa kata Qur’an jarang digunakan dalam bagian-bagian wahyu paling belakangan. Sebaliknya, terdapat rujukan-rujukan kepada al-Kitab, dan hal demikian berarti bahwa al-kitab masih dalam proses pewahyuan. Barangkali perbedaan antara “al-Kitab” dan “al-Qur’an” atau “bacaan” juga mengimplikasikan bahwa wahyu-wahyu sejak saat itu mulai ditulis sesaat setelah Nabi Muhammad diterima dan fungsinya Nabi pada masa itu tidak lagi mencerminkan seorang pemberi peringatan azab kepada manusia, tetapi lebih merupakan seorang yang memproduksi kitab.
Surat al-Kahfi ayat 27 ini intinya yaitu : bahwa tidaklah ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya, yang sebarispun tiadakan lupa dan setitik tiadakan hilang, maksudnya Yang Maha Tinggi tidak dicampuri dengan manusia, melainkan jadi tuntunan bagi manusia. Apa dan betapapun kesulitan yang dihadapi, namun Rasul wajib membacakannya kepada umatnya, dan semua makhluk-nya bisa berlindung dari kesulitan yang mana jua pun tidaklah bisa, tetapi akan kembali kepada Allah juga.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, Penerbit Lubuk Raya, Semarang, 2001.
Drs. Anwar Rasyidi, dkk., Musthafa al-Maraghy – Tafsir al-Maraghy, Toha Putra, Semarang, 1988.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah – Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Mizan, Jakarta, 2002.
Drs. Syihabuddin, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, Gema Insani Pers, Jakarta, 1999.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, cet.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
0 comment:
Posting Komentar