MAHABBAH DALAM PENGENDALIAN DIRI

27 Juli 2009

MAHABBAH DALAM PENGENDALIAN DIRI

I. Pendahuluan

Tasawuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat.

Sufisme adalah bagian dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam, yaitu iman, Islam dan ihsan. Oleh karena itu, perilaku sufi tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. Al-Qusyairi menyatakan: “seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada”.


II. Permasalahan

Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, yaitu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi. Sifat kedua ialah al-hasud, yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna dan beralih kepada dirinya. Sifat riya’, yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri, dan sebagainya dari berbagai sifat hati.


III. Pembahasan

Allah menerangkan diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Batin (QS. Al-Hadid/57 : 3). Dunia dan isinya adalah pancaran dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin.

Demikian pula dengan kehidupan manusia, kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun berpuas diri semata-mata dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia yang sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.

Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin adalah sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan perjuangan (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan senantiasa merasa dihadapan Allah Swt. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari pendisiplinan tingkah laku yang ketat.

Al-Ghazali mengumpamakan jiwa manusia bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang diperbuat manusia (QS. Al-Muthaffifin/83 : 14). Apabila seseorang senantiasa menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan niscaya cermin itu gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.

Memang diakui oleh para tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pembersihan dan penggosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).

Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS. Asy-Syams/91 : 9-10).

Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah).

Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah Swt.

Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan akhlak karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (menjaga diri dari hal-al yang tidak jelas kekhalalannya) sabar (tabah), faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri setelah berusaha) dan sebagainya.

Setelah seorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb.

Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri manusia juga dapat dihilangkan dengan menggunakan cara teori mahabbah.

Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:

1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya

2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi

3. Menggosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.

Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) bagian dari maqamat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.

Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji Tuhan.

2. Cinta orang yang siddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3. Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.

Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an, umpamanya:

...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...

“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.

Juga ada hadits yang membawa paham demikian, misalnya:

وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا

“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.

Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:

1. Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah

2. Berfikir tentang ciptaan Allah, dengan cara memikirkan segala ciptaan-Nya maka pasti kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah.

Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan. Ia mengatakan “aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut terhadap neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tapi aku mengabdi karena takut kepada-Nya”. Ia bermunajat “Tuhanku jika aku puja Engkau karena takut kepada neraka bakarlah karena engkau”.

Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua tawaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Tuhan tang dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengan dia haruslah meminta izin dari Tuhan.

Penulis sufi menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian meskipun tahap cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli yang menyelaminya. Termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridho mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintainya. Al-hujwiri membagi empat golongan manusia yang ridho kepada Allah.

1. Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat

2. Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini

3. Mereka yang ridho terhadap penderitaan

4. Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.

Syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu.

Adapun cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:

1. Cinta Ilahiyah: yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada makhluk dimana ia menciptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada khaliqnya yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk rindu untuk kembali pada Dia, setelah dia merindukan sebagai makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan ilahi manusia.

2. Cinta spiritual: terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya dia cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu adalah dia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang kekasih.

3. Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.

Cinta dan pengampunan Allah kepada manusia adalah rahmat. Sedangkan cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang dimanifestasikan di dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berusaha memuaskan kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat memandang Allah serta tidak dapat dialihkan kepada siapapun kecuali Allah. Akan selalu merasa akrab dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.

Para mukmin yang mencintai Allah terdapat dua macam:

1) Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada mereka dan dibimbing oleh anggapan tersebut untuk mencintai sang dermawan

2) Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana mereka berpendapat bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan sebuah hijab dan menganggap Allah sebagai dermawan akan membimbing pada perenungan kebaikan-kebaikan Allah.

IV. Analisis

Uraian di atas menjelaskan bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti hasud, hirsh, takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, yaitu dengan cara pembinaan melalui tiga tahapan, yaitu takhalli, tahalli, tajalli. Selain ketiga tahapan tersebut, dapat juga dengan cara menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta kepada Allah, maka apapun perbuatan yang kita lakukan semata-mata karena Allah. Jadi, untuk berbuat atau melakukan hal-hal yang tercela kita akan berfikir bahwa perbuatan tercela itu dibenci oleh Allah, maka karena rasa cinta kita kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela itu. Dan atas dasar rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih merasa dekat dengan Allah dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan Allah semakin bertambah. Kita akan merasa apa yang diberikan Allah kepada kita adalah karunia dan cobaan yang diberikan kepada kita itu atas dasar Allah masih sayang kepada kita dan masih memperhatikan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

___________, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1999.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.