Oleh:
Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*
I. MASYARAKAT MADANI
Untuk membahas hal tersebut, diperlukan untuk kembali memahami historisitas dari istilah itu (madani). Madinah sebagai sebutan nama
Namun demikian, keunikan Islam bukanlah terletak pada eratnya hubungan dengan politik. Tetapi, terletak pada pandangan-pandangannya tentang politik yang menurut norma kemanusiaan sangat maju (modern), sebagaimana dinyatakan oleh Robert B. Bellah, sosiolog agama yang terkemuka menyebutnya “sangat modern” khususnya yang berlaku pada Khulafa’ al-Rasyidin. Letak kemodernan-nya itu : Pertama, kedudukan kepemimpinan kenegaraan yang terbuka berdasarkan kemampuan. Kedua, kepemimpinan ditetapkan melalui proses pemilihan terbuka, pemilihan dilakukan dengan cara apapun dalam konteks historisnya sesuai dengan keadaan. Ketiga, semua warga masyarakat dan negara yang disebut umat mempunyai hak dan kewajiban yang sama berdasarkan egalitarianisme di hadapan Allah dan hukum-Nya. Keempat, hak-hak tertentu yang luas dan adil juga diakui ada pada golongan agama-agama lain[1] (konsep tentang Ahl al-Kitab) yang terdapat dalam Piagam Madinah dimasukkan menjadi bagian dari umat, yang kemudian diikuti oleh para Khalifah, seperti Khalifah ‘Umar yang tercermin dalam “Piagam Aelia”[2] yang di dalamnya termuat jaminan Islam untuk kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan kaum Kristen beserta lembaga-lembaga keagamaannya. Mengijinkan kaum Yahudi ikut menghuni kembali Yerusalem. Namun, karena kaum Kristen keberatan jika mereka dicampur dengan kaum Yahudi, maka ‘Umar menempuh jalan membagi Yerusalem menjadi sektor-sektor Islam, Yahudi dan Kristen. Karena politik ‘Umar yang “liberal” itu, maka kaum Kristen Yerusalem sangat senang di bawah kekuasaan Islam. Karena, selama ini, di bawah Bizantium, sebagian mereka terjadi penindasan keagamaan, sebab sekte mereka tidak diakui oleh Gereja Ortodoks di Constantinople. Demikian pula, kaum Yahudi, mereka sangat senang, karena setelah ratusan tahun mulai diperoleh kembali ke tanah leluhurnya. ‘Umar menempuh politik begitu “liberal” karena mencontoh Sunnah Nabi saw yang telah membuat “Piagam Madinah” yang amat terkenal itu.[3]
Muhammad Arkoun, pemikir Islam kontemporer menyebutnya dengan “Eksperimen Madinah”, yang memberikan contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada satu tangan, sebagaimana pada sistem diktatorial, melainkan pada orang banyak melalui musyawarah) dan kekuasaan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu adalah dokumen yang termasyhur, yakni Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai “Konstitusi Madinah”. Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para sejarawan Islam, seperti Ibn Ishaq (w. 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (w. 218 H). Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi dari Universitas Internasional Paris “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu adalah untuk pertama kali dalam sejarah, merupakan dokumen yang memuat prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam sejarah”. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa ide pokok eksperimen Madinah adalah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi. Tetapi, secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.[4] Dengan demikian, karakteristik agama Islam adalah keberhasilannya yang luar biasa sebagai gerakan pembebasan manusia dan penciptaan pola peradaban yang adil, terbuka dan demokratis, merupakan ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan yang dasarnya menurut terminologi kontemporer, egalitarianisme, demokratis, partisipasi, dan keadilan sosial. Maka Islamlah, dibandingkan dengan monotheisme Barat yang besar sekalipun, satu-satunya yang paling dekat dengan modernitas. Demikian ungkap Ernest Gellner.[5]
II. REKONSILIASI DAN INTROSPEKSI
Masyarakat
Menyadari hal tersebut, diperlukan adanya upaya bersama dari berbagai pihak untuk mengadakan rembugan, rekonsiliasi, islah, silaturahmi nasional atau apapun namanya, yang paling fundamental adalah untuk mencari kesamaan visi demi mengatasi persoalan-persoalan tersebut dan menjaga keutuhan bangsa. Dalam forum itu dapat dimanfaatkan untuk mengadakan introspeksi atas kesalahan-kesalahan masa lalu untuk tidak terulang kembali demi menuju
1. Humanisme Islam
Humanisme Islam yang dimaksud adalah manusia harus kembali ke fitrahnya atau natur-nya yang suci. Untuk itu, harus melihat dasar kemanusiaan Islam, yaitu :
a. Manusia terikat dengan perjanjian primordial dengan Tuhannya, bahwa sejak di alam arwah manusia sudah berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasinya.[6]
b. Maka manusia lahir dalam keadaan suci (fitri) dan ia akan tetap suci jika tidak terpengaruh oleh lingkungannya.[7]
c. Kesucian yang fitri itu senantiasa mendorong dan berpihak untuk berbuat baik dan benar (sifat hanafiyah). Jadi setiap manusia memiliki potensi untuk benar.[8]
d. Manusia sebagai makhluk yang lemah sehingga ia berpikir pendek, sehingga ia mempunyai potensi untuk salah. Karena, tergoda oleh hal-hal yang menarik yang berjangka pendek[9] atau sementara.
e. Untuk itu, manusia harus dibekali akal-pikiran, agama, dan berkewajiban mencari dan memilih jalan hidup yang lurus, benar dan baik.[10]
f. Sehingga manusia merupakan makhluk yang etis dan bermoral, maka setiap perilakunya dipertanggungjawabkan terhadap sesama manusia (di dunia) dan terhadap Tuhan (di akhirat).[11]
g. Pertanggungan jawab di dunia bersifat nisbi, sehingga ada kemungkinan menghindarinya. Tetapi, pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, tidak mungkin menghindarinya,[12] dan bersifat pribadi dan tidak ada solidaritas pembelaan baik dari teman, karib, kerabat, anak, ibu dan bapak.[13]
h. Semua itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi di dunia mempunyai hak dasar untuk memilih dan menentukan perilaku moral dan etisnya, sehingga ia mempertanggungjawabkan moral dan etisnya, dan manusia akan sama derajatnya dengan makhluk lainnya, sehingga ia tidak akan mengalami kebahagiaan sejati.[14]
i. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai sebaik-baiknya makhluk yang pada asalnya berharkat dan martabat yang setinggi-tingginya.[15]
j. Karena Tuhan memuliakan anak Adam, melindungi dan menanggungnya baik di darat dan di laut.[16]
k. Sehingga, setiap pribadi manusia berharga, seharga manusia seluruhnya. Maka bagi orang yang merugikan orang lain, seperti membunuhnya, sama dengan membunuh manusia seluruhnya. Demikian sebaliknya.[17]
l. Oleh karena itu, setiap pribadi manusia berkewajiban berbuat baik terhadap sesamanya, menghormati terhadap hak-hak orang lain dalam jalinan kemasyarakatan yang damai dan transparan.[18]
2. Musyawarah
Dalam rekonsiliasi dan introspeksi itu diperlukan adanya musyawarah bersama. Adalah hak setiap orang untuk memilih dan menyatakan pendapat serta pikiran, serta kewajiban setiap orang untuk mendengar pendapat dan pikiran orang lain itu dalam bermusyawarah yang secara etimologis mengandung arti “saling memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik”. Dalam hal ini berarti terdapat suasana take and give, adanya interaksi positif antara berbagai pihak yang berkaitan demi terwujudnya persamaan visi untuk kepentingan bersama dan semua. Ini berarti pula tidak boleh terjadi hanya take yang terus menerus, sebagaimana tidak boleh terjadi hanya give yang terus menerus, yang demikian ini jelas akan menumbuhkan kepincangan dan ketidakharmonisan di antara pihak-pihak yang berkaitan tersebut. Sebaliknya dalam musyawarah itu diharapkan tumbuh sikap lapang dada dan kerendahan hati pada setiap pesertanya. Prinsip ini dapat dilihat dari perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.[19]
Dari firman tersebut, memberikan pengertian dasar dalam bermusyawarah adalah memerlukan sikap dasar keterbukaan, penuh pengertian dan toleransi kepada pihak lain itu memerlukan adanya rahmat dari Allah untuk terlaksana dengan baik.
3. Pluralitas dan Kedaulatan
Sikap penuh pengertian dan toleransi terhadap orang atau pihak lain dalam masyarakat yang pluralistik, terlebih lagi kita sadari bahwa pluralitas masyarakat itu merupakan takdir Tuhan untuk umat manusia.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.[20]
Dari firman tersebut, dapat dipahami beberapa penegasan, yakni:
a. Pluralitas masyarakat manusia telah merupakan kehendak dan keputusan Allah.
b. Pluralitas itu menjadikan manusia senantiasa berselisih pendapat dengan sesamanya.
c. Kecuali, orang yang mendapat rahmat Allah tidak akan mudah berselisih, sebab ia akan bersikap penuh pengertian, lemah-lembut, dan rendah hati terhadap sesamanya.
d. Kesepakatan anggota masyarakat pluralistik karena adanya rahmat Allah juga ditegaskan sebagai realitas diciptakannya manusia, sehingga merupakan sunnah Allah. Dari sudut pandang ini dapat dipahami peristilahan politik “musyawarah-mufakat” yakni musyawarah untuk mencapai kesepakatan (muwafaqah).
Sebenarnya secara tekstual makna muwafaqah adalah “persetujuan” dan ini tidak selalu berarti konsensus. Sebab, suatu persetujuan dapat terjadi melalui suara terbanyak, meskipun dengan mengedepankan keharusan satu keputusan sebagai hasil musyawarah. Seperti telah dicontohkan oleh Nabi saw dalam beberapa peristiwa yang tidak jarang dalam musyawarah itu Nabi mengikuti suara terbanyak.[21]
Musyawarah antara sesama warga masyarakat dalam al-Qur’an digambarkan sebagai hakekat kaum beriman. Seperti terdapat dalam
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan “kedaulatan rakyat” adalah hak dan kewajiban manusia melalui masing-masing pribadi anggota masyarakatnya untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam proses-proses menentukan kehidupan bersama, terutama dalam bidang politik atau sistem kekuasaan yang mengatur masyarakatnya. Partisipasi ini merupakan konsekuensi logis dari hak setiap orang untuk memilih dan menentukan jalan hidup dan perbuatannya yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Penciptanya secara pribadi. Dari itulah ia akan mengalami kebahagiaan atau kesengsaraan abadi di akhirat kelak.
Tetapi karena manusia adalah makhluk sosial, maka tekanannya yang terlalu berat terhadap hak pribadi akan berakibat tumbuhnya sikap-sikap dan pandangan hidup yang menyalahi tabiatnya sebagai makhluk sosial itu. Sehingga, egoisme, otoritarianisme, tiranisme, dan hal-hal lain yang berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga dan golongan dengan mengabaikan kepentingan pihak lain adalah sangat tercela. Sebaliknya, sikap transparan, lapang dada, penuh pengertian dan kesediaan memberi maaf secara wajar adalah sangat terpuji. Harmonisasi antara hak pribadi dan kewajiban sosial itu akan menghasilkan paham dan sikap jelas banyak, wajar dan fair, serta adil, adalah merupakan sikap yang berulang kali ditekankan dalam al-Qur’an.[22]
III. KEPEMIMPINAN YANG RELEVAN
Kondisi krisis dewasa ini jika tidak diantisipasi secara baik dan benar, maka merupakan lahan subur bagi timbulnya radikalisme, anarkisme, kekerasan, kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, bentrok sosial, dan lebih mengerikan lagi jika terjadi revolusi sosial, sebab dalam hal ini siapapun tidak ada yang diuntungkan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan corak, pola atau sikap kepemimpinan yang relevan dengan dinamika perubahan itu sendiri. Dari uraian singkat di atas, kiranya cukup memberi gambaran bahwa kepemimpinan (politik) yang diperlukan pada saat-saat perubahan sosial yang besar seperti saat ini, adalah :
1. Memiliki pengertian secukupnya tentang hakekat perubahan zaman ini dalam dimensi global, yang meliputi seluruh dunia. Ini penting, karena banyak sekali hal-hal yang terjadi di Tanah Air merupakan kelanjutan atau terkait dengan apa yang terjadi di dunia secara keseluruhan. Nilai-nilai sosial-politik hampir tidak lepas dari suatu bentuk keterkaitan dengan yang ada di dunia secara keseluruhan. Demokrasi, keadilan sosial, pemerintah yang bersih, memberantas korupsi, misalnya, juga merupakan nilai-nilai yang bisa diterima, dipahami, dihayati dan dicoba laksanakan di mana saja, sehingga dengan sendirinya merupakan bentuk keterkaitan.
2. Memiliki pengertian yang cukup pula tentang budaya bangsa sendiri, sehingga dapat mengetahui secara benar terhadap titik singgung antara budaya nasional dengan budaya “mondial”, yang meliputi seluruh dunia. Hal ini dalam kerangka perubahan sosial yang boleh jadi akan menghasilkan pola saling mendukung dan menguntungkan, atau boleh jadi juga akan mengakibatkan yang sebaliknya, yakni perbenturan yang menimbulkan krisis. Dari mengetahui tentang titik singgung itu diharapkan muncul kemampuan membuat antisipasi terjadinya jenis-jenis krisis tertentu akibat perubahan sosial yang cepat dan besar.
3. Memiliki sikap akomodatif positif terhadap perubahan, sebab perubahan itu sendiri merupakan kemestian. Sikap ini dapat terwujud dengan pengembangan diri dari sang pemimpin dengan sikap; terbuka, menghargai pendapat lain, bebas, berpikir positif, inklusivistik, semangat persatuan dan kesatuan, demokratis, dan partisipatif (tidak terpaksa) dari warganya, serta menghargai individu anggota masyarakat sebagai upaya untuk pertumbuhan yang sehat dari masyarakat itu sendiri.[23]
4. Bebas dari perilaku mementingkan diri sendiri, anak, cucu, kelompok dan kroni-kroninya, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, harus benar-benar berpihak kepada rakyat dan menjaga keutuhan bangsanya.
IV. MOMENTUM PEMILU 2009
Pemilu 2009 merupakan momentum penting untuk mengimplementasikan sebagian dari idealisme masyarakat madani, di mana dengan karakteristik human right, rule of law, dan demokratis. Kekhawatiran akan terjadinya chaos atau kerusuhan dalam pemilu mendatang justru akan menjadi cambuk bagi penyelenggara dan organisasi peserta pemilu untuk melaksanakannya secara tertib, santun, jujur dan adil.
Sosialisasi nilai-nilai luhur dalam konsep masyarakat madani bukan semata-mata tugas pokok pemerintah dan partai politik. Tetapi, parpol merupakan yang bertanggungjawab terbesar dalam proses dan realisasi masyarakat madani. Sebab, merekalah yang secara langsung bergerak dalam peraturan politik.
Fungsi partai akan sangat efektif jika perguruan tinggi dilibatkan untuk merumuskan dan mengevaluasi berbagai program, prosedur dan berbagai aktivitas lainnya yang dilakukan oleh partai. Sehingga keyakinan bahwa konsep tentang masyarakat madani akan efektif jika dimotori perguruan tinggi merupakan hal yang tidak berlebihan. Sebab, perguruan tinggi mengabdi untuk kepentingan kebenaran (ilmiah), dan bukan untuk kepentingan tertentu.
Implementasi karakteristik masyarakat madani dalam pemilu 2009 yang meliputi penghargaan dan sikap-sikap serta perilaku seseorang, penghindaran anarkisme, kekerasan dan money politic. Pengakuan yang tulus dalam perbedaan dan pluralitas, serta ketulusan dalam menerima kemenangan dan kekalahan merupakan hal yang fundamental untuk menuju terwujudnya masyarakat madani di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bellah, Robert N., Beyond Belief,
Gallner, Ernest, Muslim Society,
Madjid, Nurcholish, “Agama dan Negara dalam Islam Telaah atas Fiqh Siyasi Sunni”, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (ed.), Budhy Munawar-Rahman, Jakarta: Paramadina, 1994.
_______________, Islam Agama Kemanusiaan, (ed.), Muhammad Wahyuni Nafis,
_______________, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (ed.), Elza Pedi Taher,
_______________, Kaki Langit Peradaban Islam, (ed.), Ahmad Gaus AF.,
* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar IAIN Walisongo Semarang di Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.
[1] Robert N. Bellah, Beyond Belief,
[2] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, (ed.), Muhammad Wahyuni Nafis,
[3] Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (ed.), Elza Pedi Taher,
[4] Nurcholish Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam Telaah atas Fiqh Siyasi Sunni”, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (ed.), Budhy Munawar-Rahman, Jakarta: Paramadina, 1994, hlm. 590.
[5] Ernest Gallner, Muslim Society,
[6] QS. Ar-Rum : 30
[7] QS. Al-A’raf : 172
[8] QS. Al-Ahzab : 4.
[9] QS. An-Nisa’ : 28.
[10] QS. Al-Fatihah : 6-7.
[11] QS. Al-Zalzalah : 7-8.
[12] QS. Al-Mu’min : 16.
[13] QS. Al-Baqarah : 48, Al-An’am : 94, Maryam : 95, Luqman : 35.
[14] QS. Al-Kahfi : 29.
[15] QS. Al-Tin : 4.
[16] QS. Al-Isra’ : 70.
[17] QS. Al-Ma’idah : 32.
[18] Ini salah satu bentuk amal saleh yang tertuang dalam makna salam dan dianjurkan menengok kanan dan kiri merupakan pernyataan orang yang telah menghadap Allah (ketika salat) untuk memperhatikan sesamanya dan bahkan semua makhluk dengan budi luhur.
[19] QS. Ali Imran : 159.
[20] QS. Hud : 118-119.
[21] Nurcholish Madjid, Islam… op.cit., hlm. 196-197.
[22] Ibid., hlm. 199.
[23] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (ed.), Ahmad Gaus AF.,
0 comment:
Posting Komentar