PIAGAM MADINAH ANTARA DARUS SALAM DAN DARUL ISLAM

27 Oktober 2008

PIAGAM MADINAH ANTARA DARUS SALAM DAN DARUL ISLAM

A. Pendahuluan

Sebagaimana sudah diketahui, Islam tidak dapat dipisahkan dari politik. Batas antara ajaran Islam dengan persoalan politik sangat tipis. Sebab ajaran Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan politik dan masalah ketatanegaraan. Peristiwa hijrah Nabi ke Yatsrib merupakan permulaan berdirinya pranata sosial politik dalam sejarah perkembangan Islam. Kedudukan Nabi di Yatsrib bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga kepala negara dan pemimpin pemerintahan. Kota Yatsrib dihuni oleh masyarakat yang multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam. Peta sosiologis masyarakat Madinah itu secara garis besarnya terdiri atas :

1. Orang-orang muhajirin, kaum muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah.

2. Kaum Anshar, yaitu orang-orang Islam pribumi Madinah.

3. Orang-orang Yahudi yang secara garis besarnya terdiri atas beberapa kelompok suku seperti : Bani Qainuna, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.

4. Pemeluk “tradisi nenek moyang”, yaitu penganut paganisme atau penyembah berhala.

Pluralitas masyarakat Madinah tersebut tidak luput dari pengamatan Nabi. Beliau menyadari, tanpa adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup masyarakat yang majemuk itu, konflik-konflik di antara berbagai golongan itu akan menjadi konflik terbuka dan pada suatu saat akan mengancam persatuan dan kesatuan kota Madinah. Hijrah Nabi ke Yatsrib disebabkan adanya permintaan para sesepuh Yatsrib dengan tujuan supaya Nabi dapat menyatukan masyarakat yang berselisih dan menjadi pemimpin yang diterima oleh semua golongan. Piagam ini disusun pada saat Beliau menjadi pemimpin pemerintahan di kota Madinah.[1]

B. Pembahasan

  1. Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah

Piagam Madinah disepakati tidak lama sesudah umat muslim pindah ke Yatsrib yang waktu itu masih tinggi rasa kesukuannya. Oleh karena itu ada baiknya kita mengetahui motif apa yang menjadi latar belakang hijrahnya umat Muslim Mekkah ke Madinah yang waktu itu masih bernama Yatsrib. Hal ini penting untuk kita mengetahui mengapa agama Islam yang lahir di Mekkah itu justru malah kemudian dapat berkembang subur di Madinah. Dan kemudian mendapat kedudukan yang kuat setelah adanya persetujuan Piagam Madinah.

Dakwah Nabi di Mekkah dapat dikatakan kurang berhasil. Sampai kepada tahun kesepuluh kenabian baru sedikit orang yang menyatakan diri masuk Islam. Bahkan ada beberapa diantaranya yang memeluk agama Islam dengan sepenuh hati mereka.

Sebelum Nabi melaksanakan hijrah, Beliau banyak mendapat ancaman dari kafir Quraisy. Tidak hanya gangguan psikis yang Beliau alami, tapi juga diancam secara fisik. Bahkan beberapa kali diancam untuk dibunuh. Tapi Nabi selalu sabar dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut. Dasar yang dipakai Nabi dalam menghadapi gangguan kaum kafir Quraisy tersebut adalah surat Fushshilat ayat 34, yang berbunyi :

وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ {فصّلت : 34}

Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fushshilat : 34).[2]

Kota Yatsrib mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nabi. Bukan saja karena Makkah dan Yatsrib sama-sama berada di propinsi Hijaz, tetapi juga beberapa faktor lain yang ikut menentukan, yaitu :

a. Abdul Muthalib, kakek Nabi lahir dan dibesarkan di Madinah ini sebelum akhirnya menetap di Makkah. Apalagi hubungan kakek dan cucu ini sangat erat dan penuh kasih sayang. Maka hubungan kakek nabi yang erat dengan Madinah juga membawa bekasnya pada diri Nabi.

b. Ayah Rasulullah, Abdullah ibn Abdul Muthalib wafat dan dimakamkan di Madinah. Nabi pernah ziarah ke sana bersama ibundanya. Ibunda Nabi wafat dalam perjalanan pulang dari ziarah tersebut. Dengan demikian Madinah bukan tempat yang asing bagi Nabi. Setidak-tidaknya Nabi pernah berhubungan dengan kota atau penduduk kota tersebut.

c. Penduduk Madinah dari suku Arab bani Nadjar punya hubungan kekerabatan dengan Nabi. Kedatangan Nabi di Madinah disambut layaknya kerabat yang datang dari jauh, bukan orang asing.

d. Sebagian besar penduduk kota Yatsrib punya mata pencaharian sebagai petani, di samping itu iklim di sana lebih menyenangkan dari pada kota Makkah. Untuk itu dapat dimaklumi bila penduduknya lebih ramah dibandingkan penduduk kota Makkah.

e. Selain berbagai faktor di atas, juga khabar akan datangnya Rasul akhir jaman sudah di dengar orang-orang Yatsrib dari orang-orang Yahudi d Yatsrib. Mereka mengharap-harap dan menunggu-nunggu untuk mendapat kehormatan membantu agama ini.

Demikian beberapa faktor yang dapat kami kemukakan yang membantu diterimanya Nabi di Madinah dan mengapa Nabi memilih kota Yatsrib atau Madinah sebagai kota tempat tujuan Hijrahya, selain itu juga merupakan petunjuk Allah yang memberi jalan bagi terbukanya syiar agama Islam.

Demikianlah reaksi penduduk Madinah bagaimana mereka menanti kedatangan Rasul mereka. Selain itu dakwah yang disampaikan Nabi setiap musim haji di Baitullah, juga perjanjian Baitul Aqabah pertama dan kedua yang disepakati pada tahun kedua belas dan ketiga belas dari kenabian semakin memuluskan jalan bagi Nabi untuk diterima di Madinah. Perjanjian Aqabah I dan II mempersiapkan Nabi dan kaum Muslimin secara psikologis dan sosiologis dalam pelaksanaan hijrah yang amat bersejarah.[3]

Madinah adalah sebuah kota kurang lebih berjarak 400 kilometer di sebelah utara kota Makkah. Penduduk kota Yatsrib terdiri dari beberapa suku Arab dan Yahudi. Suku Yahudi terdiri Bani Nadzir, Bani Qainuna, dan Bani Quraidzah yang mempunyai kitab suci sendiri, lebih terpelajar dibandingkan penduduk Yatsrib yang lain. Sedangkjan suku Arabnya terdiri dari suku Aus, dan Khazraj, di mana kedua suku itu selalu bertempur dengan sengitnya dan sukar untuk didamaikan.[4]

Nabi Muhammad datang dengan membawa perubahan. Beliau mengajarkan penghapusan kelas antara orang kaya dengan orang miskin, golongan buruh dengan golongan juragan. Yang ada hanyalah hubungan persaudaraan, saling mengasihi dan menyantuni pada yang membutuhkan. Beliau telah dapat menciptakan jalinan yang suci dan murni dan telah berhasil mengikat suku Aus dan Khazraj dalam suatu hubungan cinta kasih dan persaudaraan.

Sejak Nabi hijrah ke Madinah dan sesudah menetap di sana dan setelah masjid dan rumah beliau siap didirikan, tidak lain yang menjadi fikirannya adalah menyiarkan agama Islam, sebagai tujuan utama beliau.

Sebagai seorang pemimpin, maka beliau merasa punya tanggung jawab besar terhadap diri dan pengikutnya. Beliau tidak saja harus giat menyiarkan agama Islam, tetapi juga sebagai seorang pemimpin tidak boleh membiarkan musuh-musuh dari dalam dan dari luar mengganggu kehidupan masyarakat muslim. Pada tahap ini beliau menghadapi tiga kesulitan utama :

a. Bahaya dari kalangan Quraisy dan kaum Musyrik lainnya di Jazirah Arab.

b. Kaum Yahudi yang tinggal di dalam dan di luar kota dan memiliki kekayaan dan sumberdaya yang amat besar.

c. Perbedaan di antara sesama pendukungnya sendiri karena perbedaan lingkungan hidup mereka.[5]

Dan karena perbedaan lingkungan hidup, maka kaum muslimin Anshar dan Muhajirin mempunyai latar belakang kultur dan pemikiran yang sangat berbeda. Hal ini masih di tambah lagi dengan permusuhan sengit yang telah terjadi selama 120 tahun lebih antara dua suku Anshar, yaitu Bani Aus dan Bani Khazraj. Sangat sulit bagi Nabi mengambil jalan tengah untuk mempersatukan mereka dalam kehidupan religius dan politik secara damai.

Tetapi akhirnya Nabi dapat mengatasi masalah tersebut secara damai dengan cara yang amat bijaksana. Mengenai masalah yang pertama dan kedua, beliau berhasil mengikat penduduk Madinah dalam suatu perjanjian yang saling menguntungkan yang akan di bahas nanti. Sedangkan untuk mengatasi masalah yang ketiga beliau berhasil memecahkannya dengan jalan keluar yang amat bijak dan sangat jenius.

Untuk mengatasi adanya perbedaan di antara kaum muslimin, maka Nabi mempersaudarakan di antara mereka layaknya saudara kandungan yang saling pusaka mempusakai. Jika salah satu dari kedua bersaudara yang baru dipersatukan tersebut wafat, maka saudara angkatnya berhak atas seperenam harta warisannya. Perlu diketahui hukum waris sebagaimana kita kenal sekarang belum berlaku saat itu.

Upaya yang dilakukan Rasul itu telah menjadi alat yang ampuh untuk mematikan segala perang saudara dan permusuhan yang dulu selalu timbul di antara mereka. Iklim baru ini sangat menunjang perkembangan agama Islam di Madinah. Sehingga dalam tempo yang amat pendek, tidak lebih dari dua belas bulan sesudah Rasul menetap di Madinah, menurut keterangan Ibnu Ishaq yang wafat dalam temp hari tidak ada lagi satu rumah orang Madinah yang belum Islam selain daripada suku kecil dari suku Aus.[6]

Selama beberapa minggu di Madinah, Rasul menelaah situasi kota Madinah dengan mempelajari keadaan politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Beliau berusaha mencari jalan bagaimana agar penduduk asli dan kaum muhajirin dapat hidup berdampingan dengan aman. Untuk mengatasi kesulitan yang pertama dan kedua Nabi Muhammad membuat suatu perjanjian dengan penduduk Madinah baik Muslimin, Yahudi ataupun musyrikin.

Dalam perjanjian itu ditetapkan tugas dan kewajiban Kaum Yahudi dan Musyrikin Madinah terhadap Daulah Islamiyah di samping mengakui kebebasan mereka beragama dan memiliki harta kekayaannya. Dokumen politik, ekonomi, sosial dan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Musyrikin, maupun Yahudinya. Secara garis besar perjanjian itu memuat isi sebagai berikut :

a. Bidang ekonomi dan sosial

Keharusan orang kaya membantu dan membayar utang orang miskin, kewajiban memelihara kehormatan jiwa dan harta bagi segenap penduduk, mengakui kebebasan beragama dan melahirkan pendapat, menyatakan kepastian pelaksanaan hukum bagi siapa saja yang bersalah, dan tidak ada perbedaan antara siapapun di depan pengadilan.

b. Bidang militer

Antara lain menggariskan kepemimpinan Muhammad bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Yahudi ataupun Musyrikin, segala urusan berada di dalam kekuasaannya. Beliaulah yang menyelesaikan segala perselisihan antara warga negara. Dengan demikian jadilah beliau sebagai Qaaid Aam (panglima tertinggi) di Madinah. Keharusan bergotong royong melawan musuh sehingga bangsa Madinah merupakan satu barisan menuju tujuan. Dan tidak boleh sekali-kali kaum Musyrikin Madinah membantu Musyrikin Makkah (Quraisy). Baik dengan jiwa ataupun harta, dan menjadi kewajiban kaum Yahudi membantu belanja perang selama kaum Muslimin berperang.[7]

Adapun isi perjanjian itu sebagaimana terlampir.

  1. Arti Penting Piagam Madinah

Adapun Piagam Madinah itu mempunyai arti tersendiri bagi semua penduduk Madinah dari masing-masing golongan yang berbeda. Bagi Nabi Muhammad, maka Ia diakui sebagai pemimpin yang mempunyai kekuasaan politis. Bila terjadi sengketa di antara penduduk Madinah maka keputusannya harus dikembalikan kepada keputusan Allah dan kebijaksanaan Rasul-Nya. Pasal ini menetapkan wewenang pada Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan permusuhan yang timbul di antara mereka.

Hal ini sesungguhnya telah lama diharapkan penduduk Madinah, khususnya golongan Arab, sehingga kedatangan Nabi dapat mereka terima. Harapan ini tercermin di dalam Baitul Aqabah I dan II yang mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka dan mengharapkan peranannya di dalam mempersatukan Madinah.

Sedangkan bagi umat Islam, khususnya kaum Muhajirin, Piagam Madinah semakin memantapkan kedudukan mereka. Bersatunya penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat keamanan mereka lebih terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman membuat mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam berkembang subur di Madinah ini.

Bagi penduduk Madinah pada umumnya, dengan adanya kesepakatan piagam Madinah, menciptakan suasana baru yang menghilangkan atau memperkecil pertentangan antar suku. Kebebasan beragama juga telah mendapatkan jaminan bagi semua golongan. Yang lebih ditekankan adalah kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian.

Piagam Madinah ternyata mampu mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama, bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.[8]

Muhammad Jad Maula Bey, dalam bukunya “Muhammad al-Matsalul Kamil” menyimpulkan, bahwa di dalam waktu yang relatif pendek tersebut Nabi telah sukses menciptakan tiga pekerjaan besar, yaitu:

a. Membentuk suatu umat yang menjadi umat yang terbaik

b. Mendirikan suatu “negara” yang bernama Negara Islam; dan

c. Mengajarkan suatu agama, yaitu agama Islam.[9]

  1. Pendapat Beberapa Ahli Tentang Keberadaan Piagam Madinah

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ahli dalam melakukan penilaian terhadap naskah atau dokumen politik tertua dalam sejarah tersebut karena ada yang kemudian menggolongkannya sebagai suatu Piagam, ada yang menggolongkannya sebagai suatu undang-undang negara, ada pula yang setelah melakukan penelitian memasukkan dalam kelompok Charter, ada yang menggolongkannya dalam definisi perjanjian. Tetapi beberapa ahli sepakat untuk memasukkannya ke dalam kelompok yang lebih tinggi, di mana dokumen yang sangat bersejarah tersebut dimasukkan dalam golongan Konstitusi. Dan inilah penilaian tertinggi untuk piagam tersebut. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu persatu.

a. Piagam Madinah sebagai suatu Perjanjian

- Maulvi Muhammad Ali dalam bukunya “Muhammad the Prophet” menamakannya “Pact between the Muslim and the Jews” (Perjanjian antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi).[10]

- Emile Dermenghem, mengatakan sebagai “Pledge of mutual aid” (perjanjian untuk saling membantu).[11]

b. Piagam Madinah sebagai Charter atau Piagam

- Dr. Khalifa Abdul Hakim dalam bukunya “Islamic Ideology” menegaskan bahwa piagam ini jauh lebih tinggi tujuannya dari pada Magna Charta Inggris pada abad ke 13 dahulu, dan lebih baik daripada Athlantic Charter pada abad ke 20.[12]

- Haroon Khan Serwani dalam bukunya yang berjudul “Studies in Muslim Political thought and administration” mengatakan : Piagam Madinah merupakan piagam yang besar untuk kebebasan pendapat dan pikiran umum penduduk.[13]

c. Piagam Madinah sebagai suatu Undang-Undang Negara

- Prof. H.A.R Gibb dalam bukunya yang berjudul “Mohammadanisme” mengatakannya “legislative enactment” (penetapan legislatif).[14]

- Emile Dermenghem dalam bukunya “The Live of Mohammed” mengatakan bahwa Nabi Muhammad setelah berada di Madinah adalah seorang Nabi, seorang Legislator, seorang politikus dan seorang pahlawan.[15]

- George E. Kerk menamakannya “act” (undang-undang) yang dikeluarkan Muhammad sebagai lawgiver (pembuat undang-undang), di dalam bukunya “A Short History of the Middle East”.[16]

d. Piagam Madinah sebagai suatu Konstitusi

- Dr. Muhammad Hamidullah menerangkan dalam bukunya yang berjudul “The First Written Constitution of The World” bahwa inilah konstitusi yang tertulis yang pertama di dunia.[17]

- Muhammad Marmaduke Dickthal, dalam bukunya “The Meaning of The Glorius Koran” (Terjemahan kitab Agung Qur'an” menerangkan tentang konstitusi yang dibuat Nabi Muhammad.[18]

- W. Montgomery Watt berjasa besar dalam mempopulerkan piagam ini sebagai suatu konstitusi. Ia menamakan piagam ini dengan “The Constitution of Medina” (konstitusi Madinah).[19]

C. Kesimpulan

Dengan adanya Piagam Madinah, maka tercipta suasana baru yang menghilangkan atau memperkecil pertentangan antara suku. Di samping itu, Piagam tersebut juga telah merubah masyarakat yang semula hanya sekelompok manusia menjadi masyarakat politik yaitu masyarakat yang berdaulat dan mempunyai otoritas politik di wilayah Madinah.

Rasulullah telah berhasil menyatukan kemajemukan yang ada dengan mengadakan perjanjian di antara kaumnya. Menurut hemat penulis, Piagam Madinah lebih condong kepada Darul Islam karena Darul Islam merupakan yang diatur oleh Nabi berdasarkan apa yang tercantum dalam Piagam Madinah.

D. Penutup

Piagam Madinah merupakan suatu contoh nyata bagaimana Nabi Muhammad dengan ikhtiar dan kecerdasannya mampu membumikan ajaran al-Qur'an, sebagaimana fungsi al-Qur'an adalah sebagai petunjuk yang tidak akan pernah membisu bila dimintai pertimbangan oleh siapa saja untuk mencari jalan keluar dari setiap kesulitan yang senantiasa menghadang dunia dan kemanusiaan sepanjang sejarah.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H. Zainal Arifin, Peri Hidup Muhammad Rasulullah Saw, Medan : Firma Rahmat, 1964.

Ahmad, H. Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad Saw, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.

Ahmad, H. Zainal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Karya, Soekama, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, cet. 2, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998.

Majid, Nurcholis, Islam, Agama dan Peradaban, Jakarta : Paramadina, t.th.

Pulungan, J. Suyuti, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, Jakarta : Rajawali Press, 1994.

Subhani, Ja’far, Ar-Risalah, Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw, Jakarta : Lentera, 1996.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta : Depag RI, 1983.



[1] Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, cet. 2, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998, hlm. 298-299.

[2] Al-Qur'an, Surat Fushshilat ayat 34, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta : Depag RI, 1983, hlm. 775.

[3] Nurcholis Majid, Islam, Agama dan Peradaban, Jakarta : Paramadina, t.th., hlm. 41.

[4] Ibid.

[5] Ja’far Subhani, Ar-Risalah, Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw, Jakarta : Lentera, 1996, hlm. 294.

[6] H. Zainal Arifin Abbas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah Saw, Medan : Firma Rahmat, 1964, hlm. 1246

[7] Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hlm. 55.

[8] J. Suyuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, Jakarta : Rajawali Press, 1994, hlm. 67.

[9] H. Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 98.

[10] H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad Saw, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 68.

[11] Ibid., hlm. 69

[12] Ibid., hlm. 62

[13] Ibid., hlm. 63

[14] Ibid., hlm. 57

[15] Ibid., hlm. 59-60

[16] Ibid., hlm. 58

[17] Ibid., hlm. 73

[18] Ibid., hlm. 73

[19] Ibid., hlm. 74

Share:

1 komentar:

  1. wah maksih yaa.. tulisannya sangat membantu dalam referensi pengetahuan sejarah saya matur suwun yaa...

    BalasHapus

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.