I.
Pendahuluan
Di dalam agama Islam yang membahas masalah Ketuhanan sebagai dasar Aqidah atau kepercayaan dinamakan “ilmu tauhid”, asal dari Theos yang artinya Tuhan dan Logos yang artinya Ilmu. Jadi ilmu tentang Ketuhanan atau Aqidah islam.[1]
Di dalam agama Islam yang membahas masalah Ketuhanan sebagai dasar Aqidah atau kepercayaan dinamakan “ilmu tauhid”, asal dari Theos yang artinya Tuhan dan Logos yang artinya Ilmu. Jadi ilmu tentang Ketuhanan atau Aqidah islam.[1]
Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud
Tuhan, sifat-sifat yang tidak ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin ada
padanya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan
kerasullannya dam mengetahui sifat-sifat yang mesti ada dan yang tidak mungkin
ada dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya (Rasul).[2]
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Islam, timbulnya aliran-aliran ilmu
kalam pertama kali banyak dilatarbelakangi politik. Akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, persoalan politik meningkat menjadi persoalan teologi atau ilmu
kalam.
Adapun masalah-masalah politik ini mulai timbul di
kalangan muslimin ialah persoalan siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad
dalam kedudukannya sebagai seorang khalifah, karena beliau tidak pernah
menunjuknya dan tidak pula menjelaskan cara-cara pemilihannya. Sedangkan
kedudukan beliau sebagai Nabi dan Rasul penutup sudah jelas tidak di gantikan
orang lain, karena hak itu mutlak bagi Allah.[3]
II. Pembahasan
A.
Aliran Khawarij.
Nama Khawarij diambil dari asal kata “khoroja” artinya
telah keluar. Maksudnya ialah orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib karena tidak setuju terhadap sikapnya yang mau menerima tahkim
(perdamaian) dalam penyelesaian persengketaan kekhalifahan dengan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Dan selalu menggunakan semboyan “La
hukma illa lillah”
1.
Faham dan Pokok Ajaran.
Aliran khawarij merupakan pecahan
dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang memisahkan diri setelah terjadi perang
shiffin antara Ali dan Mu’awiyah yang berakhir dengan adanya perdamaian. Pengikut
Ali berpendapat bahwa ajakan perdamaian oleh Mu’awiyah tidak dilakukan secara
jujur dan adil, tetapi hanya sebagai siasat untuk menghindari kekalahan perang
yang sudah tampak.
Karena usul mereka untuk membatalkan
perdamaian ditolak Ali, maka mereka yang sebanyak 12.000 orang menyatakan
keluar dari golongan Ali dan memilih Abdullah bin Wahab Al Rasidi menjadi imam
mereka sebagai ganti Ali bin Abi Thalib. Setelah mereka menjadi aliran
tersendiri, mereka bersikap memusuhi golongan Ali maupun golongan Mu’awiyah dan
menghalalkan darah dan jiwa orang yang tidak termasuk alirannya. Bahkan
terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib adalah atas tanggung jawab aliran Khawarij
melalui tangan Abd al Rahman bin Muljam.[4]
Adapun faham dan ajarannya ialah:
a.
Khalifah atau imam harus di pilih
secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b.
Yang berhak menjadi khalifah
adalah siapa saja yang sanggup, asal beragama Islam.
c.
Khalifah yang terpilih akan terus
memegang jabatan selama ia bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam.
d.
Khalifah Abu Bakar dan Umar diakui
sah karena keduanya diangkat dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam.
e.
Khalifah Usman bin Affan dianggap
menyeleweng mulai dari tahun ke tujuh khilafahnya, sedang Ali bin Abi Thalib
dianggap menyeleweng setelah berdamai dengan Mu’awiyah.
2.
Sekte, Tokoh dan Ajarannya.
Di dalam sejarah perkembangan aliran Khawarij ini
terpecah menjadi beberapa aliran kecil atau sekte dan dipimpin oleh tokoh yang
mereka anut antara lain:
a.
Al-Zariqoh
Tokohnya Nafi’ bin Al Azzaq (wafat 686M)[5].
Ajarannya yaitu:
Term kafir, mereka rubah dengan term musyrik
(politeis). Dosa syirik adalah dosa yang tidak dapat di ampuni Tuhan. Dosa
syirik lebih besar dari dosa kufur. Bagi golongan al-Zariqoh, yang menjadi
musyrik bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar, bahkan semua orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Dalam pendapat mereka hanya orang
al-Zariqohlah yang orang Islam. Orang yang tidak menganut faham al-Zariqoh bukanlah
orang Islam, tetapi orang polities. Dan mereka tidak segan-segan membunuh orang
yang demikian.[6]
b.
An-Najaddat.
Tokohnya Najdah in Amir. Ajarannya ialah:
1)
Orang yang salah setelah ini
melakukan ijtihad dapat di maafkan.
2)
Agama itu meliputi dua hal, yaitu
mengetahui kepada Allah dan Rasul, kalau tidak mengetahui tak mengapa sampai ia
mendapat keterangan yang jelas.
3)
Orang yang berijtihad sampai
menghalalkan yang haram atau sebaliknya di maafkan.
4)
Orang yang berdusta dosanya lebih
besar dari pada orang yang zina atau minum minuman keras.
c.
Al Ibadiyah.
Tokohnya Abdullah bin Ibad at Tamimy.[7]
Mereka paling moderat dan toleran terhadap golongan lain. Ajarannya ialah:
Mereka tidak memandang orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka musyrik, tetapi tidak
mu’min. Orang Islam demikian hanya merupakan kafir yang masih meng-esa-kan
Tuhan. Dosa besar tidak membuat orang menjadi musyrik. Tetapi pelaku dosa besar
bukan pula mu’min. Paling banyak ia boleh di katakan kafir. Mereka membagi
golongan kafir ke dalam dua bagian, kafir
al-ni’mah, orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan
oleh Tuhan, dan kafir al-millah yaitu
orang yang keluar dari agama. Term kafir yang mereka pakai untuk orang Islam
ialah dalam arti pertama. Hal yang tidak membuat orang keluar dari Islam.[8]
d.
Syufriah.
Tokohnya Ziad bin al-Asfar
Faham mereka tidak berbeda dengan golongan al-Zariqoh,
merupakan golongan yang ekstrim. Adapun ajaran yang kurang ekstrim antara lain:
1)
Orang Syufriah yang tidak
berhijrah tidak di pandang kafir.
2)
Mereka tidak berpendapat bahwa
anak-anak kaum musyrik boleh di bunuh.
3)
Tidak semua berpendapat bahwa
orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik.
4)
Daerah golongan Islam yang tak sepaham
dengan mereka bukan daerah yang harus di perangi, yang diperangi hanyalah maskar atau camp
pemerintah.
Sedang pendapat yang menjadi ciri khas mereka ialah:
1)
Taqiah hanya boleh dalam bentuk
perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
2)
Demi untuk keamanan dirinya,
perempuan Islam boleh kawin dengan laki-laki kafir di daerah bukan Islam.[9]
B.
Aliran Syi’ah
Syi’ah artinya sahabat atau pengikut, adapun maksud
memadzhab Syi’ah ialah faham yang mengagungkan keturunannya nabi Muhammad SAW,
mereka mendahulukan keturunan Nabi untuk menjadi khalifah yaitu Ali.
Ali sebenarnya tidak menonjolkan diri untuk menjadi
untuk merebut kekhalifahan, beliau sadar bahwa yang berhak menjadi khalifah itu
bukan karena keturunan tetapi melalui pemilihan umum dan persetujuan umat.
1.
Pokok-pokok Ajarannya.
Mereka berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah
wafatnya Nabi ialah Ali, Ali adalah yang ulung dan Mewarisi segala pengetahuan
yang ada pada diri Nabi, bahkan Ali dianggap maksum dari kesalahan.[10]
Dan syahnya imam atau khalifah apabila mendapat nash atau diangkat oleh Nabi
sendiri dan kemudian oleh imam-imam sesudah beliau secara berurutan, berdasar
nash dan wishayah (wasiat) dari imam sebelumnya. Dengan demikian Syi’ah
menganut hak legitimasi berdasar hak suci Tuhan (The devine right of god). Dan bahwa tiap-tiap imam yang telah
diangkat oleh imam sebelumnya itu adalah maksum, terpelihara dari dosa serta
menerima anugerah Keistimewaan yang berwujud mu’jizat dan kesaktian.[11]
Sesudah Ali, kekhalifahan itu tetap turun temurun
kepada anak cucunya, dan ini seolah-olah merupakan ketetapan Allah. Dalam
menentukan keturunan itu, timbul pula perbedaan pendapat, karena Ali mempunyai
anak Hasan dan Husain dan masing-masing mempunyai beberapa anak sehingga
timbullah pertikaian kepada siapa jatuhnya kekhalifahan dan lahirlah beberapa aliran dalam Syi’ah.[12]
2.
Sekte Tokoh dan Ajarannya.
a.
Al-Imamiyah.
Disebut pula Al-Isna Asyariyah atau Rafidhah.
Pokok-pokok ajarannya:
1)
Bahwa Ali bin Abi Thalib
satu-satunya khalifah yang sah sesudah Nabi, yang disyahkan oleh Nabi sendiri
dengan nas yang jelas. Salah satu nashnya yaitu: “Barang siapa menganggap saya (Nabi) pemimpinnya, maka juga Ali pemimpinnya”
(Turmuzi, Jus 13, hal:175).
2)
Mereka mengajarkan adanya “dua
belas imam” yang berurutan satu sama lain dari keturunan Ali dengan Fatimah,
maka mereka disebut golongan “keduabelasan”.
3)
Mereka mengajarkan adanya
“Kemaksuman”, Kemahdian, dan akan datangnya kembali imam yang terakhir.[13]
b.
Az –Zaidiyah
Pimpinannya bernama Ziad bin Zainul Abidin bin Al
Hasan bin Ali, faham ini paling murni dari pada lainnya. Golongan ini tidak
meyakini sifat-sifat yang berlebihan atau sifat-sifat kebanyakan yang ditujukan
kepada Ali, seperti pendapat bahwa Ali bersifat dengan sifat-sifat Ketuhanan.
c.
Al Isma’iliyah.
Faham ini percaya kepada imamnya Ismail bin Jafar Ash
Shadiq, faham ini menghimpun ajaran-ajarannya dalam sembilan tingkat, tingkat
pertama dimulai dari gerakan-gerakan ajaran Islam.[14]
C.
Aliran Murjiah.
1.
Pengertian dan Pokok Ajarannya
Kaum Murji’ah pada mulanya timbul karna persoalan
politik, tegasnya persoalan khilafah.[15] Aliran
ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriyah. Golongan ini di
namakan Murji’ah karena lafazh itu berarti menunda atau mengembalikan.[16]
Kecondongan mereka untuk tidak melibatkan diri dalam peperangan yang terjadi di
antara umat Islam merupakan dasar gerak berdirinya aliran ini, hanya saja
belumlah merupakan aliran tersendiri tetapi sudah merupakan benih yang akan
tumbuh di kemudian hari karena persoalan dosa besar.
Kemudian faham Murji’ah lahir secara terang-terangan
pada mulanya ditimbulkan karena persoalan politik sesudah Usman bin Affan mati
terbunuh digantikan Ai bin Abi Thalib.[17]
Pertentangan antara kaum Khawarij dan Syi’ah, dan bahkan keduanya menentang
kekuasaan Bani Umayyah mengakibatkan segolongan umat Islam tidak puas dengan
keadaan tersebut yaitu kaum Murji’ah.[18]
Dan setelah menjadi aliran politik, mulai membicarakan
soal-soal Ketuhanan, yang hasil dari padanya sejalan dengan arah politik yang
dianutnya. Pembahasan yang terpenting ialah mengenai iman, mu’min dan kufur.[19]
Kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang
berbuat dosa besar, sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mu’min. Adapun
soal dosa besar yang mereka perbuat, ditunda penyelesaiannya sampai hari akhir
kelak, dengan alasan orang-orang itu masih mengakui dua syahadat yang menjadi
dasar utama dari iman, iman adalah masalah yang utama dan perbuatan hanya
merupakan masalah yang kedua.[20]
2.
Sekte, Tokoh dan Ajarannya
Aliran Murji’ah terpecah menjadi beberapa aliran, antara lain:
a.
Yunusiah.
Tokohnya ialah Yunus bin Aun Annamiri yang berpendapat
bahwa iman ialah mengetahui Allah, tunduk patuh, dan meninggalkan sifat-sifat
kesombongan dan cinta dalam hati. Barang siapa yang meninggalkan perbuatan itu
maka ia adalah orang yang beriman, melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidak
merusak iman seseorang.
b.
As-Sahiliyah.
Tokohnya ialah Abu Hasan As Sahili. Pendapatnya bahwa
imam ialah mengetahui Tuhan dan kufur ialah tidak tahu pada Tuhan, dalam
pengertian sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah karena yang
disebut ibadah ialah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan.
c.
Al-Ubaidiyah
Tokohnya ialah Ubaid Al Maktaab, Ia berpendapat bahwa
selain syirik diampuni, jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan
jahatnya yang dikerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Jadi
perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang.
d.
Assaubaniyah
Tokohnya ialah Abu Syauban Al Murjii. Pendapatnya
bahwa iman ialah mengetahui Allah dan Rasul-rasul-Nya yang masuk akal boleh
diperbuat dan kalau tidak masuk akal ditinggalkan karena tidak termasuk iman.
Artinya iman ialah sesuai dengan akal, dan amal tidak campur tangan dengan
iman.[21]
D.
Aliran Qodariyah.
Aliran ini timbul kira-kira pada tahun 70H, yang dipelopori
oleh Ma’bad Al-Juhani Al-Bisri dan Ghailan Al-Dimsyqi. Timbulnya di Irak pada
zaman pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu memiliki kekuasaan
mutlak atas dirinya dan segala amal perbuatannya. Dengan kemauan dan kekuasaan
sendiri, manusia dapat berbuat baik dan buruk dengan tidak ada kekuasaan lain
yang memaksanya. Dasar fikiran ini ialah adanya ketentuan pahala dan siksa,
bagi mereka yang berbuat baik akan mendapat pahala dan mereka yang berbuat dosa
akan mendapat siksa. Hal tersebut tidak terlaksana bila perbuatan manusia tidak
dilaksanakan dengan penuh pertanggung jawaban atas segala perbuatannya. Aliran
ini adalah banyak segi persamaannya dengan aliran mu’tazilah, dan sangat
bertentangan dengan faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah.[22]
E.
Aliran Jabariyah
Faham Jabariyah dipelopori oleh
Al-Jad Ibn Dirham (abad VIII M) dan Jahm Ibn Safwan (w. 131 H). Menurut faham
Jabariyah perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Dalam
faham ini manusia tidak mempunyai kemauan dan daya untuk mewujudkan
perbuatannya. Manusia menurut Jabariyah tak ubahnya sebagai wayang yang tidak
bergerak kalau tidak digerakkan dalang. Kalau dalam faham Qodariyah terdapat
kebebasan manusia, dalam faham Jabariyah manusia tidak mempunyai kebebasan.
Semua perbuatannya telah ditentukan Tuhan semenjak azali.[23]
Aliran ini juga menyebarkan fikiran-fikiran sebagai
berikut:
1.
Surga dan neraka itu tidak abadi,
yang abadi hanya Allah saja.
2.
Allah itu tidak boleh mempunyai
sifat-sifat yang bersamaan dengan makhluk.
3.
Allah tidak dapat dilihat kelak di
akhirat.
4.
Al-Quran itu adalah makhluk Allah
yang di buat-Nya (hadits atau baru)
Golongan ini mendapat tantangan oleh para ulama,
karena faham Jabariyah ini adalah melemahkan, dan mengakibatkan kemunduran umat
Islam, karena pahamnya manusia itu tidak punya ikhtiyar sedikitpun.[24]
F.
Aliran Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah adalah aliran fikiran Islam yang
terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan yang sangat penting dalam
dunia pendidikan filsafat Islam. Aliran
Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijriyah di kota Basrah, pusat ilmu
dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan
pertemuan bermacam-macam agama. [25]
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari
pada persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”.
Pemberian nama Mu’tazilah pada mulanya terkait dengan peristiwa yang terjadi antara Wasil
Ibn Atta’ serta temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan Al Basri di Basrah. Wasil
selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al Basri di masjid
Basrah, pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang
orang yang berdosa besar. Ketika Hasn Al Basri masih berfikir, Wasil
mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil
posisi diantara keduanya: tidak mu’min dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri
dan menjauhkan diri dari Hasan Al Basri
pergi ke tempat lain di masjid, di sana
ia mengulangi pendapatnya pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al
Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’anna)” . Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata
al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[26]
1.
Faham dan Pokok Ajarannya.
Aliran Mu’tazilah adalah suatu
pergerakan yang menekankan pada dasar rasional bagi prinsip-prinsip dasar
kepercayaan agama. Sikap rasionalisme ini sangat menonjol, dimana mereka lebih
mengagungkan kecemerlangan pendapat akal dari pada dalil nakl (wahyu).
Al-Khayat (seorang penganut
Mu’tazilah) mengatakan bahwa, seseorang tidak berhak disebut Mu’tazilah kalau
tidak terkumpul pada dirinya lima
pokok dasar (ushulul Khomsah) yaitu:
a.
Tauhid (Keesaan)
Tauhid yaitu ajaran monoteisme yang
murni dan mutlak adalah dasar Islam yang pertama dan utama. Dalam Islam Tauhid
ini bukan milik khusus aliran Mu’tazilah, hanya karena mereka telah menafsirkan
dan mempertahankannya sedemikian rupa, maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.
b.
Adil (Keadilan Tuhan)
Dasar keadilan yang dipegangi oleh aliran Mu’tazilah ialah meletakkan
pertanggung jawaban manusia atas segala perbuatannya.
c.
Wa’ad dan Wa’id (Janji dan
Ancaman)
Aliran Mu’tazilah meyakini bahwa janji Allah akan
memberi pahala dan ancaman siksa kepada mereka yang melakukan perbuatan pasti
dilaksanakan-Nya, karena Allah telah menyatakan-Nya demikian.
d.
Manzilu bainal Manzilatain (Di
antara dua tempat)
Menurut pendapat Wasil, seseorang
muslim yang melakukan dosa besar selain syirik (menyekutukan Allah) tidak lagi
menjadi orang mukmin, tetapi juga tidak menjadi kafir, melainkan menjadi orang
fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara orang kafir dan
mukmin. Tingkatan orang fasik berada di bawah orang mukmin dan di atas orang
kafir.
e.
Amar Makruf Nahi Munkar
(Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan).
Prinsip dasar ini bersangkut paut dengan dasar amalan
lahiriyah yang harus ijalankan oleh setiap muslim untuk menyiarkan agama dan
memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Menurut pendapat mereka amar makruf nahi munkar dijalankan dengan hati bila sudah
dicukupkan demikian dan apabila belum secara bertingkat dilakukan dengan lisan,
dengan kekuasaan atau kalau perlu dengan pedang.[27]
G.
Aliran Asy’ariah
Nama aliran Asy’ariyah diambilkan dari nama tokohnya
yaitu Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, keturunan Abu Musa Al Asy’ari,
salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Al Asy’ari
lahir tahun 260H/873M dan wafat pada tahun 324H/935M. Pada waktu kecilnya ia
bergurau pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu Al Jubba’I, ia mempelajari dan
mendalami ajaran-ajaran Mu’tazilah. Aliran ini di ikutinya sampai usia 40 tahun
dan tidak sedikit buku-buku kemu’tazilahan yang ia karang.[28]
Aliran Asy’ariyah dalam perluasannya diidentikkan
dengan sebutan aliran “Ahlussunnah wal Jamaah”. Aliran ini merupakan aliran
yang terbesar dan yang masih diikuti oleh sebagian kaum muslimin sampai
sekarang. Walaupun ia tlah berpuluh tahun mengikuti dengan setia paham
Mu’tazilah akhirnya ia tinggalkan.
Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari Al Subki
Al Hafidz bin Asakir, ialah pada suatu malam Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu
nabi Muhammad mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar dan
mazhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asyari berdebat dengan gurunya
al-Jubbai dan dalam perdebatan itu, al-Jubbai tidak dapat memberikan jawaban
yang memuaskan.
Kemudian untuk mengambil keputusan terakhir, al
Asy’ari mengasingkan diri untuk dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan
ajaran-ajaran mu’tazilah. Sudah itu ia pergi ke masjid, naik mimbar dan
mengatakan kepada hadirin bahwa ia mulai saat itu atas petunjuk Allah
meninggalkan keyakinan-keyakinan mu’tazilah (yang diragakan dengan melepas
bajunya dan dilemparkannya) dan beralih menganut keyakinan-keyakinan yang ia
susun sendiri dalam karya tulisnya yang beraliran ahlusunnah.[29]
H.
Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, seperti aliran Asy’ariyah, masih
tergolong Ahli Sunnah. Pendirinya ialah Muhammad bin Muhammad bin Abu Mansur. Ia
dilahirkan di Maturid, sebuah kota
kecil darah Samarkand ,
kurang lebih pertengahan abad ketiga Hijriyah dan meninggal di Samarkand tahun 332H.
Maturidy semasa hidupnya dengan Asy’ariy, hanya dia hidu di Samarkand dan Asy’ariy
hidup di Irak. Asy’ariy adalah pengikut mazhab Syafi’I dan Maturidy pengikut
Hanafy, oleh sebab itu ada beberapa perbedaan pendapat antara kedua orang
tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Syafi’I dan Abu Hanifah
sendiri.
Perbedaan antara Maturidy dan Asy’ariy nampak jelas dalam soal-soal
berikut:
1.
Menurut aliran Asy’ariyyah,
mengetahui Tuhan di wajibkan syara’, sedang menurut Maturidiyah di wajibkan
akal.
2.
Menurut golongan Asy’ariyah,
sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak
lain karena diperintahkan syara’ atau dilarangnya. Menurut Maturidiyah, pada
tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk.[30]
AJARAN-AJARANNYA
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa aliran
Maturidiyah terbagi dua golongan:
1.
Golongan Samarkand yaitu para
pengikut al Maturidy sendiri.
2.
Golongan Bukhara yaitu para
pengikut al Bazdawi (murid al Maturidy)
Adapun perbedaannya, golongan Samarkand ajarannya lebih dekat dengan faham
Mu’tazilah, sedang golongan Bukhara
ajarannya lebih mendekati faham Asy’ariyyah.
a.
Peran akal dan wahyu.
Menurut Maturidy, akal dapat mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan,
tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.
b.
Sifat-sifat Allah.
Maturidy Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, sedangkan
Maturidy Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain
dari Tuhan.
c.
Al-Quran.
Menurut al-Maturidy bahwa Al-Quran (Kalam Allah) itu adalah sifat Tuhan,
ia tidak dapat diciptakan, tetapi bersifat qodim. Oleh karena itu ia tidak
terpisah dari esensi-Nya, sedangkan Allah itu sendiri qodim, maka otomatis
al-Quran (Kalam Allah) itu juga qodim.
d.
Antropomorphisme.
Al-Maturidy tidak menyetujui faham tasybih dan tasjim ini bagi Tuhan.
Tetapi haruslah ditakwilkan dan diartikan secara majazi. Al-Maturidy Samarkand
mengatakan bahwa yang di maksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah
kekuasaan Tuhan.
e.
Melihat Tuhan di akhirat.
Al-Maturidy sependapat dengan paham Asy’ary bahwa Tuhan akan dapat
dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti, karena sesuatu yang
dapat dilihat adalah wujud, dan Allah mempunyai wujud.
f.
Kekuasaan dan Kehendak Tuhan.
Menurut Al-Maturidy, bahwa kekuasaan mutlak Tuhan dan kehendak Tuhan
dibatasi oleh batasan-batasan yang telah ditentukan Tuhan sendiri, diantaranya
dalam bentuk kebebasan yang diciptakan Tuhan untuk manusia berupa perbuatan dan
kehendak terhadap yang baik dan yang buruk.
g.
Janji dan Ancaman.
Maturidy Samarkand dalam hal ini sepaham dengan mu’tazilah bahwa perbuatan
manusia bukanlah kehendak Tuhan, akan tetapi adalah perbuatan manusia itu
sendiri. Jadi manusia dihukum atas perbuatan manusia itu sendiri.
h.
Janji dan Ancaman / kewajiban
Tuhan.
Maturidy Bukhara sepaham dengan Asy’ariyah tentang adanya kewajiban Tuhan
terhadap manusia. Sedangkan Maturidy Samarkand memberi batasan kepada kekuasaan
mutlak Tuhan. Dengan demikian mereka menerima paham adanya kewajiban Tuhan
kepada manusia, pemberian pahala bagi perbuatan baik dan pemberian siksa bagi
perbuatan yang jahat.
i.
Beban Diluar Kemampuan Manusia.
Maturidy Bukhara mempunyai paham sama dengan Asy’ary, bahwa sesuai dengan
kemutlakan Tuhan atas kehendaknya, maka
pembebanan atas manusia diluar kemampuan adalah tidak mustahil. Ia berpegang pada
ayat al Quran yang berbunyi “innallaha
alaa kulli syaiin qadiir”. Maturidy Samarkand mengambil posisi yang dekat
dengan Mu’tazilah dimana al Quran sendiri mengatakan bahwa tuhan tidak
membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Hal tersebut
dapat di perhatikan dalam ayat al Quran yang berbunyi “Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, laha makasabat wa’alaiha
maktasabat”. (S. Baqarah 286; s. An’am 152 dan S. Baqarah 233).[31]
III. Kesimpulan
Dalam sejarah perkembangan Islam, timbulnya
aliran-aliran ilmu Kalam banyak dilatar belakangi faktor politik yang meningkat
menjadi persoalan teologi. tentang siapa
yang akan menggantikan kepemimpinan nabi Muhammad setelah beliau wafat karna
beliau tidak pernah menunjuknya dan menjelaskan cara pemilihannya. Sedangkan
kedudukan beliau sebagai Nabi terakhir sudah jelas tidak digantikan oleh orang
lain karena itu adalah hak mutlak bagi Allah. Dari sinilah timbulnya
aliran-aliran ilmu kalam, diantaranya adalah aliran Khawarij yang terpecah
menjadi beberapa aliran seperti al Azariqah, An Najddad, Al Ibadiyah dan
Syufriyah, begitu pula dengan aliran Syi’ah yang terpecah menjadi beberapa
aliran, diantanya al-Imamiyah, az-Zaidiyah, dan al Isma’iliyah. Begitu pula Murji’ah
yang terpecah menjadi bebrapa aliran kecil diantaranya yunusiah, As-Sahiliyah, Al-Ubaidiyah,
Assaubaniyah, tapi tidak dengan Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, dan aliran
Asy’ariyah yang identik dengan aliran Ahlu sunnah wal jamaah, dan Maturidiyah
yang terbagi menjai dua yaitu maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.
DAFTAR PUSTAKA
A. Ghofir Romas, ilmu tauhid,
Semarang : Badan
Penerbit Fakultas Dakwah IAIN, 1997.
Ahmad Hanafi, Theology Islam
(Ilmu Kalam), Jakarta :
Bulan Bintang, 1996.
Harun Nasution, Islam ditinjau
dari berbagai aspeknya, Jakarta :
UI Pres, 1986.
Harun Nasution, Teologi Islam,
Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press), 1986.
M. Muhaimin, ilmu kalam, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 1999.
Moh. Rifa’I, Pelajaran Ilmu
Tauhid, Jakarta :
Pelita Karya, 1971.
[1] M.
Muhaimin, ilmu kalam, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 1999, hlm 1-3
[2]
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (ilmu kalam),
Jakarta : Bulan
Bintang, 1974, hlm 3.
[3] M. Muhaimin,
op.cit, hlm 7-8
[4] Ibid hlm 21-24
[5] Ibid hlm 24-25
[6] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta : UI Pres, 1986, hlm 33.
[7] M.muhaimin,
op.cit, hlm 26.
[8]
Harun Nasution, loc.cit, hlm 33-34.
[9] M.Muhaimin,
op.cit, hlm 28-29
[10] A.Ghofir Romas, ilmu tauhid, Semarang :
Badan Penerbit Fakultas Dakwah IAIN, 1997 hlm 82-83
[11] M.Muhaimim, op.cit, hlm 45-46
[12] A. Ghofir Romas, op.cit, hlm 83
[13] M.Muhaimin,
op.cit, hlm 47-49
[14] A. Ghofir Romas, op.cit, hlm 85-86.
[15] Ibid, hlm 78.
[16] Moh. Rifa’I, Pelajaran Ilmu Tauhid, Jakarta :Pelita
Karya, 1971, hlm106.
[17] M.Muhaimin,
op.cit, hlm 33.
[18] A.Ghofir Romas, loc.cit, hlm 78.
[19]
M.Muhaimin, op.cit, hlm 34
[20] A.Ghofir Romas, op.cit, hlm 78-79
[21] M.Muhaimin, op.cit, hlm 35-38.
[22] Moh. Rifa’I, op.cit, hlm 104-105
[23] Harun Nasution, op.cit, hlm 37
[24] Moh. Rifa’I, op.cit, hlm 105
[25] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta :
Bulan Bintang, 1996,hlm39.
[26]
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia
(UI Press), 1986, hlm 38.
[27] M.Muhaimin , op.cit, hlm 68-78.
[28]
Ahmad Hanafi, op.cit, hlm 58
[29] M. Muhaimin, op.cit, hlm 99-102
[30] Ahmad Hanafi, op.cit, hlm 70-71
[31] M. Muhaimin, op.cit, hlm143-149.