I.
PENDAHULUAN
Dalam tradisi Barat, istilah “renaisans” berarti menemukan kembali
sesuatu yang hilang, tetapi institusi-institusi yang dibincangkan Mez dalam
tradisi Islam lebih merupakan sesuatu yang betul-betul baru ketimbang
“ditemukan” kembali. Jadi ungkapan “renaisans Islam” sesungguhnya layak untuk
diperdebatkan dan hal ini akan membawa kita pada suatu pengertian tentang
proses kultural yang dialami peradaban Islam pada abad ke-10 M.
Renaisans Italia telah menyaksikan kelahiran kembali pengetahuan,
kebudayaan, dan gaya
klasik. Oleh karena itu, istilah “renaisans” telah diperluas pengertiannya
hingga mencakup berbagai kebangkitan dan periode budaya restorasi klasik.
Renaisans Barat (seperti, Carolingian, Ottonian, abad ke-12, Bizantium) telah
berkembang dalam pengertian yang telah diperluas tersebut. Ada tanda-tanda yang sangat jelas bahwa
fenomena serupa juga ditemukan pada lingkungan budaya peradaban Islam, yang
pada abad ke-10 M menikmati kelahiran kembali warisan klasik dan kebangkitan
kembali kebudayaan pada umumnya.
Agaknya mustahil bagi kita untuk melakukan perbandingan secara detail
antara renaisans Islam di satu pihak dan renaisans Barat dipihak lain. Kitapun
tampaknya tidak perlu melakukan hal tersebut. Jika hanya ingin membuktikan
bahwa renaisans semacam itu pernah terjadi. Akan tetapi, sedikit penelitian
untuk melihat perbedaan dan persamaan antara kedua renaisans tersebut tetap
perlu dilakukan. Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang munculnya
renaisans dan penjajahan Barat atas dunia Islam.
II.
DESKRIPSI DATA
A.
Renaisans Islam
Periode modern dalam sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan
berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi dunia Islam secara
politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad
ke-20 M dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah
mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan
pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul
karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa
banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam.
Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya,
seperti bid’ah, khurafat dan takhyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka,
yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk
membersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal
sebagai gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini Barat mendominasi
dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan
tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit
dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk
menciptakan balance of power.[1]
Renaisans Islam yang rentang waktunya sangat panjang dapat dikatakan
telah berlangsung dari abad ke-3 H/9 M sampai abad ke-4 H/10 M. Periode ini,
yang menurut istilah S.D. Goitein disebut sebagai puncak “intermediate
civilization of Islam”, menyaksikan munculnya kelas menengah yang makmur
dan berpengaruh, yang memiliki keinginan kuat dan fasilitas yang diperlukan
untuk memperoleh pengetahuan dan status sosial, yang telah memberikan
kontribusi dalam pengembangan dan penyebaran kebudayaan kuno. Masyarakat urban,
dengan seluruh permasalahannya yang akut, –suplai makanan yang kurang,
penyakit, ketidakadilan, dan perselisihan– telah menyediakan wadah yang
diperlukan bagi usaha-usaha kreatif dan pembebasan diri dari pola-pola dan
batasan-batasan tradisional. Mobilitas fisik para saudagar dan sarjana
bergandengan tangan dengan mobilitas sosial. Individu-individu yang gigih
menghancurkan struktur kelas tradisional yang didasarkan pada garis keturunan;
pengetahuan, kecerdasan, dan bakat dikedepankan sebagai faktor penentu peranan
dan status sosial.[2] Selama
masa ini, para penguasa dan pejabat negara merupakan patron yang menaruh minat
besar terhadap pengetahuan, memanjakan para filosof, ilmuwan, dan sastrawan di
istana mereka yang megah. Perkembangan perniagaan dan perdagangan meluas hingga
melampaui daerah perbatasan kerajaan Islam, dan pertumbuhan urbanisasi
memberikan fasilitas komunikasi bagi masyarakat yang memiliki latar belakang
beragam. Baghdad
menjadi dasar bagi kerajaan besar yang membentang dari Spanyol sampai India .
Masyarakat Islam, menurut G. Levi Della Vida, “lebih kosmopolitan daripada
masyarakat Yunani dan Romawi yang pernah ada”. Puncaknya dicapai pada paruh
kedua abad ke-10 dibawah pemerintahan Dinasti Buwaihiyyah di Baghdad dan Iran bagian
barat, yang lebih tercurahkan dan toleran. Sultan-sultan Buwauihiyyah dan
wazir-wazirnya merupakan patron yang sangat menggemari seni dan ilmu. Tidak
dapat disangkal bahwa masa Buhaiwiyyah merupakan puncak kejayaan periode ini
yang dijuluki Adam Mez sebagai “Renaisans Islam” dan hingga batas-batas
tertentu bisa dianggap sebagai keunggulan kebudayaan Islam abad pertengahan.
Renaisans Islam sebenarnya juga banyak memiliki kesamaan dengan
renaisans pada abad ke-12 M. Keduanya sangat menekankan pentingnya warisan ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, dengan pengecualian bahwa Renaisans
Italia lebih memfokuskan pada tradisi retorik dan literer warisan tersebut.
Pada kenyataannya, baik dalam kebangkitan kembali Islam maupun renaisans abad
pertengahan, sejarah dan kesusastraan klasik adalah dua aspek yang paling tidak
diperhatikan dalam penerjemahan dari Yunani. Untuk hal lainnya, kebangkitan
kembali kebudayaan Islam mungkin dapat dikaitkan dengan renaisans Italia. Ada kesamaan di antara
keduanya dalam hal individualisme dan semangat sekularisme. Akan tetapi, jika dalam
renaisans Italia energi mereka lebih banyak dicurahkan untuk mereproduksi
warisan-warisan kuno dalam bidang seni dan arsitektur, serta dalam gaya secara umum, hal ini
tidak terjadi pada renaisans Islam.[3]
B.
Renaisans Barat
Gerakan-gerakan renaisans melahirkan perubahan-perubahan besar dalam
sejarah dunia. Abad ke-16 dan 17 M merupakan abad yang paling penting bari Eropa, sementara
pada akhir abad ke-17 dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Dengan renaisans,
Eropa bangkit kembali untuk mengejar ketinggalan mereka pada masa kebodohan dan
kegelapan.[4]
Mereka menyelidiki rahasia alam, menaklukkan lautan dan menjelajahi benua yang
sebelumnya masih diliputi kegelapan.
Pada awal kebangkitannya, Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat.
Dihadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan perang Islam yang sulit
dikalahkan, terutama Kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tidak ada jalan
lain, mereka harus menembus lautan yang sebelumnya hanya dipandang sebagai
dinding yang membatasi gerak mereka.[5]
Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukkan
lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. Setelah
Christopher Colombus menemukan Benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama
menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan (1498 M) benua Amerika dan
kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu,
sungguh tak terkirakan nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan,
karena tidak tergantung lagi pada jalur lama yang dikuasai umat Islam. L.
Stoddard menggambarkan, dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi
jalan raya, dan Eropa yang semula terpojok segera menjadi yang dipertuan di
laut dan dengan demikian yang dipertuan di dunia. Terjadilah perputaran nasib
yang maha hebat dalam sejarah seluruh umat manusia.[6]
Perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun semakin maju karena daerah-daerah
baru terbuka baginya. Mereka dapat memperoleh kekayaan yang tak berhingga untuk
meningkatkan kesejahteraan negerinya. Tak lama setelah itu, mulailah kemajuan
Barat melampaui kemajuan Islam yang sejak lama mengalami kemunduran. Kemajuan
Barat itu dipercepat oleh penemuan dan perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian melahirkan revolusi industri di
Eropa semakin memantapkan kemajuan mereka. Teknologi perkapalan dan militer
berkembang dengan pesat. Dengan demikian, sebagaimana telah disebutkan dalam
bab sebelum ini, Eropa penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan
perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari
lawan-lawan mereka. Bahkan, satu demi satu negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya
sebagai negeri jajahan.
C.
Penjajahan Barat terhadap
Dunia Islam di Anak Benua India dan Asia Tenggara
Kongsi dagang Inggris, British East India Company (BEIC) mulai berusaha
menguasai wilayah India
bagian timur ketika ia merasa cukup kuat. Penguasa-penguasa setempat mencoba
mempertahankan kekuasaan, dan berperang melawan Inggris tahun 1761 M. Namun,
mereka tidak berhasil mengalahkan Inggris. Akibatnya, daerah-daerah Oudh , Bengal , dan Orissa
jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, ibu kota kerajaan Mughal
juga berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris,[7]
karena bantuan yang diberikan Inggris kepada raja ketika mengalahkan aliansi
Sikh-Hindu yang berusaha menguasai kerajaan. Mulai saat itulah Inggris leluasa
mengembangkan sayap kekuasaannya di anak benua India dan sekitarnya. Pada tahun
1842 M, Keamiran Muslim Sind di India dikuasainya. Pada tahun 1857 M kerajaan
Mughal bahkan dikuasai penuh dan setahun kemudian rajanya yang terakhir dipaksa
meninggalkan istana. Sejak itu, India
berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya di sana . Pada tahun 1879 M,
Inggris berusaha menguasai Afghanistan, dan Kesultanan Muslim Baluchistan
dimasukkan di bawah kekuasaan India-Inggris, tahun 1899 M.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang
merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang
perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan
kekuasaannya di negeri ini. Hal itu mungkin karena, dibandingkan dengan Mughal,
kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah
dapat ditaklukkan.[8]
Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di
Semenanjung Malaya yang strategis dan merupakan kerajaan Islam kedua di Asia
Tenggara setelah Samudera Pasai, ditaklukkan Portugis tahun 1511 M. Sejak itu,
peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis terutama berupaya
menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah. Penjajahan Portugis yang
terlama di Nusantara adalah di Timor Timur.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang.
Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan
Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Kesultanan Buayan, dan Kesultanan Sulu.
Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris , Denmark
dan Perancis yang datang ke Asia Tenggara. Akan tetapi, dua negara yang disebut
terakhir tidak berhasil menjajah negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk
berdagang. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera dapat memonopoli
perdagangan di kepulauan Nusantara. Kongsi dagangnya, VOC, segera pula
memainkan peran politik. Tentu saja kehadirannya ditantang oleh penduduk
setempat. Oleh karena itu seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan
penduduk, walaupun akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh Belanda. Yang
terbesar di antaranya adalah Perang Aceh, Perang Paderi di Minangkabau, dan
Perang Diponegoro di Jawa. Sementara itu, setelah Inggris datang ke Asia
Tenggara, ia segera menjadi kekuatan yang cukup dominan, menyaingi kekuatan
Belanda. Kekuasaan Inggris tertancap di Semenanjung Malaya ,
termasuk Singapura sekarang, dan Kalimantan Barat, termasuk Brunei. Inggris
bahkan juga sempat menguasai seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang
tidak terlalu lama di awal abad ke-19 M.
Sebagaimana di India, di Asia Tenggara kekuasaan politik negara-negara
Eropa itu berlanjut terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika negeri-negeri
jajahan tersebut memerdekakan diri dari kekuasaan asing.
D.
Kemunduran Kerajaan Usmani
dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang
membuat Kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar
Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan
wilayah-wilayah yang berada di kekuasaan kerajaan Islam ini, termasuk
daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun, kekalahan besar Kerajaan
Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M membuka mata Barat
bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah Kerajaan Usmani
berulangkali mendapat serangan-serangan besar dari Barat.[9]
Sejak kekalahan dalam pertempuran Wina itu, Kerajaan Usmani juga
menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai
dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara-negara Eropa, terutama Prancis,
untuk mempelajari suasana kemajuan di sana
dari dekat.[10] Celebi
Mehmed diutus ke Paris
tahun 1720 M dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-pabrik,
benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi
laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, dan
kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan itu mendorong Sultan
Ahmad III (1703-1730 M) untuk memulai pembaharuan dikerajaannya. Pada masa
kekuasaannya didatangkan ahli-ahli militer dari Eropa untuk tujuan pembaharuan
militer dalam Kerajaan Usmani. Pada tahun 1717 M, seorang perwira Perancis, De
Rochefort, datang ke Istambul dalam rangka membentuk korp artileri dan melatih
tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modern. Pada tahun 1729 M, datang
lagi Comte de Bonneval, juga dari Perancis, untuk memberi latihan penggunaan
meriam modern. Ia dibantu oleh McCarthy dari Irlandia, Ramsay dari Skotlandia,
dan Mornai dari Perancis. Pada tahun 1734 M, untuk pertama kalinya Sekolah
Teknik Militer dibuka.[11]
Usaha pembaharuan ini tidak terbatas dalam bidang militer. Dalam bidang-bidang
yang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istanbul
tahun 1727 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga
gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan
kemunduran Kerajaan Turki Usmani yang terus mengalami kemerosotan, tetapi juga
tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan itu terutama adalah
kelemahan raja-raja Usmani karena wewenangnya sudah jauh menurun. Di samping
itu, keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu
menunjang usaha pembaharuan. Faktor terpenting lainnya yang membawa kegagalan
itu adalah karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai
suasana politik dalam Kerajaan Usmani serta menolak usaha pembaharuan itu.
Dengan demikian, Kerajaan Usmani terus saja mendekati jurang kehancurannya,
sementara Barat yang menjadi ancaman baginya semakin besar.
Usaha pembaharuan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah
penghalang pembaharuan utama, yaitu tentara Yenissari dibubarkan oleh Sultan
Mahmud II (1807-1839 M) pada tahun 1826 M. Struktur kekuasaan kerajaan
dirombak, lembaga-lembaga pendidikan modern didirikan, buku-buku barat
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, siswa-siswa berbakat dikirim ke Eropa
untuk belajar, dan yang terpenting sekali adalah sekolah-sekolah yang
berhubungan dengan kemiliteran didirikan. Bidang militer inilah yang utama dan
pertama mendapat perhatian. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan,
hasil gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerak maju Barat ke
dunia Islam di abad ke-19 M.
Di samping itu, gerakan pembaharuan malah justru mengancam kekuasaan
para sultan yang absolut, karena para pejuang Turki melihat bahwa kelemahan
Turki terletak pada keabsolutan Sultan itu. Mereka ingin membatasi kekuasaan
Sultan dengan membentuk konstitusi, sehingga lahir gerakan tanzimat, Usmani
Muda, Turki Muda, dan Partai Persatuan dan Kemajuan (Ittihad ve Terekki).
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah di Asia dan Afrika yang
sebelumnya dikuasai Turki Usmani, melepaskan diri dari Konstantinopel. Dari
sekian banyak faktor yang menyebabkan kemunduran Turki Usmani itu yang tak
kalah pentingnya adalah timbulnya perasaan nasionalisme pada bangsa-bangsa yang
berada di bawah kekuasaannya. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama
Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya. [12]
Demikianlah keadaan dunia Islam pada abad ke-19 M, sementara Eropa
sudah jauh meninggalkannya. Eropa dipersenjatai dengan ilmu modern dan penemuan
yang membuka rahasia alam. Satu demi satu negeri-negeri Islam yang sedang rapuh
itu jatuh ke tangan Barat. Dalam waktu yang tidak lama, kerajaan-kerajaan besar
Eropa sudah membagi-bagi seluruh dunia Islam. Inggris merebut India dan
Mesir. Rusia menyeberangi Kaukasus dan menguasai Asia Tengah. Perancis
menaklukkan Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya mendapat pula
bagiannya dari warisan Islam itu.[13]
E.
Bangkitnya Nasionalisme di
Dunia Islam dan Tumbuhnya Gerakan Partai yang memperjuangkan Kemerdekaan
Negaranya
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya –yang
dikenal dengan gerakan pembaharuan– didorong oleh dua faktor yang saling
mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai
penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu
pengetahuan dari Barat. Yang pertama seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori
oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah
(1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiyah di Afrika Utama yang dipimpin
oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Sedangkan yang kedua, tercermin dalam pengiriman
para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa
untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan
karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga
banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik,
karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang
pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang
mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun, gagasan
ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal,
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M).
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Kerajaan
Turki Usmani, Abd al-Hamid II (1876-1909 M), untuk mengundang al-Afghani ke
Istambul, ibu kota kerajaan. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat
di negeri-negeri Islam. Akan tetapi semangat demokrasi al-Afghani tersebut
menjadi duri bagi kekuasaan Sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat
banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup,
terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya, Jerman, kalah dalam Perang
Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru
mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri
muslim melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan
dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau
lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan
kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam
karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Akan
tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup.
III.
ANALISIS
Pada pertengahan abad ke-20 M dunia Islam bangkit dan memerdekakan
negerinya dari penjajahan Barat. Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan
kembali Islam setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan.
Kemudian pada abad ke-16 dan 17 M itu merupakan abad yang paling
penting bagi eropa. Sementara pada akhir abad ke-17 dunia Islam mulai mengalami
kemunduran. Dengan renaisans, Eropa akhirnya bangkit kembali untuk mengejar
ketinggalan mereka pada masa kebodohan dan kegelapan.
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
bahwa renaisans Islam yang rentang waktunya sangat panjang dapat dikatakan
telah berlangsung dari abad ke-3 H/9 M sampai abad ke-4 H/10 M. Periode ini
disebut sebagai puncak “Intermediate Civilization of Islam” menyaksikan
munculnya kelas menengah yang makmur dan memiliki keinginan kuat dan fasilitas
yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan dan status sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abu I-Hasan Ali al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta : Pustaka
Jaya-Djambatan, 1988.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta :
Bulan Bintang, 1988.
Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, Bandung : Mizan, 2003.
L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta : CV. Mutiara, 1966.
S.M. Ikram, Muslim Civilization in India , London : Cambridge University
Press, 1977.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003, hlm.
173-174.
[2]
Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, Bandung :
Mizan, 2003, hlm. 26.
[3] Ibid.,
hlm. 27.
[4]
Abu I-Hasan Ali al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta : Pustaka
Jaya-Djambatan, 1988, hlm. 220.
[5] L.
Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta :
1966, hlm. 25.
[6] Ibid.,
hlm. 26.
[7]
S.M. Ikram, Muslim Civilization in India, London : Cambridge University Press, 1977,
hlm. 268.
[8]
Badri Yatim, op.cit., hlm. 176-177.
[9] L.
Stoddard, loc.cit.
[10]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang,
1988, hlm. 15.
[11] Ibid.,
hlm. 16.
[12]
Badri Yatim, op.cit., hlm. 179.
[13]
L. Stoddard, op.cit., hlm. 27.