Pemikiran Rasional dalam Islam

11 September 2018

Pemikiran Rasional dalam Islam

Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan falsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Agung pada abad ke IV sebelum Kristen. Dan filsafat ini mulai ber-kembang dengan pesat pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), putra Harun al-Rasyid.
Dalam sejarah filsafat Islam terdapat perkembangan tentang istilah rasionalisme. Rasionalisme Islam adalah suatu fenomena penggunaan akal sebagai sumber pengetahuan. Dalam filsafat Barat rasionalisme adalah aliran secara independen berdiri sebagai tesa terhadap perkembangan filsafat. Akan tetapi dalam filsafat Islam. Rasionalisme dipahami semata-mata dari sudut penggunaan akal dalam epistemologi. (Harun Nasution, 1986: 46)
Aliran-aliran dalam Islam banyak yang menentang filsafat Yunani. Lain halnya dengan kaum Mu’tazilah yang lebih tertarik kepada filsafat Yunani. Para pemuda kaum Mu’tazilah banyak membaca buku-buku filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran teologi mereka. Di samping kaum Mu’tazilah segera pula muncul filosof-filosof Islam yang terkenal.
Sebagaimana filsafat Barat, dalam tradisi filsafat Islam terdapat fenomena perkembangan pemikiran. Setidaknya ada tiga macam teori pengetahuan yang biasa disebut-sebut. Pertama, pengetahuan rasional (Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, hingga Ibnu Rusyd dan lain-lain). Kedua, pengetahuan inderawi (terbatas kepada klasifikasi sumber perolehan, sumber pengetahuan), tetapi bahwa ada filosof muslim yang mengembangkan teori ini sebagaimana empirisme di Barat. Dan yang ketiga, adalah pengetahuan Kasyf yang diperoleh lewat ilham. (Fatimah, 1992: 35-36)
Pertama, yang membicarakan akal secara sistematis adalah filosof al-Farabi, yang terkenal sebagai penterjemah sekaligus sebagai komentator ulung terhadap filsafat Yunani. Setelah melakukan penerangan yang mendalam, al-Farabi berusaha menghubungkan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Mengenai filsafat ia berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan dan untuk ini ia menulis sebuah risalah tentang persamaan antara Plato dan Aristoteles.
Dalam filsafat rasional, akal menurut al-Farabi mempunyai tiga tingkatan, al-Haylani (potensial) bi al-fi’l (aktual) dan al-Mustafad (adeptus, aquired). Sedang dalam falsafat emanasi, Harun Nasution menerangkan bahwa al-Farabi mencoba men-jelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi. (Harun Nasution, 1998: 21)
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang dirinya (Zat-nya), dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain, maka keluarlah akal pertama, akal kedua, akal ketiga hingga akal kesepuluh. Semua berhubungan dengan pemikiran tentang Tuhan. Akal yang memancar dari Tuhan membawa alam-alam materi berupa benda-benda langit (planet-planet) dan kesepuluh mewujudkan bumi dan materi yang pertama menjadi dasar alam. Akal kesepuluh ini dalam konsep al-Farabi juga disebut akal fa’al (akal aktif) atau wahidusuwar (pemberi bentuk dalam tempatnya Jibril). Akal inilah yang merupakan sebab-sebab adanya jiwa di bumi. (Ahmad Dandy, 1986: 39). Dan di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Bahkan Harun Nasution menyatakan bahwa :

“Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari, akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal aktif.” (Harun Nasution, 1998: 24)

Al-Farabi selanjutnya menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu melalui daya-daya yang ada dalam jiwa. Daya-daya itu adalah daya berfikir, daya mengkhayal, dan daya mengindra. Secara spesifik bagi al-Farabi yang terpenting dari daya-daya tersebut adalah daya berfikir, daya ini menduduki tempat paling tinggi, sekaligus berperan sebagai pemimpin dalam proses mengetahui. Daya berfikir sendiri dibagi menjadi tiga: akal potensial, akal aktual dan akal mustafad.
Ibnu Sina sebagai murid al-Farabi tampil lebih jelas dan terang dalam soal pengetahuan manusia. Dalam analisis simbolis mengenai surat an-Nur :

Di antara kemampuan-kemampuan intelektual menyangkut kebutuhan untuk mentransendensi substansinya dari akal potensial ke akal aktual adalah sebagai kemampuan reseptivitas karena hal-hal yang bisa terpahami sebagai akal material, ini adalah cahaya-cahaya. Selanjutnya kemampuan akal ketika wujud-wujud terpahami primer muncul di dalamnya. Munculnya wujud-wujud primer ini merupakan landasan yang di atasnya wujud-wujudnya skunder bisa didapatkan. Proses perolehan ini melalui kontemplasi yang disebut pohon Zaitun, jika pikiran tidak cukup tajam, atau dengan dugaan disebut dalam bahan bakar (minyak dari pohon zaitun), jika pemikiran-pemikiran benar-benar cerdik, bagaimanapun yang disebut akal kabitual sama tranparannya dengan kaca ilahi, seolah minyaknya menyala sendiri tanpa disentuh api.” (Mahdi Hariri Yazdi, 1991: 35)

Kemudian datang kepada akal itu suatu kekuatan dan kesempurnaan. Kesempurnaan ini sangat penting bagi kemampuan untuk menyerap hal-hal yang terpahami dalam suatu aksi sehingga pikiran dapat menyerap selama tergambar dalam pikiran. Inilah cahaya di atas cahaya. Kemanapun tanpa perlu melakukan penyidikan, ia mampu menyerap wujud-wujud terpahami yang sebelumnya telah diperoleh dan yang seolah terlupakan sekarang terpersepsi, inilah kemampuan pikiran sebagaimana lampu dinyalakan.
Agama yang menyebabkan pikiran beranjak (sebagaimana nyala api) dari akal material ke aksi yang tuntas adalah akal aktif, ini adalah api. Ibnu Sina berusaha membebaskan pikiran dari segala aktivitas dan menisbatkan semua operasi intelektual kepada akal aktif yang terpisah tersebut, dengan menyebutkan akal terpisah itu sebagai api.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd akal aktif atau agent intellect adalah penyebab segala sesuatu yang dapat dipahamkan dengan terang, yang paling berbahaya bagi manusia (intellect-nya) adalah apa yang diperolehnya yaitu kemampuan untuk mengetahui. Adalah perlu bagi intellect material mengetahui intellect yang terpisah, oleh karena itu mengetahui secara potensial dan potensialitas seperti itu harus berada dalam alam semestinya. (Oliver Leaman, 1989: 159)
Kerja akal bagi Ibnu Rusyd adalah menyerap gagasan konsep yang bersifat universal dan yang hakiki. Akal memiliki tiga kerja dasar; mengabstraksi, mengkombinasikan, dan menilai. Kalau kita menyerap suatu gagasan yang bersifat universal, kita mengabstraksinya dari materi, sebagaimana titik dan garis. Tetapi akal tidak hanya mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, juga mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dinyatakan secara aksiologis benar atau salah. Kerja yang pertama disebut sebagai proses pencerahan (intelligere) yang kedua disebut sebagai pembenaran (credulities).
Jadi bagi Ibnu Rusyd kerangka secara keseluruhan kerja akal adalah sebagai berikut :

  1. Manusia mendapatkan di dalam akal satu gagasan atau maksud tunggal sebagai proses abstraksi.
  2. Mengkombinasikan dua pengertian atau lebih untuk mendapatkan konsep seperti konsep manusia yang terdiri atas hewaniah dan rasionalitas, genus dan defferentis dan ini membentuk essensi sesuatu. Dengan demikian tinggal membentuk definisi.
  3. Karena konsep tidak benar atau tidak salah, bila dibenarkan atau disangkal dalam suatu proposisi maka manusia mempunyai penilaian.

Datanglah filosof berikutnya yang berbicara tentang akal secara lebih menarik. Ibnu Khaldun mencoba menerangkan proses kerja akal dengan berfikir. Berfikir dalam pandangannya adalah proses penerjemahan bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal untuk membuat analisa dan sintesis. Kesanggupan manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta. Dengan tatanan yang berubah-ubah dengan maksud supaya ia mengadakan seleksi kemampuan diri. Bentuk pemikiran semacam itu kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah yang disebut akal pembeda yang membantu manusia dengan idea-idea dan perilaku yang dibutuhkan dalam pengenalan. Kedua, ialah kemampuan akal manusia untuk memikirkan melakukan apresiasi-apresiasi terhadap pengalaman manusia yang dicapai satu persatu sehingga dapat menjadikan manfaat baginya. Inilah yang disebut sebagai akal eksperimental. Ketiga, pengetahuan manusia yang dilengkapi dengan pengetahuan hipotesis mengenai sesuatu yang menyertainya. Inilah akal spekulatif yang merupakan persepsi dan apersepsi tasawuf dan tasdiq, yang tersusun dalam tatanan khusus, sehingga membentuk pengalaman lain yang berkembang mencapai pengetahuan intelektual murni sebagai tingkat yang sempurna dalam realitasnya. (Ibnu Khaldun, 1996: 522-523)
Adapun dalam kemampuan akal, Ibnu Khaldun mengatakan sebagai berikut :

“Akal adalah timbangan emas, yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya, tetapi mempergunakan akal untuk menimbang tentang ke-Esa-an Allah, atau hidup di akhirat atau hakikat sifat-sifat Tuhan di luar jangkauan akal maka sama saja dengan menimbang gunung, tetapi tidak berarti timbangan itu tidak dapat dipercaya.” (Charles Issawi, 1996: 49)

Pendapat tersebut adalah suatu apresiasi terhadap penggunaan akal secara proporsional. Karena dalam al-Qur’an sendiri ter-dapat ayat yang terang dan sembunyi sebagai refleksi pemikiran manusia.
Dalam tradisi pemikiran Islam atau filsafat Islam sendiri terdapat kecenderungan menggunakan rasio sebagaimana filosof al-Farabi hingga Ibnu Rusyd, hal tersebut sebagai penganut filsafat Yunani dengan teori-teori akalnya dan pengetahuan yang bersifat rasional. Dan pemikiran-pemikiran para filosof Islam ini adalah sebagai bukti perkembangan dari kemajuan para filosof muslim terhadap filsafat rasional dalam Islam yang sering kita sebut “Filsafat Islam”.
Pemikiran rasional jika dikaitkan dengan Fiqih (hukum Islam), maka akan tertuju pada pola kerja Ijtihad. Ijtihad menurut Harun Nasution berasal dari kata “al-juhdu” yang berarti daya upaya atau kerja keras, sehingga ijtihad diartikan sebagai suatu upaya yang berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Kalau pengertian ini dibawa kepada konsep ijtihad dalam hukum, maka ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui hukum melalui-melalui dalil-dalâil agama, al-Qur’an dan al-Hadits, seperti halnya yang dilakukan oleh para fuqaha dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada ketentuannya.
Ijtihad, menurut Harun Nasution tidak terbatas pada bidang hukum saja, tetapi meliputi semua bidang pemikiran dalam Islam. Oleh karena itu, dia tidak membatasi cakupan ijtihad  pada bidang hukum saja, tetapi dibidang teologi, filsafat, dan mistisisme, bahkan juga di bidang politik dalam menyelenggarakan urusan kemasyarakatan dan kenegaraan umat.
Dari pengertian Ijtihad secara umum atau dalam pengertian yang luas, maka dalam filsafat ijtihad merupakan suatu metode berpikir yang tertuju pada pemikiran rasional. Karena dalam pola kerja ijtihad adalah pola kerja keras akal dalam upaya menemukan solusi yang logis dan rasional. Dengan ijtihad dapat membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional dan menghormati kebebasan.
Ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha atau para mujtahid menunjukkan bahwa dalam pemikiran rasional sudah ada sejak dulu pada dunia Islam dan bukan mengadopsi atau meniru kepada dunia filsafat Barat. Hal itu bisa ditunjukkan dengan kerja keras empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam menetapkan hukum.
Sedangkan pemikiran rasional dalam pandangan tasawuf merupakan pemikiran kontradiktif dengan jiwa (batin) manusia. Karena pada umumnya, mereka yang menamakan diri sebagai seorang sufi mengatakan bahwa pemikiran yang dialami oleh seseorang pada dasarnya merupakan proses penyadaran diri atau penyucian diri melalui berbagai macam latihan yang berat dan lama dalam rangka menuju ma’rifat dan keridlaan Allah.
Jika dilihat dari segi niat maupun tujuan Asmaraman mengatakan bahwa dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan diri dalam mengabdi kepada Allah SWT. (Asmaraman, 1994: 43). Untuk itu mereka selalu sabar dalam melakukannya meskipun berat dan lama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Harun Nasution, seorang sufi adalah orang yang disucikan dan menyucikan diri melalui latihan yang berat dan lama. (Harun Nasution, 1999: 54)
Dari pengertian tersebut maka jelaslah bahwa dalam tasawuf lebih diutamakan pada pembersihan jiwa dan peningkatan moral. Sebagaimana pernyataan Asmaraman, yang mengutip karya Abdul Wafa al-Taftazani, Madkhal ila tasawwuf al-Islam, bahwa dalam tasawuf pada umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral dan epistemologis yang sesuai dengan semua bentuk tasawuf atau mistisisme yaitu: peningkatan moral, sirna dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung, ketentraman atau kebahagiaan dan penggunaan simbol dalam pengungkapan.
Meskipun keyakinan atas adanya intuisi dan pemahaman batin yang dilakukan oleh para sufi sebagai metode untuk mendapatkan pengetahuan itu merupakan kebalikan dari pengetahuan rasional analitis, dan mereka menganggap bahwa keyakinan atas perbuatan yang tidak baik adalah sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan pada kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.
Meskipun pengetahuan kemanusiaan atau pengertian yang dihadirkan diperoleh lepas dari akal, namun sifat hakiki dan karakter kenabian sama sekali bukan tali rasional. Peran akal terhadap realitas suprarasional adalah untuk mengenalkan kepada kita kebutaannya sendiri dalam memahami apa yang dapat dihayati oleh mata kenabian, dalam hal ini al-Ghazali membenarkan pandangan tradisional bahwa hati atau intelek atau prinsip merupakan dari akal.
Menurut R. Paryana Suryadipura, pusat akal dalam tasawuf dibagi menjadi dua bagian yaitu akal ajiji dan akal kasabi. Akal ajiji berfungsi untuk membedakan sesuatu yang lain. Ia merupakan akal yang terdapat pada setiap orang yang sehat otaknya. Ia bersifat hajulami, yakni akal dari seseorang yang belum mendapat pelajaran dari sekolah, atau merupakan akal bawaan yang tumbuh sendiri, belum diasah, dan belum diarahkan oleh pelajaran. Sedangkan akal Kasabi adalah akal yang dipergunakan untuk berusaha besar dan kecil; ia bersifat milkat yakni akal yang telah mendapatkan pelajaran. (R. Paryana Suryadipura, 1993: 257)
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.