I. PENDAHULUAN
Manusia terdiri dari ruh dan jasad, karenanya Allah Swt menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk. Beberapa hadits mengidentifikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut. Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar.
Ahli hakikat dari kalangan ahli sunnah berbeda pandangan soal ruh.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Ruh
Menurut Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M) menjelaskan bahwa kata al-ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri dari huruf ra, wawu, ha; mempunyai arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa al-ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.[2]
Al-Raqib al-Asfahaniy (w. 503 H / 1108 M), menyatakan di antara makna al-Ruh adalah al-Nafs (jiwa manusia). Makna disini adalah dalam arti aspek atau dimensi, yaitu bahwa sebagian aspek atau dimensi jiwa manusia adalah al-ruh.[3]
Nyawa (ruh) menurut al-Ghazali mengandung dua pengertian, pertama : tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang ke segala bagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman dari padanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebagian dari rumah, melainkan terus disinarinya dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.
Pengertian kedua yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah tentang salah satu pengertian hati, serta itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya:
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى {الإسراء : 85}
“Jawablah! Nyawa (ruh) itu termasuk urusan Tuhanku” (QS. Al-Isra’ : 85)
Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham dari pada mengetahui hakikatnya.[4]
Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia. Inilah yang disebut sebagai khayalan akhar, yaitu makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk lainnya. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam QS. Al-Mu’minun : 14.[5] Kata al-Ruh disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali, masing-masing terdapat dalam 19
B. Karakteristik al-Ruh
Mengenai ruh ada beberapa karakteristik, antara lain :
1. Ruh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah / bumi
2. Ruh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa manusia. Ruh yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat kehadirat-Nya
3. Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur / tak sadar
4. Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan menjadi suci.
5. Ruh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa “wadah”-nya, parallel dengan zat cair, gas dan cahaya yang “bentuk”-nya serupa tempat ia berada.
6. Tasawuf mengikutsertakan ruh kita beribadah kepada Tuhan
7. Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat Allah tidak saja sampai pada taraf kesadaran lahiriah, tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimat Allah yang termuat dalam ruh itu pada gilirannya dapat membawa ruh itu sendiri ke alam ketuhanan.[7]
C. Al-Ruh sebagai Dimensi Spiritual Psikis Manusia
Dimensi dimaksudkan adalah sisi psikis yang memiliki kadar dan nilai tertentu dalam sistem “organisasi” jiwa manusia. Dimensi spiritual dimaksudkan adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Pemilihan sifat-sifat Tuhan bermakna memiliki potensi-potensi lahir batin. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi psikis manusia dan memerlukan aktualisasi.
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Perwujudan dari sifat-sifat dan daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam dirinya untuk menjadi khalifah Allah, atau wakil Allah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Tegasnya bahwa dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewujud secara aktual sebagai khalifah Allah.[8]
Dalam al-Qur’an dijelaskan kata al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia. Berikut dijelaskan bahwa Allah “meniup”-
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ {الحجر : 29}
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
Berdasarkan ayat di atas, kata ruh dihubungkan dengan Allah. Istilah yang digunakan untuk menyatakan hubungan itu juga beragam, seperti al-ruh minhu ruhina, ruhihi, al-ruhiy, ruh min amri rabbi. Selanjutnya, ruh Allah itu diciptakan kepada manusia melalui proses al-nafakh. Berbeda dengan al-nafs, sebab nafs telah ada sejak nutfan dalam proses konsepsi, sedangkan ruh baru diciptakan setelah nutfah mencapai kondisi istimewa. Karena itu merupakan dimensi jiwa yang khusus bagi manusia.[9]
Menurut psikologi transpersonal, ada dua hal penting dalam diri manusia, yaitu potensi-potensi luhur batin manusia (human highest potentials) dan fenomena kesadaran manusia (human states of consciousness). Yang menjadi perhatian bagi psikologi transpersonal yaitu dalam wilayah aspek ruhaniah. Telaahnya berbeda dengan psikologi humanistic, bahwa psikologi humanistic lebih menekankan pada pemanfaatan potensi-potensi luhur manusia untuk meningkatkan kualitas hubungan antar manusia. Sedangkan psikologi transpersonal menekankan pada pengalaman subjektif spiritual transcendental.[10]
Tasawuf Islam mengajarkan metode dan teknik-teknik munajat dan shalat khusyuk guna meningkatkan derajat ruh mencapai taraf al-nafs al-muthmainnah / lebih tinggi lagi. Sehingga diharapkan manusia dapat mengembangkan diri mencapai kualitas insan kamil. Adapun ruh diciptakan jauh sebelum manusia dilahirkan, berfungsi semasa hidup dan setelah meninggal ruh akan pindah ke alam baqa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ke dalam hadirat Ilahi. Jadi ruh itu ada dalam diri manusia, tapi tak kasat mat (invisible) karena sangat halus, gaib serta dimensinya yang jauh lebih tinggi dari alam pikiran, serta tahapannya pun di atas alam sadar. Ruh dengan demikian merupakan salah satu dimensi yang ada pada manusia di samping dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan, yang ada sebelum dan sesudah masa kehidupan manusia.[11]
D. Hiasan Bagi Ruh
Ruh (roh atau jiwa) juga menunjukkan kelembutan Ilahi, dan seperti halnya si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah. Roh dimasukkan ke dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah seperti lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.
Pada dasarnya roh merupakan lathifah dan oleh karenanya ia merupakan suatu unsur Ilahi. Sebagai sesuatu yang halus, ia merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi dari manusia yang bertanggung jawab terhadap sinar dari penglihatan yang murni, apabila manusia bebas seluruhnya dari kesadaran fenomenal.[12]
Tingkat perkembangan ruh yang sempurna dihiasi dengan sifat-sifat ketuhanan dan berhak menjadi wakil Allah. Salah satu aliran berpendapat bahwa nafs harus dibersihkan agar ruh dapat dihiasi. Beberapa aliran yang lain beranggapan bahwa jika ruh tidak dihias maka nafs tidak dapat dibersihkan.
Pandangan lain adalah bahwa sekalipun seseorang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berjuang membersihkan nafs, nafs tersebut masih belum bisa dibersihkan seluruhnya dan dia bahkan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dengan ruh. Namun jika seseorang bisa menempatkan nafs tetap berada dalam etika thariqat, yang memusatkan perhatian pada pembersihan hati dan menghias ruh, maka kemuliaan ketuhanan akan muncul silih berganti melalui pengaruh daya tarik kemurahan dan kemuliaan Allah.[13]
Cinta adalah daya tarik ketuhanan, apabila menemukan jalannya ke dalam hati, dia akan membakar akar wujud seseorang, dan menyatukannya dengan wujud mutlak. Hati adalah wilayah persimpangan antara kesatuan dan keragaman. Ketika hati dimurnikan dari segala karat keragaman, matahari cinta akan terbit dan memancarkan sinar kesatuan. Cinta adalah ramuan wujud. Orang harus mematikan diri agar dapat meraih harta karun kehidupan abadi.[14]
III. KESIMPULAN
Al-ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan. Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat ketuhanan) dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam kehidupannya di dunia. Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Dengan ini, maka manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk yang memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA
Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Risalah Gusti,
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an, Pustaka Pelajar,
Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Nasional,
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar,
Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, Pustaka,
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, Fajar Pustaka Baru,
[1] Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Risalah Gusti,
[2] Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an, Pustaka Pelajar,
[3] Ibid., hlm. 136
[4] Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Pustaka
[5] Dr. Baharuddin, op.cit., hlm. 137
[6] Ibid., hlm. 140-143
[7] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar,
[8] Dr. Baharuddin, op.cit., hlm. 135-136
[9] Ibid., hlm. 143-145
[10] Ibid., hlm. 179-180
[11] Hanna Djumhana Bastaman, op.cit., hlm. 94
[12] Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, Pustaka,
[13] Dr. Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, Fajar Pustaka Baru,
[14] Ibid., hlm. 223-225
0 comment:
Posting Komentar