KAIDAH FIQH DAN NADLARIYAH AL-FIQH

25 Desember 2008

KAIDAH FIQH DAN NADLARIYAH AL-FIQH



A. PENDAHULUAN

Syar’i dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat manusia. Mengetahui tujuan umum diciptakan perundang-undangan itu sangat penting agar dapat menarik hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar yang selanjutnya dapat menetapkan hukum peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya.

Syara’ tidak menciptakan hukum-hukumnya secara kebetulan saja. Syara’ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Sebenarnya tidak dapat kita memahami nash-nash secara hakikatnya terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dari menciptakan nash-nash itu. Tujuan umum syar’i dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dlaruri (kebutuhan pokok) bagi mereka, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyyat) dan kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyyat). Setiap hukum syar’i tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah satu dari tiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya kemaslahatan manusia. Maka dari itu untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini mengenai “Kaidah Fiqh dan Nadlariyah al-Fiqh”.

B. PERMASALAHAN

Dari pemaparan di atas, maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut :

1. Kaidah fiqh

2. Nadlariyah al-Fiqh

a. al-Daruriyah

b. al-Hajiyyah

c. al-Tahsiniyyah

3. Perbedaan antara kaidah fiqh dengan Nadlariyah al-Fiqh

C. PEMBAHASAN

1. Kaidah fiqh

Pengertian kaidah secara bahasa, menurut Ahmad Warson Munawwir, adalah “al-asas” (dasar, asas, dan fondasi), al-qanian (peraturan dan kaidah dasar), “al-mabda” (prinsip), dan “al-nasaq” (metode atau cara).[1] Sedangkan menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, menjelaskan arti kaidah secara bahasa adalah al-asas, yaitu baik sebagai asas yang konkret (inderawi), maupun yang abstrak (ma’nawi).[2]

Adapun arti kaidah yang menunjukkan arti konkret adalah firman Allah :

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ {البقرة : 127}

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-Baqarah : 127)

...فَأَتَى اللهُ بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ... {النحل : 26}

“…Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya…”, (An-Nahl : 26)

Dua ayat al-Qur’an di atas menunjukkan salah satu arti dari kaidah, yaitu al-asas atau fondasi.[3] Ulama berbeda dalam meredaksikan definisi kaidah secara istilah. Paling tidak ulama ahli nahwu berbeda pendapat dengan ulama ahli fiqh dan ahli ushul dalam menentukan redaksi kaidah secara istilah, ulama ahli nahwu berpendapat bahwa kaidah semakna dengan al-dlabith, yaitu : “aturan-aturan umum yang mencakup semua bagianya”. Sedangkan ulama ushul berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan umum tersebut. Sedangkan ulama fiqh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah aturan pada umumnya atau kebanyakan yang membawahi bagian-bagiannya untuk mengetahui hukum-hukum yang dicakupnya berdasarkan aturan umum tersebut.

Pengertian kaidah fiqh secara istilah adalah :[4]

a. Patokan hukum dalam aturan yang bersifat pada umumnya, dari aturan tersebut dapat diketahui hukum-hukum sesuatu yang berada di bawah cakupannya.

b. Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas yang mengumpulkannya.

Dari pengertian di atas dapat diketahui hal-hal sebagai berikut :[5]

a. Kaidah adalah ugeran atau patokan umum yang dijadikan dasar untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum diketahui hukumnya.

b. Kaidah bersifat aglabiyat, aktsariyat atau pada umumnya. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian.

c. Tujuan pembentukan kaidah fiqh adalah agar ulama, hakim, dan mufti, memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau masalah-masalah dalam masyarakat.

2. Nadlariyah al-Fiqh

Abdul al-Razaq al-Sanhuri mengatakan bahwa nazhariyat fiqh adalah pola studi baru dalam fiqh untuk menjelaskan konstelasi antara fiqh dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk di negara-negara Islam setelah merdeka dari penjajahan Barat.[6] Oleh karena itu pengertian nazhariyat fiqh adalah beberapa tema fiqh tertentu yang kandungannya adalah masalah-masalah fiqh. Hakekat nazhariyat adalah rukun, syarat, dan hukum.[7] Oleh karena itu, nazhariyat adalah pembahasan mengenai salah satu tema atau topik fiqh secara terperinci. Contoh pembahasannya adalah ketetapan (istbat). Hal-hal yang dibahas dalam nazhariyat al-itsbat adalah hakekat ketetapan, keyakinan, syarat-syarat saksi, cara-cara bersaksi, pembatalan (mencabut kembali) kesaksian, pertanggungjawaban saksi, pengakuan, bukti-bukti tertulis, dan sumpah.

Para ulama ushul telah mengumpulkan maksud-maksud syara’ yang umum atau jenis-jenis tujuan umum perundang-undangan dalam menetapkan hukum, yaitu ada tiga macam :

a. al-Daruriyah

Urusan-urusan yang daruri ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila dia tidak terdapat cacatlah undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan dan berkembangbiaklah kerusakan. Al-daruriah (urusan-urusan duniawi) itu ada lima macam, yakni :[8]

1) Urusan agama

2) Urusan jiwa

3) Urusan akal

4) Urusan keturunan

5) Urusan harta milik

Syara’ telah mensyari’atkan untuk tiap daruriyah yang lima ini berbagai macam hukum yang menjamin berwujudnya daruriyah itu dan berbagai macam hukum yang menjamin terpeliharanya segala hukum yang menjamin terwujudnya urusan yang lima itu, atau memeliharanya dipandang darurat pula. Memelihara kelima maslahat tersebut ke dalam tingkatan dlaruriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Di antara contoh-contohnya, syara’ menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena dengan adanya ancaman hukum ini dapat terpelihara jiwa manusia.

Secara global, menghindarkan setiap perbuatan yang mengakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari lima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong sebagai dlarury (prinsip).[9] Syar’i Islami sangat menekankan pentingnya memelihara hal-hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) diperbolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu, bagi orang yang dalam keadaan dharurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan meminum arak.

b. al-Hajiyyah

Al-Hajiyyah (sekunder), adalah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok keperluan manusia di atas, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesempitan (musyaqat) atau berhati-hati (ihfiyah) terhadap lima hal tersebut.[10] Seperti diharamkannya hal-hal berikut : menjual arak agar tidak mudah memperolehnya, melihat aurat wanita, shalat di bumi yang ghasab, membanting harga dan menimbun barang. Termasuk kategori hajiyyat dalam perkara mubah. Perlu ditegaskan di sin, bahwa termasuk dalam kategori hajiyyat adalah memelihara kebebasan individu dan kebebasan beragama. Sebab manusia hidup membutuhkan dua kebebasan ini. Akan tetapi, terkadang seseorang menghadapi kendala / kesulitan. Termasuk hajiyyat dalam kaitannya dengan keturunan ialah diharamkannya berpelukan. Sedang hajiyyat dalam kaitannya dengan harta, seperti diharamkannya ghasab dan merampas. Keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil juga atau kembali. Sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan. Begitu juga, peminjam yang mampu, yang tidak mau membayar hutangnya. Sedangkan hajiyyat berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum sedikit minuman keras. Dan hal yang hajiy adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kelapangan dan keleluasaan, menanggung beban taklif, dan beban kehidupan lainnya. Apabila sesuatu itu tidak ada, maka tidak akan merusak struktur kehidupan mereka, dan kekacauan tidak akan merajalela, sebagaimana dlaruri tidak ada. Umpamanya untuk memelihara agama dibolehkan kita mengqasharkan waktu sembahyang dalam safar dan menjamakkan sembahyang di waktu uzur. Dan seperti boleh tidak berpuasa bagi orang yang sedang sakit atau sedang dalam perjalanan.[11]

c. al-Tahsiniyah

Al-tahsiniyah (pelengkap) adalah tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Itu semua termasuk bagian akhlaq karimah, sopan santun dan adab untuk menuju ke arah kesempurnaan. Artinya hal ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya urusan duniawiyah tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya di anggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suatu hati nurani. Urusan tahsiniyah dalam bidang ibadat, misalnya : kewajiban bersuci dari najis–hitsi (yang nampak) dan najis maknawi (yang tidak nampak), kewajiban menutup aurat, berhias bila pergi ke masjid, menjalankan amalan sunnat dan memberikan sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan. Dalam bidang ‘adat, hendaknya bersopan santun dalam melakukan makan dan minum, menjauhi yang berlebih-lebihan, meninggalkan makan dan minum dari sesuatu yang najis serta menjijikkan.[12]

3. Perbedaan antara kaidah fiqh dengan Nadlariyah al-Fiqh

Ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kaidah fiqh dengan nazahriyah fiqh. Perbedaan antara kaidah fiqh dengan nazhariyah fiqh adalah sebagai berikut :[13]

a. Cakupan kaidah fiqh sangat luas, sedangkan nazhariyat fiqh hanya mencakup bab fiqh tertentu, dari segi ini, nazhariyat fiqh sama dengan dlabith fiqh.

b. Secara redaksional, kaidah fiqh sangat singkat dan maknanya lebih umum dibandingkan dengan nazhariyat fiqh.

c. Setiap kaidah fiqh mencakup nazhariyat fiqh dan tidak sebaliknya.

d. Pembahasan nazhariyat fiqh tidak memerlukan pemikiran lebih lanjut. Sedangkan kaidah fiqh memerlukan pembahasan yang lebih detail.

e. Kaidah fiqh tidak mencakup rukun, syarat dan hukum. Sedangkan nazhariyat fiqh tidak menetapkan hukum.

f. Kaidah fiqh menetapkan hukum dengan sendirinya, sedangkan nazhariyat fiqh tidak menetapkan hukum.

g. Nazhariyat fiqh merupakan pengembangan dari kaidah.

D. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kaidah fiqh adalah patokan hukum dalam aturan yang bersifat pada umumnya, dari aturan tersebut dapat diketahui hukum-hukum sesuatu yang berada di bawah cakupannya.

2. Nadloriyat al-Fiqh adalah pola studi baru dalam fiqh untuk menjelaskan konstelasi antara fiqh dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk di negara-negara Islam setelah merdeka dari penjajahan Barat.

3. Para ulama ahli ushul mengemukakan ada tiga jenis tujuan umum perundang-undangan, yaitu : al-dlaruriyah (pokok / primer), al-hajjiyah (sekunder), dan al-tahsiniyah (pelengkap).

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994.

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Yahya, Mukhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : al-Ma’arif, 1986.

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 554



[1] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 1

[2] Ibid.

[3] Ibid., hlm. 2

[4] Ibid., hlm. 4-5

[5] Ibid., hlm. 5

[6] Ibid., hlm. 15

[7] Ibid.

[8] Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : al-Ma’arif, 1986, hlm. 334.

[9] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 554

[10] Ibid.

[11] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 350

[12] Mukhtar Yahya, op.cit., hlm. 336-337

[13] Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 17

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.