Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan
karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas.
Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak
pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.[1]
"Apakah dan siapakah
manusia?". Pertanyaan klasik ini selalu menarik untuk dijawab oleh umat
manusia sepanjang zaman. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berbagai
filosof dan ilmuwan mencoba membangun konsep apakah dan siapakah manusia. Dalam
kenyataannya, jawaban atas pertanyaan ini selalu mengandung kelemahan karena
keterbatasan manusia dalam memahami siapa dirinya dan sesamanya. Karenanya,
sejumlah gugatan terhadap konsep manusia hadir dan "berloncatan" dihadapan
kita. Permasalahannya adalah mungkinkah kita akan berhasil membangun konsep
manusia yang dapat memahami dan memperlakukan manusia secara benar? Bagaimana
pandangan al-Qur'an tentang manusia?
A. Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang paling sempurna di muka bumi ini.[2] Oleh
karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi[3] karena
manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.
Berbicara tentang eksistensi manusia
beserta nafsil insaninya berarti kita mengangkat suatu obyek studi yang tidak
pernah bisa tuntas dipersoalkan (Sukanto MM, 1989). Manusia sebagai obyek ilmu
pengetahuan akan dibicarakan dalam berbagai aspek dan seginya. Seorang biolog
akan melihat manusia dari aspek biologi, sosiolog melihat manusia dari segi
sosiologi, psikolog melihat manusia dari segi aspek kejiwaannya, dan begitu
seharusnya ahli-ahli yang lain melihat manusia menurut disiplin ilmu
masing-masing. Dorongan-dorongan kejiwaan merupakan unsur yang memberi warna
pada manusianya. Dia akan menjadi manusia dengan kategori baik atau sebaliknya
sesuai dengan arah yang disukainya. (Bahrun, 1973).[4]
Menurut Posmodernisme, dalam upaya
memahami manusia ilmu-ilmu sosial kemanusiaan memandang manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia layaknya alat yang bisa di otak-atik seenaknya. Dimata
ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, manusia adalah makhluk yang berada dalam keadaan
sekarat dan tinggal menuju ajal tiba (man is dead or dying!!). [5]
B. Ayat-ayat Tentang Manusia
1. QS. al-Isra’: 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Keterangan :
Dengan bersumpah sambil mengukuhkan
pernyataan-Nya dengan kata قد,
ayat ini menyatakan bahwa dan Kami yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya
telah Kami muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan
berbicara dan berpikir, serta berpengetahuan dan Kami beri juga mereka
kebebasan memilah dan memilih. Dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan
dengan aneka alat transportasi yang Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka,
atau yang Kami ilhami mereka pembuatannya, agar mereka dapat menjelajahi bumi
dan angkasa yang kesemuanya Kami ciptakan untuk mereka. Dan Kami juga beri
mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai kebutuhan mereka, lagi lezat dan
bermanfaat untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa mereka. Dan Kami
lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna.
Kata كرّمنا (karramna)
terambil dari kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’ dan mim, yang
mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan sesuai objeknya. Karramna adalah
anugerah berupa keistimewaan yang sifatnya internal, dalam konteks ayat ini
manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada
selainnya dan itulah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam
kedudukannya sebagai manusia.[6]
ولقد كرّمنا (dan sesungguhnya telah Kami muliakan) kami
utamakan بنى آدم (anak-anak Adam)
dengan pengetahuan, akal, bentuk yang paling baik, setelah wafat jenazahnya
dianggap suci dan lain sebagainya, وحملنهم فى
البرّ (dan Kami angkut mereka di daratan) dengan menaiki
kendaraan. والبحر (dan di lautan) dengan
menaiki perahu-perahu. ورزقنهم من الطّيبت على
كثيرممن خلقنا (dan Kami beri mereka rizki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan) seperti hewan-hewan ternak dan hewan-hewan liar. تفضيلا (dengan kelebihan yang sempurna).
Lafadz man di sini
bermakna ma’ atau makna yang dimaksudnya menurut bab yang
berlaku padanya. Maknanya menyangkut juga para malaikat, sedangkan makna yang
dimaksud adalah keutamaan jenisnya, hal ini pengertiannya tidak memastikan bagi
adanya keutamaan untuk semua individu atas para
malaikat. Para malaikat lebih utama daripada manusia selain dari para
Nabi.[7]
Manusia yang disebut dengan kalimat
“al-Insan” itu memberikan arti bahwa manusia patut ditingkatkan martabatnya
sampai pada tingkatan untuk memiliki keahliannya untuk menduduki jabatan
khalifah (penguasa/pengatur) di atas bumi ini dan kemungkinannya untuk dibebani
kewajiban-kewajiban dan kepercayaan atau amanat. Sebab hanya manusialah yang
secara khusus dilengkapi dengan akal pikiran, kecakapan, dan kecerdasan serta
hal-hal yang berkaitan dengan itu semua.[8]
Ayat ini merupakan anjuran agar manusia
bersyukur dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan seseorang pun, karena Allah
telah menundukkan baginya apa yang ada di darat dan di laut, bahkan
memeliharanya dengan perhatiannya yang baik serta diberinya petunjuk kepada
pembuatan bahtera hingga tempat berlayar di laut dan memberinya rezeki dengan
yang baik-baik, serta melebihkannya atas sebagian besar makhluk-Nya.[9]
Munasabah:
Ayat yang lalu menggambarkan
anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun
yang durhaka, ayat ini menjelaskan sebab anugerah itu yakni karena manusia
adalah makhluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai
manusia, baik ia taat beragama ataupun tidak.[10]
Asbabun Nuzul
Tidak ada
2. QS. Shad: 71-72
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Keterangan
:
Uraian tentang kisah Adam as dapat
ditemukan dalam beberapa surat, antara lain
pada surat al-Baqarah, al-A’raf, al-Hijr, dan al-Isra’. Sementara
ulama berpendapat bahwa ayat-ayat surat ini merupakan ayat-ayat
pertama yang turun menyangkut kisah Adam as itu. Ini setelah memperhatikan
perurutan turunnya surah-surah al-Qur’an, di mana tidak ditemukan uraian kisah
tersebut sebelum turunnya surah ini.[11]
فإذاستويته (maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya) telah sempurna kejadiannya ونفخت (dan
Kutiupkan) kualirkan فيه من رّوحى (kepadanya
ruh ciptaan-Ku) sehingga ia menjadi hidup. Dimudhafkannya lafaz ruh kepada
Allah dimaksudkan untuk memuliakan nabi Adam. Roh adalah tubuh yang lembut dan
tidak kelihatan oleh mata, yang membuat manusia dapat hidup karena memasuki
tubuhnya. فقعواله سجدين (maka
hendaklah kalian tersungkur dengan sujud kepada-Nya) sujud penghormatan dengan
cara membungkukkan badan.[12]
Munasabah:
Ayat yang lalu menafikan Rasul saw
menyangkut al-mala’ al-a’la kecuali apa yang diwahyukan Allah kepada beliau.
Ayat-ayat di atas dan ayat-ayat berikut menguraikan sekelumit dari berita
tentang al-mala’ al-a’la itu, yakni tentang peristiwa Adam as bersama para
malaikat dan iblis. Ayat-ayat di atas menyatakan ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia
dari tanah”. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadian fisiknya dan
Kutiupkan ke dalamnya ruh ciptaan-Ku, maka tunduklah kamu semua serta
bersungkurlah secara spontan dan dengan mudah sebagai penghormatan kepada-Nya
dalam keadaan bersujud.[13]
Asbabun Nuzul:
Tidak ada
3. QS. at-Tiin: 4-5
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”
Keterangan:
Kata خلقنا (Kami
telah menciptakan terdiri dari kata خلق dan نا yang berfungsi sebagai kata ganti nama.
Kata نا (Kami) yang menjadi
kata ganti nama itu menunjukkan kepada jamak, tetapi bisa juga digunakan untuk
menunjukkan satu pelaku saja dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Dari
sisi lain, penggunaan kata ganti bentuk jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada
Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam perbuatan yang
ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata ganti tersebut. Jadi,
kata خلقنا mengisyaratkan
keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah Bapak
Ibu manusia. Kata الإنسان (manusia)
yang dimaksud oleh ayat ini. Menurut al-Qurthubi adalah manusia-manusia yang
durhaka kepada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan
alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut, yaitu
: Kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang
dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum mencakup yang mukmin maupun
yang kafir. Kata تقويم (taqwim)
berakar dari kata (قوم) yang darinya
terbentuk kata اقيموا، استقامة، قائمة dan
sebagainya. تقويم diartikan sebagai
menjadikan sesuatu memiliki قِوَام (qiwam)
yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya, sehingga isyarat tentang
keistimewaan manusia dibanding binatang yaitu akal, pemahaman dan bentuk
fisiknya yang tegak dan lurus. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran
anugerah Allah kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut
terbatas pada bentuk fisik.[14]
Manusia telah diciptakan Allah dalam
bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal, sehingga kemudian Kami
Allah bersama dengan manusia itu sendiri mengembalikannya ke tingkat yang
serendah-rendahnya.
Kata رددناه terdiri
atas kata ردد yang dirangkaikan
dengan kata ganti dalam bentuk jamak (نا)
serta kata ganti yang berkedudukan sebagai obyek (ه) hu-nya. ردد antara lain berarti mengalihkan, memalingkan
atau mengembalikan.[15]
Munasabah
Ayat-ayat yang lalu Allah bersumpah
dengan menyebut empat hal. Ayat-ayat ini menjelaskan untuk sumpah itu. Di sini
Allah berfirman bahwa : “Demi keempat hal di atas, sungguh Kami Allah telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[16]
Asbabun Nuzul
Imam Ibnu Jarir telah mengetengahkan
sebuah hadits melalyi Jabir al-‘Aufi bersumber dari Ibnu Abbas, sehubungan
dengan firman-Nya: “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka)”. (QS. at-Tiin: 5). Ibnu Abbas r.a telah menceritakan
bahwa mereka yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah segolongan orang-orang yang
dituakan umurnya hingga tua sekali pada zaman Rasulullah saw, karena itu
ditanyatakanlah perihal mereka, sewaktu mereka sudah pikun, maka Allah
menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang pemaafan bagi mereka. Lalu
dinyatakan-Nya bahwa bagi mereka pahala dari amal baik yang dahulu mereka
lakukan sebelum pikun.[17]
4. QS. al-Baqarah: 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Keterangan:
و (dan) ingatlah hai Muhammad! واذقال ربك للملائكة انى جاعل فى الارض خليفة (ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.") yang akan mewakili Aku dalam
melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturan-Ku padanya, yaitu :
(Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya) yakni dengan berbuat maksiat.
(dan menumpahkan darah) artinya mengalirkan darah dengan jalan
pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa itu yang juga mendiami bumi?
Tatkala mereka berbuat kerusakan, Allah mengirim malaikat kepada mereka maka
dibuanglah mereka ke pulau-pulau dan ke gunung-gunung.
(padahal kami selalu bertasbih) maksudnya selalu mengucapkan
tasbih.
(dengan memuji-Mu) yakni dengan membaca “Subhanallahi
wabihamdihi” artinya Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya.
(dan mensucikan-Mu) membersihkan-Mu dari hal-hal yang tidak
layak bagi-Mu.
قال (Allah berfirman) انى اعلم ما لاتعلمون (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui) tentang maslahat atau kepentingan mengenai pengangkatan Adam, dan
bahwa diantara anak cucunya ada yang taat dan ada pula yang durhaka hingga
terbukti dan tampaklah keadilan di antara mereka.[18]
Dalam surat tersebut
diungkapkan dalam bentuk tamsil dengan maksud agar lebih mudah dipahami oleh
manusia, khususnya mengenai proses kejadian Adam dan keistimewaannya. Untuk
maksud tersebut Allah memberitahukan kepada para malaikat tentang akan
diciptakan-Nya seorang khalifah di bumi. Mendengar keputusan ini, para malaikat
merasa terkejut, karenanya, mereka bertanya kepada Allah dengan cara dialog.
Untuk menjawab pertanyaan para malaikat, Allah memberi pengertian kepada mereka
dengan cara ilham agar mereka tunduk dan taat kepada Allah Yang Maha Mengetahui
segala sesuatu.[19]
Munasabah
Kandungan ayat ini sama dengan
ayat-ayat sebelumnya, yakni menjelaskan nikmat-nikmat Allah, yang dengan nikmat
itu dapat menjauhkan dari maksiat dan kufur dan dapat memotivasi seseorang untuk
beriman kepada Allah. Diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk yang sedemikian rupa
di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur alam
semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi. Hal tersebut merupakan
nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat
kepada Allah dan tidak ingkar kepada-Nya.
Pada ayat ini dan sebelumnya juga
menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat manusia. Dalam penciptaan
manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkap dalam bentuk dialog dan
musyawarah sebelum melakukan penciptaan.[20]
Asbabun Nuzul:
Tidak ada
ANALISIS
Sesuai firman Allah
dalam surat at-Tiin ayat 4 bahwasanya Allah SWT menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Disini bisa diartikan bahwa makhluk Allah
yang mulia dan sempurna adalah manusia. “Dia” (manusia) ciptaan Allah yang
paling unggul dari yang lain, diberi akal yang bisa digunakan untuk berfikir
dan memikirkan sesuatu, khususnya ke-Maha Esa-an Allah. Dari keunggulan itulah
Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan hewan. Maka, kita
sebagai manusia harus bersyukur atas segala karunia Allah kepada kita, berupa
akal dan bentuk yang sempurna.
KESIMPULAN
Manusia diciptakan untuk menjadi
khalifah di bumi dalam arti kita sebagai manusia harus bisa menjaga,
melindungi, dan melestarikan bumi. Bukan untuk merusak ataupun menghancurkan
apa yang Allah ciptakan di bumi ini. Karena kesempurnaan manusia dalam berfikir
dengan akal nilah manusia melaksanakan fungsinya dengan sebaik mungkin. Atas
dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya
dalam arti yang sebaik-baiknya dalam fungsi sebagai hamba Allah dan khalifah di
bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin, dan Imam
Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, Asbabun Nuzul Ayat, Bandung:
Sinar Baru, 1990.
Al-Maraghy, Musthafa, Tafsir
al-Maraghiy, Juz XV, Semarang: Toha Putra, 1988.
Ancok, Djamaludin, dan Fuad Nashori
Suroso, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1994.
Nawawi, Rifaat Syauqi, dkk., Metodologi
Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Shihab, M. Quraish, Tafsir
al-Misbah, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Syathi’, ‘Aisyah
Abdurrahman Bintusy, Manusia Siapa, Darimana dan Kemana?, Semarang:
Toha Putra, 1982.
M. Thoyibi, dan M. Ngemron, Psikologi
Islam, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000.
[1] Rifaat Syauqi
Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000, hal. 3
[2] Q.S. 95 : 4
[3] Q.S. 2 : 30
[4] M. Thoyibi dan
M. Ngemron, Psikologi Islam, Surakarta : Muhammadiyah
University Press, 2000, hlm. 51
[5] Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam, Solusi Islam atas
Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994,
hlm. 152.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 514.
[7] Imam Jalaluddin
al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, Asbabun
Nuzul Ayat, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 1154-155.
[8] ‘Aisyah
Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Siapa, Darimana dan Kemana?, Semarang:
Toha Putra, 1982, hlm. 20.
[9] Musthafa
al-Maraghy, Tafsir al-Maraghiy, Juz XV, Semarang: Toha Putra,
1988, hlm. 142-143.
[10] M. Quraish Shihab, op.cit., hlm.
513.
[11] Ibid., hlm. 168-169.
[12] Imam Jalaluddin al-Mahally, Imam
Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit., hlm. 1979.
[13] M. Quraish Shihab, op.cit., vol.
12, hlm. 168.
[14] M. Quraish Shihab, op.cit., vol.
15, hlm. 378.
[15] Ibid., hlm. 380.
[16] Ibid., hlm. 377.
[17] Imam Jalaluddin al-Mahally dan
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit., vol. 4, hlm. 2752.
[18] Imam Jalaluddin al-Mahally, Imam
Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit., hlm. 17-18.
[19] Ahmad Musthofa al-Maraghiy, op.cit., juz
1, hlm. 133-134.
[20] Ibid., hlm. 131.
0 comment:
Posting Komentar