Secara etimologi, tasawuf berasal dari beberapa bahasa, ada yang mengatakan berasal dari kata shuf yang artinya bulu domba, karena pada zaman dahulu seorang sufi memakai pakaian yang terbuat dari bulu, dengan maksud bulu tersebut adalah simbol dari sebuah kesederhanaan.
Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata shoff yang artinya barisan, karena seorang sufi pada zaman dahulu selalu shalat berjamaah pada barisan yang paling depan.
Tasawuf berasal dari kata shofa yang artinya jernih atau bersih. Hal ini disimpulkan bahwa seorang sufi selalu mensucikan serta menjernihkan hati mereka dari selain Allah SWT,
Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya emperan masjid, karena pada saat itu para sufi hidup di halaman atau serambi-serambi masjid, mereka menunjukkan kerelaan berjihad kepada Allah dan meninggalkan apa yang ia punyai.
Para ahli yang lain juga berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata shufanah yang berarti pohon yang tumbuh di tengah padang pasir, dengan maksud para sufi adalah seseorang yang tetap eksis dan teguh pendirian walaupun di tengah-tengah masyarakat yang gersang dari agama.
Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosofi yang artinya ilmu tentang ketuhanan, karena dalam tasawuf sangat menekankan kepada ilmu-ilmu ketuhanan serta menitikberatkan ke-ihsanan.
Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kada shopia yang artinya kebijaksanaan, karena seorang sufi identik dengan sifat kebijaksanaan yang menjadi buah dari konsep ihsan yang diajarkan syari’at.
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman dengan berbagai pembagian di dalamnya, yaitu tasawuf akhlaki, amali dan falsafi guna memperoleh kebahagiaan yang optimal di jalan Allah.[1]
Dhu’afa adalah ضَعْفَ-يَضْعَفُ-ضَعِيْفٌ jamak ضُعَفَاءُ yang lemah. Pemihakan kaum du’afa dan pemberdayaan ekonomi dalam tasawuf sesuai dengan misi ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.[2]
Adapun tasawuf secara terminologi adalah jalan menuju kedekatan kepada Allah SWT dengan cara melepaskan diri dari segala sesuatu yang rendah dan hina serta berpegang teguh pada sunnah Rasulullah saw.
Menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., dapat diartikan suatu bidang ilmu keislaman dengan berbagai pembagian di dalamnya, yaitu tasawuf ahlaki, amali dan falsafi guna memperoleh kebahagiaan yang optimal di jalan Allah.
Ada juga yang mengatakan tasawuf adalah usaha untuk membangun manusia dalam hal tutur kata, perbuatan, segala gerak hati, dengan menjadikan hubungan kepada Allah sebagai dasar semua itu. Dengan kata lain tasawuf adalah taqwa dengan segala tingkatannya baik yang dapat dilihat oleh indra ataupun yang maknawi.[3]
Du’afa ditinjau dari terminologinya, menurut al-Ghazali adalah kaum yang lemah, seperti pengemis, tukang pengumpul koran.
TASAWUF DAN PEMIHAKAN KAUM DU’AFA
Du’afa adalah kaum yang lemah, baik itu lemah secara fisiologis dan psikologis.
Banyak orang yang mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji, tetapi baru sebatas menjalankan hubungan vertikal dengan Tuhan. Padahal sebenarnya ibadah ini juga mengandung dimensi horisontal, yaitu hikmahnya yang diharapkan menimbulkan implikasi sosial yang positif seperti khususnya terhadap kaum du’afa, yang sangat memerlukan uluran tangan orang-orang bijak.[4]
Tasawuf, dalam pemihakan kaum du’afa tidak terlepas dari misi ajaran Islam, yang menyatakan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, yaitu menunjukkan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat, dapat dilihat dari pengertian Islam itu sendiri yang makna artinya perdamaian, dan orang muslim ialah orang yang damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya dengan Allah dan damai dengan manusia yang artinya menyingkirkan perbuatan jahat dan sewenang-wenang kepada sesamanya, melainkan pula ia berbuat baik kepada sesamanya. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah, 2: 112.[5]
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah, 2: 112)
Dengan demikian, misi ajaran Islam dalam tasawuf dan pemihakan kaum du’afa tersebut sangat jelas, bahwa sebenarnya di dalam praktik ibadah vertikal dan horisontal sangat berpihak terhadap kaum du’afa. Misalnya “zakat”. Zakat dilaksanakan untuk kemaslahatan kaum du’afa yang semata-mata mengharap ridho Allah, dan yang lainnya lagi syahadat, shalat, puasa, dan haji.
TASAWUF DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI
1. Motivasi Agama dalam Pemberdayaan Ekonomi
Motivasi agama dalam pemberdayaan ekonomi adalah, agama menginginkan bahwa sebenarnya agama sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin.[6]
2. Fungsi Harta
Harta dapat difungsikan seperti yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah/2, 254
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at, dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim”.
Selain itu, harta berfungsi sebagai bekal manusia untuk menuju ridho Allah, contohnya digunakan untuk biaya hidup, berwirausaha, bersedekah dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kemajuan peradaban manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan bisnis. Makin maju perkembangan suatu masyarakat dan bangsa, maka makin maju pula kehidupan bisnisnya, sebaliknya makin merosot perkembangan bisnis suatu bangsa, maka makin merosot pula kehidupan bangsa itu. Indonesia saat ini misalnya dikatakan terpuruk, karena kehidupan ekonomi dan bisnisnya mengalami kemerosotan sejak pertengahan 1997.
Dalam perkembangan etika kegiatan ekonomi dipengaruhi oleh tasawuf, suatu ilmu yang mempelajari cara dan jalan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, dengan menjauhi akhlak yang tercela dan mengisi dirinya dengan akhlak yang terpuji.
Tasawuf menghendaki pelaksanaan syari’at, sebab tasawuf dan syari’at tidak boleh dipisahkan satu sama lain, apalagi dipertentangkan. Tasawuf merupakan aspek estoris (batiniah), sedang syari’at adalah aspek eksoteris (lahiriah) Islam. Karena itu orang Islam bersyari’at harus mengamalkan tasawuf. Orang yang bertasawuf harus pula melaksanakan syari’at. Dalam syari’at terdapat ajaran tentang hubungan sesama manusia di segala bidang kehidupan, termasuk kegiatan ekonomi.
Hubungan antara tasawuf, syari’at, ekonomi, dan bisnis melahirkan etika usaha dalam Islam. Etika usaha ini terlihat dalam aspek praktisnya seperti produksi, distribusi, promosi, konsumsi, dan hubungan karyawan dengan perusahaan. Penerapan etika usaha Islam juga terlihat pada penanganan krisis ekonomi, hubungan bisnis internasional, dan krisis lingkungan hidup.[7]
Selain itu, tasawuf dan pemberdayaan ekonomi juga terkait dengan misi ajaran Islam, yaitu sebagai pembawa rahmat, dapat dilihat dari peran yang dimainkan Islam dalam menangani problematika agama yang satu, di antaranya adalah ekonomi, yang ditandai oleh praktik mendapatkan uang dengan menghalalkan segala cara, praktik riba, menipu, dan sebagainya. Dalam keadaan dunia yang demikian itulah Nabi Muhammad Saw pembawa ajaran agama Islam yang di dalamnya bukan hanya mengandung ajaran tentang akidah atau hubungan manusia dengan Tuhan saja, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama dan alam semesta.[8] Seperti firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’, 21: 107.
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’, 21: 107)
APLIKASI/AKTUALISASI
Dalam pembahasan tasawuf dalam pemihakan kaum du’afa ini, terdapat permasalahan yang harus dikaji, yaitu mengapa dalam aplikasi kehidupan manusia banyak terjadi pengingkaran, padahal masalah tersebut sudah terkaji dalam QS. Al-Anbiya’, 21: 107, yang berbunyi: “Islam adalah membawa rahmat bagi seluruh alam”. Apakah ini terjadi karena kekhilafan manusia?
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., Tasawuf Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Kencana, Jakarta, 2003.
M. Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, Jakarta: Hikma, 2002.
______________________
[1] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., Tasawuf Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 1.
[2] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 97.
[3] M. Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, Jakarta: Hikma, 2002, cet.1, hal. 5.
[4] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 140.
[5] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., op.cit., hlm. 97-98.
[6] Sudirman Tebba, op.cit., hlm. 140.
[7] Ibid., hlm. 185-187.
[8] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., op.cit., hlm. 99-100.
0 comment:
Posting Komentar