21 April 2011
1) Dimensi Pemaknaan Agama
2) Dimensi Ritual dan Ibadah
3) Dimensi Sosialisasi Agama
4) Dimensi Pengalaman Keagamaan
22 Oktober 2009
FILSAFAT PROSES WHITEHEAD
Whitehead dapat dikatakan merupakan salah satu filsuf besar abad ini. Gagasannya telah melahirkan semacam ‘sekolah’ atau ‘aliran pemikiran’ yang banyak berpengaruh, khususnya di Amerika Serikat dan juga di beberapa tempat di Eropa. Pengaruhnya tidak hanya terasa dalam dunia filsafat, tetapi juga, dan bahkan akhir-akhir ini lebih menonjol, dalam dunia teologi, dengan dikembangkannya apa yang disebut “teologi proses”. Pada awalnya pemikiran teologis Whitehead dikembangkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Charles Hartshorne, dan kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh Teologi Proses yang lain seperti John Cobb, David Ray Griffin, Daniel D. Williams, Widick Shroeder, dan sebagainya.
A. Biografi Whitehead
Alfred North Whitehead lahir di Ramsgate, Inggris Selatan, 15 Februari 1961. Ayahnya seorang pendeta Anglikan. Whitehead belajar matematika di Trinity College di Cambridge. Dalam hidup Whitehead sebagai ilmuwan dapat dibedakan tiga periode. Dalam periode pertama,
B. Karya-karya Whitehead
Karya-karyanya antara lain : The Organization of Thought (1917); An Enquiry Concerning Principles of Natural Knowledge (1919/1925); The Concept of Nature (1920); The Principle of Relativity (1922); Science and the Modern World (1925/1959); Religion in the Marking (1926); Symbolism, Its Meaning and Effect (1927); Process and Reality (1929); The Function of Reason (1929); The Aim of Education and Other Essays (1929); Adventures of Ideas (1959); Modes of Thought (1938); Essays in Science and Philosophy (1947).[2]
C. Pikiran Pokok Whitehead
Filsafat Proses yaitu realitas bukanlah sesuatu yang statis, tetapi terus bergerak dan berubah dalam suatu proses evolusi yang tak kunjung berhenti. Dalam prinsip relativitas “yang banyak” yaitu satuan-satuan aktual yang sudah lengkap, selalu terlibat dalam proses pembentukan dan mencipta diri, seluruh alam terus terlibat dalam proses transisi maupun konkresi.[3]
D. Beberapa Pemikiran Pokok Whitehead
1) Pandangan tentang Filsafat Spekulatif (Metafisika)
Berbeda dengan kebanyakan filsuf abad ini yang menolak atau setidak-tidaknya menaruh curiga terhadap arti dan pentingnya filsafat spekulatif (metafisika). Whitehead menandaskan bahwa filsafat spekulatif itu penting dan berguna. Filsafat spekulatif itu penting untuk memberikan suatu pandangan yang bersifat sintetis dan menyeluruh atas realitas. Whitehead merumuskan filsafat spekulatif sebagai “usaha untuk merumuskan suatu sistem pemikiran-pemikiran umum yang bersifat koheren, logis, dan pasti atas dasar mana setiap unsur pengalaman dapat diterangkan”.[4] Dengan sifat koheren dia maksudkan bahwa pemikiran atau gagasan-gagasan sentral tersebut saling berkaitan dan saling mengandaikan, seluruh sistem bersifat organis, sehingga bagian-bagiannya tidak bisa dimengerti sepenuhnya lepas dari bagian yang lain. Dengan “logis” dimaksudkan bahwa sistem itu seluruhnya bersifat konsisten, tunduk pada hukum-hukum penalaran dan bersifat rasional. Sistem tersebut semestinya bersifat pasti dalam arti bahwa dapat berlaku secara universal. Karena setiap unsur pengalaman mesti dapat diterangkan atau dasar sistem pemikiran.[5]
2) Tentang Alam Dunia (Kosmologi)
a. Alam dunia sebagai suatu proses organis
Seperti sudah dinyatakan di atas “proses” merupakan suatu kategori dasar dalam filsafat Whitehead, sehingga filsafatnya seringkali juga disebut sebagai filsafat proses. Dalam pengertian “proses” terkandung makna adanya perubahan berdasarkan mengalirnya waktu dan kegiatan yang saling berkaitan. Proses tersebut merupakan suatu proses organis. Artinya, ada saling keterkaitan antara unsur-unsur yang membentuknya dan keseluruhan wujud bukan hanya sekedar penjumlahan unsur-unsur bagiannya.[6]
b. Alam dunia sebagai jaringan satuan-satuan aktual
Alam dunia dan realitas secara keseluruhan, dalam pandangan Whitehead merupakan jaringan atau keterjadian satuan-satuan aktual yang saling meresapi, mempengaruhi. Setiap satuan aktual secara esensial terjalin dengan satuan-satuan aktual yang lain.
c. Alam dunia terus berubah dalam waktu
Bagi Whitehead, alam dunia merupakan suatu realitas yang bersifat dinamis, suatu proses yang terus menerus “menjadi”. Alam dunia dengan segala isinya merupakan suatu rangkaian peristiwa dengan puncak-puncak atau gumpalan-gumpalan gelombang pengalaman.
3) Tentang Manusia
Whitehead tidak mempunyai buku yang secara khusus memaparkan teori filsafatnya manusia. Karena dia pusat perhatiannya tidak tertuju pada suatu usaha perumusan suatu antropologi filosofis, tetapi melainkan pada usaha perumusan suatu metafisika (atau dia sendiri menyebutnya “kosmologi”) yang merupakan suatu sistem pemikiran yang bisa menjadi dasar untuk menjelaskan berbagai aspek pengalaman manusia. Pandangannya tentang apa/siapa itu manusia dan dimana tempat kedudukannya dalam keseluruhan kosmos, bisa dirumuskan dari pandangan kosmologinya dan dari berbagai segi kehidupan manusia.
4) Tentang Pengetahuan (epistemologi)
Pokok Whitehead pada filsafat pengetahuan terletak dalam teorinya tentang persepsi yang dia sebut “prehension”. Salah satu masalah pokok yang muncul dalam epistemologi sejak Descartes adalah masalah kriteria kebenaran pengetahuan dalam kaitan dengan hubungan antara subjek yang mengetahui dan obyektifitas yang diketahui.
Menurut paham realisme, kriteria kebenaran pengetahuan dikaitkan dengan kesesuaian antara pemikiran dengan kenyataan. Teori kebenarannya disebut teori kesesuaian atau teori korespondensi. Suatu kenyataan dianggap benar kalau konsep yang dinyatakan itu sesuai dengan kenyataan di luar subyek.
5) Tentang Moral
Whitehead sebenarnya tidak menulis uraian tentang filsafat manusia ataupun tentang filsafat moral, karena alasannya dia sudah berkecimpung dalam bidang matematika dan sains.
Teorinya tentang moral memang tidak terumus dengan manusia, akan tetapi untuk dirumuskan berdasarkan apa yang dia nyatakan sebagai implikasi dari sistem metafisikanya.
a. Moralitas pengaturan proses demi maksimalisasi bobot kehidupan
b. Etika sebagai bagian dari estetika
c. Relativisme sebagai bagian dari estetika.
6) Tentang Tuhan dan Agama
Dalam pemikiran Whitehead, salah satu kenyataan hidup manusia yang perlu dikaji dan merupakan data pengalaman yang mesti diolah oleh suatu refleksi filsafat adalah agama. Baginya agama merupakan ungkapan salah satu bentuk pengalaman manusia yang dasariah, dan dengan ilmu pengetahuan, agama merupakan dua kekuatan umum yang amat mempengaruhi hidup manusia.
Salah satu masalah yang dia anggap penting dan perlu ditanggapi oleh generasi manusia adalah masalah hubungan antara sains dan agama, dia mengatakan :
“Bila kita memikirkan apa itu agama bagi umat manusia, dan apa itu sains, bukanlah suatu hal yang dibesar-besarkan untuk mengatakan bahwa jalannya sejarah masa depan akan tergantung dari keputusan generasi tentang bagaimana hubungan antara keduanya. Sedangkan selanjutnya mengenai pandangan pokoknya tentang agama”.[7]
Konsepnya Whitehead tentang Tuhan yang oleh
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran pokok filsafat Whitehead meliputi :
1) Pandangan tentang filsafat spekulatif (metafisika)
2) Pandangan tentang alam dunia (kosmologi)
3) Pandangan tentang manusia
4) Pandangan tentang pengetahuan (epistemologi)
5) Pandangan tentang moral
6) Pandangan tentang Tuhan dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead,
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat,
J. Sudarminto, Filsafat Proses, Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Whitehead,
Harry Hemersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern,
[1] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead,
[2] Ibid., hlm. 250.
[3] Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat,
[4] J. Sudarminto, Filsafat Proses, Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Whitehead,
[5] Harry Hemersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern,
[6] J. Sudarminto, op.cit., hlm. 51
[7] Ibid., hlm. 85.
16 September 2009
HUKUM MEMBELANJAKAN HARTA SEBELUM DIZAKATI
PENDAHULUAN
Banyak sekali seorang muslim yang sudah mencapai nisab zakat, mereka enggan untuk mengeluarkan zakatnya. Bahkan hal tersebut sudah terbiasa dan dipandang tidak ada aturan hukumnya dalam Islam, begitu juga orang yang sedikit paham tentang zakat juga enggan mengeluarkannya dikarenakan terbentur dengan pemberlakuan hukum yang ada di Indonesia. Islam mewajibkan zakat sekuat dengan perintah shalat, maka zakat dalam Islam merupakan kewajiban yang sudah tegas dan jelas yang harus ditunaikan oleh seorang muslim.
PEMBAHASAN
Hukum Membelanjakan Harta sebelum Dizakati
Ancaman bagi Orang-Orang yang Enggan Membayar Zakat
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Rasulullah saw bersabda:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّزَكَاتَهُ, مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا اَقْرَاعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ, يُطَوَّقُهُ يوَْمَ الْقِيَامَةِ, ثُمَّ يَأْ خُذُ بِلَهْزَ مَتَيْهِ يَعْنِيْ بِشِدْقَيْهِ-ثُمَّ يَقُوْلُ: اَنَامَالُكَ, أَنَا كَنْزُكَ
"Siapa yang dikaruniai oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik diatas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, saya adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kau timbun-timbun dulu.”
Muslim meriwayatkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَامِنْ صَاحِبِ ذَهَبِ وَلاَ فِضَّةٍ لاَيُؤَدِّيْ حَقَّهَا اِلاَّ جُعِلَتْ لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ صَفَائِحُ,أُحْمِيَ عَنَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبْهَتُهُ وَظَهْرُهُ, فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتىَّ يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فَيُرَى سَبِيْلُهُ, اِمَّااِلَى اْلجَنَّةِ وَاِمَّااِلَى النَّارِ, وَمَا مِنْ صَاحِبِ بَقَرٍ وَلاَ غَنَمٍ لاَيُؤَدِّيْ حَقَّهَااِلاَّ أُتِيَ بِهَايَوْمَ الْقِيَامَةِ تَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا,وَتَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا, كُلَّمَا مَضَى عَلَيْهِ اُخْرَاهَا رُدَّتْ عَلَيْهِ أُوْلاَهَا, حَتَّى يَحْكُمَ اللهُ بَيْنَ عِبَادِهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ, ثُمَّ يُرَى سَبِيْلُهُ اِمَّا اِلَى اْلجَنَّةِ وَاِمَّااِلَىالنَّارِ.
“Pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan kewajibannya, maka emas atau perak itu nanti pada hari kiamat dijadikan seterikaan, lalu dipanaskan dengan api neraka, kemudian di gosokan ke rusuk, ke muka, dan punggungnya selama lima puluh tahun, sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain. Untuk melihat apakah ia masuk surga ataukah neraka. Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama lima puluh tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat mereka apakah masuk surga apakah neraka.”
Dalam sebuah hadist lain juga dinyatakan :
مَا مَنَعَ قَوْمُ الزَّكَاةَ اِلاَّابْتَلاَ هُمُ اللهُ بِالسِّنِيْنَ.
“Golongan orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang.”
Dari keterangan hadist-hadist diatas dapat diketahui bahwa zakat dalam islam sangat diperhatikan, bahkan Allah mengancam dengan sangat keras bagi mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat baik di dunia maupun di akhirat, karena kekayaan yang kita miliki ada hak-hak untuk mereka (orang yang berhak menerima zakat ) yang wajib kita perhatikan.
Membelanjakan Harta sebelum Dizakati adalah Haram
Seorang muslim yang terbujuk oleh nafsu dan cinta dunia lalu tidak membayar zakat, maka ia diganjar dengan hukuman pembebasan separuh kekayaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:
وَمَنْ مَنَعَهَافَاِنَّااَخِذُوْهَاوَشَطْرَمَالِهُ, عَزْمَةً مِنْ عَزَ مَاتِ رَبِّنَا, لاَيَحِلُّ لاِ لِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءُ.
"Tetapi orang yang tidak membayarnya maka kita akan mengutip zakat itu bersama separuh kekayaannya. Ini merupakan ketentuan tegas dari Tuhan dan keluarga Muhammad tidak boleh mengambil sedikitpun."
Bahkan seorang muslim yang enggan mengeluarkan zakat karena tidak mengakui kewajibannya, maka ia telah berlaku kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar :
أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ, وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوْاالصَّلاَةَ, وَيُؤْتُوْاالزَّكَاةَ, فَاِنْ فَعَلُوْ ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَ هُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّّ بِحَقِّ اْلاِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Rasulullah bersabda : “Saya diinstruksikan untuk memerangi mereka, kecuali bila mereka sudah mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulnya. Mendirikan sholat, dan membayar zakat. Bila mereka melakukan hal itu, maka darah mereka sudah mendapat perlindungan dari saya, kecuali oleh karena hak-hak Islam lain yang dalam hal ini perhitungannya diserahkan kepada Allah.”
Sedangkan bagi seoarang muslim yang enggan mengeluarkan zakat karena bakhil, dengan tetap mengakui hukum wajibnya, maka ia berdosa. Dalam hal ini boleh dilakukan pemaksaan terhadapnya dengan memberikan hukuman ta'zir. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:
"Bahwa Abu Bakar RA. pernah berkata: "Seandainya mereka menghalangiku dari anak kambing, niscaya aku akan memerangi mereka karena hal itu." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa'i)
ANALISIS
Berdasarkan keterangan dari nas-nas diatas dapat diketahui bahwa hukum membelanjakan harta yang belum dizakati adalah haram, maka siapapun yang diberi kelonggaran harta oleh Allah hendaknya cepat-cepat menunaikan zakatnya setelah sampai nisabnya. Jangan sampai menunda-nunda apalagi enggan membayarnya.
Nas diatas begitu jelas menerangkan bagi mereka yang enggan menunaikan zakat akan diancam oleh Allah berupa siksaan di dunia dan di akirat. Siksaan di dunia bukan saja diterima bagi si penanggung zakat, melainkan juga akan menimpa seluruh masyarakat umum, berupa kelaparan dimana-mana atau kemarau yang panjang.
Di negara kita belum terbentuk sebuah lembaga negara yang khusus menangani masalah zakat, karena terbentur dengan falsafah negara kita. Tetapi sekarang banyak lembaga-lembaga amil zakat yang menawarkan jasa untuk membantu menghitung dan menyalurkan zakat anda.
Untuk itu bagi siapapun yang memiliki harta yang banyak bisa menghubungi badan-badan zakat tersebut supaya dihitung, dikelompokkan harta mana saja yang wajib kena zakat dan disalurkan kepada siapa saja yang berhak menerimanya. Jika seseorang sudah paham tentang aturan-aturan zakat hendaknya langsung ditunaikan sendiri dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Setelah itu dia baru bebas membelanjakan hartanya karena sudah terlepas dari kewajiban agama.
6 September 2009
MAGIC, AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
I. Pendahuluan
Berbicara soal magis, agama dan ilmu pengetahuan pasti tidak pernah meninggalkan bahasan mengenai sejarah. Asal usul pengetahuan manusia pada awalnya didasarkan pada keyakinan-keyakinan manusia mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Keterbatasan pola pikir manusia pada zaman dahulu memunculkan suatu konsep pengetahuan mengenai magic atau suatu kekuatan yang memunculkan keajaiban atau sesuatu yang berbau mistik atau tahayul.
Manusia pada zaman itu menalar sesuatu di luar dirinya, contohnya perubahan iklim, cuaca selalu disangkutpautkan dengan keajaiban-keajaiban yang berbau mistis.
II. Pembahasan
a. Magic
Magis sering dikatakan erat hubungannya dengan sihir. Tetapi, menurut Honig, kata tersebut semula berarti imam, sehingga aneh sekali bila magis berhubungan dengan sihir sebab sihir termasuk perbuatan yang sangat tidak baik. Namun magis justru berarti ilmu sihir. Sebenarnya menurut kepercayaan masyarakat primitif pengertian magis lebih luas daripada sihir, karena yang dikatakan magis menurut kepercayaan mereka adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir. Orang yang percaya dan menjalankan magis mendasarkan idenya pada dua hal, yaitu:
1. Bahwa dunia ini penuh dengan daya-daya gaib, yang disebut daya-daya alam oleh orang modern.
2. Bahwa daya-daya gaib tersebut dapat digunakan, tetapi penggunaannya tidak dengan akal pikiran melainkan dengan cara yang irrasional.
Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting. Boleh dikatakan semua upacara keagamaan, sikap hidup orang-orang primitif, terutama sikap rohani mereka, adalah bersifat magis karena magis merupakan segala perbuatan atau abstensi dari segala perbuatan mereka untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam gaib, sebagaimana telah disebutkan.[1]
Seorang antropolog yang bernama Evans-Pritchard tentang Azande (1937) merupakan upaya paling awal yang mendeskripsikan keyakinan dan ritus-ritus yang berkaitan dengan magis dan ilmu gaib dalam masyarakat non-Eropa, dengan tanpa prasangka serta sensasionalisme yang tidak semestinya. Pendekatannya dikemukakan secara jelas dalam pengantar bukunya yang menunjukkan bagaimana keyakinan-keyakinan mistik dan ritus membentuk suatu “system ideasional”, dan bagaimana system ini diekspresikan dalam aksi sosial. Dia menganggap tidak ada gunanya mendeskripsikan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial Azande. Oleh karena itu penekanannya bersifat intelektual, memfokuskan bagaimana ilmu gaib berkaitan dengan nasib buruk sebagai suatu bentuk penjelasan distereotipkan. Mengapa dia menekankan ilmu gaib dan ilmu sihir? Apakah dia hanya ingin membahas sisi esoteric dan irasional kebudayaan masyarakat pre-literature ? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini.
1. Evans-Pritchard menunjukkan bahwa pemikiran masyarakat Azande pada dasarnya adalah rasional. Pemikiran serta aksi mereka didasarkan pada pengetahuanempiris yang cermat. Bahkan perbedaan antara apa yang dia sebut pemikiran “empiris” dan pemikiran “mistis” merupakan tema kunci yang merasuk ke seluruh studinya, dan dia menunjukkan berdampingannya kedua pola pemikiran tersebut dikalangan masyarakat Azande. Meskipun berbeda dengan kita, Azande tidak memiliki konsepsi tentang “tatanan alam”, namun demikian mereka memahami suatu perbedaan antara bekerjanya alam di satu sisi, dan bekerjanya magis, hantu, dan ilmu sihir disisi yang lain.
2. Ada hal penting bahwa agama atau keyakinan terhadap supranatural masyarakat Azande, berbeda dengan masyarakat tetangganya Nuer dan Dinka, sebagian besar dirasuki gagasan tentang abinza dan magis. Hal ini disebutkan oleh Seligman dalam pengantarnya ketika dia mencatat langkanya magis di kalangan Dinka dan Shilluk. Evans-Pritchard menekankan bahwa ilmu gaib adalah faktor yang ada dimana-mana dan lazim dalam kehidupan sosial Azande, masyarakat memperbincangkannya sebagai bagian dari pembicaraan sehari-hari.
Azande adalah masyarakat Sudan yang dalam era pra-kolonial diorganisir ke dalam sejumlah kerajaan yang terpisah-pisah, masing-masing diatur oleh anggota klan aristokratik.keyakinan terhadap spirit-pencipta tertinggi Mbori dan hantu nenek moyang (atoro) adalah hal penting bagi Azande, khususnya dalam konteks domestic. Tetapi keyakinan yang menonjol dalam kebudayaan Azande adalah keyakinan dalam pengobatan (magis) dan ilmu gaib. Secara khusus, ilmu gaib memainkan peran hampir disetiap aktifitas kehidupan sosial.
Hubungan yang kompleks antara common-sense (empiris) dan pemikiran mistis, sebagaimana diakui oleh Evans-Pritchard, adalah persoalan yang menghiasi hampir setiap halaman buku. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dia mendekati magis dan ilmu sihir dari sudut pandang intelektual dan mempertanyakan mengapa masyarakat Azande tidak memahami “ketidak-bergunaan magis mereka”. Dia mengemukakan beberapa alasan yang Pertama, Ilmu sihir dan magis membentuk suatu system yang secara intelektual koheren. Tujuan utama magis lebih untuk memerangi kekuatan magis lain daripada merubah dunia obyektif; oleh karena itu aksinya melampaui pengalaman, ia tidak bisa dengan mudah dipertentangkan dengan pengalaman. Kedua, skeptisme itu diakui dan ditanamkan dan Azande sering meneliti bahwa obat itu tidak berhasil dengan sukses. Tetapi skeptisisme ini hanya mencakup obat-obat dan ahli magis tertentu, dan sebaliknya system magis semakin dikukuhkan. Ketiga, kegagalan ritus dijelaskan dengan banyaknya gagasan mistik; sihir, counter-magis, atau pelanggaran terhadap tabu. Keempat, magis hanya digunakan untuk menghasilkan peristiwa yang dimungkinkan terjadi dalam berbagai kesempatan, dan jarang sekali diminta untuk menghasilkan suatu akibat hanya dengan tindakan magis itu sendiri; magis selalu dibarengi dengan aksi empiris. Seseorang membuat bir dengan metode yang telah terbukti, dan menggunakan obat (magis) hanya untuk mempercepat proses pemasakan. Dia tidak akan bermimpi membuat bir hanya dengan “obat” (magis).[2]
b. Agama
Dalam sosiologi agama, masalah bagaimana dan apa definisi agama berperan besar dalam perkembangan disiplin ini secara keseluruhan. Secara umum, perdebatan tentang definisi agama bisa dilihat dari berbagai sisi dasar konseptual. Misalnya, ada perbedaan mendasar antara perspektif reduksionis dengan non-reduksionis. Perspektif yang pertama cenderung melihat agama sebagai epifenomena, sebuah refleksi atau ekspresi dari sisi yang lebih dasariah dan permanen yang ada dalam perilaku individual dan masyarakat manusia. Penulis-penulis semacam Pareto, Lenin, Freud dan Engels memandang agama sebagai produk atau refleksi mental dari kepentingan ekonomi, kepentingan biologis atau pengalaman ketertindasan kelas.
Implikasi pandangan reduksionis ini adalah kesimpulan yang mengatakan keyakinan-keyakinan religius sama sekali keliru, karena yang diacu adalah kriteria-kriteria saintifik atau positifistik. Oleh karena itu memegang keyakinan religius adalah tindakan irrasional, karena yang dirujuk adalah kriteria logis pemikiran. Implikasi terakhir reduksionisme kaum positifistik adalah bahwa agama dilihat sebagai aktifitas kognitif nalar individual yang satu dan lain sebab telah salah kiprah memahami hakikat kehidupan empiris dan sosial (Goode, 1951).
Salah satu definisi klasik agama yang muncul pada abad 19 adalah “definisi minimum”-nya E.B. Tylor. Dia mengatakan agama sebagai “kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual”. Agama lahir dari upaya para “filosof primitive” untuk mengerti dan memahami pengalaman-pengalaman mental mereka. Kita dapat lihat tipe definisi ini sangat individualistik, kognitif dan rasionalis, karena tidak khusus diarahkan pada praktek atau symbol-simbol religius dalam kaitannya dengan organisasi sosial, dan definisi semacam ini menerima kriteria sains-sains Barat sebagai kebenaran yang tak bisa diganggu gugat dan satu-satunya landasan rasionalitas.
Maka sejarah sosiologi agama bisa dipandang sebagai gerak teoritis yang melepaskan diri dari reduksionisme positif menuju telaah yang lebih apresiatif terhadap arti penting ritual religius dalam organisasi sosial dan menuju pada satu kesadaran bahwa ternyata sains positifistik bukanlah alat ukur yang tepat untuk menentukan rasionalitas agama. Dalam antropologi, perubahan perspektif ini sering dikaitkan dengan pembuktian yang mengatakan bahwa “masyarakat primitive pun” juga telah membedakan dengan jelas mana yang magis dan mana yang teknologis; magis hanya berperan dalam situasi ketidakpastian dan bahaya (Malinowki, 1948).[3]
Evans-Pritchard mempublikasikan buku trilogy tentang Nuer, yaitu suatu kelompok masyarakat penggembala biri-biri semi-nomadik yang hidup di rawa dan padang rumput di Negara Sudan. Dia kemudian menyatakan bahwa dalam seluruh masyarakat pemikiran keagamaan menimbulkan pengaruh terhadap aturan sosial. Dalam masyarakat Nuer, pengaruh ini terdapat di seluruh level realitas sosial. Sebagai pencipta, roh adalah pelindung seluruh masyarakat; hal itu tergambar dalam roh udara (seperti deng), dia adalah pelindung garis keturunan dan keluarga; tergambar dalam roh alam dan fethis, dia adalah pelindung individu-individu tertentu.
Evans-Pritchard menekankan bahwa agama Nuer pada dasarnya adalah agama duniawi, “sebuah agama dari kehidupan yang padat (abundant life) dan hari-hari yang sesak (fullness of days)” dan bahwa Nuer tidak ingin mengetahui dan juga tidak peduli dengan apa yang terjadi terhadap diri mereka setelah mereka mati. Ini nampak akan menguatkan pernyataan Weber tentang sifat agama kesukuan. Dia juga menunjukkan bahwa suku Nuer memiliki sedikit perhatian terhadap hantu atau roh orang yang telah meninggal, dan sangat berlawanan dengan Azande, mereka sedikit sekali menggunakan obat. Ramalan dan herbalisme dipraktekkan, tetapi menurut Evans-Pritchard bagi masyarakat Nuer semua itu bukan sesuatu yang penting. Menurutnya, mereka menganggap obat sebagai sesuatu yang asing dan aneh. Orientasi pemikiran Nuer selalu “terarah kepada roh”. “Dosa, dengan penderitaan sebagai akibatnya”.[4]
c. Ilmu Pengetahuan
Sampai saat ini, sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan. Kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul dan dari ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia. Kesadaran yang terjadi dewasa ini tentang adanya masalah-masalah moral yang serius di dalam ilmu mengenai kekerasan-kekerasan eksternal dan paksaan-paksaan pada pengembangannya dan mengenai bahaya-bahaya dalam perubahan teknologis yang tak terkendali menantang para sejarawan untuk melakukan penilaian kembali secara kritis terhadap keyakinan awal sederhana ini.
Di abad ke-19 terdapat adanya pembedaan-pembedaan kekaburan antara ilmu, industri dan filsafat. Para sejarawan menemukan bahwa studi di alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia yang kini ditolak sebagai kerangka yang bersifat magis dan tahayul.
Pendapat mengenai ilmu di abad tengah simpang siur. Para sejarawan terdahulu memandang ilmu dijaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatis dan tahayul. Sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta dan prinsip pokok ilmu modern ditemukan pada waktu itu. Orang terpelajar dijaman dulu tidak semuanya mencoba melaksanakan penelitian ilmiah. Filsafat alamiah dan fakta-fakta khusus dipelajari terutama dalam hubungannya dalam agama juga untuk menjelaskan teks-teks al kitab yang penuh kiasan.
Di antara ilmu dan agama pernah dibungkam secara aneh. Contohnya, teori Darwin tentang seleksi alamnya. Dan orang akan ragu untuk berbicara lebih jauh. Seperti yang begitu banyak dilakukan nenek moyang kita tentang apa-apa yang ragu diantara ilmu dan agama. Sebagai hal yang tak terhindarkan. Memang benarlah bahwa segelintir penulis pendukung masih merasa kesulitan untuk memutuskan isu-isu seperti apakah eksistensi kehidupan pada dunia lain akan memerlukan penetapan kembali adanya kejatuhan dalam dosa dan penebusan yang diajarkan agama.
Satu-satunya cabang ilmu yang masih mampu mendorong perdebatan teologis dengan penuh semangat, sampai sekarang adalah ilmu-ilmu humaniora ketimbang ilmu-ilmu alamiah. Implikasi-implikasi psikologi Freudian terhadap doktrin rahmat dan kegunaan obat-obat bius yang menimbulkan khayalan untuk menghasilkan pengalaman-pengalaman kuasi-mistik adalah topic-topik diskusi yang hangat dimasa kini bukan lagi evolusi, astrofisika dan geologi histories.[5]
III. Kesimpulan
Dari paparan makalah diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya definisi dari agama itu sangat banyak sekali dan berbeda-beda pendapat, berarti semuanya itu kembali kepada diri kita masing-masing. Setiap individu pasti mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari pengalaman religius yang pernah dilakukan. Apalagi kehidupan di dunia ini terdapat suatu kekuatan yang selalu menyelimuti kita dan semua kekuatan itu bersifat empiris&mistis. Dan agama tentu saja yang bisa meyakinkan kita tentang hal-hal yang gaib. Ilmu pengetahuan selalu mencari dan ingin membuktikan bahwa hal-hal yang bersifat mistis dan tahayul itu tidak benar. Para sejarawan terdahulu memandang ilmu dijaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatis dan tahayul. Tetapi, itulah kehidupan yang ada di dunia ini, semuanya kembali kepada kita saja. So, percayalah terhadap apa yang kita yakini keberadaannya. Apalagi kita mempunyai agama, ya to??
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.A Mukti, Agama-agama di Dunia,
Morris, Brian, Antropologi Agama,
Ravertz, Jerome R, Filsafat Ilmu,
Turner, Bryan S., Agama&Teori Sosial,
[1]H.A Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press.
[2] Brian Morris, Antropologi Agama, Haikhi Grafika.
[3] Bryan S. Turner, Agama&Teori Sosial, Ijang Grafika.
[4] Brian Morris, hlm. 244-246
[5] Jerome R Ravertz, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar.