Sebagaimana telah kita maklumi, bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Karena itu, untuk memahami hukum-hukum yang di kandung nash-nash al-Qur’an diperlukan antara lain pemahaman dalam segi kebahasaan dalam hal ini adalah bahasa Arab.
HIKMAH
Para ulama’ yang ahli dalam bidang ushul fiqh, telah mengadakan penelitian secara sesama terhadap nash-nash al-Qur’an, lalu hasil penelitian itu dituangkan dalam kaidah-kaidah yang menjadi pegangan umat Islam guna memahami kandungan al-Qur’an dengan benar.
Kaidah-kaidah itu membantu umat dalam memahami nash-nash yang nampak samar, menafsirkan yang global, menakwil nash dan lainnya yang bertalian dengan pengambilan hukum dari nashnya.
Dalam upaya mengenal kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ khusus yang berkaitan dengan aspek kebahasaan dalam al-Qur’an disajikan beberapa bahasan antara lain : muhkam dan mutasyabihat, mujmal dan mufasar, ‘amm, khos dan musytarak, mutlaq dan muqoyyad, ‘amr dan nahi.[1]
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat
Kata muhkam merupakan pengembangan dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana’a yang berarti mengokohkan dan melarang. Dari pengertian itu, maka al-muhkam menurut bahasa adalah berarti yang dikokohkan. Dalam istilah muhkam ialah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunannya tertib dan tepat, serta pengertiannya tidak sulit dan masuk akal.[2] Namun seluruh pengertian ini pada dasarnya berbentuk perintah dan larangan, maupun yang bersifat khobar (penerangan) tentang halal dan haram.[3]
Kata mutasyabihat berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti kesamaan atau kesamaran yang mengarah pada keserupaan. Contoh dalam ayat 70 surat al-Baqarah :
…Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami…
Dalam istilah, mutasyabih adalah suatu lafadz al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia, karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri, maka dari itu cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimengerti ole Allah SWT saja.[4]
Secara istilah, para ulama’ berbeda-beda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabihat. Dr. Amir Aziz dalam Dirasat fi Ulum al-Qur’an menginventarisasi enam definisi, yaitu :
1. Dari Dr. Amir dinyatakan sebagai pendapat ahlu sunnah, muhkam adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau jelas, maupun dita’wil. Adapun mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah. Misalnya, saat datangnya hari kiamat dan makna huruf tahajji, yakni huruf-huruf yang terdapat pada awal surat, seperti : Qaf, Alif Lam Mim, dan lain-lainnya.
2. Dari Ibnu Abbas, muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedang mutasyabihat adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.
3. Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan, misalnya: bilangan raka’at di dalam shalat 5 waktu. Demikian juga penentuan puasa yang dijatuhkan pada bulan ramadhan, bukan bulan sya’ban atau muharram.
4. Ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam adalah ayat yang dinasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidl, dan semua yang wajib diimani dan diamalkan. Adapun mutasyabihat adalah ayat yang padanya terdapat mansukh dan qosam serta yang wajib diimani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkap makna yang dimaksud. Definisi ini menurut Dr. Amir Abdul Aziz, juga dinisbatkan pada Ibnu Abbas.
5. Ayat muhkamat yaitu ayat yang mengandung halal dan haram diluar ayat tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat.
6. Ayat muhkam adalah ayat yang tidak ternask, sementara ayat mutasyabihat adalah ayat yang dinask.[5]
B. Sebab-sebab Adanya Dalil Muhkam dan Mustasyabihat
Secara tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya ayat muhkam dan mutasyabihat adalah karena Allah SWT menjadikannya demikian itu. Allah memisahkan ayat antara yang muhkam dan mutasyabihat dan menjadikan ayat muhkan sebagai bandingan ayat yang mutasyabih.
Allah berfirman :
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
C. Macam-macam Dalil Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Maka macam-macam ayat mutasyabihat itu ada tiga macam :
1. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia kecuali Allah SWT.
Contohnya seperti dzatnya Allah, hakikat sifat-sifat-Nya waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya, hal ini termasuk urusan-urusan ghaib yang hanya diketahui oleh Allah SWT, seperti isi ayat 34 surat Lukman :
“Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”.
2. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang dalam.
Contohnya seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarok, mengqoyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib dan sebagainya.
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya diketahui oleh pakar ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Seperti keterangan ayat 7 surat Ali Imran :
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya”[6]
Dalam pengertian yang sama, al-Bahiq al-Asfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut Din Mutasyabih terbagi pada 3 jenis yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang) dan sebagainya.
Jenis yang dapat diketahui manusia, seperti lafadz-lafadz yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama’ tertentu yang sudah dapat ilmu, jenis terakhir inilah yang disyaratkan Nabi dengan do’anya bagi Ibnu Abbas.
اَللَّـهُمَّ فَقِّهْهُ فِىالدِّيْنِ وَعَلَّمَهُ اَلتَّأْوِيْلَ.
“Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam agama dan ajarkanlah padanya ta’wilnya”.[7]
D. Pandangan Para Ulama terhadap Dalil Muhkam Mutasyabihat
Apakah arti dan maksud ayat-ayat mutasyabihat itu dapat diketahui oleh umat manusia atau tidak, ada dua pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa arti dan ayat mutasyabihat itu dapat diketahui oleh umat manusia dan sebagian ulama yang lain mengatakan tidak dapat yang menjadi pangkal perselisihan ialah mereka berbeda pendapat dalam memahami ayat 7 surat Ali Imran :
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Yang mereka perselisihkan ialah apakah kalimat والراسخون فىالعلم itu disambungkan dengan lafadz Allah yang sebelumnya dan lafadz يقول أمنابه itu menjadi hal dari الراسخون? Ataukah kalimat والراسخون فىالعلم itu menjadi subjek (mubtada’), sedang kalimat يقول أمنابه itu menjadi khobar (predikat)nya sedang huruf wawu sebagai tanda isti’naf (tanda permulaan)?
1. Imam Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi memilih pendapat pertama, yakni bahwa kalimat والراسخون فىالعلم itu di ‘athofkan (disambungkan) kepada lafadz Allah. Pendapat ini berasal dari riwayat Ibnu Abbas berdasarkan dalil sebagai berikut :
a) Hadits riwayat Ibnu Mundzir dari Mujahid dari Ibnu Abbas ra mengenai firman Allah :
وَمَايَعْلَمْ تَعْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِىالْعِلْمِ.
أَنَا مِمَّنْ يَعْلَمُ تَعْوِيْلَهُ.
Ibnu Abbas berkata “saya termasuk orang-orang yang lebih mengetahuai ta’wilnya”
b) Hadits riwayat Ibnu Hatim dari ad-Dhahak yang berkata :
اَلرَّاسِخُوْنَ فِىالْعِلْمِ يَعْلَمُوْنَ تَأْوِيْلَهُ وَلَوْلَمْ يَعْلَمُوْا تَعْوِيْلَهُ لَمْ يَعْلَمُوْنَا سِحَّهُ مِنْ مَنْسُوْخِهُ وَلاَحَلاَلَهُ مِنْ حَرَامِهِ وَلاَ مُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِهِ.
“Orang-orang yang mendalami ilmunya mengetahui ta’wilnya, sebab jika mereka tidak mengetahui ta’wilnya, tentu mereka tidak mengerti mana yang nasikh dari yang mansukh, dan tidak mengetahui yang halal dan yang haram, serta mana yang muhkam dan yang mutasyabih”.
Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang pertama itulah yang lebih shahih sebab impossible (tidak mungkin) Allah itu akan mengkhithob hambanya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
2. Kebanyakan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in serta orang-orang setelah mereka, memilih pendapat kedua yakni kalimat والراسخون فىالعلم itu menjadi mubtadak (subjek) sedang khobarnya (predikatnya) adalah kalimat يقول أمنابه dan riwayat yang ini lebih sohih dibanding riwayat lainnya.
Dalil yang mendasari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut :
a) Riwayat Abdul Rozzaq dalam tafsirnya dan riwayatnya al-Hakim dalam mustadraknya berasal dari Ibnu Abbas ra bahwa dia membaca :
Bacaan itu menunjukkan bahwa huruf wawu tersebut adalah menjadi permulaan, sehingga kalimat والراسخون فىالعلم menjadi mubtadak dan lafadz يقولون menjadi khobarnya.
b) Ayat 7 surat Ali Imran mencela orang-orang dan mencari ayat-ayat mutasyabihat yang mensifati mereka dengan kesesatan dan mencari-cari fitrah, dan dalam ayat itu Allah memuji mereka yang menyerahkan urusan-urusan samar itu kepada Allah dengan firman Allah :
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
c) Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dan yang lain dari ‘Aisyah, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw setelah membaca ayat 7 surat Ali Imran itu, beliau bersabda :
فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهَ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمُّوْا الله فَاحْذَرْهُمْ.
“Maka kalau kamu melihat yang mencari hal-hal yang samar itu, maka hindarilah mereka itu”
KESIMPULAN
Dari definisi-definisi tentang muhkam dan mutasyabihat di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami. Juga tercakup di dalamnya tentang halal, haram, amar, nahi, janji (wa’d) dan ancaman (wa’id) dan semua itu wajib diimani dan diamalkan. Sedangkan mutasyabihat adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
HIKMAH
Salah satu hikmah ayat muhkamat adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya orang yang bahasa Arabnya lemah, memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya juga memudahkan mereka menghayati makna maksudnya agar mudah melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan hikmah dari ayat-ayat mutasyabihat salah satunya adalah menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat sebab semakin sukar pekerjaan seseorang maka akan semakin besar jugalah pahalanya.
DAFTAR PUSTAKA
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Faridl, Miftah, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989.
Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka, 1992.
Syadali, Ahmad, Ilmu al-Qur’an, Solo: Pustaka Setia, tt.
[1] Dr. Miftah Faridl, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989, hlm. 160.
[2] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, hlm. 243.
[3] Dr. Miftah Faridl, op.cit., hlm. 164.
[4] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., op.cit., hlm. 243.
[5] Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka, 1992, hlm. 114-115.
[6] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., op.cit., hlm. 252.
[7] Drs. Ahmad Syadali, M.A., Ilmu al-Qur’an, Solo: Pustaka Setia, tt., hlm. 206.
0 comment:
Posting Komentar