Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang begitu panjang, yang dapat dilacak sampai ke masa yang sangat tua (antiquity). Kontak yang paling awal antara kedua wilayah ini khususnya berkaitan dengan perdagangan, bahkan bermula sejak masa Phunisia dan
Riwayat-riwayat yang paling awal tentang hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara diberikan sumber-sumber Cina dan Arab. Bahwa terdapat banyak riwayat tentang Nusantara ditulis sejarawan Arab semacam al-Ya’qubi, Abu Zayd atau al-Maududi, tetapi mereka kebanyakannya berdasarkan pada cerita-cerita para pelayar Arab yang lebih tertarik pada hal-hal yang aneh daripada kondisi riil bagian-bagian Nusantara yang mereka singgahi. Untungnya, para pengembara lebih belakang – yang paling terkenal diantara mereka adalah Ibn Bathuthah – meninggalkan deskripsi yang dipandang jauh lebih akurat dan autentik, meski sejumlah nama tempat yang mereka sebut di Nusantara sulit diidentifikasi.
Mempertimbangkan tingginya intensitas hubungan antara muslim Timur Tengah dengan Timur Jauh, dan mengingat terdapatnya pemukiman-pemukiman muslim di Cina, wajar mengasumsikan bahwa muslim Timur Tengah cukup mengetahui tentang Nusantara. Cukup wajar pula menyatakan, muslim Timur Tengah ini menjadikan pelabuhan-pelabuhan tertentu di Nusantara sebagai tempat persinggahan. Dan ini disokong oleh riwayat-riwayat berikut.
Kehadiran muslim Timur Tengah – kebanyakan Arab dan Persia – di Nusantara pada masa-masa awal ini pertama kali disebutkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing, ketika ia pada 51/671, dengan menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh di pelabuhan di Muara Sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza, sekarang Musi). Sribuza, sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banyak sarjana modern sebagai
Kerajaan Sribuza atau Sriwijaya (atau sering juga diidentikkan dengan Zabaj), atau yang disebut sumber-sumber Arab sebagai “al-Mamkalat al-Maharaja” (‘kerajaan Raja di Raja’), atau yang disebut Shih-li fa-shih atau san-fo chi dalam sumber-sumber Cina, mulai menanjak pada paruh kedua abad ke-7 yang kekuasaannya malang melintang hampir di seluruh Sumatra, semenanjung Malaya, dan Jawa sampai lima abad kemudian. Dalam kebanyakan periode ini, kerajaan Sriwijaya memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan Nusantara, dan ibukotanya
Sriwijaya terletak di
Tak kurang pentingnya, menurut sumber-sumber Cina, Sriwijaya juga merupakan pusat terkemuka keilmuan Budha di Nusantara. Banyak penuntut ilmu dan penziarah Budha bermukim di Sriwijaya selama bertahun-tahun; mempelajari dan menerjemahkan teks-teks keagamaan, menjelang keberangkatan mereka ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan Budha di India. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuan Budha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka terus menuju India untuk melanjutkan pelajaran mereka. Sedangkan bukti-bukti historis bagi hubungan-hubungan politik dan diplomatik internasional Sriwijaya tidak hanya diberikan sumber-sumber Arab, yang walaupun fragmentaris tetapi memberikan sejumlah informasi tentang hal ini. Sumber-sumber Arab ini, yang telah dibahas secara panjang lebar oleh Fatimi, antara lain, adalah dua pucuk
(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya kepulauan
Surat
Meski terdapat cukup banyak pedagang muslim Arab atau Persia di Nusantara dalam sejumlah kasus di atas diangkat penguasa-penguasa Nusantara sebagai duta ke Cina – harus diakui bahwa pengetahuan muslim Timur Tengah tentang Nusantara, tetapi mereka tampaknya lebih tertarik pada data geografis dan navigasi ketimbang pada informasi tentang kondisi sosial, keagamaan dan antropologis penduduk nusantara. Karena itu kebanyakan merupakan karya-karya geografis dan nautik. Riwayat-riwayat para pengembara yang memberikan informasi lainnya jarang ditemukan. Jika ada riwayat lain sampai ke tangan kita, maka sulit sekali untuk dikatakan orisinil; kebanyakannya dikumpulkan dari informasi-informasi terpencar-pencar yang berasal dari berbagai kurun waktu yang berbeda. Dalam banyak kasus, komplikasi-komplikasi ini kemudian dikopi oleh banyak penulis, yang sering memberikan tambahan-tambahan atau membuang informasi tertentu dari riwayat-riwayat lebih awal, yang sebenarnya menjadi tulisan mereka sendiri.
III. “Benua Ruhum” dan Nusantara
Pergeseran-pergeseran dalam kegiatan-kegiatan ini tidak hanya disebabkan perubahan-perubahan politik agama di Timur Tengah sendiri, seperti di catat di akhir bagian di atas, tetapi juga oleh kemerosotan perdagangan di Nusantara sebagai akibat kemunduran kekuasaan Sriwijaya, khususnya sejak menjelang akhir abad ke-12.[7] Selain itu, kemunduran Sriwijaya disamping disebabkan faktor-faktor internal, juga berkaitan dengan kebangkitan kerajaan-kerajaan baru di Jawa, seperti kerajaan
Sehingga tak heran kalau para pedagang Arab dan
Konsepsi tentang penciptaan Alam Minangkabau jelas dipengaruhi teori emanasi dalam filsafat Islam dan tasawuf. Ini memperkuat argumen kita terdahulu, bahwa Islam yang pertama kali berkembang di Nusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam yang sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf. Tetapi, apa yang lebih penting disini adalah penguasa Alam Minangkabau yang, menurut Marsden, menyebut diri sendiri “Aour Allum Maharaja Diraja”, dipercayai merupakan adik laki-laki Sultan “Ruhum” (atau Rum), yang disebut sebagai “Maharaja Alief”. Jadi orang Minangkabau percaya bahwa penguasa pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut.[10]
Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) disebarkan ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk Nusantara. Jangkauan supremasi kultural itu ke Nusantara, misalnya, tercermin dalam penyebaran sejumlah perbandingan kata bahasa Turki dalam bahasa-bahasa lokal tertentu di Nusantara.[11] Karena itu, lebih masuk akal mengasumsikan, adalah setelah paruh kedua abad ke-15 kaum Muslim Nusantara mulai mengidentifikasi “Raja Rum” dengan Sultan Utsmani, tidak ada pada abad ke-16 – seperti diusulkan Reid – ketika hubungan-hubungan politik dan diplomatik mulai terbina antara Dinasti Utsmani dengan negara-negara Muslim tertentu di Nusantara.[12]
Dinasti Utsmani mulai membuat kekuasaannya terasa secara politik dan militer di kawasan Lautan
Perkembangan ini jelas mendorong kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara mengambil peran lebih aktif dalam perdagangan maritime. Ini kemudian tidak hanya menciptakan hubungan dagang lebih erat, tetapi juga hubungan politik dan keagamaan, dengan Dinasti Utsmani. Menjelang awal abad ke-16, perahu-perahu dari Malaka, misalnya, berpartisipasi aktif dalam perdagangan dengan pantai Coromandel dan Srilanka; sayangnya tak terdapat bukti bahwa mereka ini berlayar lebih jauh ke arah barat.[13] Bahkan, jauh sebelum berpartisipasi dalam perdagangan ini, pada masa kekuasaan Sultan Muzhaffar Syah (848-862/144-156), kemasyhuran Malaka sampai terdengar pula di Asia Barat. Menurut Pires, para penguasa Aden, Hormuz, Cambay, dan Bengal mengirim surat-surat dan hadiah-hadiah ke Malaka, dan sekaligus mendorong pedagang-pedagang mereka berdagang dan bermukim di sana.[14] Tetapi, kelihatannya hubungan-hubungan yang terdapat diantara mereka ini lebih bersifat dagang dan keagamaan ketimbang politik.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, Kesultanan Aceh tampil mengambil andil terpenting dalam partisipasi Nusantara pada perdagangan rempah-rempah di Lautan
Hubungan paling erat antara sebuah kerajaan Muslim Nusantara dengan Dinasti Utsmani dibina oleh kesultanan Aceh. Seperti disyaratkan terdahulu, persekutuan tidak resmi diantara kedua kerajaan ini telah terjalin setidaknya sejak tahun-tahun terakhir 1530-an. Hubungan mereka jelas sangat diwarnai solidaritas keagamaan dalam menghadapi kaum kafir Portugis yang sejak 1521 menguasai pelabuhan Pasai. Sultan Ali Mughayat Syah (berkuasa 916-936/1511-153), tanpa bantuan Utsmani, berhasil mengusir Portugis dari Pasai pada 932/1524. Tetapi, ketika Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar naik tahta pada 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh akan sekutu yang kuat, tidak hanya untuk mengusir Portugis dari Malaka, tetapi juga untuk memperluas kekuasaannya sendiri di wilayah-wilayah lain, khususnya daerah pedalaman, di Sumatra.[15]
Hubungan-hubungan politik dan diplomatik antara Aceh dan Dinasti Utsmani dalam periode pembahasan kita jelas fluktuasi; turun naik sesuai dengan perkembangan politik Aceh. Tak terdapat duta-duta tetap di ibukota masing-masing negara. Setelah bertahun-tahun mengalami kemunduran, hubungan Aceh dengan Dinasti Utsmani kembali dibangkitkan oleh Sultan Iskandar Muda (1016-1046/1607-1636) yang terkenal itu. Menurut sumber-sumber Aceh, sultan besar ini mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai
Sebuah hikayat Aceh juga meriwayatkan kedatangan suatu misi Turki di Aceh untuk mendapatkan balsem tradisional Aceh guna mengobati Sultan Muhammad III (1003-1012/1595-1605) yang sedang sakit di
IV. Makkah dan Madinah : Hubungan dengan Nusantara
Aceh memang pengecualian istimewa, sejauh menyangkut hubungan dengan Timur Tengah. Tidak ada negara lain di Nusantara yang mempunyai hubungan-hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan Dinasti Utsmani. Tetapi penting dicatat, banyak negara muslim di Nusantara sejak abad ke-17 berada dalam hubungan yang konstan dengan Hijaz. Pada 1048/1638 penguasa Banten di Jawa Barat, Abd al-Qadir (berkuasa 1037-1063/1626-1651), mendapat gelar sultan dari Syarif Makkah sebagai hasil misi khusus yang dikirimkannya ke Tanah Suci. Sultan Banten ini juga menerima “bendera dan pakaian suci dan apa yang dipercayai sebagai bekas sejak kaki Nabi” dari penguasa Haramayn. Semua pemberian Syarif Makkah ini diarak dalam prosesi sekeliling
Dapat disimpulkan bahwa hubungan-hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan
DAFTAR PUSTAKA
T. Braddell, The Ancient Trade and The Indian Archipelago, JIAEA: II New Series 1857.
I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago, terj. J. Takakusu,
Al-Jahizh, Kitab al-Hayawan, peny. Abd al-Salam M. Harun, Kairo : 1344-1358/1925-1939.
Sir William Foster (peny.), The Voyage of Thomas Best to The
Datuk Sangguna Dirajo, Mustika Adat Minangkabau,
W. Marsden, The History of
H.A.R Gibb dan H. Bowen, Islamic Society and West, 2 Jilid, Oxford University Press, 1957.
Tome Piras, The Sumatra Oriental of Time Pires, Sun & terj. Armanda Coresao,
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
R.H. Djajadinigrat, Kasultanan Aceh, terj. T. Hamid, Banda Aceh: Departemen P&K. 1984.
[1] T. Braddell, Esq, “The Ancient Trade and The Indian Archipelago”, JIAEA, II New Series (1857), 237-277; G.R. Tibbetts, “Pre-Islamic
[2] I-Tsing (634-713), A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago, terj. J. Takakusu,
[3] Dikutip dalam Nakahara, “Muslim Menchants”, 3.
[4] Al-Jahizh, Kitab al-Hayawan, peny. Abd al-Salam M. Harun, Kairo : 1344-1358/1925-1939, VII, 113.
[5]
Untuk
[6] Fatimi, “The Letters”, 121. Tentang sumber-sumber Arab, lihat, D.W. Walters, The Fall of Sriwijaya in Malay History, Ithaca, N.Y : Cornell University Press, 1967, 1-8.
[7] Coedes, The Indianized States, 178-180.
[8] M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, Den Hag: Nijhoff, 1962, 16-8; Rita Rose di Meglio, “Arab Trade with
[9] Lihat Datuk Sangguna Dirajo, Mustika Adat Minangkabau,
[10] W. Marsden, The History of
[11] Lihat, H.A.R Gibb dan H. Bowen, Islamic Society and West, 2 Jilid, Oxford University Press, 1957, I:1, 216, 234. Bandingkan, M.A.J. Beg. Persian and Turkish Loan Words in Malay,
[12] Lihat, A. Reid, “Sixteebsth Century Turkish Influence in
[13] Lihat, Tome Piras, The Suma Oriental of Time Pires, Sun & terj. Armanda Coresao,
[14] Ibid., II, 272
[15] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
[16] Zainuddin, Tarich Atjeh, 274-8; Seljuq, “Relations”, 308-9
[17] Lihat T. Iskandar (peny.), Hikayat Atjeh, VKI, 26, Den Hag: Nijhof. 1959, 62-4, 215-42; R.H. Djajadinigrat, Kasultanan Aceh, terj. T. Hamid, Banda Aceh: Departemen P&K. 1984, 46-8; teks hikayat yang beranotasi terdapat pada halaman 117-31.
[18] Lihat, R.H. Djajadiningrat, Crisiche Beschouwingg van de Sedjarah Banten, Hearlem: J. Enshede, 1913, 49-51, 125-6; J.K.J. de Jong, De Opkompst van Het Nederlandsch Gezag Over Java, 2, Den Haag: Nijhoff, 1870, cxiv. Bandingkan Th. G. Th Pigeaud & H.J. de Graaf, Islamic States in Java 1500-1700, VKI, 70, Den Haag: Nijhoff, 1976, 49; Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, 250; J. Karthirithambi Wells, “The Islamic City: Melaka to Jogjakart, c, 1500-1800” Modern Asian Studies, 20, II, (1986), 343.
0 comment:
Posting Komentar