Allah telah mengatur segala sesuatu termasuk rizki manusia satu dengan yang lainnya. Tak bisa dielakkan lagi, kita hidup di dunia memerlukan segala sesuatu termasuk harta. Mencari rizki merupakan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan, dalam pemenuhan kebutuhannya tentu saja dengan cara usaha dengan berbagai cara. Tetapi perlu diingat, sebagai seorang muslim dalam usaha mencari rizki harus dengan cara yang benar, dalam arti dihalalkan hukum Islam baik prosesnya maupun hasilnya.
Bekerja dan berusaha dalam kehidupan duniawi merupakan bagian penting dari kehidupan seseorang dalam mempraktekkan Islam, karena Islam sendiri tidak menganjurkan hidup hanya semata-mata hanya untuk beribadah dan berorientasi pada akhirat saja, namun Islam menghendaki terjadi keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi.
Sebelum menelusuri lebih jauh tentang hadits-hadits yang menerangkan tentang rizki yang halal, tidak ada salahnya jika kita mengetahui lebih dahulu tentang arti dari rizki itu sendiri, adapun arti rizki ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup.[1] Hal kedua yang perlu kita ketahui adalah kata halal. Kata halal berasal dari kata kata yang berarti “lepas” dari ikatan atau “tidak terkait”. Sesuatu yang halal adalah lepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.[2]
Jadi rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh dikerjakan atau dimakan dengan pengertian bahwa yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah. Selain itu memohon dan berdo’a juga termasuk salah satu bagian dalam usaha mencari rizki.
Hadits di bawah ini akan dibahas hadits-hadits mengenai dorongan mencari rizki yang halal.
a. Hadits tentang orang memberi lebih baik dari orang yang menerima
حدثنا اَبُوالنُعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَأ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ اَيُّوْبَ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ التَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يقول : قال َّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وِ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَاهي الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَىهي السَّائِلَةُ {البخارى في كتاب الزكاة}[3]
Bercerita kepada kita Abu Nu’man berkata telah bercerita pada kita Khammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’ bin Umar r.a dia berkata: saya telah mendengar Nabi Saw bercerita kepada kita Abdullah bin Maslamah dari Malik bin Nafi’. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a : di atas mimbar Rasulullah SAW berbicara tentang sedekah, menghindari dari meminta pertolongan (keuangan) kepada orang lain, dan mengemis kepada orang lain, dengan berkata “tangan atas lebih baik dari tangan di bawah. Tangan di atas adalah tangan yang memberi, tangan di bawah adalah tangan yang mengemis”.
Pada lafadz وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ, yang dimaksud adalah menyebut keutamaan shodaqoh dan ta’affuf (menjaga diri dari perbuatan meminta-minta). Dan pada lafadz الْيَدِ السُّفْلَى adalah orang yang mau menerima, maksudnya orang yang tidak mau memberi dan diartikan pula orang yang meminta-minta.الْيَدُ الْعُلْيَا diartikan orang yang memberi shodaqoh.
Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih baik daripada orang yang meminta-minta. Karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina.
Sebenarnya meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu, dengan kata lain yaitu dalam keadaan mendesak atau sangat terpaksa sekali. Jadi perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina jika pekerjaan itu dalam keadaan serba cukup, sehingga akan merendahkan dirinya sendiri baik di mata manusia maupun dalam pandangan Allah SWT di akhirat nanti.[4]
Orang yang dermawan lebih utama dari pada orang yang kerjanya hanya meminta-minta saja. Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan orang yang membutuhkan, sebab Islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat dan shadaqah dan Islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain Islam tidak menyukai pengangguran dan mendorong manusia untuk berusaha.
Dalam hadits ini juga berkaitan dengan kisah Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Ibnu Khizam yang mana terjadi dialog antara Nabi dengan sahabat yang bernama Hakim, di situ dalam percakapannya hakim meminta sesuatu dari Rasulullah, maka di situ beliau memberikannya hingga dua kali, yang mana terakhir disertai dengan sabdanya : “Hai Hakim, sesungguhnya harta itu sesuatu yang manis dan menyenangkan, maka barang siapa yang mengambilnya dengan sikap kedermawanan diri tentu diberkati Allah apa yang diperolehnya, barang siapa mengambilnya dengan sikap diri yang menghambur-hamburkan tidaklah harta itu diberkati dan dinamakan tiada menyenangkan. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih baik daripada orang yang meminta-minta. Karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina.
Sebenarnya meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu, dengan kata lain yaitu dalam keadaan mendesak atau sangat terpaksa sekali. Jadi perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina jika pekerjaan itu dalam keadaan serba cukup, sehingga akan merendahkan dirinya sendiri baik di mata manusia maupun dalam pandangan Allah SWT di akhirat nanti.[4]
Orang yang dermawan lebih utama dari pada orang yang kerjanya hanya meminta-minta saja. Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan orang yang membutuhkan, sebab Islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat dan shadaqah dan Islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain Islam tidak menyukai pengangguran dan mendorong manusia untuk berusaha.
Dalam hadits ini juga berkaitan dengan kisah Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Ibnu Khizam yang mana terjadi dialog antara Nabi dengan sahabat yang bernama Hakim, di situ dalam percakapannya hakim meminta sesuatu dari Rasulullah, maka di situ beliau memberikannya hingga dua kali, yang mana terakhir disertai dengan sabdanya : “Hai Hakim, sesungguhnya harta itu sesuatu yang manis dan menyenangkan, maka barang siapa yang mengambilnya dengan sikap kedermawanan diri tentu diberkati Allah apa yang diperolehnya, barang siapa mengambilnya dengan sikap diri yang menghambur-hamburkan tidaklah harta itu diberkati dan dinamakan tiada menyenangkan. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
b. Hadits tentang menjual kayu bakar lebih baik dari pada meminta-minta
حدثنا يحي بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهابٍ عن أبي عبيد مولى عبد الرحمن بن عوف أنه سمع ابا هريرة رضي الله عنه يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لان يحتطب احدكم حزمة على ظهره خير له من ان يسال احد فيعطيه او يمنعه {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}[5]
Bercerita kepada kita Yahya bin Bakir bercerita kepada kita Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula Abdurrahman bin Auf sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : Rasulullah bersabda “Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas punggungnya terus dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis kepada orang lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak”.
Makna hadits tersebut adalah bahwasanya Rasulullah SAW menganjurkan untuk kerja dan berusaha serta makan dari hasil keringatnya sendiri, bekerja dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap muslim dituntut bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini. Selain itu jika mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan meminta-minta karena Islam sebagai agama yang mulia telah memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.
Dalam menari rizki harus mengenal ketekunan dan keuletan. Rasulullah memerintah mereka bekerja dengan kemampuan kerja dan memberinya dorongan agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Dalam al-Qur’an menyatakan bahwa pertolongan Allah hanya datang kepada mereka yang berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalamsurat al-Isra’ ayat 84 menyatakan bahwa seseorang harus bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan :
Dalam menari rizki harus mengenal ketekunan dan keuletan. Rasulullah memerintah mereka bekerja dengan kemampuan kerja dan memberinya dorongan agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Dalam al-Qur’an menyatakan bahwa pertolongan Allah hanya datang kepada mereka yang berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalam
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (al-Isra’ : 84)
c. Hadits tentang Nabi Daud makan dari usahanya sendiri
حدثناإبراهيم ابن موسى أخبرنا عيسى بن يو نس عن ثورٍ عن خالدبن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما اكل احد طعاما قط خيرا من ان ياءكل من عمل يده وان نبي الله داوودعليه السلام كان ياء كل من عمل يده {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}[6]
Telah bercerita Ibrahim bin Musa dikabarkan pada kita Isa bin Yunus dari Tsaurin dari Khalid bin Ma’dan Diriwayatkan dari al-Miqdam ra : Nabi Saw pernah bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya sendiri”.Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa rizki yang paling baik adalah rizki yang di dapat dari jalan yang dihalalkan Allah SWT, serta dari usaha diri sendiri.
Dengan mengambil contoh, bahwasanya Nabi Daud as adalah seorang Nabi, akan tetapi beliau makan dari hasil tangannya sendiri. Dengan cara membuat pakaian (rompi/baju perang) dari besi dan diperjual belikan kepada kaumnya.[7]
d. Hadits tentang Nabi Zakariya seorang tukang kayu
حدثناهدّاب بن خالدٍ. حدثنا حمادبن سلمة عن ثابت، عن أبي رافعٍ، عن ابى هريرة رضي الله عنه يقول قال رسول الله صلىالله عليه وسلم قال كان زكرياء نجّارا {اخرجه مسلم في كتاب الفضائل}[8]
Telah bercerita pada kita Haddab bin Kholid telah bercerita pada kita Khammad bin Salamah dari Tsabit dari Abi Raafi’ dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Nabi Zakariya as, adalah seorang tukang kayu”Dalam hadits di atas memberi ketegasan bahwa pekerjaan apapun tidak dipandang rendah oleh Islam, hanya perlu ditekankan bahwa dalam berusaha harus memperhatikan prosesnya yang terkait dengan halal dan haram.
Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ {البقرة : 168}
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;” (QS. Al-Baqarah : 168)Nabi adalah contoh dan suritauladan bagi umatnya seperti yang tertera pada hadits ini bahwa Nabi pun mengajarkan kita bahwa bekerja apapun asalkan halal, maka kita boleh melakukannya.
Nabi Muhammad sendiri pun pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah sebelum menjadi Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa prosesi Nabi dan Rasul itu tidak merintangi tugasnya sebagai pembawa risalah kebenaran dari Allah SWT.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mencari rizki yang halal itu wajib. Sedangkan rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya baik diri sendiri maupun keluarganya. Dan dalam mencari rizki yang halal, Islam mendorong umatnya untuk tidak memperhatikan jenis pekerjaan, asalkan pekerjaan itu halal. Dalam artinya bahwa yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah SWT.
[3] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Juz I, Daarul Fikr, Beirut Libanon, 1981, hlm. 117-118
[4] Usman as-Sakir al-Khaubawiyi, Butir-butir Mutiara Hikmah, Durratun Nasihin, Alih Bahasa Dr. Abdul Ghani, Wicaksana, Semarang, 1985, hlm. 214
[5] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Juz 3, Daarul Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, 1992, hlm. 112. Hadits tersebut dibahas dalam bab 14, hadits ini merupakan hadits ke 2074 yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
[6] Ibid.,
[7] Musthoya Muhammad Imaroh, Jawahir al-Bukhari dan Syekh al-Qostholani, Sarah an-Nur, Asia , 1271 H, hlm. 233
[8] Imam Muslim, Shohih Muslim Juz 8, Daarul Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, t.th, hlm. 142. Hadits ini dibahas dalam bab 45 yang merupakan hadits ke 2379
0 comment:
Posting Komentar