Sesungguhnya dalam kitab suci setiap agama banyak sekali terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama. Dalam al-Qur’an misalnya, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang yang beriman dan sebaliknya orang kafir, setiap tingkah laku do’a-do’a, bahkan mengenai kesehatan mentalpun, banyak terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang penyakit dan gangguan kejiwaan, serta kelainan-kelainan sifat yang terjadi karena kegoncangan kepercayaan dan sebagainya. Di samping itu dapat pula ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang perawatan jiwa.[1]
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian al-Qur’an dan Jiwa
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut tata bahasa adalah masdar. Raghib Asfahani mengatakan :
قَالَ الرَّاغِبُ اْلاَصْقَهَانِى فِىالْمُفْرَدَاتِ : اَلْقُرْآنُ فِىاْلاَصْلِ مَصْدَرٌ نَحْوَ كُفْرَانٍ وَرَجْحَانٍ.
Artinya : “Berkata Raghib Asfahani pada kitab “mufradaat” kata-kata al-Qur’an menurut asal adalah masdar seperti kufran, rujhan”.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu yang dibaca. Penamaan kitab al-Qur’an merupakan nama khusus bahwa al-Qur’an yang mengandung semua ilmu pengetahuan, peraturan-peraturan, pelajaran dan sebagainya harus dibaca dan dipelajari. Sebab dengan membaca dan mempelajarinya akan dapat diambil isi kandungannya dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan al-Qur’an menurut istilah adalah beberapa pendapat ulama, di antaranya :
Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa al-Qur’an itu ialah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah disampaikan kepada kita umatnya dengan jalan mutawatir yang dihukum kafir orang yang mengingkarinya.
A. Hanafi mengatakan, al-qur’an ialah kumpulan firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa Arab.[2]
Dalam pengertian yang lain al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia.[3] Al-Qur’an juga kitab tentang masa lalu, masa kini dan masa depan yang mampu memberikan petunjuk kepada manusia untuk mengembangkan “diri” dalam rangka mengenal hakikat ciptaan Allah Swt. Al-Qur’an mengisyaratkan formula kehidupan manusia yang penuh dengan perjuangan (baik struktural maupun kultural) guna meraih kesempurnaan dan keridlaan Allah Swt. Dalam perjuangannya itu manusia kadangkala melakukan kesalahan-kesalahan dikarenakan pada dasarnya mereka itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah.[4]
Di antara karunia Allah kepada umat manusia ialah, manusia itu diberi fitratus salimah (hati nurani) yang tentram ke dalam jiwa orang untuk menuntun manusia ini ke arah yang baik dalam mendayungkan bahtera hidupnya. Fitrah inilah yang menuntun hidup seseorang. Di antara zaman fitrah (kekosongan Rasul) Allah mengutus seorang Rasul yang membawa kitab dari Allah Swt.[5]
b. Jiwa
Dalam bahasa sehari-hari, orang sering membaurkan pengertian antara jiwa dan ruh. Kadang orang berkata, bahwa ruh si fulan naik, atau ruhnya menghendaki sesuatu, atau ruhnya di siksa atau ruhnya was-was, gelisah, tenang, resah, susah, putus asa, atau yang lebih sadis lagi dikatakan ruhnya seperti ruh iblis. Semua itu perumpamaan yang keliru. Semua itu adalah hal-ihwal jiwa, dan bukan ruh. Dan sesungguhnya yang keluar dari tubuh manusia di saat dia mati dan di saat dia dikeluarkan dari kuburnya pada hari kiamat adalah jiwa, dan bukan ruhnya. Berkatalah malaikat dalam al-Qur’an kepada orang yang penuh dosa, di saat dicabut jiwanya. Jadi yang merasakan mati itu jiwa, bukan ruh. Allah berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِـقَةُ الْمَـوْتِ {ال عمران : 185}
“Tiap-tiap jiwa akan mengalami mati” (Ali Imron : 185)
Jiwa merasakan kematian tetapi tidak mati. Dia merasakan kematian pada saat keluar dari badan. Jiwa itu terlebih dulu sudah ada sebelum dilahirkan, dan dia akan tetap ada selama ada kehidupan. Demikian pula ia akan tetap ada sesudah mati. Allah berfirman dalam
Itulah kesaksian jiwa akan Rububiah Allah, sehingga seseorang kelak tidak akan diterima alasannya, bahwa ia menjadi kafir disebabkan ayahnya juga kafir. Itulah satu fenomena kehadiran jiwa sebelum diberi tubuh dan dilahirkan di dunia. Tak seorang pun bisa berasalan, “Aku kufur karena ayahku juga kufur”.
Sebetulnya setiap jiwa telah menyaksikan sendiri dengan kesaksian yang jelas tentang sifat Rububiah Allah Swt. Dengan demikian, setiap diri telah memiliki hakikat pengertian, bahwa konsep dasar Rububiah telah ada sebelum ia dilahirkan. Sekali lagi, bahwa ruh itu tidak pernah was-was, tidak berkehendak, tidak bisa disebut dekaden, tidak resah, tidak sedih, tidak merasa disiksa dan tidak tahu apa itu yang dinamakan kejatuhan atau kebangkitan. Itu semua pengalaman jiwa, bukan ruh. Al-Qur’an menjelaskan :
...وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللهِ... {التوبة : 118}
“…dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah”. (QS. At-Taubah : 118)
Di dalam al-Qur’an, jiwa itulah yang tertuduh dengan tuduhan-tuduhan kebakhilan, was-was, ragu, jujur, dan cenderung kepada perbuatan buruk. Namun ia pun mampu menjadi bersih. Maka ada sifat lawwamah, muthmainnah, radhiah dan mardhiah.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. اِرْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي {الفجر : 27-30}
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku”. (QS. Al-Fajr : 27-30)[7]
2. Kesehatan Jiwa dan Agama
Firman Allah dalam surah Fushshilat ayat 44 :
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاء {فصّلت : 44}
“Katakanlah: "Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin”. (QS. Fushshilat : 44)
Dari semua cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) dan kesehatan jiwa (mental health) adalah yang paling dekat dengan agama, bahkan di dalam mencapai derajat kesehatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well being) pada diri manusia, terdapat titik temu antara kedokteran jiwa / kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di lain pihak.
Organisasi kesehatan se-dunia (WHO, 1959) memberikan kriteria jiwa atau mental yang sehat, adalah sebagai berikut :
- Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya.
- Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya
- Merasa lebih puas memberi daripada menerima
- Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan
- Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk di kemudian hari
- Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
- Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
WHO (1984) telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu elemen spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologik dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual / agama (empat dimensi sehat : bio–psiko–sosio–spiritual).
Perhatian ilmuwan di bidang kedokteran umumnya dan kedokteran jiwa (psikiatri) khususnya terhadap agama semakin besar. Tindakan kedokteran tidak selamanya berhasil, seorang ilmuwan kedokteran berkata: Dokter yang mengobati tetapi Tuhan yang menyembuhkan. Pendapat ilmuwan tersebut sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad (dari Jabir bin Abdullah r.a) sabdanya :
لِكُـلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَـاِذَا اُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرِأَ بِـإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَـلَّ. {اخرجه مسلم}
“Setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tepat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit itu, akan sembuh”.[8]
3. Pendekatan Agama pada Gangguan Jiwa
Dalam hubungan antara agama dan kesehatan jiwa, Cancellaro, Larson, dan
a. Kronik alkoholik
b. Kronik drug addict
c. Schizophrenia
Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah riwayat keagamaan mereka (religious histories).
Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa ternyata pada kelompok kontrol lebih konsisten dalam keyakinan agamanya dan pengamalannya, bila dibandingkan dengan ketiga kelompok tersebut di atas. Temuan ini menunjukkan bahwa agama dapat berperan sebagai pelindung dari pada sebagai penyebab masalah (religion may have been protective than problem producing).[9]
4. Ilmu Pengetahuan Agama bagi Dokter Ahli Jiwa
a. Psikiatri dan Agama
Pentingnya faktor agama / psikoreligius di bidang psikiatri dan kesehatan jiwa, dapat kita lihat dari pernyataan Prof. Daniel X. Freedman mantan ketua umum APA, guru besar di UCLA dan selaku editor “Archives of General Psychiatry” antara lain beliau mengatakan bahwa di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan dengan kesehatan manusia, yaitu profesi kedokteran di mana kedokteran jiwa (psikiatri) merupakan salah satu cabang ilmu dan lembaga keagamaan. Lembaga ini dapat bekerjasama secara konstruktif dan merupakan potensi guna peningkatan taraf kesejahteraan dan kesehatan jiwa baik secara perorangan maupun kelompok masyarakat.
Manfaat pendekatan keagamaan / psikoreligius di bidang pelayanan kesehatan jiwa, oleh para pakar antara lain dr. D.B. Larson, dkk, dalam berbagai penelitiannya, menyimpulkan antara lain bahwa di dalam memandu kesehatan manusia yang serba kompleks ini dengan segala keterkaitannya, hendaknya komitmen agama sebagai sesuatu kekuatan jangan diabaikan begitu saja.[10]
b. Manfaat pengetahuan agama bagi psikiater
Adapun obyektif kurikulum agama dalam pendidikan psikiatri ini adalah calon psikiater mampu mengenali betapa pentingnya pengetahuan agama sebagai bagian dari pelatihan didaktik oleh calon psikiater. Pemahaman psikodinamik penghayatan keagamaan pasien ini amat penting agar psikiater tidak salah diagnosa serta terapinya.
Kritik yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah bahwa pada umumnya psikiater lebih senang hanya memberikan obat, obat dan sekali lagi obat, dan kurang memperhatikan akan kebutuhan pasien terhadap waktu untuk konsultasi, sehingga pasien merasa kurang puas terhadap pelayanan yang diterimanya. Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa dokter tidak lebih dari “tukang obat”. Tidak jarang pasien dengan keluhan-keluhan kejiwaan yang berkaitan dengan problem psikoreligius / spikospiritual tidak dapat ditangani oleh psikiater karena pengetahuan psikiater terhadap bidang ini masih minim. Sehingga banyak di antara pasien-pasien ini yang meminta tolong ke “orang pintar” dukun, bahkan ke paranormal.
Oleh karenanya tidak mengherankan kalau “stigma” terhadap psikiater sukar dihilangkan, yaitu seolah-olah psikiater itu hanya mengobati pasien yang “gila” (psikosis) saja khususnya gangguan jiwa skizofrenia.[11]
C. KESIMPULAN
Dari sini kita bisa menarik pemahaman, bahwa hakikat insan itu adalah “jiwa-Nya” yang dilahirkan, yang dimatikan, yang dihidupkan kembali untuk dimintai tanggung jawabnya. Sedang jasad dan ruh keduanya adalah sekedar lapangan, sebagaimana bumi dan untuk menampakkan kapasitas dan abilitasnya (kemampuan dalam pula dan luarnya). Sebagaimana Allah memberi jiwa itu tubuh, demikian pula memberinya ruh untuk hidup berkarya dan bisa mengungkapkan rahasia-rahasianya dan eksistensinya, serta kebaikan dan keburukannya. Sedangkan dalam kedokteran, tindakan dokter / psikiater tidak selamanya berhasil karena dokter hanya yang mengobati tetapi Tuhan yang menyembuhkan.
D. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat pemakalah paparkan, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan referensi dan pengetahuan yang kami peroleh. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang,
Drs. Dalizar, Konsep al-Qur’an tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Pustaka al-Husna,
Dr. Musthafa Mahmoud, al-Qur’an dan Alam Kehidupan, Pustaka Mantiq.
Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, PT. Amanah Bunda Sejahtera, Solo.
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Penerbit Pustaka,
M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Qur’an, Gugus Pres, Bekasi, 2002.
Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu al-Qur’an, alih bahasa : Halimuddin, SH, PT. Rineka Cipta,
[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang,
[2] Drs. Dalizar, Konsep al-Qur’an tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Pustaka al-Husna,
[3] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Penerbit Pustaka,
[4] M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Qur’an, Gugus Pres, Bekasi, 2002, hal. 281.
[5] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu al-Qur’an, alih bahasa : Halimuddin, SH, PT. Rineka Cipta,
[6] Dr. Musthafa Mahmoud, al-Qur’an dan Alam Kehidupan, Pustaka Mantiq, hal. 34-35
[7] Ibid., hal. 36-39
[8] Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, PT. Amanah Bunda Sejahtera, Solo, hal. 11-13
[9] Ibid., hal. 15-16
[10] Ibid., hal. 25
[11] Ibid., hal. 27-28
0 comment:
Posting Komentar