30 Oktober 2008

MEMINDAHKAN SPERMA KE PEREMPUAN LAIN ATAU HEWAN, PENCAMPURAN SPERMA ORANG LAIN


I. PENDAHULUAN
Para ahli Ushul fiqh telah membahas maqasid syari’ah, yakni untuk mewujudkan kemaslahatan umat yang berpangkal dari misi Islam "menjaga rahmad bagi alam semesta". Memindahkan bahkan mencampurkan sperma orang lain ini merupakan salah satu bahasan dari lima pokok ajaran Islam yang sangat perlu diperhatikan, yakni mengenai keturunan. Pada dasarnya pemeliharaan keturunan adalah demi menjaga ketetiban umat. 
Disini akan tampak perbedaan antara tradisi kelahiran manusia dan kelahiran hewan, hewan tidak ada permasalahan siapa ayah serta silsilah, tetapi manusia senantiasa memerlukan kejelasan baik pertanggungjawabannya di dunia maupun di akherat nanti.
Hubungan seks pada dasarnya adalah ibadah sehingga proses dan praktiknya pun harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yakni dalam perkawinan yang syah, sehingga ada pertanggungjawaban antara suami dan istri.
Dalam pembicaraan Hukum Islam antara “sah” dan “haram” itu terkadang bisa berjalan bersama-sama. Sebagai contoh adalah mengenai rahim sewaan, mungkin akan ada yang berpendapat melonggarkan konsep radha’ah (susuan). Namun dalam Islam, rahim adalah sesuatu yang sangat terhormat, sehingga perbuatan seperti itu tetap melanggar ketentuan Islam. Contoh lain adalah salat degan mengenakan pakaian ghasab atau hasil curian. Dalam kasus ini, shalat seseorang adalah sah, namun perbuatannya haram. Dalam istilah biologi istilah memindahkan sperma biasa disebut dengan inseminasi dan pencampuran biasa disebut bank nutfah.

II. PEMBAHASAN
Dalam dunia kedokteran, teknik pemindahan sperma pada manusia dapat dilakukan dengan: 
  1. Fertilazation in Vitro (FIV), yaitu dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, kemudia diproses dalam sebuah bejana atau vitro, setelah terjadi pembuahan lalu ditranfer dirahim istri.
  2. Gamet Intra Felopiah Tuba (GIFT), yaitu dengan mengambil sperma suami dan ovum istri, setelah terjadi pembuahan segera dimasukkan di saluran telur atau tuba jalopi.

Hukum Memindahkan Sperma Pada Hewan

Pada umumnya hewan baik yang hidup didarat, air, an juga terkadang diudara adalah halal dimakan dan dimanfaatkan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan atau hewan yang dilarang jelas oleh agama.
Mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal adalah diperbolehkan dalam Islam, baik dengan jalan inseminasi alam (natural insemination) maupun dengan inseminasi buatan (artifical insemination). Dasar hukumnya adalah : 
1. Dasar Qiyas (analogi)

Lakukanah pembuahan buatan! Kalian lebih tahu tetang urusan dunia kalian
Kalau inseminasi pada tumbuh-tumbuhan itu diperbolehkan, kiranya pada hewan juga dibenarkan, karena kedua-duanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia, sebagaimana firman Allah Q. S. Qaf: 9-11, tentang cara menyelesaikan pesengketaan yang timbul antara kaum muslimin dan larangan memperolok.
2. Kaidah Hukum Fiqh Islam

Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sehingga ada dalil yang kongkret melarangnya
Dan karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang seara ekspilit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah. Namun mengingat misi Islam tidak hanya mengajak umat manusia beriman, beribadah, dan bermuamalah sesuai tuntutan Islam, melainkan Islam mengajak untuk berakhlakul karimah baik terhadap Tuhan, manusia, sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka perlu direnungkan sebab hewan makhluk hidup seperti manusia yang mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi seksual instingnya, mencari kepuasan, dan melestarikan jenisnya di dunia. 
Hukum memindahkan sperma pada perempuan lain
Mengenai hukum inseminasi buatan pada manusia apabila dilakukan dengan sperma dan ovum suami istri, baik dengan cara mengambil sperma suami yang disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilezed ovum) ditanam didalam rahim istri, ini dibolehkan asal keadaan suami istri tersebut benar-benar memerlukannya.
 
Hajat (kebutuhan yang sangat penting atau necessity) diperlukan seperti keadaan darurat atau emergency, padalah keadaan darurat itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang”.
Sebaliknya kalau memindahkan sperma kepada wanita bukan istri atau dengan donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan dan dihukumi sama dengan zina. Dalil syar’i yang mengharamkannya adalah: 
1. Firman Allah SWT:


Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan dan dilautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahkluk yang telah Kami ciptakan”.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan sebagai mahkluk yang mempunyai keistimewaan dan kelebihan, sementara inseminasi dengan donor itu pada hakekatnya merendahkan harkat manusia (human diguty) sejajar dengan hewan.
2. Hadits Nabi SAW:

Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkam airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”. (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Hadits ini, dapat menjadi dalil karena kata “...” itu dalam bahasa Arab bisa berarti “air hujan” dan bisa juga “benda cair” atau “sperma”, seperti pengertian yang dipakai dalam QS. Thaha : 53.

Tidak ada satu dosa yang lebih besar setelah syirik disisi Allah daripada setetes sperma yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam rahim yang tidak halal baginya (bukan istrinya)”. 
Hadits tersebut menjelaskan bahwa memasukkan sperma ke rahim wanita lain adalah dilarang agama, sebab perbuatan tersebut dikategorikan sebagai dosa besar setelah syirik.

3. Kaidah Hukum Fiqih Islam

Menghindari madarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik maslahat/kebaikan”.
Proses inseminasi buatan memang mempunyai sisi maslahat, namun sisi madaratnya pun ada. Maslahatnya adalah dapat membentu pasangan suami istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misal karena saluran telurnya (tuka valupi) terlalu sempit atau ejakulasinya (pancaran sperma) terlalu lemah. Sementara madaratnya lebih besar, yakni:
  • Percampuran nasab, karena akan berkaitan dengan kemahraman dan kewarisan.
  • Bertentangan dengan sunnatullah.
  • Pada hakekatnya adalah zina, karena terjadi percampuran sperma dan ovum tanpa pernikahan yang sah.
  • Kehadiran anaknya akan dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga.
Hukum Pencampuran Sperma Orang Lain
Bahwasannya melakukan inseminasi buatan dengan sperma donor adalah tidak diperbolehkan, maka pencampuran sperma/bank nutfah itu pun dilarang. Karena dengan adanya bank sperma sebagai pemilik sperma tidak diketahui dengan jelas. Sementara sperma donor yang jelas pemiliknya pun tidak boleh. Perbuatan itu juga bisa mengarah kepada perbuatan zina.
Sesuai dengan Firman allah:

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

III. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan:
  1. Proses pemindahan sperma pada hewan adalah boleh.
  2. Proses inseminasi buatan dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah adalah boleh, tetapi dengan sperma donor adalah haram hukumnya sama dengan zina.
  3. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya bank nutfah karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45, juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan martabat.
  4. Pemerintah hendaknya melarang keras praktek inseminasi buatan dengan sperma donor.

DAFTAR PUSTAKA

  • Zuhdi, Masjfuk; Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1994.
  • Azizy, Ahmad Qodri; Islam Dan Permasalahan Sosial, cet. I, Yogyakarta : LKIS, 2000.
  • Abdul Madjid, Ahmad; Masail Fiqhiyyah, Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 2000.
  • Mangundiwirjo, Daldiri; Pendewasaan Masa Perkawinan Ditinjau Dari Kesehatan Jiwa, Surabaya : BKKBN, 1983.



Share:

KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM UUPA


I. PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang-Undang no.5 tahun 1960 yaitu UUPA, dimana UUPA merupakan undang-undang yang menjadi pokok dalam penyusunan hukum tanah Nasional di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui pula UUPA mengakhiri kebinekaan perangkat hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan yang mana dalam pengaplikasiannya masih di dasarkan pada hukum adat.

Selain hukumnya UUPA juga menunifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah terutama hak-hak atas tanah yang di dalamnya masih banyak melahirkan kontroversi maupun hak-hak jaminan atas tanah. Dewasa ini hukum adat apabila kita melihat realita yang ada dalam perihal hak atas tanah dapat memungkinkan di dalamnya adanya penguasaan atas tanah yang secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Hal tersebut diatas seiring dengan rumusan konsepsi hukum adat yang mempunyai sifat komunalistik religius. Dimana dengan adanya hal tersebut menimbulkan dan menunjuk adanya hak ulayat dalam masyarakat adat, yang keberadaannya dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) masih dipermasalahkan. Begitu juga statusnya dalam masyarakat adat itu sendiri.
Maka dari itu, untuk lebih jelasnya penulis akan berusaha untuk mengelaborasikan secara terperinci dan menjawab permasalahan tersebut diatas dalam bentuk tulisan yang berjudul “Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA”.

II. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakan kedudukan hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) di Indonesia?
2. Apa saja yang termasuk dalam tanah ulayat tersebut?

III. PEMBAHASAN
a. Pengertian
Definisi dari hak ulayat disini adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. 
Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.
Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.
Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan. 
Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
b. Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas". 
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2. 
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). 
c. Tanah-Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. 
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
IV. KESIMPULAN 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sekiranya dapat kami gambarkan bahwasanya hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tersebut selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata, juga mengandung tugas, kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum publik.
Hak bersama dalam masyarakat adat yang merupakan hak ulayat bukan hak milik dalam arti yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama yang itu adalah kepentingan bersama. 


_________o0o_________


DAFTAR PUSTAKA

Bushar, Muhammad, Prof. S.H, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, Cet-IX, 1994
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djambatan, Cet. 7, 1997
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Cet-VIII, 1989
Sutami, Siti, A. S.H, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung : PT. Eresco, 1992
Soekanto, Prof. Dr, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali Press, 1981


Share:

27 Oktober 2008

JUAL BELI IJON SECARA SYAR’I


I. PENDAHULUAN

Di dalam kehidupan manusia, jual beli merupakan kebutuhan dhoruri yaitu kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Jual beli juga merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia, sehingga Islam menetapkan kebolehannya sebagaimana dalam banyak keterangan al-Qur’an dan Hadits Nabi, diantaranya, yaitu :

وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَا (البقراه : 275)

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.[1]

Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktek jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk di panen). Praktek ini bukan hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah.

Permasalahan ijin ini secara hukum sudah tertera jelas dalilnya, akan tetapi permasalahan ini tetap dibahas oleh para fuqaha mengingat di dalam jual beli ijon sendiri, Ada terdapat banyak permasalahan baik dari perluasan hukum yang sudah ada maupun adanya ijon dalam bentuk lain dari ijon pada zaman Nabi.

Jual beli ijon ini masih sangat kerap kita temui pada masyarakat pedesaan. Praktek seperti ini lebih banyak berlaku pada buah-buahan, untuk biji dan tanaman lain ada, akan tetapi tidak sebanyak pada buah-buahan.

II. PEMBAHASAN

a. Pengertian

Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[2] Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.

Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.

b. Pendapat Para Fuqaha

Sebelum madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :

نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)

“Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)

Ibnu Umar juga memberitakan :

نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)

“Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”.[3] (Muttafaq alaih)

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.

Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :

1. Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.

2. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.

3. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.[4]

Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[5]

Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.[6]

Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.[7]

Menurut hemat penulis, penulis sepakat dengan jual beli sistem ijon, dengan alasan bahwa tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran.

c. Hikmah Larangan Menjual Buah Yang Masih Hijau

Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya adalah adanya hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabil r.a “adalah di masa Rasulullah Saw, manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.[8]

Apabila kita perhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmah yang dapat kita ambil adalah :

1. Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.

2. Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.

3. Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, sehubungan dengan pesan Rasulullah Saw :

لَوْبِعْتَ مِنْ اَحِيْكَ ثَمَرًا فَأَ صَابَتْهُ حَائِجَةٌ, فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْأً, بِمَا تَاءْ خُذُ مَالَ اضَحِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ ؟ (رواه مسلم)

“Jika engkau jual kepada saudaramu buah lalu ditimpa bahaya, maka tidak boleh engkau ambil daripadanya sesuatu. Dengan jalan apa engkau mengambil harta saudaramu degan tidak benar?”. (HR. Muslim)

4. Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.[9]

Hukum yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku untuk buah atau tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika masih hijau seperti misalnya : jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag masanya di petik sesudah matang, tetapi bisa juga di petik waktu muda untuk dinikmati dengan cara-cara tertentu. Jika buah ini memang dimaksudkan dengan jelas untuk di makan selagi muda, tidak mengandung kesamaran (gharar) tidak ada unsur penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko, sehingga tidak memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, hukumnya sama dengan buah yang sudah nampak baiknya.

III. KESIMPULAN

Pada intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak diperbolehkan, karena pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum yang berupa hadits Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon sudah ada sejak zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun prakteknya masih terus berlaku sampai sekarang.

Perbedaan pendapat yang terjadi pada para fuqaha, sebenarnya berpangkal pada prinsip yang sama, yaitu sama-sama menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya yang berbeda.

Abu Hanifah atau Imam hanafiyah membolehkan menjual buah-buahan yang masih hijau dengan syarat dipetik, dan tidak membolehkan yang tetap berada di pohon dengan alasan karena penjualan mengharuskan diserahkan.

Sedang jumhur dan ulama membolehkan dengan syarat dipetik dengan alasan menghilangkan dari adanya kerusakan atau adanya serangan hama yang biasanya terjadi pada buah-buahan sebelum buah bercahaya. Pada intinya pelarangan jual beli ijon yang tetap berada di pohon adalah menghindarkan kesamaran (gharar), menghilangkan penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko sehingga terhindar dari memakan harta orang lain dengan cara bathil.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mas’adi Ghufron, Drs. M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Ali Hasan M., Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Rajawali Pres, Jakarta, 2003.

Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990.

Ya’qub Hamzah Dr. H; Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992.

Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Bina Ilmu, Yogyakarta, 1993.

M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta, 2001.



[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Rajawali Pres, Jakarta, 2003, hlm. 115

[2] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 124

[3] Ibid, hlm. 124

[4] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139

[5] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52

[6] Ghufron A. Mas’adi, op. cit, hlm. 140

[7] Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm. 126

[8] Ibnu Rusyd, op. cit, hlm. 54

[9] Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm. 127

Share:

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA


I. Pendahuluan

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1] Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.

Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2] Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.[3]

II. Pembahasan tentang Hukum Waris Islam

Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.

Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[4]

Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.[5]

Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak.[8] Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :

1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan

2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.

Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.

Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.

Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9]

Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama).

III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.

Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10] Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.[11] Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.

Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]

Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]

Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]

Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%

Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.

Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]

Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.

Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17] Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]

IV. Penutup

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan dan saran/harapan sebagai berikut :

1. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia

2. Di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama mengenai hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.

3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.

Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.

Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.

Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.

___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983.

Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.

Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.



[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20

[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, penduduk Indonesia menurut agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam 125.462.176 jiwa (87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9, hlm. 26-27

[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/ 65-70

[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404

[5] Perhatikan al-Qur’an Surat al-Nisa ayat 11 dan 12

[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66

[7] Ibid., hlm. 57

[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat/fatwa hukum, vide Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm. 22-26

[9] Vide Muhammad Sallam Madkur, op.cit., hlm. 118-127

[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.

[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10

[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.

[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25

[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25

[15] Ibid., hlm. 25

[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40

[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi Snouck Hurgronje dengan argumentasinya masing-masing, vide Sajuti Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm. 65-72

[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan) pasal 29 (sahnya perjanjian perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda suami istri yang cerai) menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam Indonesia tanpa harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum adat, tetapi cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan dalam hal ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Share:

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.